Pertanyaan demi pertanyaan muncul di kepalaku. Entah apa yang harus ku lakukan setelah ini, aku bahkan belum bisa memikirkannya.
Walaupun hari masih pagi, namun hatiku sudah sangat panas, terbakar. Aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan membalas perbuatan mereka. Akan ku balas penghianatan serta penghinaan ini.
Baru saja aku sampai di rumah ponselku terus saja berdering. Panggilan masuk dari mas Riko. Beberapa kali panggilan masuk darinya ku tolak, akhirnya mas Riko menyusulku pulang juga.
"Sayang, dengarkan penjelasanku dahulu," ujarnya. Lagi-lagi dia memintaku untuk mendengarkan penjelasan yang sebenarnya tidak perlu dia sampaikan itu. Karena semuanya sudah jelas.
"Penjelasan apa, Mas? Penjelasan jika kamu akan segera punya anak????!!! Selamat ya!!!!" seruku lalu mengambil tas dan langsung pergi meninggalkan mas Riko.
"Kamu mau kemana? Jangan bertingkah bodoh. Kita bicarakan masalah ini dulu dengan kepala dingin. Saat ini kamu masih sangat emosi, jangan pergi kemana-mana dahulu, “ pinta mas Riko.
"Kamu mau aku atau kamu yang pergi, Mas? Aku nggak mau lihat mukamu untuk saat ini!! Jika kamu mau di sini, biarin aku yang pergi!" bentakku.
"Baiklah, baiklah aku yang akan pergi. Kamu di rumah dan jangan kemana-mana dulu," ucapnya lalu pergi meninggalkanku yang masih berdiri mematung di sana.
Arghhhhhhhh, apa sebaiknya aku ceritakan semuanya sekarang pada orang tuaku. Apakah mereka harus mengetahui kelakuan menantu dan besannya itu sekarang?
Dalam kegundahanku itu, tiba-tiba sebuah pamggilan masuk ke ponselku. Ternyata telepon dari sahabat baikku, Lidia.
“Hallo, Lis,” ucapnya.
“Hallo,” jawabku dengan nada lesu.
“Aku mau ke salon nih, kamu di salon nggak?” lanjut Lidia tanpa menanyakan keadaanku dahulu.
“Nggak, Lid. Aku lagi di rumah,” jawabku.
“Ayolah ke salon. Aku mau perawatan nih. Kan kalau ada kamu biasanya aku dapat diskon,” tambah Lidia.
"Tapi aku lagi nggak mood nih, lagi ada masalah, Lid," ujarku dalam sambungan telepon.
"Ayolah, Lis. Nanti kamu bisa menceritakan masalahmu padaku saat kita bertemu," jawab Lidia.
Aku yang awalnya memang malas untuk pergi pun akhirnya mau menemuinya. Akan kuceritakan masalahku ini pada Lidia. Mungkin beban pikiranku akan sedikit berkurang jika aku menceritakannya.
Aku langsung bergegas pergi ke salon dengan memesan gr*bcar. Malas sekali rasanya untuk mengendarai sepeda motor sendiri di saat seperti ini.
Sesampainya di salon kulihat Lidia sudah berada di sana. Tanpa berlama-lama aku langsung menghampirinya.
"Hai, Lis," sapa Lidia.
"Hai, Lid,” jawabku lesu.
Mendengar jawabanku yang tidak semangat membuat Lidia kemudian bertanya,”Ada masalah apa?”
Baru juga aku hendak memulai cerita Lidia langsung memotongnya,"Aku perawatan dulu ya, nanti selesai perawatan kita ke kafe biasa. Kamu cerita di sana saja nanti. Ada yang ingin aku ceritakan juga padamu."
Sambil menunggu Lidia melakukan perawatan, aku sengaja masuk ke ruanganku dan memeriksa laporan pengeluaran juga pemasukan bulan ini. Alhamdulillah masih mendapatkan keuntungan walaupun sedikit.
Melihatku berada di ruanganku, salah satu karyawan salonku langsung menghampiriku.
"Selamat pagi, Bu," sapanya.
"Iya pagi, Mil," jawabku.
"Kok kemarin tidak datang ke salon, Bu? Tumben?" tanya Mila lagi.
"Iya kurang enak badan kemarin, Mil," jawabku bohong.
"Oalah, sekarang sudah enakan ya, Bu?”
"Lumayan. Oh ya itu yang lagi facial di luar temanku ya. Nanti di kasih diiskon lima puluh persen seperti biasa,” jelasku.
"Oh, Bu Lidia ya, Bu?"
"Benar," jawabku.
“Baik, Bu,” jawab Mila. Dia lalu keluar untuk kembali bekerja. Hanya dia satu-satunya karyawan yang begitu peduli dan perhatian padaku.
Empat puluh menit berlalu, akhirnya selesai juga proses perawatan Lidia.
"Diskon kan, Lis?" ucap Lidia sambil cengengesan.
"Iya, biasa lima puluh persen," jawabku.
"Oke, gini nih enaknya punya sahabat pemilik salon," ujarnya sambil merangkulku.
Setelah menyelesaikan pembayaran Lidia kemudian mengajakku untuk ke kafe tempat biasa kita berkumpul.
Sesampainya di kafe kami memesan beberapa makanan terlebih dahulu, selanjutnya Lidia mulai menceritakan apa yang ingin diceritakannya tanpa bertanya dahulu soal permasalahanku. Memang seperti itulah sifat Lidia. Dia selalu mementingkan permasalahan dirinya terlebih dahulu dibandingkan permasalahan orang lain. Walaupun demikian dia tetaplah teman baikku.
"Aku mau nikah lagi," ujarnya.
"Hah??? Beneran??" tanyaku kaget.
"Iya, Lis. Aku udah ngerasa cocok sama laki-laki ini," jawabnya.
"Trus Lalita gimana??"
"Lalita akan tinggal sana mama,” jawabnya santai.
"Kasian loh Lalita. Dia masih terlalu kecil jika harus berpisah denganmu," tuturku.
"Ya mau gimana lagi, aku udah terlanjur sayang sama orang ini," sambungnya.
“Kenapa Lalita nggak kamu ajak tinggal bersama kalian saja?” tanyaku lagi.
“Aku merasa nggak enak dengan Imran jika membawa Lalita. Lagian dia juga belum punya anak,” tambah Lidia.
“Maksudmu? Apa dia juga duda?”
“Iya,” jawab Lidia.
"Kamu yakin dengan keputusanmu? Jika dia benar sayang sama kamu dia pasti bisa menerima Lalita dong," sambungku.
"Gampang lah untuk soal itu, Lis. Nanti bisa kita dibicarakan lagi,” tambahnya.
Aku terdiam mendengar jawaban yang keluar dari mulut Lidia. Dia dengan mudahnya bisa meninggalkan Lalita, anak satu-satunya demi seorang laki-laki yang belum tentu menyayangi kita dengan tulus.
Aku kembali teringat betapa aku dan mas Riko menginginkan seorang anak. Sudah banyak cara kita lakukan demi mendapatkan keturunan. Namun kenapa justru yang sudah punya anak malah menyia-nyiakannya hanya demi seorang laki-laki?
Sebagai sahabat Lidia, aku ingin menasehatinya agar memikirkan lagi soal keputusannya untuk menikah. Apalagi meninggalkan anaknya demi laki-laki baru. Namun tiba-tiba saja ingatanku kembali pada penghianatan yang baru saja ku alami. Melihatku yang biasanya cerewet tiba-tiba diam membuat Lidia kemudian bertanya, "Kamu kenapa Lis?"
"Nggak papa, Lid,” jawabku yang masih bimbang untuk menceritakan masalahku.
“Katanya kamu lagi ada masalah, masalah apa?”
Aku terdiam kembali untuk beberapa saat. Setelah itu kuberanikan diri ini untuk mengeluarkan semua yang baru saja kuketahui.
“Se_se_sebenarnya,” ucapku terbata
"Sebenarnya apa? Cerita saja, kaya sama siapa saja sih, main rahasia-rahasiaan sekarang ya," lanjutnya.
Mendengar ucapan Lidia membuatku kemudian mulai menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
"Memang laki-laki kadang membuat kita sangat kecewa, Lis. Sama sepertiku waktu itu kan? Saat aku memergoki suamiku selingkuh dengan temanku sendiri. Hidupku saat itu benar-benar hancur," terang Lidia.
"Iya Lid, tapi kali ini berbeda. Bukan hanya dihianati oleh suamiku saja tetapi juga mertuaku," jelasku.
"Iya aku paham perasaanmu, Lis. Mungkin benar yang kamu katakan tadi, mereka sudah sangat ingin menggendong cucu sehingga mendukung perbuatan Riko ini," tambah Lidia.
"Namun kenapa harus dengan cara yang memalukan seperti ini, Lid? Aku benar-benar kecewa dengan mereka semua."
Walaupun merasa kesal karena harus kembali mengingat penghianatan mas Riko namun aku merasa sedikit lega. Bebanku sedikit berkurang setelah menceritakannya pada Lidia. Meskipun respon yang kudapatkan dari Lidia tidak seperti yang kuharapkan, setidaknya dia mau mendengarkan dan berbagi beban denganku.
"Oh ya, kangen nih kumpul bertiga, gimana kalau kita ajak Kinan buat ketemu," kata Lidia mengalihkan pembicaraan.
"Dia pasti sibuk. Kan selalu begitu jika kita ajak ketemu," jawabku.
"Ya maklum lah Lis, dia kan orang penting. Kita coba ajak saja dulu siapa tahu bisa. Sudah lama kan kita nggak ngumpul bertiga," tambah Lidia.
"Baiklah, nanti ku coba hubungi dia. Semoga kali ini dia ada waktu untuk bertemu," kataku.
Kinan adalah sahabatku dan juga Lidia. Kita bertiga sudah bersahabat sejak SMA kelas dua. Namun berbeda dengan kita berdua, Kinan memilih jurusan kedokteran saat kuliah. sedangkan kita berdua yang memang takut dengan darah lebih memilih jurusan bisnis manajemen.
Setelah lulus kuliah aku mendirikan salon kecantikan sesuai dengan hobiku, merawat diri. Sangat berbeda dengan jurusan yang ku ambil saat kuliah dulu bukan?
Dan Lidia, dia juga memilih untuk mendirikan sebuah butik. Sekarang butiknya sudah sangat terkenal.
Sedangkan Kinan, dia masih tetap sejalur dengan jurusannya saat dia kuliah dulu. Sekarang dia menjadi dokter spesialis kandungan di salah satu rumah sakit ternama. Pekerjaannya yang memang untuk masyarakat akhirnya membuatnya jarang bisa berkumpul lagi bersamaku dan juga Lidia.
Walaupun demikian persahabatan kita tidak pernah putus. Kesibukan Kinan membuat kita terpaksa bertemu dan mengobrol lewat panggilan vidio. Atau kalau tidak kita berdua yang mencuri waktunya dengan mendatangi rumah sakit di mana dia bekerja.
"Sekarang saja bagaimana, Lis? Kita ke rumah sakit yuk," ajak Lidia.
"Ngapain?"
"Nyulik Kinan," jawabnya.
Lidia langsung menarik tanganku dan membawaku ke mobilnya tanpa persetujuanku.
"Kita kasih tau Kinan dulu deh jika kita mau kesana," tuturku.
"Nggak usah, kita kasih surprise aja, biar dia kaget. Aku kan juga mau cerita soal pernikahanku ini padanya. Nanti kalian berdua yang harus jadi bridesmaidku," ujar Lidia sangat bahagia.
"Bagaimana jika dia sedang sibuk? Bagaimana jika dia sedang menangani pasien sekarang?" tanyaku.
"Halah gampang, kita tinggal tunggu saja sampai dia selesai," jawab Lidia santai.
Lidia memang tipe orang seperti itu. Dia tidak pernah memikirkan terlebih dahulu apa yang akan dia lakukan. Namun entah kenapa apa yang dia lakukan selalu saja berhasil, hanya satu sih yang gagal, pernikahannya.
Setengah jam kemudian kita sudah sampai di rumah sakit di mana Kinan bertugas. Lidia segera turun dari mobil yang kemudian disusul olehku.
Kita segera naik ke lantai dua menuju ke ruangan Kinan. Selanjutnya kita menunggu di depan ruangan Kinan layaknya pasien lain.
"Oh my god, kalian," serunya saat melihat kita berdua duduk di kursi tunggu. Dia kemudian memelukku dan juga Lidia.
"Bentar ya guys, aku masih satu pasien lagi. Habis ini kita keluar," ujarnya kemudian masuk kembali ke ruangannya.
"Oke," jawabku dan Lidia secara bersamaan.
Setelah Kinan masuk, perawat kemudian memanggil pasien terakhir Kinan.
"Pasien selanjutnya Ibu Ria," panggil perawat itu.
"Ria? Seperti nama istri mas Riko?" batinku.
Sekali lagi perawat memanggil nama Riana Dewi Utami namun tidak ada siapapun yang datang. "Riana Dewi Utami? Kaya pernah dengar," gumam Lidia lirih. "Apa, Lid?" tanyaku. "Em, enggak papa, Lis," jawabnya. Karena tidak ada pasien lagi, Kinan pun kemudian keluar dan menghampiri kami. Kita bertiga segera beranjak dari rumah sakit. Entah mau pergi kemana selanjutnya kita belum menentukan tujuannya. "Kita ke taman aja kali ya, cari udara segar," kata Kinan dalam perjalanan. "Memangnya Dokter Kinan Yulia Wardani sudah makan?" tanyaku menggodanya. "Apa sih Lis, jangan gitu ah. Nggak enak nih dengarnya," jawab Kinan. "Lah memang benar kan, Dokter Kinan Yulia Wardani," godaku lagi. Jika sudah bertemu dengan teman-teman dan kumpul bertiga seperti ini kita bisa melupakan semua masalah yang ada. Lidia hanya tertawa mendengarku menggoda Kinan sembari menyetir mobil. Sesampainya di taman kita segera mencari tempat yang nyaman untuk mengobrol. Untungnya ada beberapa gazebo di sana.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu tiba-tiba ingin bercerai dari Riko?" tanya papa. "Seperti yang kukatakan tadi, Pa. Lisa hanya merasa bersalah karena tidak bisa memberiku keturunan. Bukan begitu, Sayang?" sahut mas Riko dengan tenang. "Benar begitu, Lisa?" tanya papa lagi. "Katakan saja apa yang sebenarnya terjadi, Lisa! Apakah yang kamu curigai dari Riko itu terbukti?" Kali ini mama ikut menimpali. Dia tahu jika aku mencurigai mas Riko bertindak tidak beres di belakangku. "Curiga? Kamu mencurigaiku soal apa, Sayang?" tanya mas Riko dengan nada terkejut. Mama memandangku tajam. Kemarin aku memang sempat meminta bantuan mama untuk membohongi mas Riko. Namun mama juga belum tahu kelanjutannya karena aku belum bercerita lagi padanya. "Apa yang Lisa katakan pada Mama? Dia mencurigaiku soal apa, Ma? Tolong katakan padaku," ucap mas Riko lagi. Entah kenapa tiba-tiba saja mulutku serasa terkunci. Sulit sekali mengatakan soal pernikahan siri mas Riko di belakangku. Apakah mu
Hari sudah sore akupun kembali ke rumah. Membawa selembar kertas berisikan alamat rumah Ria yang tadi diberikan Kinan padaku. Selembar kertas itu ku taruh di dalam laci meja kamar. Aku akan mendatangi alamat itu besok untuk mencari bukti Bagaimanapun juga, Mas Riko masih untuk kutunjukkan pada papa. Tiba-tiba kudengar Mas Riko pulang ke rumah. Entah untuk tujuan apa dia pulang. Dia mendekatiku, matanya seakan mengatakan bahwa dia merasa sangat bersalah. Aku yang masih enggan untuk berbicara dengannya pun segera memalingkan muka. "Lis, aku datang untuk..." ucapnya. "Maaf, Mas. Aku belum ingin bicara sama kamu untuk saat ini. Mungkin lebih baik kamu kembali ke rumah istrimu yang lain," terangku. "Sejujurnya aku mau bilang jika sikapku kemarin keterlaluan. Aku bahkan berani berbohong pada mama dan papa. Membuatnya seolah-olah kamu yang berbohong. Aku melakukan itu semua semata-mata hanya karena tidak ingin rumah tangga kita berantakan," jelasnya. "Memangnya kamu pikir keluarg
Semalaman aku hanya memikirkan apa yang sebenarnya ingin Ria sampaikan. Jujur, aku bisa melihat dengan jelas dari matanya jika dia tidak bahagia. Mungkin kalian akan menganggapku bodoh karena peduli dengan istri siri suamiku. Namun mungkin saja dari sinilah aku akan menemukan bukti kuat untuk menjatuhkan mas Riko dan keluarganya.Pagi itu aku menghubungi Kinan untuk memata-matai mas Riko dan Ibu. Mungkin saja ada kesempatan untukku menemui Ria tanpa adanya mereka."Ria sudah dibawa pulang Riko dan Ibunya tadi malam, Lis," ungkap Kinan."Hah??? Bukannya Ria masih harus mendapatkan perawatan medis ya, Nan?" "Benar, Lis. Tapi entah kenapa Riko dan Ibunya meminta untuk membawa Ria pulang tadi malam," sambung Kinan.Pertanyaan demi pertanyaan pun muncul di benakku. Sepertinya firasatku benar. Ria memang tidak bahagia menikah dengan mas Riko, pasti ada sesuatu."Oh ya udah, Nan. Thanks ya," ucapku.Selesai menelepon Kinan aku langsung mencari kertas berisikan alamat rumah Ria yang kemarin
Ponselku berdering ketika aku masih bersama dengan Kinan. Sebuah panggilan masuk dari Lidia. Aku tahu jika saat ini dia sedang merasa sangat bersalah padaku. Namun walaupun begitu, aku tetap merasa kesal dan kecewa padanya. "Siapa, Lis?" tanya Kinan setelah kulihat ponselku."Lidia," jawabku.Kinan hanya menatapku. Dia pasti bingung dengan keadaan saat ini. Harus bersikap bagaimana. Tidak mungkin dia akan membuatku tambah membenci Lidia."Mungkin Lidia punya alasan menyembunyikan ini semua darimu, Lis," ujar Kinan."Apapun itu alasannya dia tetap sudah menghianatiku, Nan. Sebagai sahabat dia seharusnya memberitahuku saat dia tahu kebrengsekan mas Riko. Tapi ini? Dia malah ikut merahasiakannya dariku," jawabku yang masih merasa kecewa dengan Lidia.Kinan akhirnya diam. Dia pasti juga berpikiran sama denganku.Telepon dari Lidia kuhiraukan membuatnya kemudian mengirim pesan untukku.(Maafkan aku, Lis. Aku punya alasan soal ini semua. Aku bisa menjelaskannya padamu.) Entah apapun itu
Hari ini aku melihat suamiku berselingkuh dengan temanku sendiri. Rasa kecewa, marah, sedih bercampur jadi satu. Marah dengan mas Radit dan juga sangat kecewa dengan Intan, temanku. Aku bingung harus bagaimana saat ini? Di satu sisi aku masih membutuhkan mas Radit sebagai ayah dari Lalita, anakku. Namun di isisi lain, kemarahan dan kekecewaan ini menyuruhku untuk berpisah darinya.Sedih memang, namun aku harus terus meneruskan hidup. Bagaimanapun jiga dunia tetaplah berputar. Aku menghubungi dua sahabat baikku untuk bercerita serta untuk mengeluarkan unek-unek di dalam hati. Aku akan merasa sedikit lega jika berbagi cerita dengan sahabat-sahabatku. Pasti mereka punya solusi untuk masalahku ini.Pertama aku menelepon Lisa untuk ku ajak bertemu. Namun saat itu dia bilang tidak bisa datang karena salonnya sangat ramai dan tidak bisa ditinggal. Aku sedikit kecewa dengan jawaban yang diberikan Lisa. Memang aku belum menceritakan duduk permasalahannya. Namun kenapa dia tidak mau bertemu
"Tolong bilang sama Lidia jika aku tidak di sini ya, Bik," ucapku selanjutnya."Tapi sepertinya non Lidia tahu jika Non Lisa ada di sini," jelas bik Inah."Temui dulu, Sayang. Siapa tahu Lidia memang punya alasan akan semua ini," sahut mama."Iya, Sayang. Siapa tahu Lidia bisa membantumu untuk mengumpulkan bukti perselingkuhan Riko," sambung papa yang sekarang sudah mulai percaya denganku."Tapi, Ma?""Sudah lah, Sayang. Tidak ada salahnya kamu mendengarkan alasan Lidia terlebih dahulu. Bukankah selama ini kalian sudah bersahabat dengan baik? Mama yakin Lidia pasti punya alasan kuat tidak memberitahumu. Tapi mama yakin setelah ini dia pasti akan membantumu untuk mendapatkan bukti soal Riko dan istri sirinya," tambah mama."Iya, Lis. Paling tidak dia juga bisa menjadi saksi atas pernikahan Riko," tambah papa. Dengan desakan papa dan mama akhirnya akupun mau menemui Lidia. Papa dan mama benar, Lidia pasti akan membantuku setelah ini jika dia merasa bersalah padaku. Dengan begitu akan l
Hari itu juga Lidia mengajakku untuk kembali ke rumah Ria. Kita akan mencari tahu kebenaran yang sesungguhnya. "Bagaimana jika Ria tidak mau bercerita pada kita, Lid?" tanyaku di dalam perjalanan."Kamu tenang aja, Lis. Dia mantan pegawaiku. Dia pasti akan menjawab dengan jujur apa saja yang kutanyakan nanti. Dia orang yang jujur kok," jawab Lidia yakin.Aku merasa sedikit lega mendengar perkataan Lidia. Jika Ria bicara sejujurnya pada kita itu akan menjadi bukti yang kuat untukku menjatuhkan mas Riko dan keluarganya.Setengah jam kemudian kita pun sampai di rumah Ria. Pintu rumahnya tertutup sehingga membuat kita harus mengetuknya.Tok...tok...tok... Lidia mengetuk pintu rumah Ria. Tak berapa lama seorang perempuan terdengar membuka pintu. Namun sebelum pintu terbuka Lidia menyuruhku untuk bersembunyi terlebih dahulu agar Ria tidak merasa kaget dengan kedatanganku."Bu Lidia?" sapa Ria yang belum melihatku. "Iya," jawab Lidia."Ada apa lagi bu Lidia kemari? Apa ada sesuatu yang te