Share

Kinan dan Lidia

Pertanyaan demi pertanyaan muncul di kepalaku. Entah apa yang harus ku lakukan setelah ini, aku bahkan belum bisa memikirkannya.

Walaupun hari masih pagi, namun hatiku  sudah sangat panas, terbakar. Aku  berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan membalas perbuatan mereka. Akan ku balas penghianatan serta penghinaan ini.

Baru saja aku sampai di rumah ponselku terus saja berdering. Panggilan masuk dari mas Riko. Beberapa kali panggilan masuk darinya ku tolak, akhirnya mas Riko menyusulku pulang juga.

"Sayang, dengarkan penjelasanku dahulu," ujarnya. Lagi-lagi dia memintaku untuk mendengarkan penjelasan yang sebenarnya tidak perlu dia sampaikan itu. Karena semuanya sudah jelas.

"Penjelasan apa, Mas? Penjelasan jika kamu akan segera punya anak????!!! Selamat ya!!!!" seruku lalu mengambil tas dan langsung pergi meninggalkan mas Riko.

"Kamu mau kemana? Jangan bertingkah bodoh. Kita bicarakan masalah ini dulu dengan kepala dingin. Saat ini kamu masih sangat emosi, jangan pergi kemana-mana dahulu, “ pinta mas Riko.

"Kamu mau aku atau kamu yang pergi, Mas? Aku nggak mau lihat mukamu untuk  saat ini!! Jika kamu mau di sini, biarin aku yang pergi!" bentakku.

"Baiklah, baiklah aku yang akan pergi. Kamu di rumah dan jangan kemana-mana dulu," ucapnya lalu pergi meninggalkanku yang masih berdiri mematung di sana. 

Arghhhhhhhh, apa sebaiknya aku ceritakan semuanya sekarang pada orang tuaku. Apakah mereka harus mengetahui kelakuan menantu dan besannya itu sekarang?

Dalam kegundahanku itu, tiba-tiba sebuah pamggilan masuk ke ponselku. Ternyata telepon dari sahabat baikku, Lidia. 

“Hallo, Lis,” ucapnya.

“Hallo,” jawabku dengan nada lesu.

“Aku mau ke salon nih, kamu di salon nggak?” lanjut Lidia tanpa menanyakan keadaanku dahulu.

“Nggak, Lid. Aku lagi di rumah,” jawabku.

“Ayolah ke salon. Aku mau perawatan nih. Kan kalau ada kamu biasanya aku dapat diskon,” tambah Lidia.

"Tapi aku lagi nggak mood nih, lagi ada masalah, Lid," ujarku dalam sambungan telepon.

"Ayolah, Lis. Nanti kamu bisa menceritakan masalahmu padaku saat kita bertemu," jawab Lidia. 

Aku yang awalnya memang malas untuk pergi pun akhirnya mau menemuinya. Akan kuceritakan masalahku ini pada Lidia. Mungkin beban pikiranku akan sedikit berkurang jika aku menceritakannya. 

Aku langsung bergegas pergi ke salon dengan memesan gr*bcar. Malas sekali rasanya untuk mengendarai sepeda motor sendiri di saat seperti ini. 

Sesampainya di salon kulihat Lidia sudah berada di sana. Tanpa berlama-lama  aku langsung menghampirinya.

"Hai, Lis," sapa Lidia.

"Hai, Lid,” jawabku lesu. 

Mendengar jawabanku yang tidak semangat membuat Lidia kemudian bertanya,”Ada masalah apa?”

Baru juga aku hendak memulai cerita Lidia langsung memotongnya,"Aku perawatan dulu ya, nanti selesai perawatan kita ke kafe biasa. Kamu cerita di sana saja nanti. Ada yang ingin aku ceritakan juga padamu."

Sambil menunggu Lidia melakukan perawatan, aku sengaja masuk ke ruanganku dan memeriksa laporan pengeluaran juga pemasukan bulan ini. Alhamdulillah masih  mendapatkan keuntungan walaupun sedikit.

Melihatku berada di ruanganku, salah satu karyawan salonku langsung menghampiriku.

"Selamat pagi, Bu," sapanya.

"Iya pagi, Mil," jawabku.

"Kok kemarin tidak datang ke salon, Bu? Tumben?" tanya Mila lagi.

"Iya kurang enak badan kemarin, Mil," jawabku bohong.

"Oalah, sekarang sudah enakan ya, Bu?”

"Lumayan. Oh ya itu yang lagi facial di luar  temanku ya. Nanti  di kasih diiskon lima puluh persen seperti biasa,” jelasku.

"Oh, Bu Lidia ya, Bu?"

"Benar," jawabku.

“Baik, Bu,” jawab Mila. Dia  lalu keluar untuk kembali bekerja. Hanya dia satu-satunya karyawan yang begitu peduli dan perhatian padaku.

Empat puluh menit berlalu, akhirnya selesai juga proses perawatan Lidia. 

"Diskon kan, Lis?" ucap Lidia sambil cengengesan.

"Iya, biasa lima puluh persen," jawabku.

"Oke, gini nih enaknya punya sahabat pemilik salon," ujarnya sambil merangkulku.

Setelah menyelesaikan pembayaran Lidia kemudian  mengajakku untuk ke kafe tempat biasa kita berkumpul.

Sesampainya di kafe kami memesan beberapa makanan terlebih dahulu, selanjutnya Lidia mulai menceritakan apa yang ingin diceritakannya tanpa bertanya dahulu soal permasalahanku. Memang seperti itulah sifat Lidia. Dia selalu mementingkan permasalahan dirinya terlebih dahulu dibandingkan permasalahan orang lain. Walaupun demikian dia tetaplah teman baikku.

"Aku mau nikah lagi," ujarnya.

"Hah??? Beneran??" tanyaku kaget.

"Iya, Lis. Aku  udah ngerasa cocok sama laki-laki ini," jawabnya.

"Trus Lalita gimana??"

"Lalita akan tinggal sana mama,” jawabnya santai.

"Kasian loh Lalita.  Dia masih terlalu kecil jika harus berpisah denganmu," tuturku.

"Ya mau gimana lagi, aku udah terlanjur sayang sama orang ini," sambungnya.

“Kenapa Lalita nggak kamu ajak tinggal bersama kalian saja?” tanyaku lagi.

“Aku merasa nggak enak dengan Imran jika membawa Lalita. Lagian dia juga belum punya anak,” tambah Lidia.

“Maksudmu? Apa dia juga duda?”

“Iya,” jawab Lidia.

"Kamu yakin dengan keputusanmu? Jika dia benar sayang sama kamu dia pasti bisa menerima Lalita dong," sambungku.

"Gampang lah untuk soal itu, Lis. Nanti bisa kita dibicarakan lagi,” tambahnya.

Aku terdiam mendengar jawaban yang keluar dari mulut Lidia. Dia dengan mudahnya bisa meninggalkan Lalita, anak satu-satunya demi seorang laki-laki yang belum tentu menyayangi kita dengan tulus.  

Aku kembali teringat betapa aku dan mas Riko menginginkan seorang anak. Sudah banyak cara kita lakukan demi mendapatkan keturunan. Namun kenapa justru yang sudah punya anak malah menyia-nyiakannya hanya demi seorang laki-laki?

Sebagai sahabat Lidia, aku  ingin menasehatinya agar memikirkan lagi soal keputusannya untuk menikah. Apalagi meninggalkan anaknya demi laki-laki baru. Namun tiba-tiba  saja ingatanku kembali pada penghianatan yang baru saja ku alami. Melihatku yang biasanya cerewet tiba-tiba diam membuat Lidia kemudian bertanya, "Kamu kenapa Lis?"

"Nggak papa, Lid,” jawabku yang masih bimbang untuk menceritakan masalahku.

“Katanya kamu lagi ada masalah, masalah apa?”

Aku terdiam kembali untuk beberapa saat. Setelah itu kuberanikan diri ini untuk mengeluarkan semua yang baru saja kuketahui.

“Se_se_sebenarnya,” ucapku terbata  

"Sebenarnya apa? Cerita saja, kaya sama siapa saja sih, main rahasia-rahasiaan sekarang ya," lanjutnya.

Mendengar ucapan Lidia membuatku kemudian mulai menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. 

"Memang laki-laki kadang membuat kita sangat kecewa, Lis. Sama sepertiku waktu itu kan? Saat aku memergoki suamiku selingkuh dengan temanku sendiri. Hidupku saat itu benar-benar hancur," terang Lidia.

"Iya Lid, tapi kali ini berbeda. Bukan hanya dihianati oleh suamiku saja tetapi juga mertuaku," jelasku.

"Iya aku paham perasaanmu, Lis. Mungkin benar yang kamu katakan tadi, mereka sudah sangat ingin menggendong cucu sehingga mendukung perbuatan Riko ini," tambah  Lidia.

"Namun kenapa harus dengan cara yang memalukan seperti ini, Lid? Aku benar-benar kecewa dengan mereka semua."

Walaupun merasa kesal karena harus kembali mengingat penghianatan mas Riko namun aku merasa  sedikit lega. Bebanku sedikit berkurang setelah menceritakannya pada Lidia. Meskipun respon yang kudapatkan dari Lidia tidak seperti yang kuharapkan, setidaknya dia mau mendengarkan dan berbagi beban denganku.

"Oh ya, kangen nih kumpul bertiga, gimana kalau kita ajak Kinan buat ketemu," kata Lidia mengalihkan pembicaraan.

"Dia pasti sibuk. Kan selalu begitu jika kita ajak ketemu," jawabku.

"Ya maklum lah Lis, dia kan orang penting. Kita coba ajak saja dulu siapa tahu bisa. Sudah lama kan kita nggak ngumpul bertiga," tambah Lidia.

"Baiklah, nanti ku coba hubungi dia. Semoga kali ini dia ada waktu untuk bertemu," kataku.

Kinan adalah sahabatku dan juga Lidia. Kita bertiga sudah bersahabat sejak SMA kelas dua. Namun berbeda dengan kita berdua, Kinan memilih jurusan kedokteran saat kuliah. sedangkan kita berdua yang memang takut dengan darah lebih memilih jurusan bisnis manajemen. 

Setelah lulus kuliah aku mendirikan salon kecantikan sesuai dengan hobiku, merawat diri. Sangat berbeda dengan jurusan yang ku ambil saat kuliah dulu bukan?

Dan Lidia, dia juga memilih untuk mendirikan sebuah butik. Sekarang butiknya sudah sangat terkenal. 

Sedangkan Kinan, dia masih tetap sejalur dengan jurusannya saat dia kuliah dulu. Sekarang dia menjadi dokter spesialis kandungan di salah satu rumah sakit ternama. Pekerjaannya yang memang untuk masyarakat akhirnya membuatnya jarang bisa berkumpul lagi bersamaku dan juga Lidia.

Walaupun demikian persahabatan kita tidak pernah putus. Kesibukan Kinan membuat kita terpaksa bertemu dan mengobrol lewat panggilan vidio. Atau kalau tidak kita berdua yang mencuri waktunya dengan mendatangi rumah sakit di mana dia bekerja. 

"Sekarang saja  bagaimana, Lis? Kita ke rumah sakit yuk," ajak Lidia.

"Ngapain?"

"Nyulik Kinan," jawabnya.

Lidia langsung menarik tanganku dan membawaku ke mobilnya tanpa persetujuanku. 

"Kita kasih tau Kinan dulu deh jika kita mau kesana," tuturku.

"Nggak usah, kita kasih surprise aja, biar dia kaget. Aku kan juga mau cerita soal pernikahanku ini padanya. Nanti kalian berdua yang harus jadi bridesmaidku," ujar Lidia sangat bahagia.

"Bagaimana jika dia sedang sibuk? Bagaimana jika dia sedang menangani pasien sekarang?" tanyaku.

"Halah gampang, kita tinggal tunggu saja sampai dia selesai," jawab Lidia santai.

Lidia memang tipe orang seperti itu. Dia tidak pernah memikirkan terlebih dahulu apa yang akan dia lakukan. Namun entah kenapa apa yang dia lakukan selalu saja berhasil, hanya satu sih yang gagal, pernikahannya.

Setengah jam kemudian kita sudah sampai di rumah sakit di mana Kinan bertugas. Lidia segera turun dari mobil yang kemudian disusul olehku.

Kita segera naik ke lantai dua menuju ke ruangan Kinan. Selanjutnya kita menunggu di depan ruangan Kinan layaknya pasien lain. 

"Oh my god, kalian," serunya saat melihat kita berdua duduk di kursi tunggu. Dia kemudian memelukku dan juga Lidia.

"Bentar ya guys, aku masih satu pasien lagi. Habis ini kita keluar," ujarnya kemudian masuk kembali ke ruangannya. 

"Oke," jawabku dan Lidia secara bersamaan.

Setelah Kinan masuk, perawat kemudian memanggil pasien terakhir Kinan.

"Pasien selanjutnya Ibu Ria," panggil perawat itu.

"Ria? Seperti nama istri mas Riko?" batinku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status