Hari ini aku akan pergi ke pangadilan agama untuk mengajukan gugatan perceraian. Papa yang awalnya ragu denganku dan masih sedikit mempercayai mas Riko pun akhirnya mau percaya denganku setelah kubawa Ria ke rumah. Dia mendukungku sepenuhnya. Dia juga akan memecat mertuaku dari pekerjaan secepatnya.Aku menghubungi Kinan pagi ini. Kali ini aku akan pergi ke pengadilan bersama dengan Kinan. "Halo, Nan. Sudah siap?" tanyaku "Sudah, Lis. Sebentar lagi aku jemput ya," ujar Kinan.Kinan sengaja mengambil cuti hari ini demi mengantarku. Aku sangat beruntung mempunyai dua sahabat yang selalu ada di saat aku membutuhkan mereka. "Oke. Aku tunggu ya," jawabku.Kinan adalah orang yang paling cerdas di antara kita bertiga. Aku memintanya untuk menemaniku karena dia pasti paham soal hukum dan soal pengadilan. Walaupun dia mengambil jurusan kedokteran saat kuliah, namun bukan berarti dia tidak belajar soal hukum. Setelah panggilan Kinan ku akhiri, sebuah panggilan pun masuk kembali ke ponselku.
"Ada apa, Lis?" tanya Kinan. "Ria pergi dari rumah, Nan," jawabku. "Pergi? Bagaimana bisa, Lis? Bukankah di rumahmu banyak penjaganya?" tanyaku. "Entahlah, Nan. Aku juga tidak mengerti bagaimana bisa dia pergi. Sekarang ke rumah mama saja ya. Aku pengin tahu cerita yang sebenarnya," ujarku. Kinan langsung menghidupkan mesin mobil dan mengantarku ke rumah mama. Mobil melaju dengan cepat, hanya membutuhkan waktu seperempat jam kita pun sampai di rumah mama. Aku langsung turun dan masuk ke dalam rumah. Menemui mama yang sedang berjalan ke sana-kemari di ruang tamu. "Ma," sapaku. "Lisa. Ria menghilang," ujar mama dengan sangat panik. "Bagaimana bisa Ria kabur, Ma? Apa jangan-jangan Riko yang menculiknya?" tanyaku. "Mama juga tidak tahu, Sayang. Namun kata pak Rudi, tadi dia minta ijin keluar. Katanya ada keperluan sebentar," jelas mama. Mendengar penjelasan mama aku langsung menemui pak Rudi. "Kenapa pak Rudi mengijinkan Ria untuk pergi, Pak?" tanyaku. "Maafkan saya, Non. Say
Ria adalah anak sulung dari dua bersaudara. Adiknya masih duduk di bangku SMP. Sedang Ibunya ternyata sudah meninggal dunia. Melihat kedatangan kami membuat ayah Ria kemudian menyuruh Ria untuk kembali ke rumahku. Dia tidak mau jika mas Riko sampai menemukannya. "Titip anak saya ya, Bu Lidia. Saya tidak mau jika nak Riko menemukannya. Saya tahu jika selama ini Ria menderita. Dia hanya terpaksa menikah dengan Riko demi nama baik saya. Demi nama baik keluarga," ujar ayah Ria. "Tapi, Pak? Bagaimana dengan Bapak? Bapak masih membutuhkan Ria di sini. Ria tidak mau meninggalkan Bapak di saat seperti ini," jawab Ria. "Tidak papa, Nak. Bapak sudah membaik. Lagian ada Rania juga kan di sini. Dia bisa mengurus Bapak. Bapak juga akan aman di rumah sakit ini," ucap ayah Ria. "Bagaimana kalau mas Riko datang lagi dan melukai Bapak?" "Tidak mungkin, Nak. Dia tidak akan bisa melukai Bapak di sini. Banyak dokter dan juga perawat di sini," tambah ayah Ria. Dengan berat hati Ria pun akhirnya
Setelah mengantar Ria ke rumah mama, Lidia pun kemudian mengantarku pulang."Bukankah itu mobil Riko, Lis?" ucap Lidia saat kita hampir sampai di rumahku. Terlihat mobil mas Riko sudah terparkir di depan rumah."Benar, Lid. Mau apa dia ke sini?""Pasti dia sedang mencari Ria. Jangan-jangan dia juga sudah ke rumahku," Lidia melanjutkan. "Apa sebaiknya kita pergi saja dari sini sekarang untuk menghindarinya, Lid?""Jangan, Lis. Kita hadapi saja Riko. Aku juga ingin sekali melihat bagaimana ekspresinya setelah tahu kita berhasil membawa Ria pergi," tambah Lidia."Boleh juga, Lid. Aku juga ingin mengetahuinya," jawabku.Lidia kembali menjalankan mobilnya sampai di depan rumahku. Kita berdua turun dari mobil dan langsung bertemu dengan mas Riko di teras. Dia masih merasa bebas keluar masuk di rumahku, namun hanya sampai di teras saja. "Kamu sembunyikan di mana, Ria?" tanya mas Riko saat melihatku datang. "Kenapa, Mas? Kamu ketakutan ya jika Ria tidak bersamamu? Kamu takut jika dia akan
Surat panggilan dari pengadilan yang kutunggu-tunggu pun akhirnya datang juga. Itu artinya tiga hari lagi aku akan melaksanakan sidang perceraian dengan mas Riko. "Sebentar lagi aku akan resmi berpisah dari mas Riko. Biarlah aku jadi janda yang penting aku sudah tidak terikat dengan laki-laki seperti mas Riko," gumamku.Ponselku berdering saat aku sedang termenung sendirian di depan ruang tv. Ternyata panggilan masuk dari mas Riko. Dia pasti akan memberitahuku soal surat panggilan sidang. "Halo. Ada apa lagi, Mas?" "Aku dapat surat panggilan dari pengadilan. Apa kamu yakin ingin berpisah dariku, Lisa?!" "Kenapa kamu tanya seperti itu, Mas? Aku yang menggugatmu, itu artinya aku sudah sangat yakin dengan keputusanku," jawabku."Kamu siap untuk jadi janda??" "Kenapa mesti takut, Mas? Aku lebih suka jadi janda dari pada tetap menjadi istri monster sepertimu!" jawabku."Aku tanya padamu sekali lagi. Ini untuk yang terakhir, Lisa. Kamu yakin mau berpisah dariku??""Yakin seyakin-yakinn
Aku tahu jika sebenarnya Ria menyembunyikan sesuatu dariku. Ini pasti ada kaitannya dengan mas Riko. Namun aku tidak akan memaksanya. Aku tidak berhak memaksa Ria untuk melaporkan mas Riko pada polisi. Di sini aku hanya berhak meminta dia untuk menjadi saksi dalam kasus perceraianku saja."Aku tidak akan memaksamu untuk melaporkan mas Riko ke polisi, Ria. Itu semua terserah kamu. Semua keputusan ada di tanganmu. Jika memang kamu tidak akan melaporkannya tidak masalah juga untukku. Tapi pikirkan baik-baik ya, jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari," tuturku.Ria hanya diam. Dia lalu meminta ijin padaku untuk pergi ke kamar mandi setelah itu."Oh ya Ria, Jangan lupa makan nanti ya. Kata mama tadi kamu nggak makan siang," ujarku sebelum Ria keluar dari kamar."Iya, Bu. Tadi saya masih merasa kenyang," jawab Ria."Jika ada masalah lebih baik diceritakan ya, Ria. Jangan di pendam sendiri, tidak baik untuk kesehatan batinmu," sambungku. Ria hanya mengangguk kemudian melanjutkan langk
Hari ini aku akan melaksanakan sidang yang pertama. Kuharap mas Riko juga akan datang ke persidangan agar semua berjalan dengan baik."Bu, nanti saya datang bareng bu Lisa kan?" tanya Ria."Iya, Ria. Nanti berangkat bareng aku," jawabku."Tapi sepertinya saya langsung pulang ke rumah setelah ini ya, Bu," tambah Ria."Loh kenapa Ria? Kamu tidak akan kembali ke sini lagi?" tanya mama yang tiba+tiba muncul dari dalam."Saya sudah merepotkan bu Lisa dan keluarga selama ini. Sudah cukup saya menerima kebaikan dari keluarga kalian," sambung Ria."Kita tidak merasa direpotkan sama sekali, Ria. Kita malah senang bisa membantumu, melindungimu," tambahku."Tapi saya yang merasa nggak enak. Kalian bahkan membantu saya dengan tulus walaupun tahu jika saya adalah istri siri mas Riko," kata Ria."Kamu memang istri sirinya. Namun dia memperlakukanmu juga dengan sangat tidak baik. Kami hanya merasa kasihan denganmu, Ria," jawabku.Ria tetap bersikeras untuk pulang ke rumahnya. Entah apa sebenarnya ya
"Tebakan kita pasti benar, Lis. Ria diancam oleh Riko. Tuh buktinya dia pulang sama Riko," ujar Lidia saat kita pulang dari pengadilan."Iya, Lid. Kasihan ya Ria. Pantas saja dia terlihat ketakutan saat melihat mas Riko tadi," jawabku."Apa seharusnya kita membantu Ria ya, Lis. Kok aku kasihan sama Ria. Takutnya dia akan dianiaya sama Riko karena telah membantumu," kata Lidia."Iya memang kasihan Ria. Tapi kita tidak punya hak untuk ikut campur urusan mereka, Lid. Lagian Ria juga sudah berkata tidak akan melaporkan mas Riko kan?" jawabku."Benar juga ya, Lis. Kita bahkan tidak tahu kemana Riko akan membawa Ria pergi kali ini," jawab Lidia.Aku menganggukkan kepalaku. Kita berdua pun kemudian melanjutkan perjalanan pulang ke rumah tanpa membahas masalah Ria lagi. Keputusan tetap berada di tangannya. Dia berhak untuk melaporkan atau tidak melaporkan perbuatan Riko padanya. Lidia mengantarku ke rumah mama. Malam ini aku berencana untuk menginap di sana."Saya langsung pamit saja ya, T