Share

Balasan untuk Adik Tak Tahu Diri
Balasan untuk Adik Tak Tahu Diri
Penulis: Tuti Eka Jayanti

Kekacauan Di Dalam Rumah

“Tia, itu kan, baju baru Kakak? Kenapa kamu pakai?” Aku langsung menghampiri Tia yang akan pergi ke undangan dengan baju batik yang baru kubeli beberapa hari yang lalu.

“Iya, pinjam,” jawabnya singkat tanpa menoleh ke arahku. Dia tetap sibuk dengan gadget di tangannya.

“Tapi, baju itu mau Kakak pakai untuk acara nikahan teman Kakak minggu depan.”

“Ya, nggak papa, kan, Tia pinjam dulu. Acaranya kan, Minggu depan.”

Astagfirullah. Aku mencoba menarik napas panjang agar bisa lebih tenang.

“Tapi, nggak gitu juga Tia. Kamu kan, bisa pakai baju Kakak yang lainnya. Kakak kan, malu kalau pakai baju yang sudah kamu pakai.”

“Kok, Kakak pelit banget, sih.” Tia mencak-mencak masuk ke kamar. Dia juga menutup pintu kamar dengan keras sehingga menimbulkan bunyi degum yang besar.

“Ada apa? Kenapa rumah seperti kena gempa?" Ibu menghampiriku.

“Ti ....”

“Kakak Wulan pelit, Bu. Masa aku nggak boleh pinjam bajunya.” Belum selesai aku bicara, Tia sudah ada di depan pintu kamarnya dengan wajah jutek dan memotong ucapanku.

Aku yang terpojokkan tidak mau kalah. “Bukan begitu, Bu ....”

“Ah, Kakak memang pelit mentang-mentang sekarang sudah sarjana dan punya uang sendiri, sama adik sendiri aja pelitnya minta ampun. Pantas sampai sekarang nggak ada cowok yang suka.”

“Tia!” Aku berteriak menghentikan ocehan Tia. Anak SMA ini tidak boleh dibiarkan. Ibu harus tahu apa yang terjadi sebenarnya. “Kakak bukannya tidak mau minjamin kamu baju. Hanya saja, lain kali kalau mau menggunakan barang orang lain, kamu harus pinjam dulu biar tidak dibilang pencuri,” ucapku tegas.

Namun, bukannya mendukungku untuk mendidik Tia, ibu malah menamparku.

Aku langsung syok mendapatkan perlakuan ini. Tega-teganya ibu melakukan ini padaku?

“Kamu jangan sok berkuasa di sini, Wulan! Kamu tuduh adikmu mencuri hanya gara-gara pinjam baju kamu tidak bilang-bilang? Selama ini apa ibu pernah menuntut uang yang kamu gunakan untuk biaya kuliah dikembalikan?”

Aku tersentak. Dadaku bergemuruh. Sungguh aku tidak menyangka semua ini terjadi.

Selama sebulan ini, orang-orang di rumah ini memang berubah. Mereka menganggapku tidak ada. Aku tidak pernah disisakan makanan atau dibantu dalam hal apa pun. Namun, aku tidak mengira kalau ibu akan mengungkit hal yang sudah diberikannya padaku. Meskipun, kalau boleh aku bersuara, ibu hanya menyumbang uang di awal pendaftaran, selebihnya aku mencari beasiswa sendiri hingga tamat. Bahkan tidak jarang aku mengirimi ibu uang sisa dari beasiswa dan mengajar les privatku.

Dengan air mata yang tidak bisa dibendung, aku berkata, “Aku ... tidak pernah bermaksud menuduh... Tia mencuri, Bu. Aku hanya ingin mengajarkan Tia tentang adab.” Dengan susah payah, aku menahan diri untuk tidak menangis keras.

Namun, ibu tidak lagi peduli padaku. Dia berlalu dari hadapanku begitu saja. Sedangkan Tia, dia berlenggang keluar kamar dengan menggunakan baju baruku.

Namun, sudahlah, aku mencoba ikhlas.

Di dalam kamar, aku mencoba menata hati. Sebenarnya, aku sangat heran dengan perubahan orang-orang di rumah ini. Kira-kira apa salahku? Kalau memang tahu situasinya bakalan seperti ini, mending aku cari pekerjaan di kota saja. Lebih baik, aku pulang ke kampung ini setahun sekali. Dengan begitu, mungkin akan jauh lebih baik. Sekarang, aku benci situasi ini. Namun, aku harus bagaimana?

Di tengah kekalutan pikiranku, ada sebuah pesan yang masuk.

Bu Mila: Mbak Wulan, mau beli brownies lumer tidak?

Karena selalu ketagihan dengan kue buatan Bu Mila, aku langsung balas mau.

Tidak lama setelah jawabanku terkirim, Bu Mila menelepon balik.

"Mbak Wulan mau pesan berapa? Terus mau diantar atau bagaimana?" tanya suara lembut di seberang sana.

"Dua aja, Bu. Nanti biar saya ambil sendiri ke rumah Bu Mila. Sebentar lagi saya OTW, ya," jawabku. Kemudian menutup telepon setelah mengucapkan salam.

Sebelum pergi, aku langsung mencari dompet. Eh, sebentar, dompetku kok, tidak ada di dalam tas.

Aku mencoba membongkar tasku. Mencari ke segala arah. Namun, benda kecil berwarna cokelat itu tidak ada juga. Ke mana dompetku?

Dengan sabar, aku kembali mencari sekeliling kamar, eh ternyata dia ada di kolong tempat tidurku.

Aku bernapas lega.

"Astagfirullah, kenapa uangnya tidak ada? Ini benar-benar tidak ada. Padahal, kemarin aku baru saja gajian dari sekolah sebesar enam ratus ribu," bicaraku pada diri sendiri.

Aku kembali memeriksa kolong tempat tidur. Siapa tahu uangnya tercecer di sana, kan? Namun, setelah beberapa kali mencoba memeriksa bahkan aku menggunakan senter HP agar lebih yakin, aku tidak menemukan apa-apa di sana.

Astagfirullah, siapa yang mencuri uangku? Perasaan hari ini tidak ada orang yang datang ke rumah.

“Assalamualaikum, Bu. Bu lihat baju yang baru aku beli.” Suara Kak Dina menggema begitu nyaring.

“Memang kamu beli apa?” Suara ibu terdengar ceria.

“Ini, aku beliin Ibu baju. Bang Udin baru dapat rezeki nomplok katanya. Dia kasi aku uang enam ratus ribu. Jadi, sebagian aku gunakan untuk belanja keperluan anak-anak, sebagian untuk beli baju aku dan ibu. Kalau untuk belanja harian kan ada Wulan.”

“Wulan ada di kamar,” timpal ibu yang bikin Kak Dina langsung terdiam.

Eh, sebentar, rezeki nomplok? Enam ratus ribu? Bukankah jumlahnya sama dengan uangku yang hilang? Lagian selama ini suami Kak Dina kan, tidak punya kerjaan. Lalu? Aku tidak ingin berprasangka buruk. Namun, kalau benar dia pencurinya bagaimana caranya aku menyelidikinya?

Setelah mengatur ritme emosi, aku keluar kamar.

“Wah, cantik banget, Kak, bajunya,” ucapku basa-basi. “Bang Udin sudah dapat kerjaan, Kak?”

Kak Dina tidak menjawab. Dia hanya memonyongkan bibirnya melihatku. Kemudian, berlalu ke dapur.

Sekarang apa yang harus aku lakukan? Aku tidak mungkin mengatakan kalau uangku hilang. Pasti Kak Dina akan tersinggung karena berpikir aku menuduhnya.

Maka dengan tenang, aku keluar rumah. Aku langsung menuju ke rumah Bu Mila. Di sana, aku coba berdiskusi dengan wanita tua yang begitu bijaksana.

“Bagaimana menurut Bu Mila solusinya?” tanyaku akhirnya setelah bercerita panjang lebar.

“Sebelumnya, saya minta maaf. Ini menurut pendapat saya, ya, Mbak, maaf. Sebaiknya, Mbak jangan berpikir negatif dulu. Coba dicari kejelasannya dulu, Mbak.”

“Iya, Bu. Sebenarnya saya juga tidak mau suuzan. Tapi, saya bingung bagaimana caranya agar saya tahu pelakunya.”

“Kenapa tidak buat jebakan saja, Mbak?”

Saran Bu Mila bikin aku punya ide. Setelah beberapa minggu sejak kejadian itu, aku kembali dapat uang dari anak-anak yang ikut kelas bimbelku. Dengan sengaja, aku menyimpan uang sembarangan di dalam kamarku. Tentunya, semua ini dalam pengawasanku.

Setelah tiba waktu yang tepat, aku mengatur siasat. Aku dengan sengaja menyimpan uang sebesar dua ratus ribu ke dalam dompet. Benda itu, sengaja aku simpan begitu saja di atas kasur.

“Bu, aku ke toko depan gang, ya,” pamitku. Kulihat saat itu semua orang rumah sedang berkumpul di depan televisi.

Setelah agak jauh dari rumah, diam-diam aku kembali ke dalam kamar lewat jendala. Aku mengendap-endap masuk dan sembunyi di dalam lemari kayu. Dari sini, aku bisa merekam siapa pelakunya.

Benar saja, tidak sampai lima menit kemudian, pintu kamarku berdenyit pelan. Ada seseorang yang masuk.

Namun, semua diluar prasangkaku. Bukan Bang Udin atau Kak Dina yang masuk, tetapi Tia.

Dia tampak seperti biasa-biasa saja. Seperti biasa melakukan tindakan salah seperti ini.

“Tolol banget sih, Kakakku yang satu itu. Apa dia nggak sadar kalau uangnya pernah hilang?”

Berarti pelakunya Tia? Jantungku berdetak kencang. Untuk apa dia mengambil uang sebanyak itu? Bukankah selama ini ibu juga memberinya uang jajan? Aku juga memberinya jatah bulanan.

Setelah mengoceh pelan, kulihat dia langsung membongkar isi dompetku. “Ya, Cuma dua ratus ribu,” keluhnya. “Tapi, nggak papalah, ini sudah cukup buat ngajak Bang Udin indehoy biar cuma dua malam.” Saat mengucapkan kalimat terakhir, Tia memejamkan mata sambil menyentuh tubuhnya.

Astagfirullah, aku beristigfar berkali-kali. Pikiran buruk kembali menyerangku. Apa Bang Udin yang menyuruh Tia untuk mencuri? Tapi, kalimat terakhir yang diucapkan Tia? Apa Tia dan Bang Udin punya hubungan spesial?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status