Aku kembali beristigfar berkali-kali sampai lupa kalau video yang kuambil tidak terekam dengan benar karena memori HP-ku ternyata penuh.
“Yah, tidak punya bukti deh, kalau begini,” keluhku pada diri sendiri.Karena merasa bingung, aku berusaha memecahkan berbagai pertanyaan di kepalaku, aku merangkak keluar lemari.Setelah menghirup udara yang lebih banyak, aku merasa lebih baik. Meskipun, pikiranku masih buntu.“Ya Allah , kira-kira apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah Tia itu anaknya pendiam, tidak banyak omong. Tapi, kenapa dia bisa berbicara seperti itu?”Aku mencoba menebak-nebak apa yang terjadi antara Tia dan Bang Udin. Memang, aku pernah membaca kisah cinta segitiga antara kakak beradik. Namun, dalam cerita yang biasa kubaca di sosmed, umur mereka tidak jauh berbeda.Berbeda dengan Tia, kan? Dia baru berumur tujuh belas tahun. Kalau memang dia jatuh cinta, kenapa tidak dengan teman sebayanya? Coba, apa kelebihan Bang Udin? Kulitnya gelap, tampangnya sangar. Dia juga tidak rapi. Hanya badannya yang kekar karena biasa bekerja mengangkat beban yang berat.Aku benar-benar pusing memikirkannya. Saking stresnya, mataku tidak ingin terlelap seperti biasanya.“Ke mana saja kamu semalam, Lan?” Ibu langsung menginterogasiku saat aku keluar kamar.Awalannya, aku sempat bingung. Namun, aku baru sadar kesalahanku tadi malam. Kenapa aku tidak pura-pura masuk lewat pintu depan lagi, ya? Bukannya aku izin pamit pada ibu?“Cuma ke toko depan, Bu. Habis itu aku pulang. Mungkin Ibu tidak dengar waktu aku pulang dan mengucapkan salam,” bohongku.Ya Allah, maafkan aku karena sudah berbohong kepada orang tuaku sendiri.Anehnya, Tia tidak ikut campur. Biasanya dia paling aktif mengompori ibu untuk memarahiku. Apa dia merasa bersalah karena telah mencuri uangku?“Dek, ini Abang dapat rezeki lagi.” Bang Udin menyerahkan uang seratus ribu pada Kak Dina. “Abang dapat job malam.”“Tidak apa-apa, Bang. Yang penting dapat kerjaan, jangan nganggur terus. Kapan kayanya kalau seperti itu.”Setelah selesai makan dan hendak berangkat mengajar, tanpa sengaja aku mendengar Tia merengek minta uang jajan pada ibu.“Lima puluh dong, Bu!”“Kemarin kan, baru saja ibu beri kamu uang jajan, Tia. Kenapa cepat sekali habisnya?”“Itu buat jajan dan beli kuota, Bu. Kalau uang ini untuk biaya fotokopi dan tugas sekolah lainnya.”“Hmmm.” Ibu bergumam. “Anak sekolah sekarang terlalu banyak pakai uang. Kalau seperti ini terus, mending kamu berhenti sekolah, Tia. Mending cari kerja. Kamu tahu kan sejak bapakmu meninggal, ibu hanya mengandalkan hasil dari kebun bapakmu yang ndak seberapa. Untung belakangan ini Bang Udin kamu juga dapat kerjaan. Jadi, ibu masih agak tenang.”Kenapa aku selalu tidak dianggap? Padahal, sejak kehadiranku di rumah ini, akulah yang membiayai semua kebutuhan rumah ini.Namun, ya, sudahlah. Aku ikhlas memberikan semuanya untuk orang-orang yang aku cintai.“Akan tetapi, kemana uang yang dicuri Tia dari dompetku?” Aku bertanya pada diriku sendiri.Sepanjang perjalanan ke sekolah, aku terus mencoba memecahkan teka-teki yang ada di kepalaku. Kenapa persoalan Tia dan Bang Udin ini terlalu berbelit-belit?Setelah berpikir panjang, aku memutuskan untuk membicarakan hal ini pada Bu Mila. Beliau orang yang bijaksana dan tenang. Mungkin, beliau bisa memberikanku solusi.Namun, setibanya aku di kantin, anak-anak sudah berkerumun di sana.“Bu pesan bubur satu.”“Nasi kuning, Bu!”Kalau seperti ini, tidak mungkin kan, aku bercerita? Lagi pula, pasti Bu Mila sedang sibuk melayani anak-anak. Maka kuputuskan untuk langsung ke kantor.Di ruang guru, para guru sedang sibuk membicarakan pengangkatan berbagai struktur di sekolah ini.Namun, saat aku masuk, tiba-tiba Bu Aini berkata, “Kalau Bu Wulan diangkat menjadi Waka kesiswaan, saya tidak setuju. Bu Wulan kan, guru baru. Mana kita tahu sepak terjangnya.”“Benar tu, Bu.” Bu Rita ikut menimpali. “Lagian, Bu Wulan kan, masih jomblo, mana tahu dia permasalahan anak-anak.”Astagfirullah, aku mengelus dada. “Siapa juga yang mau jadi Waka kesiswaan atau jabatan lain di sekolah ini?” Ingin sekali aku berkata seperti ini, tetapi aku malas ribut. Maka kupilih untuk diam.“Tapi, Bu Wulan begitu dekat dengan anak-anak. Saya lihat, Bu Wulan juga pandai mengambil hati anak-anak. Dengan begitu, Bu Wulan akan mudah membuat banyak program untuk perkembangan anak-anak karena dia tahu apa yang dibutuhkan anak-anak kampung ini.” Pak Cipto memberikan suaranya. Sepertinya Pak Cipto mendukungku atau jangan-jangan dia yang mengusulkan namaku pada kepala sekolah?“Hati-hati loh, Pak, istri di rumah bisa punya insting, loh. Gadis sekarang nggak boleh diberi perhatian. Mereka main sambar aja. Lagian ya, Pak, saya ingatkan bunga yang belum disunting memang kadang tampak lebih indah, Pak. Tapi, kalau sudah dipetik akan sama saja, Pak. Dia akan layu juga pada akhirnya.”Setelah ucapan Bu Aini itu, seisi ruangan guru jadi gaduh. Aku yang merasa tidak enak hati, izin langsung masuk ke dalam kelas.Jujur, aku tersinggung dengan ucapan ibu-ibu itu. Aku tidak pernah berusaha menebar pesona atau menginginkan posisi apa-apa di sekolah ini. Aku mengajar di sini murni karena panggilan jiwa. Aku ingin anak-anak di kampung ini mendapatkan pendidikan yang benar dan layak.Karena masih kesal dengan guru-guru di ruangan guru, saat jam istirahat tiba, aku memutuskan untuk ke kantin Bu Mila saja.Meskipun padat dengan siswa, tetapi Bu Mila selalu menyediakan tempat spesial untukku.“Di sini saja, Bu, lebih aman dan nyaman,” ucap Bu Mila. Bu Mila ini memang pandai melihat situasi. Meskipun, aku tidak terlalu senang dipanggil Ibu, tetapi sebagai tanda penghormatan di depan murid-muridku, dia tetap menggunakan julukan itu.Setelah jam mengajar usai, aku tidak langsung kembali. Aku memutuskan untuk ke kantin lagi agar bisa bercerita pada Bu Mila.Akan tetapi, setibanya di sana, aku malah diperkenalkan dengan laki-laki yang sedang asyik menyantap gorengan.“Mbak, perkenalkan ini Mas Lukman. Dia bos buku yang menyediakan buku di sekolah ini.”“Bu Mila berlebihan,” ucapnya lembut. Suaranya lembut sekali, terdengar renyah. “Saya hanya sales buku, kok.”“Tapi, juga pemilik perusahaannya, kan?”Dia tersenyum. Di bagian kanan pipinya ada lubang kecil yang bikin senyumnya tambah manis.Setelah berkenalan, aku dan Lukman langsung asyik berbicara.“Wah, berarti kamu bisa nulis juga, dong?” tanyanya.“Tidak juga sih, Mas. Aku hanya suka menulis di buku diary.”“Coba kamu ikutan ini!” Dia menyerahkan sebuah kertas yang berisi pengumuman lomba. “Ini khusus untuk para guru, loh.”“Tapi, aku tidak PD, Mas.”“Coba saja dulu! Masalah menang atau tidak itu belakangan. Kamu bisa pakai nama pena kalau belum PD dengan nama sendiri.”Mendapatkan semangat dari Mas Lukman, aku langsung buru-buru pulang ke rumah.Di rumah, aku berencana menulis sebuah cerpen. Karena besok Mas Lukman akan kembali ke kota, dia yang akan membawa naskahku hingga sampai ke tangan panitia lomba.Namun, di jalan, tiba-tiba aku mendengar suara meongan kucing. Aku berhenti.Dari kejauhan kulihat ada seekor anak kucing kecil yang kurus sedang berusaha melepaskan diri dari lilitan tali.Aku berjalan mendekat.“Astagfirullah, kasihan sekali kucing ini. Kakinya sampai bengkak karena dia berusaha untuk melepaskan diri,” gumamku pada diri sendiri.Karena tempat ini agak jauh dari jalan, pasti orang-orang tidak mendengar tangisan kucing ini. Dia pasti sudah berhari-hari di sini dan tidak makan. Maka dengan cekatan, aku mengeluarkan makanan kucing yang selalu kubawa di dalam tasku.Akan tetapi, tiba-tiba tanganku berhenti bergerak saat mendengar suara des*han seorang perempuan dari rumah tua yang tidak jauh dari tempatku berdiri.“Aw, ah,” des*hnya.Sebentar, itu seperti suara Tia. Aku begitu hafal dengan suara kecil Tia yang begitu nyaring. Meskipun dia tidak berteriak, suara kecil itu tetap terdengar nyaring dan khas.“Terus Bang Udin! Aw, enak, Bang.”Bang Udin? Napasku rasanya berhenti seketika.“Iya, Sayang.”Itu suara Bang Udin. Aku begitu yakin itu suara Bang Udin. Lalu, sekarang apa yang harus kuperbuat?“Astagfirullah.” Aku terperanjat saat kucing di hadapanku menyambar makanan yang ada di tanganku. Untungnya, aku tidak berteriak.Karena gemetaran, langsung saja kutinggalkan makanan kucing itu di tanah.Dengan tangan yang masih gemetar, aku melajukan motor secara perlahan.“Astagfirullah, maaf, Bu.” Aku hampir saja menabrak ibu pejalan kaki saking tidak fokusnya.Pikiranku terus dipenuhi banyak pertanyaan. Aku juga mulai yakin kalau Tia dan Bang Udin sudah melakukan perbuatan tidak senonoh. “Namun, kenapa Tia memberikan uang yang dia curi ke Bang Udin?” Aku kembali berbicara pada diri sendiri seperti orang gila.Setibanya di rumah, aku langsung minum air putih yang banyak.Ya Allah, apakah ini nyata? Sungguh, aku tidak yakin dengan apa yang baru saja kudengar.Tia anak yang baik, tidak pernah sekali pun dia buat masalah selama ini. “Assalamualaikum.” Aku menoleh pada sumber suara.“Tia?”“Iya, Kak. Kok, kayak orang lihat setan gitu? Kan, Tia baru pulang sekolah.”Aku mengamati
“Wulan, tadi kamu dicari sama nenekmu.” Suara ibu bikin aku terlonjak.“Astagfirullah,” ucapku hampir berteriak.“Kenapa sih, Lan?” Kak Dina tiba-tiba muncul di belakang ibu. “Kok, pakai teriak segala? Ibu hanya bilang kalau nenek mencarimu. Nenek bilang, ‘mentang-mentang sudah sarjana jadi sibuk sekali hingga tidak sempat menjenguk nenek.’” Kak Dina menyampaikannya dengan logat seolah-olah nenek benar-benar marah padaku. Matanya melotot melihatku, mulutnya monyong, dan wajahnya benar-benar cemberut.“Iya, Bu, nanti malam aku ke sana,” jawabku sambil mencoba menetralkan perasaanku.Beberapa hari ini, dari pagi sampai sore, Kak Dina dan ibu terus ke rumah nenek. Mereka membantu keluarga di sana. Minggu besok rencananya mau ada acara syukuran atas lahirnya cicit nenek yang pertama.“Tia nggak ikut ya, Bu. Lagi banyak tugas, nih.” Tia tiba-tiba muncul dari depan kamarnya dan bikin aku kaget lagi. “Nih, tadi coba memahami tugas bahasa inggris, mumet banget.” Tia memperlihatkan HP-nya pada
Tia diadili. Malam itu, kami akhirnya tidak jadi berangkat setelah salat magrib.Setelah wali kelas Tia pulang, ibu memutuskan untuk menunggu Tia. Aku dan Kak Dina pun memutuskan untuk ikut berkumpul di ruang tamu menemani ibu.Tidak lama kemudian, anak itu benar-benar muncul. Dia dengan santainya masuk ke dalam rumah dengan mengucapkan salam.Namun, Kak Dina tidak bisa menahan amarahnya. Dia langsung melayangkan sebuah tamparan di pipi mulus Tia.“Ke mana saja kamu selama dua minggu ini sampai tidak masuk sekolah? Sudah hebat kamu, ya? Sudah pandai bolos kamu, ya? Kamu kira hidup tanpa sekolah enak? Mau jadi apa kamu nantinya? Mau jadi gembel, pelacur?” Kak Dina meluapkan emosinya dengan membabi buta. Wajahnya bahkan terlihat merah padam.Melihat Kak Dina ingin maju lagi, aku menarik Kak Dina. “Istighfar, Kak! Anak-anak melihatmu. Perilaku Kakak akan jadi contoh buat mereka.”Namun, Kak Dina tetap kekeh ingin melampiaskan emosinya. “Sudah, Kak.” Kali ini aku mencoba untuk sedikit
“A—a—apa yang.” Sulit sekali menyelesaikan kalimat yang ada di mulutku. Tenggorokanku tiba-tiba mendadak kering. Kepalaku langsung pusing. Tuhan, apa yang kulihat di depan mataku ini? Kenapa Tia bisa melakukan perbuatan laknat ini?Tuhan, selama ini, aku hanya membaca berita di gadget atau menonton di televisi. Lalu, sekarang?Setelah beristigfar berkali-kali di dalam hati dan menarik napas perlahan, aku baru bisa menguasai diri. “Apa yang kalian lakukan?”Keduanya saling berpandangan. Aku terisak lagi. Entah mengapa rasa marah, kesal, dan tidak percaya di dalam hati bikin aku ingin menangis meraung-raung.“Tia, Bang Udin, apa yang kalian lakukan? Kalian telah berzina!” Kalimat itu sengaja aku keluarkan agar mereka sadar dengan kesalahan yang telah diperbuatnya. “Kalian akan mendapatkan dosa besar kalau sampai benar-benar melakukan perkara haram ini. Bahkan kalian bisa diarak keliling kampung. Dan kamu Tia. Kamu bisa hamil dan berhenti sekolah.”Sesak kembali memenuhi dadaku. Baga
“Itu balasan bagi orang yang sudah kepo sama kehidupan orang lain,” ucap Tia.“Tapi, kalian sudah keterlaluan. Kalian tidak boleh melakukan ini. Kalian telah berzina. Ini dosa besar,” ucapku, coba menyadarkan mereka dari kesalahan yang telah mereka perbuat.“Tahu apa kau tentang dosa, Kak?” Tia berjongkok di depanku. “Hidup kau sempurna. Kau memiliki segalanya. Aku?” Saat mengucapkan ini, matanya tampak berkaca-kaca. Dia seperti menyimpan suatu luka yang mendalam. Apakah itu disebabkan ulah ayah? Apa karena dia tidak diperhatikan oleh ibu?“Kau juga bisa punya kehidupan sempurna Tia. Kakak janji akan bantu kamu untuk kuliah.”Dia tersenyum sesaat. “Tapi, aku nggak mau," jawabnya. Kemudian, Tia mengulurkan tangannya di hadapanku.Aku terdiam. Sungguh, aku sangat bingung dengan semua keadaan ini. Tia yang tiba-tiba ketus. Tia yang ....“Nggak mau dibantu?” ucap Tia.Mendengar ucapan Tia, aku buru-buru menerima uluran tangannya.Seketika, saat aku hendak berdiri, dia memutar tanganku ke
Aku terbangun dalam keadaan badanku sakit semua. Ini pasti akibat ulah Bang Udin dan Tia dan perlawananku kemarin.Namun, anehnya, sekarang aku tidak lagi terikat pada tempat tidur. Hanya, kedua pergelangan tangan dan kakiku yang memerah.Saat kesadaranku benar-benar pulih pun, aku melihat diriku sudah menggunakan baju piama tidur yang lengkap. Tubuhku juga ditutupi dengan selimut tidur yang biasa kugunakan.Aku beranjak turun dari atas ranjang.“Astagfirullah, badanku rasanya sakit semua,” keluhku sambil berjalan menuju ke dapur. Aku mau minum. Tenggorokanku terasa benar-benar kering.“Baru bangun kau, Wulan?” tanya ibu, orang pertama kali kutemui pagi ini.“Iya, Bu,” jawabku lemas.“Tumben kau tidur nyenyak sekali, sampai-sampai ibu bangunkan berkali-kali, tapi kau tidak bangun.”Aku melihat sekeliling. Apa aku katakan saja apa yang terjadi kemarin malam? Tapi, dari mana aku harus memulainya.“Hei, ditanya kok, malah termenung.” Senggolan ibu menyadarkanku kembali.“Eh, itu, Bu. Ti
Setelah membaca pesan dari Tia, aku meminta Kak Dina untuk langsung keluar dari kamarku. Sungguh, aku takut tidak tahan untuk tidak mengatakan yang sebenarnya.Namun, aku rasa lebih baik tidak mengambil risiko, kan, dari pada terjadi apa-apa. Melihat ulah Tia kemarin, aku jadi yakin kalau dia akan tega melakukan apa saja untuk menutupi kejahatannya.Jadi, seharian ini, aku memutuskan untuk diam dan menutup mulut dulu. Setelah ini, aku akan berpikir lagi. Intinya, aku harus menyadarkan Tia dan Bang Udin untuk kembali ke jalan yang benar.Malam ini pun, aku memutuskan untuk tidur lebih awal. Pagi-pagi sekali, aku langsung pergi ke sekolah. Aku memutuskan untuk sarapan di kantin saja.“Benar kan, apa yang aku katakan.” Seorang guru langsung berbisik pada teman di sebelahnya begitu aku memasuki kantor. Ibu-ibu di sebelahnya pun tampak mengangguk-angguk.Si guru kepo yang sering mengomentariku pun berkata dengan lantang, “Tampangnya aja yang MasyaaaaAllah. Tapi, ternyata ...” Namun, lagi
Pikiranku bertambah kalut. Dadaku semakin sesak. Air mataku semakin deras. Setelah berteriak menumpahkan segala emosi, bukannya tenang, aku malah tambah uring-uringan.Dengan segera, kulajukan motor metikku.Setibanya di rumah, aku sudah tidak tahan lagi. Aku menangis, membentak, dan marah. “Kemana Tia? Kenapa dia sejahat itu. Bukankah dia yang telah selingkuh dengan Bang Udin. Lalu, kenapa aku yang malah difitnah.”“Apa yang kamu katakan, Lan? Kamu kenapa? Kenapa pula kamu pulang sepagi ini?” Kak Dina menghampiriku.Aku duduk dan mengatur napas. “Kakak—ta—hu, Bang—Udin dan Tia—sudah—selingkuh,” ucapku terbata-bata.“Ngomong yang jelas, Lan! Apa maksudmu?”Kak Dina juga terlihat tidak sabaran. Dia sampai berdiri mendekatiku.Aku menarik napas kembali, mencoba untuk tenang, agar bisa menjelaskan dengan benar.“Kak Dina tahu, selama ini, Bang Udin dan Tia sudah selingkuh. Mereka bahkan sudah tidur bersama.”Wajah Kak Dina seketika memerah. Ibu yang tampak hendak pergi ke depan untuk