Share

Kejadian Aneh

last update Last Updated: 2023-08-29 08:34:32

Aku kembali beristigfar berkali-kali sampai lupa kalau video yang kuambil tidak terekam dengan benar karena memori HP-ku ternyata penuh.

“Yah, tidak punya bukti deh, kalau begini,” keluhku pada diri sendiri.

Karena merasa bingung, aku berusaha memecahkan berbagai pertanyaan di kepalaku, aku merangkak keluar lemari.

Setelah menghirup udara yang lebih banyak, aku merasa lebih baik. Meskipun, pikiranku masih buntu.

“Ya Allah , kira-kira apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah Tia itu anaknya pendiam, tidak banyak omong. Tapi, kenapa dia bisa berbicara seperti itu?”

Aku mencoba menebak-nebak apa yang terjadi antara Tia dan Bang Udin. Memang, aku pernah membaca kisah cinta segitiga antara kakak beradik. Namun, dalam cerita yang biasa kubaca di sosmed, umur mereka tidak jauh berbeda.

Berbeda dengan Tia, kan? Dia baru berumur tujuh belas tahun. Kalau memang dia jatuh cinta, kenapa tidak dengan teman sebayanya? Coba, apa kelebihan Bang Udin? Kulitnya gelap, tampangnya sangar. Dia juga tidak rapi. Hanya badannya yang kekar karena biasa bekerja mengangkat beban yang berat.

Aku benar-benar pusing memikirkannya. Saking stresnya, mataku tidak ingin terlelap seperti biasanya.

“Ke mana saja kamu semalam, Lan?” Ibu langsung menginterogasiku saat aku keluar kamar.

Awalannya, aku sempat bingung. Namun, aku baru sadar kesalahanku tadi malam. Kenapa aku tidak pura-pura masuk lewat pintu depan lagi, ya? Bukannya aku izin pamit pada ibu?

“Cuma ke toko depan, Bu. Habis itu aku pulang. Mungkin Ibu tidak dengar waktu aku pulang dan mengucapkan salam,” bohongku.

Ya Allah, maafkan aku karena sudah berbohong kepada orang tuaku sendiri.

Anehnya, Tia tidak ikut campur. Biasanya dia paling aktif mengompori ibu untuk memarahiku. Apa dia merasa bersalah karena telah mencuri uangku?

“Dek, ini Abang dapat rezeki lagi.” Bang Udin menyerahkan uang seratus ribu pada Kak Dina. “Abang dapat job malam.”

“Tidak apa-apa, Bang. Yang penting dapat kerjaan, jangan nganggur terus. Kapan kayanya kalau seperti itu.”

Setelah selesai makan dan hendak berangkat mengajar, tanpa sengaja aku mendengar Tia merengek minta uang jajan pada ibu.

“Lima puluh dong, Bu!”

“Kemarin kan, baru saja ibu beri kamu uang jajan, Tia. Kenapa cepat sekali habisnya?”

“Itu buat jajan dan beli kuota, Bu. Kalau uang ini untuk biaya fotokopi dan tugas sekolah lainnya.”

“Hmmm.” Ibu bergumam. “Anak sekolah sekarang terlalu banyak pakai uang. Kalau seperti ini terus, mending kamu berhenti sekolah, Tia. Mending cari kerja. Kamu tahu kan sejak bapakmu meninggal, ibu hanya mengandalkan hasil dari kebun bapakmu yang ndak seberapa. Untung belakangan ini Bang Udin kamu juga dapat kerjaan. Jadi, ibu masih agak tenang.”

Kenapa aku selalu tidak dianggap? Padahal, sejak kehadiranku di rumah ini, akulah yang membiayai semua kebutuhan rumah ini.

Namun, ya, sudahlah. Aku ikhlas memberikan semuanya untuk orang-orang yang aku cintai.

“Akan tetapi, kemana uang yang dicuri Tia dari dompetku?” Aku bertanya pada diriku sendiri.

Sepanjang perjalanan ke sekolah, aku terus mencoba memecahkan teka-teki yang ada di kepalaku. Kenapa persoalan Tia dan Bang Udin ini terlalu berbelit-belit?

Setelah berpikir panjang, aku memutuskan untuk membicarakan hal ini pada Bu Mila. Beliau orang yang bijaksana dan tenang. Mungkin, beliau bisa memberikanku solusi.

Namun, setibanya aku di kantin, anak-anak sudah berkerumun di sana.

“Bu pesan bubur satu.”

“Nasi kuning, Bu!”

Kalau seperti ini, tidak mungkin kan, aku bercerita? Lagi pula, pasti Bu Mila sedang sibuk melayani anak-anak. Maka kuputuskan untuk langsung ke kantor.

Di ruang guru, para guru sedang sibuk membicarakan pengangkatan berbagai struktur di sekolah ini.

Namun, saat aku masuk, tiba-tiba Bu Aini berkata, “Kalau Bu Wulan diangkat menjadi Waka kesiswaan, saya tidak setuju. Bu Wulan kan, guru baru. Mana kita tahu sepak terjangnya.”

“Benar tu, Bu.” Bu Rita ikut menimpali. “Lagian, Bu Wulan kan, masih jomblo, mana tahu dia permasalahan anak-anak.”

Astagfirullah, aku mengelus dada. “Siapa juga yang mau jadi Waka kesiswaan atau jabatan lain di sekolah ini?” Ingin sekali aku berkata seperti ini, tetapi aku malas ribut. Maka kupilih untuk diam.

“Tapi, Bu Wulan begitu dekat dengan anak-anak. Saya lihat, Bu Wulan juga pandai mengambil hati anak-anak. Dengan begitu, Bu Wulan akan mudah membuat banyak program untuk perkembangan anak-anak karena dia tahu apa yang dibutuhkan anak-anak kampung ini.” Pak Cipto memberikan suaranya. Sepertinya Pak Cipto mendukungku atau jangan-jangan dia yang mengusulkan namaku pada kepala sekolah?

“Hati-hati loh, Pak, istri di rumah bisa punya insting, loh. Gadis sekarang nggak boleh diberi perhatian. Mereka main sambar aja. Lagian ya, Pak, saya ingatkan bunga yang belum disunting memang kadang tampak lebih indah, Pak. Tapi, kalau sudah dipetik akan sama saja, Pak. Dia akan layu juga pada akhirnya.”

Setelah ucapan Bu Aini itu, seisi ruangan guru jadi gaduh. Aku yang merasa tidak enak hati, izin langsung masuk ke dalam kelas.

Jujur, aku tersinggung dengan ucapan ibu-ibu itu. Aku tidak pernah berusaha menebar pesona atau menginginkan posisi apa-apa di sekolah ini. Aku mengajar di sini murni karena panggilan jiwa. Aku ingin anak-anak di kampung ini mendapatkan pendidikan yang benar dan layak.

Karena masih kesal dengan guru-guru di ruangan guru, saat jam istirahat tiba, aku memutuskan untuk ke kantin Bu Mila saja.

Meskipun padat dengan siswa, tetapi Bu Mila selalu menyediakan tempat spesial untukku.

“Di sini saja, Bu, lebih aman dan nyaman,” ucap Bu Mila. Bu Mila ini memang pandai melihat situasi. Meskipun, aku tidak terlalu senang dipanggil Ibu, tetapi sebagai tanda penghormatan di depan murid-muridku, dia tetap menggunakan julukan itu.

Setelah jam mengajar usai, aku tidak langsung kembali. Aku memutuskan untuk ke kantin lagi agar bisa bercerita pada Bu Mila.

Akan tetapi, setibanya di sana, aku malah diperkenalkan dengan laki-laki yang sedang asyik menyantap gorengan.

“Mbak, perkenalkan ini Mas Lukman. Dia bos buku yang menyediakan buku di sekolah ini.”

“Bu Mila berlebihan,” ucapnya lembut. Suaranya lembut sekali, terdengar renyah. “Saya hanya sales buku, kok.”

“Tapi, juga pemilik perusahaannya, kan?”

Dia tersenyum. Di bagian kanan pipinya ada lubang kecil yang bikin senyumnya tambah manis.

Setelah berkenalan, aku dan Lukman langsung asyik berbicara.

“Wah, berarti kamu bisa nulis juga, dong?” tanyanya.

“Tidak juga sih, Mas. Aku hanya suka menulis di buku diary.”

“Coba kamu ikutan ini!” Dia menyerahkan sebuah kertas yang berisi pengumuman lomba. “Ini khusus untuk para guru, loh.”

“Tapi, aku tidak PD, Mas.”

“Coba saja dulu! Masalah menang atau tidak itu belakangan. Kamu bisa pakai nama pena kalau belum PD dengan nama sendiri.”

Mendapatkan semangat dari Mas Lukman, aku langsung buru-buru pulang ke rumah.

Di rumah, aku berencana menulis sebuah cerpen. Karena besok Mas Lukman akan kembali ke kota, dia yang akan membawa naskahku hingga sampai ke tangan panitia lomba.

Namun, di jalan, tiba-tiba aku mendengar suara meongan kucing. Aku berhenti.

Dari kejauhan kulihat ada seekor anak kucing kecil yang kurus sedang berusaha melepaskan diri dari lilitan tali.

Aku berjalan mendekat.

“Astagfirullah, kasihan sekali kucing ini. Kakinya sampai bengkak karena dia berusaha untuk melepaskan diri,” gumamku pada diri sendiri.

Karena tempat ini agak jauh dari jalan, pasti orang-orang tidak mendengar tangisan kucing ini. Dia pasti sudah berhari-hari di sini dan tidak makan. Maka dengan cekatan, aku mengeluarkan makanan kucing yang selalu kubawa di dalam tasku.

Akan tetapi, tiba-tiba tanganku berhenti bergerak saat mendengar suara des*han seorang perempuan dari rumah tua yang tidak jauh dari tempatku berdiri.

“Aw, ah,” des*hnya.

Sebentar, itu seperti suara Tia. Aku begitu hafal dengan suara kecil Tia yang begitu nyaring. Meskipun dia tidak berteriak, suara kecil itu tetap terdengar nyaring dan khas.

“Terus Bang Udin! Aw, enak, Bang.”

Bang Udin? Napasku rasanya berhenti seketika.

“Iya, Sayang.”

Itu suara Bang Udin. Aku begitu yakin itu suara Bang Udin. Lalu, sekarang apa yang harus kuperbuat?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Balasan untuk Adik Tak Tahu Diri   Hidup Yang Nelangsa

    Setelah Mas Lukman pergi, aku bergegas menuju kamar mandi. Aku harus sudah pergi sebelum kantor ini dipenuhi para karyawan. Tidak enak juga rasanya jika aku berada di sini, takut jadi fitnah bagi Mas Lukman.Namun, belum selesai aku mengganti pakaian setelah mandi, pintu kamarku sudah diketok seseorang.Eh, apakah itu Mas Lukman? Tapi, kenapa dia tidak mengucapkan salam.Karena pintu terus diketok dan makin hari makin keras, aku bergegas menggunakan baju dan mengambil jilbab langsung yang memang kuletakkan di tempat yang mudah kuraih.“Sebentar,” ucapku sambil tergopoh-gopoh membuka pintu.Namun, saat sekat itu terbuka, aku terkejut bukan main. Di hadapanku ada seorang ibu paruh baya yang rambutnya sudah tampak memutih.Dia memandangku dengan teliti dari atas sampai ke bawah.“Kamu yang bernama Wulan?” tanyanya dengan nada yang menurutku tidak terlalu bersahabat. Sebab, tidak ada senyum yang tersungging di wajahnya.Aku mengangguk sambil mencoba tersenyum. Dengan sedikit gugup, aku b

  • Balasan untuk Adik Tak Tahu Diri   Ada apa dengan hidupku?

    “Assalamualaikum anak papa. Apa kabar semuanya? Bagaimana dengan sekolahnya hari ini?” Mas Lukman langsung menghampiri anak-anaknya sambil menciumnya secara bergiliran.Aku merasa cemburu. Aku merasa iri. Kenapa bukan anak-anak yang lahir dari rahimku yang mendapatkan perlakuan seperti itu?Lukman memang laki-laki yang baik dan sempurna. Pasti dia mendapatkan wanita yang baik juga. Apa mungkin Tuhan memintaku untuk memperbaiki diri agar bisa mendapatkan laki-laki sehebat Mas Lukman?“Papa kemana saja? Kenapa sudah beberapa hari ini tidak pulang?” protes anak perempuan yang paling besar.“Papa masih ada urusan di sekolah dan diluar, Nak. Kalian sudah makan?” Mas Lukman menjelaskan pada anaknya tanpa berbohong.Dia benar-benar meladeni anaknya. Padahal, kebanyakan orang tua saat ini malas melayani anak mereka, kan? Saat anak-anak mereka bertanya, mereka akan menjawab asal-asalan. Yang lebih parahnya lagi, ada orang tua yang malah mengusir anaknya, menyuruh mereka pergi karena dianggap m

  • Balasan untuk Adik Tak Tahu Diri   Sepotong Hari Yang Kelabu

    Setelah membaca pesan Tia, aku memilih untuk tidak membalasnya. Biarkan saja dengan permainannya sendiri. Meskipun, sebenarnya aku juga penasaran. Apa penyebab anak itu bisa berubah seperti itu? Namun, dia kembali mengirim pesan. “Benar kan, kalian tidak peduli.”“Bagaimana Kakak mau peduli kalau kamu tidak cerita?” Akhirnya aku terpancing untuk membalasnya kembali.“Sudahlah. Aku sudah hidup bahagia dengan Bang Udin,” balasnya lagi.Ya sudah, hiduplah kamu dengan kemaksiatan Tia. Tunggulah Tuhan membalas perbuatanmu. Selain itu, aku akan berusaha juga menghentikan maksiat yang kamu lakukan. Lihat saja suatu hari nanti.Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamar. “Assalamualikum. Mbak Wulan sudah siap?” Mas Lukman mengintip di depan pintu.“Motornya sudah selesai diperbaiki, Pak?”“Sudahlah pakai Mas saja,” ucapnya sambil tersenyum. “Alhamdulillah sudah. Jadi, kita mau langsung berangkat atau mau ke rumah Bu Mila dulu?”Eh, aku sampai lupa mau minta tolong sama Mas Lukman untuk diambil

  • Balasan untuk Adik Tak Tahu Diri   Drama Baru

    Mas Lukman benar-benar memberiku pekerjaan. Dia memintaku menjadi administrasi di kantornya. Apalagi aku jurusan Akuntansi. Jadi, aku juga diminta untuk merekap data keuangan dari setiap sekolah yang masuk.“Selama ini, memang saya yang meng-handle semuanya. Namun, sekarang saya rasa, saya harus lebih banyak waktu untuk keluarga,” ucapnya.Eh, sebentar, keluarga? Apa mas Lukman sudah menikah? Kalau dilihat dari segi ekonomi, memang sepantasnya Mas Lukman sudah mempunyai istri. Dia sudah terlihat begitu mapan dan dewasa. Perempuan mana sih, yang tidak mau dengan laki-laki seperti Mas Lukman. Jadi, dia tinggal tunjuk perempuan mana yang mau dia jadikan istri.Namun, kenapa Bu Mila tetap menjodohkanku? Apa yang dimaksud Mas Lukman keluarga itu ayah dan ibunya?Astagfirullah, kenapa aku malah mencoba mencari pembenaran seperti ini? Memangnya apa urusanku dengan status Mas Lukman. Aku kan hanya mencari pekerjaan untuk menyambung hidupku, kan, seharusnya?“Bagaimana kamu mau bekerja dengan

  • Balasan untuk Adik Tak Tahu Diri   Pucuk Dicinta Ulam pun Tiba

    “Mbak Wulan tadi mau ngomong apa?” Bu Mila meraba lenganku sambil tersenyum.Astagfirullah, Bu Mila pasti menangkap gelagatku. Aku merasa sangat malu. Seharusnya aku bisa menjaga diri dan pandangan.“Mbak Wulan sudah sadar?” Mas Lukman meletakkan buah yang dibawanya ke meja di samping kepalaku.Aku tidak menjawab. Entah mengapa hatiku rasanya berbunga-bunga dan perasaan itu tidak bisa kusembunyikan. Bahkan rasa sedih tadi seolah-olah sirna begitu saja. Apakah ini yang dinamakan cinta?Tidak boleh. Aku tidak boleh seperti ini. Bagaimana kalau ternyata Mas Lukman tidak punya perasaan padaku? Aku bisa kecewa, kan?“Hm, hm, hm.” Bu Mila berdehem beberapa kali. “Sepertinya saya tidak diperlukan lagi di sini?”“Hm, itu, hm.” Aku jadi benar-benar gugup.“Kapan Mbak Mila boleh kembali?” Mas Lukman langsung mengambil alih, membuatku terasa lebih baik dan terlindungi.“Nanti Mas Lukman tanya sendiri pada Susternya saja,” jawab Bu Mila.“Kata susternya, keadaan saya sudah lebih baik. Kalau tidak

  • Balasan untuk Adik Tak Tahu Diri   Surgakah ini?

    “Tik ... Tik ... Tik ....” Sebuah suara memaksaku untuk sadar. Perlahan, aku mencoba membuka kelopak mata yang terasa begitu berat.Saat mata ini mulai terbuka, ada sebuah cahaya yang begitu terang dan bikin silau.“Dimana aku sekarang?” Aku berusaha untuk bicara. Namun, semua tetap senyap. Hanya ada suara udara yang berhembus.Kembali, aku berusaha untuk membuka mata. Saat cahaya itu berhasil beradaptasi, kudapati semua serba putih-putih.Di surgakah aku saat ini? Apa sekarang aku sedang di alam kubur? Namun, kenapa terang sekali. Bukankah kuburan itu tempat yang sangat gelap? Kita hanya ditemani oleh cacing, ular, dan bintang yang hidup di tanah lainnya?Aku berusaha untuk menoleh ke kanan atau ke kiri, tetapi leherku rasanya sakit sekali. Seperti sulit untuk digerakkan.“Selamat pagi, Mbak, sudah sadar, ya?” Seorang wanita masuk dengan menggunakan seragam putih-putih.Berarti aku masih hidup sekarang. Tabrakan kemarin itu tidak membuat nyawaku melayang. Maka, aku kembali mencoba

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status