Share

pertunjukan panas

“Ets, jangan gegabah dong! Santai!” cegah Agam.

Mereka mengatur siasat, untuk tetap di belakang kerumunan mematai Arya. Pelaku tak akan memperhatikan orang di sekitar karena ia lebih fokus dengan wanita yang sedari tadi ia gandeng dengan mesra. Ia sedang dimabuk cinta. Seakan dunia miliknya sendiri orang lain hanya mengontrak.

“Babi!” Mata Inggit berapi-api. Menyaksikan pertunjukan panas ini.

“Guling!” celetuk Agam asal.

“Apaan sih, kamu gam!” Inggit mencubit kesal Agam.

Sementara Arya semakin asyik bercengkerama akrab, saling melempar senyum bahkan tak segan wanita itu mengusap wajah lelaki yang masih berstatus suami orang lain. Jelas saja ini tontonan yang membuat semakin panas rasa hati Inggit. Semakin kuat pulalah cubitan yang diterima Agam.

“Lebih baik kita pulang, bukan hati kamu aja yang bakalan hancur lama-lama menonton pertunjukan ini. Tapi, kulitku juga!”

“Aku masih ingin melihat pertunjukan ini,” jelas Inggit mencubit kembali Agam.

“Awww! Sakit tauk.”

Inggit tidak memedulikan Agam yang merasakan kesakitan karena cubitan itu. Melainkan mata Inggit mempertajam memantau. Bila Inggit tak mengingat saran Agam ia sudah tak memiliki urat malu. Melabrak, memaki, dan bahkan menjambak rambut wanita murahan itu sampai rontok.

“Selingkuh balas selingkuh!”

“Sama siapa?”

“Iya, sama aku aja gimana?” tawar Agam percaya diri menawarkan jasanya.

Inggit membuang mukanya ke arah lain, dalam hati sedikit menimbang-nimbang.

Sebenarnya ada setitik membenarkan saran sahabatnya ini. Namun, apakah Agam hanya provokator saja. Mungkin Agam juga tidak jauh seperti Arya. Hanya ingin menikmati di awal, setelah bosan diabaikan. Layaknya ban motor yang sudah gundul.

“Sakitnya tuh di sini,” renggek Inggit. Hatinya teriris sakit dan tergerus kenyataan bahwa ia salah besar mengagungkan suaminya selama ini.

Jelas, di depan mata kepala, menyaksikan kemesraan dua pasang manusia yang dimabuk cinta.

Selama Inggit membina rumah tangga, tak ada masalah yang berarti, atau Arya yang pandai manipulasi, pandai menyimpan berapa bobrok sikapnya.

Inggit menghela napasnya kasar. Menyimpulkan selama ini ia salah mengenal siapa sosok Mas Arya. Sosok yang di nilainya lelaki dewasa, pria yang mampu menjadi tempat berkeluh kesah selama ini, dijadikan pelindung yang nyata. Kenyataannya lelaki tersebut pandai meletakkan luka yang bersemayam nyaman.

“Terlalu mahal bila aku membayarnya dengan air mata,” ujar Inggit sesenggukan menahan tangis.

“Lah, itu kamu nangis?”

“Siapa yang nangis? Nggak kok, hiks.” Inggit mengelap air berharganya dengan punggung tangan.

“Oh ia, gak nangis, maksudnya manggis,” Agam mengiyakan, daripada wanita itu nanti tambah merengek. “Manggis, mau manggis?”

Inggit mengernyit, “Iih, apa-apa sih kamu.”

“Nggak apa-apaan aku, serius.”

“Gak jelas, mulai deh gak jelasnya.” Inggit mencubit kembali tangan Agam, tanpa sadar kalau tangisnya mulai reda.

“Ayo kita keluar.” Agam yang tak tega bila Inggit harus menyaksikan pertunjukan yang menuai air mata.

Inggit ingin melihatnya sampai akhir, akan tetapi ia mau tak mau mengikuti langkah kaki Agam segera keluar dari acara.

Langkah Inggit mendadak berhenti dan menabrak punggung seseorang. Harum parfum yang menyeruak di hidung Inggit. Khas, untuk beberapa detik Inggit terlena dibuatnya. Seketika orang yang ditabrak memutar tubuhnya, hingga mereka berhadapan.

Mata Inggit membulat penuh menyadari siapa yang ditabraknya.

Arya?

Inggit langsung menutup separuh wajahnya dengan syal.

“Diam, bersembunyilah di belakangku,” bisik Agam membuat Inggit berada di belakang tubuhnya.

“Maaf, bila istriku menabrak kamu ... biasa dia lagi hamil muda jadi sering kepalanya pusing, tak begitu melihat jalan,” jelas Agam kepada Arya yang belum menyadari siapa wanita tersebut.

“Eh, Agam? Kamu Agam teman Inggit itu kan? Yang sering ngutang?” Arya memastikan menatap lekat-lekat wajah Agam.

Agam tersenyum miring mendengarnya. “Itu dulu men! Tolong jangan ungkit masa lalu di depan istriku.”

“Kamu sekarang ada peningkatan juga, aku kira kamu masih gembel aja.” Arya terkikik.

Agam menarik napasnya dalam, mencoba tidak terpancing emosinya dengan sikap sombong yang dimiliki Arya. Padahal ia masih manusia! Jadi manusia saja sombongnya bukan kepayang.

“Aku yakin kamu nikah karena hamil duluan! Tobat bro, dunia sudah tua.”

‘Sial! Seolah aku butuh nasehat! Tak ingat istrinya sendiri yang butuh genggaman tangan, butuh telinga untuk mendengarkan dan butuh hati yang kuat untuk saling menguatkan! Apa tidak sadar diri nih orang! Yang harusnya tobat itu kamu,’ batin Agam.

Arya melirik jam tangannya, lalu berkata, “Dah dulu bro! Aku ada meeting juga nanti, maklum HRD.”

Agam menelan ludahnya keluh, menatap punggung lelaki sombong itu, menghampiri selingkuhannya.

Sepanjang jalan pulang, Inggit lebih banyak diam mendengarkan Agam yang tidak terima oleh perlakuan Arya yang menilai dirinya begitu bajingan.

Agam memang pernah masuk ke dalam lubang hitam, menghamburkan uang dengan mabuk-mabukan dan di kelilingi wanita malam, hingga membuatnya terlilit hutang. Namun, tidak usah menilai orang dari masa lalunya. Arya seolah lebih mulia yang padahal kelakuannya lebih rendah dari seorang germo.

Tanpa menoleh sedikitpun, Agam langsung bergegas masuk ke dalam mobil dan melakukan dengan kecepatan tinggi. Rasanya Inggit benar-benar takut dengan kemarahan seorang Agam.

Agam bahkan seakan-akan lupa dengan jati dirinya. Harga dirinya seperti diinjak-injak.

“Sabar, Mas Arya memang gitu orangnya.”

“Kamu masih membela dirinya? Duh, Inggit kamu bego, ya!”

Sontak bentakan Agam mampu membuat air mata Inggit lolos, dan membasahi pipinya. “K-kamu, jahat Agam, bilang aku bego. Hiks”

Agam menggaruk kepalanya, ia tak memiliki hati untuk menyakiti Inggit. “Duh, maaf Nggit, maksud aku. Aku ini bego! Bisa-bisanya aku bego cuma gara-gara mulut Arya.”

Inggit tersenyum mendengarnya, meski air matanya masih berlinang. Ia masih bersyukur dengan keadaannya, karena ia sangat berterima kasih dengan Tuhan karena selain diberi sahabat yang baik ia juga diberikan tubuh yang kuat, untuk menerima kenyataan yang melelahkan. Terombang-ambing dengan keadaan. Meski kelak tanpa sang suami, ia harus kuat menjalani hari-hari hebat untuk ke depannya.

Apakah menjadi janda adalah pilihan?

Seketika ponsel Inggit berdering. Ia lekas mengangkat panggilan.

“Sayanggg ... maaf ia aku pulang telat, soalnya ada lembur.”

Suara yang terdengar dari seberang sana. Jelas, Inggit tahu bahwa suaminya bukan lembur karena pekerjaan melainkan perselingkuhan.

“Iya, sayang gak apa, terusin aja.” Inggit mengatakan dengan penuh penekanan.

“Terusin? Maksudnya sayang?”

“Terusin kerjanya mas, semangat ya.”

‘kerjamu itu selingkuh, Mas. Lanjutin aja sesuka kamu,’ batin Inggit membara.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Yung
ah ngomong cuma batin aja apa kalau bukan bego tuh nama nya,jelas jalas tadi arya bercumbu di depan mata di biarin aja
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Lha emank lu bego udah tau suaminya selingkuh tp ngeyel
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status