“Oh, makasih udah support Mas, ya sayang.” Pip. Sambungan langsung ditutup. Arya tersenyum bangga karena istrinya bisa dikibuli dengan mudah. Ia masuk ke dalam kamar hotel setelah mengunci pintu rapat. Hotel mewah yang dipesan hanya untuk menyalurkan hasrat liarnya yang berlimpah ruah. Mungkin kalau uang membayar hotel untuk beli sabun, bisa penuh sabun satu kamar. (Bisa stok untuk setahun) Tak butuh waktu lama Arya langsung menyerbu Anya, berawal dari pergerakan kecil, seperti pagutan yang di penuhi decapan-decapan.waktu yang bergulir keduanya terlihat semakin panas begitu pun Arya yang terlihat sangat perkasa tiada henti membubuhkan bercak hangat di leher jenjang milik lawannya. Ketika Arya menyesap sedikit kulit mulus leher jenjang Anya, wanita itu menggelinjang bag cacing kermi. Jemari Arya juga tidak lupa bergerak menekan Anya, terasa tubuh Arya yang semakin berkeringat, membuat Anya tak kuasa. Arya masih menikmati Anya dengan liar. Lalu, perlahan bangun penuh dengan kebin
Seminggu berlalu, gelagat Arya semakin berubah. Inggit pun tetap seolah baik-baik saja, tidak mempertanyakan tentang kenakalan suaminya. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 23:00 malam. Sekarang Arya sibuk dengan ponselnya yang beralasan pekerjaan.Anehnya kalau pekerjaan, masa sih, malah senyum-senyum sendiri. Ketahuan bohongnya. Inggit geleng-geleng kepala melihat Arya yang semakin gamblang belangnya. Apakah rumah tangga ini sudah tidak bisa dipertahankan? ‘Kalau gak inget pesen Agam, sudah aku rebut Mas hape kamu,’ batin Inggit. Dadanya bergejolak, amarah seakan memuncak.“Tidur aja duluan sayang, Mas masih sibuk,” ujar Arya tanpa menoleh sibuk dengan layar ponselnya yang menyala.“Aku nunggu di peyuk kamu Mas, baru bisa tidur. Kerjaan besok lagi Mas, bukannya kamu besok harus interview karyawan baru?”“Tanggung ini dikit lagi, lagian ada kopi. Jadi, gak terlalu ngantuk,” kilah Arya. ‘Kopi? Kopi atau selingkuhan Mas. Jelas aja betah, orang kamu itu bukan mengerjakan lapora
Menjelang sore, Inggit mendapatkan telepon dari Agam. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Mereka mulai melakukan penyelidikan layaknya detektif. Memata-matai sebuah kafe yang didatangi oleh Arya. Sedikit info, Inggit mengetahui semua pergerakan Arya yang akan bertemu dengan Anya di kafe ini lewat penyadapan wh***app. Setelah menunggu beberapa lama dari kejauhan. Terlihat mobil Arya yang memasuki kawasan kafe. Inggit seperti waktu lalu, ia melakukan penyamaran dengan menggunakan kaca mata hitam, syal dan berjilbab. Karena Inggit tidak pernah berhijab. Sedangkan Agam mengenakan topi dan kaca mata hitam. Mereka mengambil posisi duduk berdekatan dengan target. Agam memesan kopi latte art untuk kami nikmati. Dengan posisi tepat membelakangi suaminya. Maka dengan jelas ia bisa menangkap apa saja pembicaraan target dengan jelas. “Mas sudah baikan itunya?” tanya Anya. “Sudah dong! Sudah bisa kok meluluhlantakkan dek Anya.”“Huh, Mas bisa aja ... Mas adek mau beli hape baru lagi. Masa kemarin
Mobil meluncur menuju tujuan yang sudah Inggit share lokasi. Dalam perjalanan ia terngiang-ngiang dengan ucapan Agam. Membuatnya geleng-geleng kepala. Kalau dipikir-pikir Agam adalah lelaki yang tergolong unik! Walaupun ia sering ngaco tapi cerdas, baik, dan juga dewasa. Seketika senyumnya luntur saat kedua bola mata cantiknya, melihat wanita panu itu sudah duduk di kursi. Wajahnya bahagia seperti mendapatkan giveaway novel satu truk. Padahal siksaan akan segera dimulai.“Hallo, Mbak Anya? Maaf kalau menunggu lama.”“Ini Mbak yang nelepon saya itu?”Inggit menjabat tangan Anya. “Benar sekali! Perkenalkan ... saya ... Rohaya ... ia itu nama saya, Rohaya.”Anya mengernyitkan dahi, sedikit ada kecurigaan.‘Dih, sial! Kenapa aku gak brifing dulu tadi sama Agam tentang nama siapa yang pas untuk penyamaran ini. Untung saja aku ingat nama tetangga.’Setelah puas berbasa-basi dan berbincang ria. Inggit seharusnya segera to the point. Namun, ia masih ingin bermain-main dahulu. Mengulur waktu.
Air mata berduyun-duyun hampir jatuh membasahi pipi. Ada rasa nyeri di hati, andai waktu bisa diputar kembali, Inggit ingin Arya masih seperti dulu. Tak pernah marah, dan sekasar ini. Semenjak perselingkuhan itu, Arya terlihat sudah berubah. Inggit memojokkan suaminya itu, suatu tanda kode keras. Tak lebih. “Aku tahu Mas, aku bukan istri yang baik ... aku ... aku—“ Inggit tak bisa lagi melanjutkan kata-kata. “Maaf, sayang,” ujar Arya memeluk istrinya. Inggit mendorong tubuh Arya. Ia berusaha menutup semua sesak di dada. Sungguh Inggit tak berniat untuk melawan kepala rumah tangga. Sekali lagi Inggit terpaksa. “Iya sudahlah Mas, lupakan itu.”“Maaf ya sayang, Mas beneran capek kerja, untuk memenuhi kebutuhan kita.”Inggit sesak dalam hati. Bagaimana tidak! Percuma kebutuhan terpenuhi tapi hati suami tak dimiliki lagi. Lagi pula, bukankah separuh uangnya untuk menyenangkan selingkuhannya. Inggit tidak sepolos, bodoh, dan mudah tertipu seperti dulu. “Ya Mas. Mas sudah makan?” tawa
“Sarapan dulu mas?” tawar Inggit berusaha biasa saja. Seolah tak perlu mengingat-ingat kejadian kemarin. ‘Jika nanti semua harus menjadi kenangan, jangan sampai merindukan semua ini, atau aku yang hanya seorang istri yang berharap lebih, hingga mengenal kata kecewa. Tertampar habis-habisan oleh pengihanatan,’ batin Inggit lirih, karena kenyataan tak seperti yang ia bayangkan. Sementara Arya memandangi penampilan istrinya, pagi ini Inggit sudah bersiap diri tampil sempurna dengan bous putih berenda dan rok slim skirt merah, blazzer hitam ia sampirkan di sofa.Setelah Arya sudah bersiap pergi kerja ia baru menyadari penampilan istrinya. “Eh, sayang mau ke mana sudah rapi gitu? Tumben.”“Aku mau kerja, bosan di rumah terus, Mas! Cuma berharap gaji suami.”Arya tak berhenti memandang Inggit tak percaya. Sapuan make up di wajah istrinya. Terlihat menggoda. “Kerja apa? Jangan aneh-aneh, sayang.”“Siapa yang aneh Mas?”“Kamu itu, sekarang benar-benar kelewatan ya!” bentak Arya. Mulai terp
“Sabar, Mas ... maksudnya membutuhkan dalam katagori tenaga kerja,” sangkal Agam tersenyum mengejek. Arya memalingkan wajahnya, lalu melirik arlojinya. “Kalau begitu aku pamit dulu.” Mata Inggit memerah mendengar kalimat suaminya. Ia berharap Arya tak membiarkan dirinya untuk bekerja. Jadi, apa maksudnya ia marah barusan, bila meninggalkan istrinya begitu saja. “Ngeselin Mas Arya, iiih.” Inggit mengentakkan kakinya. Usai kepergian Arya. Inggit memasang wajah kecut. Ia sudah berniat akan pergi dan tak menunjukkan wajah di hadapan pria ini, lagi pula ada urat malu untuk terus meminta pertolongan. “Apa yang bisa aku bantu? Kamu merencanakan apa buat lelaki bajingan itu!” suara berat Agam terdengar. “Emm—“ “Ayo masuk,” potong Agam mempersilahkan Inggit memasuki restoran. “Tidak usah,” tolak Inggit. “Aku mau pulang aja!” “Kenapa? Aku akan membantu kamu! Kamu kan juga bilang kalau aku tidak membantu setengah jalan. Dari pada kamu pulang hanya membuang air mata.” Inggit menelan sal
Inggit berdehem sejenak, memecahkan lamunan Agam, membuat lelaki itu tertunduk malu. Setelahnya Inggit persilahkan buat Agam duduk di ruang tamu. Ia mengangkat tangan mengurai rambut panjangnya yang masih basah. Mendadak Inggit dibuat terkejut tatkala melihat Agam yang mendadak menelan ludahnya saat melihat Inggit yang melangkah untuk menyelesaikan membersihkan diri. Yang mengherankan, lelaki itu menunjukkan wajah yang ingin dijamah oleh wanita.Inggit mengatur nafas. Nalurinya sudah mengajak untuk langsung menggarapnya. Bagaimana pun Inggit juga sudah lama tak dijamah oleh suaminya. Namun, Inggit harus ingat. Ia bukan wanita seburuk itu. “Gam, enggak apa-apa?” Inggit bertanya secara perlahan. Agam tidak menjawab. Dia hanya menyoroti tubuh Inggit dengan pandangan yang nakal. Yang anehnya, lelaki itu langsung berpamitan pulang. Inggit hanya geleng-geleng kepala. Melihat temannya itu, entah apa tujuannya barusan bertamu. Tak harus memikirkan lebih lanjut, Inggit bergegas melanjut