Share

Bangkit Dari Putus Asa
Bangkit Dari Putus Asa
Author: Nicko Wibowo

1. Benteng yang rapuh

Sore itu Cedric duduk termenung di samping rak persenjataan latihan. Cedric "Perisai Utara", jendral gagah perkasa yang telah banyak memenangkan pertempuran. Sore itu sang jendral tidak bisa memenangkan pertempuran yang ada didalam kepalanya.

Banyak permasalahan yang dipikirkannya saat ini. Sebagai jendral yang bertanggung jawab atas keamanan perbatasan, bentengnya harus siap untuk menghalau kaum Barbar dari utara. Selain kaum Barbar ancaman juga datang dari pasukan kerajaan lain yang kerap berpatroli di daerah perbatasan.

Pasokan ransum untuk seluruh pasukan hanya tersisa untuk tiga bulan kedepan. Persenjataan yang kurang dan sudah mulai usang. Perwira setingkat knight yang diminta tak kunjung datang, dan yang paling membebani pikirannya ialah tentang pos penjagaan. Tak ada lagi dana yang tersisa untuk pemeliharaan dan penambahan "outer post". Pos penjagaan yang dipasang diluar jangkauan benteng, garda terdepan dalam mengawasi pergerakan musuh ditempat yang paling jauh dan berbahaya.

Trang ... trang ... trang ... suara pedang yang beradu tidak menggoyahkan keheningan sang jendral yang muram.

"Lemah itu hina!" teriak seorang prajurit yang diiringi sorakan kawan-kawannya. Rupanya teriakan itulah yang bisa menggoyahkan sang jendral.

"Hei ... siapa yang berani bicara seperti itu, sudah terdengar seperti anak buah si raja perang!" Cedric mendengus kesal ketika mendengar teriakan prajuritnya.

"He ... he ... he ... maafkan kami Jendral. Kami terbawa suasana." Seorang prajurit datang dan memberi salam dengan hormat.

"Lho kau kan wakil komandan unit pedang batalion dua," jawab sang jendral sambil mengangkat tangannya tanda menerima salam.

"Iya Jendral saya dari batalion kedua. Hari ini saya mendapat kemenangan ke seratus dalam duel pedang," ujar prajurit itu.

"Hm ... itu bukan berarti kau harus bercanda dengan semboyan si raja perang jahanam itu, kau sangat paham bukan, betapa bencinya aku dengan semboyan itu," cetus Cedric.

"Maafkan saya Jendral, saya takkan mengulanginya lagi," kata wakil komandan yang hanya bisa tertunduk malu dan merasa gelisah.

Cedric tersenyum. "Baiklah, jangan kau ulangi lagi. Sekarang berikan aku tanda bukti kemenanganmu."

Dengan tersenyum bangga si wakil komandan menyerahkan pedang kayu yang terdapat seratus goresan. Tanda bahwa dia telah memenangkan seratus duel. Cedric menerima pedang tersebut dan mulai menghitung tanda goresannya.

"Pas seratus. Kapan kau ingin menerima bimbingan khusus dariku?" Cedric mengembalikan pedang tersebut, dan mulai memilih pedang kayu untuk latihan. Sebagai jendral yang banyak terjun langsung di peperangan, Cedric sangat dekat dengan bawahannya. Dia memiliki aturan khusus bagi setiap bawahannya, siapapun yang telah memenangkan seratus duel terkonfirmasi, berhak untuk mendapat bimbingan khusus dari sang jendral.

"Jaden dari Solandia! Beri hamba waktu dua hari untuk mempersiapkan diri," jawab wakil komandan itu dengan percaya diri.

"Hm ... Solandia ... pemberani lahir di Solandia! Bagus ... bagus ... aku berikan kau waktu dua hari untuk persiapan!" sahut Cedric. Sang jendral yang muram kembali bersemangat ketika mendengar kata Solandia.

Langit yang mulai gelap semakin menenggelamkan benak dan pikiran Cedric. Tanpa sadar dia mulai mengambil pedang untuk latihan dan mulai berlatih dengan memukul "dummies" yang berada di lapangan latihan. Dia mencurahkan setiap tenaga pada setiap pukulan, dengan harapan pukulannya akan mampu memecahkan salah satu permasalahannya.

Seorang prajurit datang dan memberi hormat. "Lapor Jendral! Ada utusan dari pusat kerajaan. Beliau berada di aula pertemuan dan hendak segera bertemu dengan Jendral."

"Yah ... tiba juga yang akhirnya ditunggu-tunggu," Cedric berkata pelan. Ia berjalan menuju rak tempat penyimpanan pedang. Baru berjalan beberapa langkah, mendadak datanglah utusan pembawa pesan dari kerajaan.

"Cedric dari Carthania, Perisai Utara terimalah titah dari sang raja!" lantang suara sang pembawa pesan. Ia menunjukkan gulungan titah dan lambang kerajaan yang berupa medali emas berukir dua ekor singa dan sebuah gauntlet yang memegang rantai.

Cedric segera berlutut, mengangkat kedua tangannya keatas seakan menyambut sesuatu. "Cedric dari Carthania putra Canute dari Carthania menerima titah raja."

Setelah menerima gulungan tersebut, sebagai bagian dari formalitas kerajaan, Cedric menunjukkan lambang penugasannya, membuka segel dan segera membacanya. Tampak jelas perubahan raut wajah dari sang penguasa benteng.

Untuk menahan gejolak emosi dalam dadanya, Cedric menarik nafas panjang. "Cedric dari Carthania menerima titah sang raja, semoga sang raja panjang umur!"

"Kejayaan bagi Gerland!" sahut sang pembawa pesan. "Apakah Anda akan langsung menjawab titah ini ataukah akan mengirim pengirim pesan?" sang pembawa pesan bertanya dengan nada menyudutkan, menyiratkan kehendak akan jawaban segera dari Cedric.

Cedric tak sanggup untuk berkata-kata. Terguncang setelah membaca isi titah yang tidak sesuai dengan harapan. Isi hati dan isi kepalanya sangat bertolak belakang. Isi hatinya berteriak. "Segala kemuliaan untuk raja, sang raja pemilik segala sesuatu yang ada di kerajaan ... bila raja meminta, berikan tanpa pikir panjang!"

"Omong kosong!" jawab suara dalam kepalanya. "Raja tak kompeten itu tak layak untuk menerima pengabdianmu! Bahkan, dia ingin mengoyak wilayahnya sendiri! Tolak titahnya ... usir utusan itu!"

Larut dalam dilema, Cedric masih belum menemukan jawaban yang memuaskan untuk semuanya. Cukup lama keheningan menguasai keadaan hingga, tap ... tap ... tap ... tiba-tiba terdengar langkah kaki tergesa-gesa mendekat.

"Kejayaan bagi Gerland! Panjang umur sang raja!" pekik Count Armand, walikota Carthania. Sambil terengah-engah sang pemilik suara yang rupanya telah berlari sepanjang jalan berusaha memperbaiki penampilan pakaiannya.

"Salam bagi pembawa pesan kerajaan, bila anda berkenan mohon masuk dan beristirahat terlebih dahulu di kediaman saya. Jawaban titah raja dapat kita bicarakan sambil makan malam setelah beristirahat," kata Count Armand berusaha membujuk. "Lagipula hari sudah menjelang malam."

Count Armand mendengar bahwa pembawa pesan kerajaan tiba. Ia segera berlari dari kantornya ke markas tentara. Demi kawan seperjuangan yang bersama-sama menjaga Carthania, ia paksakan tubuh tambunnya yang sebetulnya tak sanggup untuk berlari. Ia merasa tak boleh membiarkan Cedric sendirian ketika bertemu utusan itu. Dia mendapat firasat buruk akhir-akhir ini.

Sang jendral memilih untuk menghindari pertemanan dengan birokrat ibukota. Mengandalkan ujung pedangnya untuk hidup, dan tidak pernah mengandalkan ujung lidahnya. Sang jendral pemberani ini buta politik. Garang di medan perang, garing di adu gagasan apalagi adu kata-kata beracun yang berbungkus kesopanan. Salah ucap didepan utusan kerajaan, bisa panjang dan berantai masalah yang ditimbulkannya.

Walikota sadar bahwa situasi ibukota kerajaan sedang tidak baik-baik saja. Tensi politik di lingkar kekuasaan kerajaan sedang memanas. Fraksi perdana mentri sedang memperkuat pengaruhnya dalam ruang lingkup pemerintahan.

Perdana mentri yang seharusnya mengatur dan mengurus urusan dalam negeri dan tidak terlibat dalam urusan militer, tiba-tiba memiliki pengaruh yang cukup besar dalam kekuatan militer. Beberapa jendral terang-terangan mengaku mendukung Ruther "The Grandfather" Cossack, perdana mentri yang berkuasa saat ini.

"Armand putra Agnus ... kami tidak ada waktu untuk segala basa-basi dan omong kosong mu, cukup berikan jawaban kalian agar kami bisa segera kembali melanjutkan tugas," tegur utusan itu dengan dingin dan lugas, sambil bersiap mencatat jawaban resmi dari Cedric sang jendral yang bimbang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status