Alana menatap sejenak, lalu berdiri dan meninggalkan rumah keluarga Naratama tanpa sepatah kata pun.
Lissa, yang menyaksikan kejadian itu, hanya mengangkat sudut bibirnya, tampak tak peduli pada sikap Rayden. Justru perhatiannya kini tertuju pada Alana. Sambil menyipitkan mata, ia memainkan pisau dan garpu di atas meja, menatap Alana dengan penuh selidik. Tidak seperti biasanya, Alana tidak meladeni pertengkaran. Hal itu justru membuat Lissa merasa tidak nyaman. “Mikayla, terakhir lompat dari gedung, sekarang lompat ke sungai. Banyak sekali dramamu! Tapi bagaimanapun, kakakku tetap takkan pernah menganggapmu.” Alana menatap Lissa dengan datar. Ia tahu adik iparnya ini memang senang merendahkan Mikayla. “Kalau begitu kamu salah. Kakakmu bukan hanya pernah menganggapku, tapi berkali-kali.” “Kamu...!” Lissa memukul meja, emosinya meluap. “Aku belum pernah melihat perempuan segila dan se-tidak tahu malu sepertimu! Sudah tahu kakakku tidak menyukaimu, masih saja terus mengejarnya. Aku kasih tahu, kalau kamu punya harga diri, segera ceraikan dirimu dari kakakku! Jangan cuma duduk.” “Di kloset tapi nggak buang air besar ya?” potong Alana santai, menyeringai. “Oh, jadi kakakmu itu kloset?” “Mikayla, menjijikkan!” teriak Lissa sambil melempar pisau dan garpu ke meja. Matanya memancarkan kemarahan. “Berani-beraninya kamu menghina kakakku!” “Oh? Ternyata kamu nggak kuat dengar yang begituan?” Alana menyeringai. “Harusnya bilang dari awal dong.” “Kamu…!” Lissa terdiam, tidak percaya dengan ucapan Alana. Selama ini, seburuk apapun ia memperlakukan Mikayla, wanita itu tidak pernah membalas dengan kata-kata kasar, apalagi menghina Rayden. “Mikayla, otakmu sudah rusak ya? Wanita bodoh dan menjijikkan sepertimu cuma bisa cari perhatian tengah malam dengan menjatuhkan diri ke sungai!” “Menarik,” Alana menyipitkan mata, suaranya menjadi dingin. “Bagaimana kamu tahu aku jatuh ke sungai tengah malam?” Lissa terpaku. Sekilas terlihat gugup, tapi cepat-cepat menutupinya. “Itu berita besar, semua orang tahu. Tujuanmu kan memang cari perhatian. Tapi aku peringatkan sekali lagi, Mikayla, jangan pikir Kakek akan selalu membelamu. Kalau dia tahu semua kebodohanmu, dia pasti akan berubah pikiran.” “Kalau benar begitu, aku harus berterima kasih padamu ya, Adik Ipar.” Alana meletakkan pisau dan garpu, lalu mengelap mulutnya dengan elegan. “Bona, tolong ambilkan tasku di kamar.” Ia berdiri, lalu membungkuk sedikit dan berbisik di telinga Lissa, “Sayangnya, Kakek akan selalu memihak aku. Kamu cemburu?” “Mikayla!” Lissa bangkit dan mencoba mendorong Alana, tapi wanita itu selangkah mundur, membuat Lissa kehilangan keseimbangan dan menabrak kursi. “Aaahh!” lutut Lissa menghantam kaki kursi, wajahnya langsung meringis kesakitan. Saat ia bangkit dan hendak meraih tangan Alana, wanita itu lebih cepat. Ia mencengkeram tangan Lissa dengan kuat, matanya tajam. “Sebelum kamu bertindak, ingat siapa aku. Aku istri Rayden. Kakak iparmu. Jaga sikap.” Alana melepaskan cengkeramannya dengan kasar. Wajah Lissa terlihat sangat kesal. Ia tidak pernah dipermalukan seperti ini, terutama oleh orang yang paling ia rendahkan di rumah ini. “Kamu akan menyesal! Aku akan beri tahu Ibu!” “Silakan. Aku tunggu,” sahut Alana dingin. Para pelayan hanya berdiri membisu, menyaksikan perdebatan itu tanpa berani ikut campur. Alana justru menatap mereka dengan tatapan tenang, sama sekali tidak takut. Tak lama, Bona berlari menuruni tangga dan menyerahkan tas milik Alana. “Nyonya muda, ini tasmu. Apakah Anda ingin pergi keluar?” Alana tersenyum menyindir ke arah Lissa. “Tentu. Lagi senang, jadi ingin jalan-jalan.” “Mikayla! Perempuan nggak tahu diri. Suatu hari kakakku pasti akan menceraikanmu! Saat itu tiba, aku ingin lihat apakah kamu masih bisa sombong seperti sekarang!” Lissa memaki-maki sambil gemetar karena marah, menyaksikan Alana keluar dari rumah. Sementara itu, Bona terlihat sangat khawatir. “Aduh, nyonya muda benar-benar memancing kemarahan nona Lissa. Nanti bisa-bisa dipersulit!” Namun Alana hanya melotot dan memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa sakit. “Diamlah. Jangan bahas dia lagi. Aku mau keluar sendiri. Jangan ikut.” Alana menuju ke garasi. Bona panik dan buru-buru mengejarnya. “Nyonya muda, biasanya kalau keluar Anda selalu bersama saya.” Alana melihat sekeliling, matanya tertuju pada sebuah Ferrari merah mengilap. Ia menunjuk mobil itu. “Aku mau bawa mobil ini.” Bona hampir melongo. “Nyonya muda, biasanya Anda minta sopir...” “Aku bisa nyetir sendiri. Cepat ambilkan kuncinya!” “Tapi…” “Cepat!” Bona buru-buru mengambilkan kunci. Alana masuk ke mobil dengan penuh percaya diri dan melaju meninggalkan rumah, tak menghiraukan Bona yang berteriak di belakangnya. Alana cukup familiar dengan kota ini. Dulu, ia pernah datang ke sini bersama Davin untuk urusan kerja. Namun masih ada beberapa tempat yang belum ia kenal. Hari itu, ia menyetir menuju pusat perbelanjaan. Tujuan utamanya: mengganti semua pakaian Mikayla yang ada di lemari. Alana masuk ke butik mewah A&H. Seorang pegawai langsung menyapanya, “Selamat datang, Nona. Ada yang bisa saya bantu?” Dengan kacamata hitam menutupi matanya, Alana menyapu ruangan dengan pandangan dingin. Ia tertarik pada satu gaun bernama Impian. Pandangannya terpaku. “Nona memiliki selera yang sangat bagus. Gaun itu koleksi terbaru kami, rancangan langsung dari desainer kami, Nona Yunita.” “Apa kau bilang?” suara Alana berubah tajam. “Desainernya Yunita,” jawab pegawai itu gugup, tampak takut dengan aura Alana. “Yunita?” Alana mengepalkan tangan, menahan emosi. “Bukankah toko ini milik Alana? Semua desain di sini juga milik Alana! Sejak kapan jadi milik Yunita?” Pegawai itu menelan ludah. “Sesuai informasi kami, pemilik toko ini adalah Alana. Tapi… dia meninggal karena kecelakaan beberapa waktu lalu, dan konon, dia menyerahkan A&H kepada Yunita sebelum meninggal. Sekarang, Nona Yunita menjadi pemilik toko, dan gaun Impian ini adalah karyanya.” “Begitu ya…” Alana tersenyum dingin. “Yunita… dan Davin…” Ia menahan napas. Ternyata, dua orang terdekatnya, pria yang paling ia cintai dan sahabat terbaiknya, telah mengkhianatinya. Mereka bukan hanya merebut kekayaannya, tapi juga ingin merebut nyawanya. Kini, mereka berdiri di atas hasil kerja keras yang dulu ia bangun dengan cinta dan darah.“Mikayla!” Diana jatuh ke tanah, memegangi perutnya. Tatapannya membelalak tak percaya saat melihat putrinya.Namun Mikayla tak sempat memikirkannya. Semua amarah dan sakit hati yang telah lama ia pendam akhirnya meledak. Setiap pukulan dan tendangan yang ia layangkan ke tubuh Hendra adalah luapan dari luka yang selama ini disimpannya sendiri.Saat Hendra tergeletak babak belur, dari kejauhan muncullah Zidane dan Jenita bersama sekelompok pengawal.“Tangkap dia!” seru Jenita dingin. Dalam sekejap, para pengawal langsung merangsek maju dan menyeret Diana.“Mikayla! Kuharap kau tahu diri. Satu gerakan bodoh, nyawa ibumu akan jadi taruhannya!” ancam Jenita.Mikayla yang kini terkepung oleh para pengawal, hanya bisa menatap ibunya dengan panik. Diana ditarik kasar ke depan dan dipaksa berdiri. Jenita menampar wajah Diana dengan keras.Plaak!Diana hanya mampu menatap balik dengan penuh kebencian, tak mampu melawan sedikit pun. Tubuhnya lemah. Namun Jenita tak puas, ia menamparnya lagi, le
Hendra tidak bisa bergerak. Lengan-lengannya lumpuh, tak berfungsi seperti semestinya, hanya karena dilumpuhkan oleh seorang wanita muda. Wajahnya memerah, penuh amarah dan bingung. “Kamu… anak sialan! Apa yang kamu lakukan padaku? Lepaskan aku!”“Ayah!”Zidane dan Jenita panik. Mereka mencoba menarik Mikayla dari tubuh Hendra. Tapi Mikayla malah mengangkat kakinya dan menendang Zidane hingga terpental ke samping. Tatapannya beralih ke Zidane dan Nenek Bella, penuh peringatan. Jika mereka ingin dia melepaskan Hendra, mereka harus membawa ibunya sekarang juga.“Mikayla, apa kau sudah tak punya rasa hormat pada nenek?” tanya Nenek Bella dengan suara gemetar, ketakutan.Meskipun ia ketakutan, Nenek Bella tetap bersikap seperti kepala keluarga. Di matanya, Mikayla hanyalah cucu kecil yang mudah dibujuk. Kalau dulu bisa dikendalikan, sekarang pun pasti bisa.“Oh, Nenek? Kau pikir masih pantas disebut nenek?” Mikayla menatapnya dengan dingin. “Kau tak pernah menganggapku cucumu. Jadi kenapa
Hendra kini hidup nyaman bersama istri mudanya, sementara Diana, istri pertama, dan Mikayla terpaksa tinggal di rumah kecil peninggalan keluarga Hendra. Rumah itu sempit, nyaris reyot, dan sangat jauh dari kemewahan yang dulu pernah mereka miliki.Namun sejak Mikayla menikah dengan Rayden, perlahan keadaan mulai membaik. Ekonomi mereka stabil, dan perlakuan orang-orang sekitar pun berubah. Tapi tidak dengan Hendra. Sikapnya pada Diana dan Mikayla tetap sama, dingin, kasar, dan penuh hinaan.Bagi Hendra, Mikayla hanyalah mesin uang. Selama ia berguna, Diana akan dibiarkan hidup lebih layak. Tapi jika manfaat itu hilang, maka penderitaan yang sama akan kembali menimpa mereka.Saat Kayla, jiwa baru dalam tubuh Mikayla, mengingat semua perlakuan itu, ia hanya bisa mengerutkan kening. Secara naluriah, tubuhnya menggigil jijik setiap kali nama Hendra terlintas.“Tidak mau pulang?” cibir Hendra dari balik telepon. “Jangan lupa, kalau bukan karena aku, kamu tidak mungkin menikah dengan Rayden
Tamparan Kayla tadi membuat Lisa murka. Emosinya meledak. Tanpa pikir panjang, dia langsung menerjang ke arah Kayla dengan kasar dan membabi buta.Untungnya, Kayla dulunya pernah belajar bela diri. Meskipun tubuh barunya tidak sekuat tubuh lamanya, refleks dan dasar tekniknya masih tertanam kuat. Bahkan dengan tubuh yang sedikit lemah, Lisa bukan tandingannya.Beberapa gerakan cepat dan terarah, dan Lisa sudah terjatuh ke lantai.Fero sempat hendak maju, mencoba menarik Lisa menjauh, tapi gerakan Kayla terlalu cepat dan cekatan. Bahkan dia pun hanya bisa terpaku menonton.Kayla memiting tangan Lisa ke belakang. Perempuan itu memberontak dan menjerit marah, tapi tidak bisa lepas. “Kak Fero! Tolong aku! Mikayla ingin membunuhku!” ratap Lisa dengan suara gemetar.Kayla hanya mendengus. “Kalau aku memang niat membunuh, kamu sudah tidak bisa menjerit seperti itu,” ujarnya dingin.Fero menatap Kayla tak percaya. Sejak kapan kakak iparnya memiliki kemampuan sehebat ini?“Apa kamu bisa member
Saat keluarga Naratama sedang menikmati sarapan pagi di ruang makan utama, Fero dan Lisa, tiba dengan langkah santai.Lisa segera meraih tangan Fero dan merengek manja, “Kak, bawa aku pergi bersamamu, ya? Katanya di tempatmu seru. Ayo dong, aku juga mau ikut!”Fero menghela napas kecil. Meskipun suaranya terdengar lembut, sikapnya tetap teguh. “Jangan memaksa, Lisa.”Wajah Lisa langsung merengut. Ia menyentakkan kakinya dengan kesal dan menarik tangannya dari genggaman Fero. “Kakak sama sekali tidak sayang sama aku! Aku ini adikmu, tahu!”Fero hanya bisa menatapnya dengan ekspresi tak berdaya. “Kamu masih terlalu muda, Lisa. Lagi pula, bukankah kamu harus ke sekolah? Semester ini kamu sudah kehilangan setengah SKS. Kamu tidak khawatir soal ujian ulang?”Nada Fero tetap lembut, tapi mengandung teguran. “Bagaimanapun juga kamu adalah putri keluarga Naratama. Kalau orang tahu nilai kamu jelek, mereka bisa bicara macam-macam di belakangmu.”“Aku peduli apa?” sahut Lisa keras kepala. “Mere
"Ya, terima kasih atas pengertianmu.” Fanny menggigit bibirnya, menahan amarah yang menggumpal di dada. Apa lagi yang bisa dia katakan, selain menerima penghinaan dengan senyum?"Fanny adalah tamu. Kenapa kamu memberikan ini untuk menjamu tamu?" tanya Rayden, tatapannya tertuju pada kue di atas meja.Kayla menahan napas sejenak sebelum menjawab dengan tenang. Matanya yang bening tampak berkedip pelan. "Kupikir Nona Fanny sudah sangat dekat dengan keluarga Naratama. Bahkan dulu, banyak yang bilang kalian pasangan serasi. Jadi dia bisa datang kapan saja. Dan, aku juga sudah minta dapur menyiapkan lebih banyak kue untuk dibawa pulang, karena kue ini tidak dijual di luar.”Rayden tersenyum senang mendengar penjelasannya. Dengan lembut dia mencubit hidung Kayla. "Kamu memang selalu perhatian... Tapi tanganmu dingin sekali. Kamu kelelahan?"Kayla menggeleng. Senyum tipis mengembang di wajahnya, meski jelas terlihat dipaksakan. "Nona Fanny masih di sini. Mana mungkin tuan rumah meninggalka