Saat Alana melangkah masuk ke butik A&H, seisi ruangan sontak memperhatikannya. Penampilannya sederhana, tanpa riasan mencolok dan pakaian yang jauh dari kemewahan membuat beberapa pegawai saling berpandangan. Salah satu dari mereka, seorang wanita dengan riasan tebal dan senyum palsu, segera menyambutnya.
“Selamat datang. Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya, datar. Namun setelah melihat Alana hanya berdiri diam sambil mengamati sekeliling butik tanpa langsung menyentuh barang apa pun, nada suaranya berubah menjadi tajam. “Kalau hanya melihat-lihat, jangan berdiri dekat pintu. Mengganggu pelanggan lain lewat saja!” Nada bicara pegawai itu terdengar tidak sabar, seolah keberadaan Alana benar-benar mengganggu pemandangan di butik mewah itu. Matanya menyipit menilai penampilan Alana dari atas sampai bawah, seperti sedang menimbang harga diri seseorang dari harga pakaian yang dikenakannya. Alana masih diam. Ia tidak tersinggung. Matanya menelusuri interior butik dengan tenang. Lampu gantung kristal berkilauan di langit-langit, rak-rak kaca yang menampilkan gaun-gaun mahal berjajar rapi. Aroma parfum mahal melayang di udara, bercampur dengan kesombongan yang kentara. Sementara itu, pegawai tadi melipat tangan di dada, berdiri tak jauh darinya, menunggu respons yang mungkin bisa dijadikan alasan untuk mengusirnya. Ia tidak tahu, wanita yang sedang berdiri diam itu adalah seseorang yang lebih mengenal dunia mode dibanding siapa pun di tempat itu. Ia tidak tahu bahwa sebagian koleksi yang dipajang di butik ini, lahir dari tangan Alana sendiri, yang kini bahkan tidak dikenali. “Kalau memang tidak berniat belanja,” sambungnya sambil melirik sinis, “lebih baik jangan menghalangi jalan.” Alana menoleh perlahan, melepas kacamata hitamnya. Tatapannya tegas dan dingin. “Bukankah butik ini tempat terbuka untuk siapa pun? Bahkan hanya untuk melihat-lihat?” suaranya tenang, tapi menusuk. Sebelum pegawai itu sempat membalas, sebuah suara tajam terdengar dari arah pintu masuk. “Lihat-lihat boleh sih… tapi dengan penampilan begitu, yakin bisa beli?” Lissa melangkah masuk, mengenakan pakaian modis yang mencolok. Di sampingnya, berjalan anggun seorang wanita dengan raut tenang dan elegan, dia adalah, Fanny. “Nona muda!” seru pegawai tadi, sikapnya langsung berubah total menjadi penuh hormat. Lissa tersenyum congkak, lalu menggandeng lengan Fanny. “Kak Fanny, ayo. Toko ini punya koleksi terbaru. Cocok sekali untukmu.” Fanny menatap Alana sekilas dan memberi anggukan sopan. Meski tidak mengenalnya secara langsung, ia terlihat menjaga sikap, netral tanpa ikut mencemooh. Namun sikap tenang Fanny justru membuat Lissa kesal. “Kenapa kamu menyapanya? Dia tidak pantas.” Tatapannya menghina, menyapu Alana dari ujung rambut sampai kaki. “Lihat gayamu. Seperti emak-emak yang ingin ke pasar. Apa pantas masuk butik desainer idolaku?” Alana menyipitkan mata, suaranya tajam, “Kalau begitu, aku harus berdandan seperti badut, sepertimu agar terlihat pantas?” “Kau.....!” “Desainer idolamu?” Alana mendengus. “Yang mana? Yang meniru desain orang dan menjualnya?" Suasana seketika menegang. Ucapan Alana terdengar tenang, tapi setiap katanya menampar dengan telak. Nada suaranya tidak meninggi, justru dingin dan tajam seperti bilah kaca yang menusuk pelan. Lissa terdiam sepersekian detik, lalu wajahnya berubah kaku. Matanya membelalak, bibirnya terbuka, seolah tak percaya Alana berani berbicara sefrontal itu di depan umum. Beberapa pegawai saling menoleh dengan ekspresi tak nyaman, sebagian mulai mundur pelan, menyadari situasi yang mulai memanas. Alana menatap lurus, matanya tidak bergeming. Ia tahu siapa yang berada di balik gaun tiruan itu. Ia tahu desainer ‘idola’ yang dimaksud Lissa tidak lain adalah Yunita, mantan sahabat yang kini mencuri karyanya dan menjualnya tanpa izin. Dan lebih menyakitkan lagi, orang-orang di sekelilingnya memujanya... bahkan menyebutnya seorang legenda. Padahal, karya yang dipuja-puji itu, lahir dari luka dan cinta Alana sendiri. Wajah Lissa memerah, tapi ia mengalihkan pembicaraan. Tangannya menunjuk sebuah gaun putih beraksen merah muda di dekat rak etalase. “Kak Fanny, ini dia gaunnya. Cocok untuk pesta ulang tahun kakakku. Kamu pasti jadi pusat perhatian. Apalagi... saingannya cuma dari kampung.” Ulang tahun Rayden? Gaun itu? Alana menatap gaun itu dalam diam. Tatapannya berubah. Napasnya sedikit tercekat. Fanny yang melihat perubahan ekspresi Alana, tampak canggung. “Lissa, jangan bicara seperti itu. Hubunganku dengan kakakmu tidak seperti yang kamu bayangkan.” “Omong kosong!” bisik Lissa sinis. Alana tak menanggapi, tapi pandangannya tetap tertuju pada gaun. Itu bukan sekadar pakaian. Itu adalah desain pribadinya, gaun satu-satunya yang ia buat untuk hari istimewa yang tak pernah terjadi. Yunita, dengan seenaknya, telah memalsukannya dan menjualnya. Namun sikap diam Alana disalahartikan. “Kakakku tidak pernah melihat dia!” kata Lissa tajam. “Berdiri di depannya pun, dia cuma seperti polusi udara.” Alana mengangkat alis. “Hati-hati, nona Lissa. Karna itu yang kau hirup setiap hari. Kalau sudah tercemar, jangan salahkan siapa pun saat keracunan.” “MIKAYLA, KAU.....!” Lissa hampir maju, tapi Fanny menahan tangannya dan menatap Alana dengan mata berkaca-kaca. “Mikayla, maafkan Lissa. Dia belum dewasa.” Alana tertawa pelan. “Dengan status apa kamu menasihati aku?” Pertanyaan itu membuat Fanny terdiam. Sorot matanya sayu, seolah ingin menjelaskan sesuatu yang tak bisa ia katakan. Melihat itu, Lissa berdiri di depan Fanny, melindunginya. “Jangan ganggu Kak Fanny! Mau aku lapor ke kakakku?!” “Silakan,” sahut Alana tenang. “Aku hanya bertanya. Tidak semua orang berhak berbicara padaku seolah-olah mereka lebih tinggi.” “Kak Fanny itu calon istri kakakku! Tidak seperti kamu!” desis Lissa. Fanny menghela napas pelan. “Alana benar. Aku tak seharusnya berkata seperti tadi. Kupikir... kita pernah berteman.” Alana menyeringai tipis. “Tentu. Teman yang sangat dekat. Bahkan lebih dekat dari keluarga, bukan?” Lissa mendengus dan menunjuk gaun. “Kak Fanny, biar aku belikan untukmu. Dia jelas tidak mampu.” Fanny menggeleng lembut. “Tak perlu, Lissa. Kalau aku suka, aku bisa beli sendiri.” Ia lalu menoleh ke Alana. “Alana, kalau kamu tidak jadi membeli, bolehkah aku mencobanya?” Alana bergeser ke samping. Seorang pegawai segera mengambil gaun dan mengantarkannya ke ruang ganti. Beberapa menit kemudian, Fanny keluar mengenakan gaun itu. Warnanya masih putih salju, aksen merah muda masih tampak lembut, menyapu lembut sisi bawah rok dan bagian dada, menyatu dengan potongan leher berbentuk hati yang anggun. Kainnya berkilau samar di bawah cahaya lampu butik, menciptakan kesan mewah dan feminin. Pegawai butik segera memuji penampilan Fanny, beberapa bahkan bertepuk tangan kecil. Lissa langsung memekik kagum, suaranya penuh antusias yang dibuat-buat. “Kak Fanny, kamu terlihat luar biasa! Seperti putri di dongeng! Gaun ini memang tercipta untukmu!” Melihat gaun itu hati Alana terasa sakit. Itu bukan lagi Impian, bukan lagi gaun yang ia buat dengan sepenuh hati untuk seseorang yang pernah ia cintai. Berlian mungil di dada diganti kristal murah. Potongannya berubah. Detailnya rusak. Esensinya sirna. Namun semua itu tak tampak oleh mata di mata orang lain. “Cantik sekali, Kak Fanny!” sorak Lissa. “Seperti merak yang indah! Jauh beda dari ayam kampung itu.”“Mikayla!” Diana jatuh ke tanah, memegangi perutnya. Tatapannya membelalak tak percaya saat melihat putrinya.Namun Mikayla tak sempat memikirkannya. Semua amarah dan sakit hati yang telah lama ia pendam akhirnya meledak. Setiap pukulan dan tendangan yang ia layangkan ke tubuh Hendra adalah luapan dari luka yang selama ini disimpannya sendiri.Saat Hendra tergeletak babak belur, dari kejauhan muncullah Zidane dan Jenita bersama sekelompok pengawal.“Tangkap dia!” seru Jenita dingin. Dalam sekejap, para pengawal langsung merangsek maju dan menyeret Diana.“Mikayla! Kuharap kau tahu diri. Satu gerakan bodoh, nyawa ibumu akan jadi taruhannya!” ancam Jenita.Mikayla yang kini terkepung oleh para pengawal, hanya bisa menatap ibunya dengan panik. Diana ditarik kasar ke depan dan dipaksa berdiri. Jenita menampar wajah Diana dengan keras.Plaak!Diana hanya mampu menatap balik dengan penuh kebencian, tak mampu melawan sedikit pun. Tubuhnya lemah. Namun Jenita tak puas, ia menamparnya lagi, le
Hendra tidak bisa bergerak. Lengan-lengannya lumpuh, tak berfungsi seperti semestinya, hanya karena dilumpuhkan oleh seorang wanita muda. Wajahnya memerah, penuh amarah dan bingung. “Kamu… anak sialan! Apa yang kamu lakukan padaku? Lepaskan aku!”“Ayah!”Zidane dan Jenita panik. Mereka mencoba menarik Mikayla dari tubuh Hendra. Tapi Mikayla malah mengangkat kakinya dan menendang Zidane hingga terpental ke samping. Tatapannya beralih ke Zidane dan Nenek Bella, penuh peringatan. Jika mereka ingin dia melepaskan Hendra, mereka harus membawa ibunya sekarang juga.“Mikayla, apa kau sudah tak punya rasa hormat pada nenek?” tanya Nenek Bella dengan suara gemetar, ketakutan.Meskipun ia ketakutan, Nenek Bella tetap bersikap seperti kepala keluarga. Di matanya, Mikayla hanyalah cucu kecil yang mudah dibujuk. Kalau dulu bisa dikendalikan, sekarang pun pasti bisa.“Oh, Nenek? Kau pikir masih pantas disebut nenek?” Mikayla menatapnya dengan dingin. “Kau tak pernah menganggapku cucumu. Jadi kenapa
Hendra kini hidup nyaman bersama istri mudanya, sementara Diana, istri pertama, dan Mikayla terpaksa tinggal di rumah kecil peninggalan keluarga Hendra. Rumah itu sempit, nyaris reyot, dan sangat jauh dari kemewahan yang dulu pernah mereka miliki.Namun sejak Mikayla menikah dengan Rayden, perlahan keadaan mulai membaik. Ekonomi mereka stabil, dan perlakuan orang-orang sekitar pun berubah. Tapi tidak dengan Hendra. Sikapnya pada Diana dan Mikayla tetap sama, dingin, kasar, dan penuh hinaan.Bagi Hendra, Mikayla hanyalah mesin uang. Selama ia berguna, Diana akan dibiarkan hidup lebih layak. Tapi jika manfaat itu hilang, maka penderitaan yang sama akan kembali menimpa mereka.Saat Kayla, jiwa baru dalam tubuh Mikayla, mengingat semua perlakuan itu, ia hanya bisa mengerutkan kening. Secara naluriah, tubuhnya menggigil jijik setiap kali nama Hendra terlintas.“Tidak mau pulang?” cibir Hendra dari balik telepon. “Jangan lupa, kalau bukan karena aku, kamu tidak mungkin menikah dengan Rayden
Tamparan Kayla tadi membuat Lisa murka. Emosinya meledak. Tanpa pikir panjang, dia langsung menerjang ke arah Kayla dengan kasar dan membabi buta.Untungnya, Kayla dulunya pernah belajar bela diri. Meskipun tubuh barunya tidak sekuat tubuh lamanya, refleks dan dasar tekniknya masih tertanam kuat. Bahkan dengan tubuh yang sedikit lemah, Lisa bukan tandingannya.Beberapa gerakan cepat dan terarah, dan Lisa sudah terjatuh ke lantai.Fero sempat hendak maju, mencoba menarik Lisa menjauh, tapi gerakan Kayla terlalu cepat dan cekatan. Bahkan dia pun hanya bisa terpaku menonton.Kayla memiting tangan Lisa ke belakang. Perempuan itu memberontak dan menjerit marah, tapi tidak bisa lepas. “Kak Fero! Tolong aku! Mikayla ingin membunuhku!” ratap Lisa dengan suara gemetar.Kayla hanya mendengus. “Kalau aku memang niat membunuh, kamu sudah tidak bisa menjerit seperti itu,” ujarnya dingin.Fero menatap Kayla tak percaya. Sejak kapan kakak iparnya memiliki kemampuan sehebat ini?“Apa kamu bisa member
Saat keluarga Naratama sedang menikmati sarapan pagi di ruang makan utama, Fero dan Lisa, tiba dengan langkah santai.Lisa segera meraih tangan Fero dan merengek manja, “Kak, bawa aku pergi bersamamu, ya? Katanya di tempatmu seru. Ayo dong, aku juga mau ikut!”Fero menghela napas kecil. Meskipun suaranya terdengar lembut, sikapnya tetap teguh. “Jangan memaksa, Lisa.”Wajah Lisa langsung merengut. Ia menyentakkan kakinya dengan kesal dan menarik tangannya dari genggaman Fero. “Kakak sama sekali tidak sayang sama aku! Aku ini adikmu, tahu!”Fero hanya bisa menatapnya dengan ekspresi tak berdaya. “Kamu masih terlalu muda, Lisa. Lagi pula, bukankah kamu harus ke sekolah? Semester ini kamu sudah kehilangan setengah SKS. Kamu tidak khawatir soal ujian ulang?”Nada Fero tetap lembut, tapi mengandung teguran. “Bagaimanapun juga kamu adalah putri keluarga Naratama. Kalau orang tahu nilai kamu jelek, mereka bisa bicara macam-macam di belakangmu.”“Aku peduli apa?” sahut Lisa keras kepala. “Mere
"Ya, terima kasih atas pengertianmu.” Fanny menggigit bibirnya, menahan amarah yang menggumpal di dada. Apa lagi yang bisa dia katakan, selain menerima penghinaan dengan senyum?"Fanny adalah tamu. Kenapa kamu memberikan ini untuk menjamu tamu?" tanya Rayden, tatapannya tertuju pada kue di atas meja.Kayla menahan napas sejenak sebelum menjawab dengan tenang. Matanya yang bening tampak berkedip pelan. "Kupikir Nona Fanny sudah sangat dekat dengan keluarga Naratama. Bahkan dulu, banyak yang bilang kalian pasangan serasi. Jadi dia bisa datang kapan saja. Dan, aku juga sudah minta dapur menyiapkan lebih banyak kue untuk dibawa pulang, karena kue ini tidak dijual di luar.”Rayden tersenyum senang mendengar penjelasannya. Dengan lembut dia mencubit hidung Kayla. "Kamu memang selalu perhatian... Tapi tanganmu dingin sekali. Kamu kelelahan?"Kayla menggeleng. Senyum tipis mengembang di wajahnya, meski jelas terlihat dipaksakan. "Nona Fanny masih di sini. Mana mungkin tuan rumah meninggalka