Saat para karyawan memuji penampilan Fanny dalam balutan gaun itu, Alana ikut melontarkan komentar.
“Meskipun Nona Fanny sudah cantik dari awal,” ucap Alana pelan dengan senyum tipis, “tapi saat mengenakan gaun itu, kecantikannya terlihat lebih bersinar.” Ruangan mendadak sunyi. Para karyawan saling pandang, Fanny sempat terdiam sesaat. Senyumnya yang semula tenang berubah sedikit kaku. Namun ia cepat menguasai diri dan menanggapinya dengan sikap anggun. “Desain gaun ini memang luar biasa,” balas Fanny sambil membetulkan letak gaun di pinggangnya. “Karya desainer Yunita, kualitasnya tidak diragukan.” Alana terkekeh kecil. Tawa tipis yang terdengar seperti ironi, bukan pujian. “Apa maksudmu tertawa seperti itu?” tanya Lissa dengan nada tajam, matanya melotot penuh rasa tidak suka. “Kak Fanny tidak salah. Ini gaun rancangan desainer idolaku! Tidak semua orang pantas memakainya, apalagi kamu, Mikayla. Jangan mempermalukan diri sendiri di sini.” Alana hanya menatapnya dingin. Tatapannya tenang tapi menusuk. “Selera Nona Lissa memang unik. Kalau kamu dan Nona Fanny menyukai gaun ini, silakan saja. Aku tidak tertarik menginginkannya,” balas Alana, suaranya tenang namun penuh sindiran. Ia membalikkan badan, bersiap meninggalkan butik itu. Namun Lissa buru-buru menghadang langkahnya. “Mau kabur? Karena sadar kamu tidak pantas pakai A&H? Atau karena kalah bersinar dari Kak Fanny?” Alana menepis tangan Lissa tanpa ragu. “Justru karena orang sepertimu, desainer seperti Yunita yang murahan. Dia dan aku tidak berada di level yang sama.” Tanpa menoleh lagi, Alana berjalan menjauh. Langkahnya tenang, mantap. Meninggalkan gaun "Impian", karya terindah yang dulu ia ciptakan dengan harapan dan cinta, kini justru dipajang dan dipalsukan tanpa izin oleh orang yang dulu ia percaya. Yunita bukan hanya meniru desainnya, tapi juga menjualnya secara massal, menghapus makna di balik setiap detail. Sama seperti yang dilakukan Davin, menghancurkan cintanya, lalu memperjualbelikannya tanpa rasa bersalah. Tapi kini Alana bukan lagi wanita yang sama. Ia telah kembali dari kematian yang nyaris membunuh jiwanya. “Yunita, Davin... semua yang kalian rampas dariku, suatu hari akan aku rebut kembali. Dengan caraku sendiri.” Alana memejamkan mata sejenak, membiarkan kemarahan yang terpendam dalam dadanya mengendap perlahan. Bukan untuk diredam, tapi untuk dikendalikan. Dulu, ia mencintai mereka berdua tanpa syarat, Yunita sebagai sahabat, Davin sebagai pasangan hidup yang ia percaya sepenuhnya. Namun nyatanya, dua orang itulah yang paling dalam menancapkan pisau ke punggungnya. Kini, pisau itu sudah ia cabut. Lukanya belum sembuh, tapi ia memilih berdiri. Ia membuka mata. Sorotnya tajam, penuh tekad. Tidak ada air mata. Tidak ada ratapan. Hanya satu hal yang memenuhi pikirannya, membalas dengan cara yang elegan dan tak terduga. Langkah-langkah Alana terdengar tegas di koridor mal. Tak ada lagi keraguan dalam tatapannya, hanya tekad, sekeras baja. Di depan butik A&H, Fanny masih memandangi punggung Alana yang menjauh. Di sampingnya, Lissa berdiri memeluk lengan dengan resah. “Dia itu cuma ayam kampung miskin,” gumam Lissa sinis. “Tapi selalu saja ingin mengambil yang bukan miliknya. Kak Fanny, kamu tidak usah khawatir. Aku akan terus mendukungmu untuk bersama Kak Rayden. Aku tahu kamu yang paling pantas.” Fanny menarik napas dalam, lalu berkata lembut, “Lissa, jangan berkata seperti itu. Apalagi di tempat umum. Kak Rayden sudah menikah dengan Mikayla. Kita tidak tahu alasan di balik keputusan keluarga. Jangan membuat keadaan semakin rumit.” “Kak Fanny, kamu terlalu baik! Itulah kenapa Mikayla seenaknya! Dia menjijikkan, bikin malu keluarga. Aku tidak tahu kenapa kakek dan kakakku masih mempertahankan pernikahan itu. Kalau kamu yang menikah dengan kakakku, aku tidak perlu lihat wajahnya setiap hari!” Fanny menatap lurus ke depan, suara lirih keluar dari bibirnya. “Aku tidak berjodoh dengan Kak Rayden.” “Jodoh? Ini semua salah Mikayla! Kamu tahu tidak, dia sampai lompat ke sungai demi perhatian kakakku? Menyedihkan. Dulu dia juga coba bunuh diri… dan sayangnya masih hidup.” “Cukup, Lissa!” suara Fanny meninggi, matanya memancarkan kelelahan yang dalam. “Dia tetap istri kakakmu. Kakak iparmu. Jangan terus menghina dia seperti itu. Kamu hanya memperkeruh keadaan.” Lissa terdiam, tapi raut wajahnya masih dipenuhi amarah dan rasa iri yang tak tersembunyi. Sementara itu, di area lain mal… Alana tidak langsung pulang. Ia mampir ke butik lain dan membeli sepuluh set pakaian, semuanya dibayar lunas menggunakan kartu kredit Mikayla. Tak ada batasan. Tak ada penolakan. Lalu ia membeli sepatu, tas, dan kosmetik dari beberapa merek mewah. Semuanya dikemas dan dikirim ke rumah. Ia menyadari sesuatu. Meski Mikayla tidak memiliki posisi di keluarga itu, kartu-kartu kreditnya tetap aktif. Artinya, Mikayla masih dianggap bagian dari mereka… atau mungkin sekadar dilupakan. Setelah puas berbelanja, Alana duduk di sebuah kafe elegan dan mengeluarkan ponsel Mikayla. Kata sandinya? Tanggal ulang tahun Rayden. Bahkan wallpaper-nya masih foto Rayden. Alana menarik napas. Mikayla mencintai Rayden dengan seluruh hatinya. Tapi cinta seperti itu, yang menyakiti diri sendiri demi mendapat perhatian, dan itu adalah bentuk luka, bukan kasih. Ia belum tahu motif di balik upaya bunuh diri Mikayla. Tapi cepat atau lambat, ia akan mengetahuinya. TV di kafe itu menayangkan sebuah drama. Dalam salah satu adegan, pemeran wanita kedua menangis lalu melukai wajahnya sendiri. Alana hampir tidak memperhatikan, sampai matanya menatap wajah aktris yang muncul di layar. “Raina?!” Itu sahabatnya. Satu-satunya orang, selain Yunita, yang tahu seluruh rahasia hidupnya dulu. Matanya memerah. Dunia berjalan tanpa dirinya… tapi tidak untuk selamanya. Di kantor Rayden.. Rayden duduk di balik meja kerjanya saat asistennya, Malvin, masuk dan menyerahkan laporan. “Pak Presdir, ini laporan pengeluaran nyonya muda hari ini. Ia mengunjungi pusat perbelanjaan, berbelanja di butik, membeli sepatu dan kosmetik.” Rayden membaca data itu dengan saksama. “Ada interaksi dengan siapa pun?” “Dia bertemu dengan Nona Lissa dan Nona Fanny di butik A&H,” jawab Malvin. “Ada ketegangan soal gaun yang sama. Tapi yang membeli adalah Nona Fanny.” Rayden mengetuk-ngetukkan meja dengan jarinya. “Ada yang aneh dari Mikayla hari ini?” tanyanya tanpa mengangkat kepala. Malvin ragu sejenak. “Aneh, Pak?” Rayden menatapnya tajam. “Pertanyaanku sulit dijawab?” “Tidak, Pak!” jawab Malvin cepat. “Maksud saya… nyonya muda Mikayla memang tampak berbeda. Cara bicara, cara membawa diri. Tidak seperti biasanya. Lebih… tegas.” Rayden mendongak perlahan, menatap tajam ke arah asistennya. Wajahnya tetap tenang, namun kerutan halus di antara alisnya menunjukkan pikirannya sedang bekerja keras. “Berbeda seperti apa?” tanyanya datar, tapi tekanannya membuat Malvin menelan ludah. “Dia… tidak lagi terlihat ragu atau defensif. Nada bicaranya tegas, geraknya mantap. Bahkan saat berseteru dengan Nona Lissa, dia tidak terlihat goyah sedikit pun. Seolah-olah... dia bukan Mikayla yang dulu.” Rayden menyandarkan punggung ke kursi, matanya menyipit. Ia tahu Mikayla. Wanita itu lemah, terlalu mudah dipengaruhi emosi, dan selalu merasa bersalah meski tidak bersalah. Tapi jika kini dia berubah, berbicara tegas, menatap lurus, bahkan berani menantang Lissa, itu bukan perubahan biasa Rayden tidak menjawab. Ia hanya menatap lembaran laporan itu, wajahnya datar, namun pikirannya mulai merangkai sesuatu. “Mikayla… apa yang sedang kau rencanakan?”“Mikayla!” Diana jatuh ke tanah, memegangi perutnya. Tatapannya membelalak tak percaya saat melihat putrinya.Namun Mikayla tak sempat memikirkannya. Semua amarah dan sakit hati yang telah lama ia pendam akhirnya meledak. Setiap pukulan dan tendangan yang ia layangkan ke tubuh Hendra adalah luapan dari luka yang selama ini disimpannya sendiri.Saat Hendra tergeletak babak belur, dari kejauhan muncullah Zidane dan Jenita bersama sekelompok pengawal.“Tangkap dia!” seru Jenita dingin. Dalam sekejap, para pengawal langsung merangsek maju dan menyeret Diana.“Mikayla! Kuharap kau tahu diri. Satu gerakan bodoh, nyawa ibumu akan jadi taruhannya!” ancam Jenita.Mikayla yang kini terkepung oleh para pengawal, hanya bisa menatap ibunya dengan panik. Diana ditarik kasar ke depan dan dipaksa berdiri. Jenita menampar wajah Diana dengan keras.Plaak!Diana hanya mampu menatap balik dengan penuh kebencian, tak mampu melawan sedikit pun. Tubuhnya lemah. Namun Jenita tak puas, ia menamparnya lagi, le
Hendra tidak bisa bergerak. Lengan-lengannya lumpuh, tak berfungsi seperti semestinya, hanya karena dilumpuhkan oleh seorang wanita muda. Wajahnya memerah, penuh amarah dan bingung. “Kamu… anak sialan! Apa yang kamu lakukan padaku? Lepaskan aku!”“Ayah!”Zidane dan Jenita panik. Mereka mencoba menarik Mikayla dari tubuh Hendra. Tapi Mikayla malah mengangkat kakinya dan menendang Zidane hingga terpental ke samping. Tatapannya beralih ke Zidane dan Nenek Bella, penuh peringatan. Jika mereka ingin dia melepaskan Hendra, mereka harus membawa ibunya sekarang juga.“Mikayla, apa kau sudah tak punya rasa hormat pada nenek?” tanya Nenek Bella dengan suara gemetar, ketakutan.Meskipun ia ketakutan, Nenek Bella tetap bersikap seperti kepala keluarga. Di matanya, Mikayla hanyalah cucu kecil yang mudah dibujuk. Kalau dulu bisa dikendalikan, sekarang pun pasti bisa.“Oh, Nenek? Kau pikir masih pantas disebut nenek?” Mikayla menatapnya dengan dingin. “Kau tak pernah menganggapku cucumu. Jadi kenapa
Hendra kini hidup nyaman bersama istri mudanya, sementara Diana, istri pertama, dan Mikayla terpaksa tinggal di rumah kecil peninggalan keluarga Hendra. Rumah itu sempit, nyaris reyot, dan sangat jauh dari kemewahan yang dulu pernah mereka miliki.Namun sejak Mikayla menikah dengan Rayden, perlahan keadaan mulai membaik. Ekonomi mereka stabil, dan perlakuan orang-orang sekitar pun berubah. Tapi tidak dengan Hendra. Sikapnya pada Diana dan Mikayla tetap sama, dingin, kasar, dan penuh hinaan.Bagi Hendra, Mikayla hanyalah mesin uang. Selama ia berguna, Diana akan dibiarkan hidup lebih layak. Tapi jika manfaat itu hilang, maka penderitaan yang sama akan kembali menimpa mereka.Saat Kayla, jiwa baru dalam tubuh Mikayla, mengingat semua perlakuan itu, ia hanya bisa mengerutkan kening. Secara naluriah, tubuhnya menggigil jijik setiap kali nama Hendra terlintas.“Tidak mau pulang?” cibir Hendra dari balik telepon. “Jangan lupa, kalau bukan karena aku, kamu tidak mungkin menikah dengan Rayden
Tamparan Kayla tadi membuat Lisa murka. Emosinya meledak. Tanpa pikir panjang, dia langsung menerjang ke arah Kayla dengan kasar dan membabi buta.Untungnya, Kayla dulunya pernah belajar bela diri. Meskipun tubuh barunya tidak sekuat tubuh lamanya, refleks dan dasar tekniknya masih tertanam kuat. Bahkan dengan tubuh yang sedikit lemah, Lisa bukan tandingannya.Beberapa gerakan cepat dan terarah, dan Lisa sudah terjatuh ke lantai.Fero sempat hendak maju, mencoba menarik Lisa menjauh, tapi gerakan Kayla terlalu cepat dan cekatan. Bahkan dia pun hanya bisa terpaku menonton.Kayla memiting tangan Lisa ke belakang. Perempuan itu memberontak dan menjerit marah, tapi tidak bisa lepas. “Kak Fero! Tolong aku! Mikayla ingin membunuhku!” ratap Lisa dengan suara gemetar.Kayla hanya mendengus. “Kalau aku memang niat membunuh, kamu sudah tidak bisa menjerit seperti itu,” ujarnya dingin.Fero menatap Kayla tak percaya. Sejak kapan kakak iparnya memiliki kemampuan sehebat ini?“Apa kamu bisa member
Saat keluarga Naratama sedang menikmati sarapan pagi di ruang makan utama, Fero dan Lisa, tiba dengan langkah santai.Lisa segera meraih tangan Fero dan merengek manja, “Kak, bawa aku pergi bersamamu, ya? Katanya di tempatmu seru. Ayo dong, aku juga mau ikut!”Fero menghela napas kecil. Meskipun suaranya terdengar lembut, sikapnya tetap teguh. “Jangan memaksa, Lisa.”Wajah Lisa langsung merengut. Ia menyentakkan kakinya dengan kesal dan menarik tangannya dari genggaman Fero. “Kakak sama sekali tidak sayang sama aku! Aku ini adikmu, tahu!”Fero hanya bisa menatapnya dengan ekspresi tak berdaya. “Kamu masih terlalu muda, Lisa. Lagi pula, bukankah kamu harus ke sekolah? Semester ini kamu sudah kehilangan setengah SKS. Kamu tidak khawatir soal ujian ulang?”Nada Fero tetap lembut, tapi mengandung teguran. “Bagaimanapun juga kamu adalah putri keluarga Naratama. Kalau orang tahu nilai kamu jelek, mereka bisa bicara macam-macam di belakangmu.”“Aku peduli apa?” sahut Lisa keras kepala. “Mere
"Ya, terima kasih atas pengertianmu.” Fanny menggigit bibirnya, menahan amarah yang menggumpal di dada. Apa lagi yang bisa dia katakan, selain menerima penghinaan dengan senyum?"Fanny adalah tamu. Kenapa kamu memberikan ini untuk menjamu tamu?" tanya Rayden, tatapannya tertuju pada kue di atas meja.Kayla menahan napas sejenak sebelum menjawab dengan tenang. Matanya yang bening tampak berkedip pelan. "Kupikir Nona Fanny sudah sangat dekat dengan keluarga Naratama. Bahkan dulu, banyak yang bilang kalian pasangan serasi. Jadi dia bisa datang kapan saja. Dan, aku juga sudah minta dapur menyiapkan lebih banyak kue untuk dibawa pulang, karena kue ini tidak dijual di luar.”Rayden tersenyum senang mendengar penjelasannya. Dengan lembut dia mencubit hidung Kayla. "Kamu memang selalu perhatian... Tapi tanganmu dingin sekali. Kamu kelelahan?"Kayla menggeleng. Senyum tipis mengembang di wajahnya, meski jelas terlihat dipaksakan. "Nona Fanny masih di sini. Mana mungkin tuan rumah meninggalka