Aku tak tenang menunggu sore tiba. Setelah Adzan Ashar berkumandang, aku segera berpamitan untuk pulang.
Seperti biasa Mbok Nah segera menyapa dan bertanya begitu aku ssmpai. "Capek, Nduk? Mau makan dulu?" "Ntar aja Mbok. Aku mau ke kamar dulu!" Mbok Nah mengangguk lalu menyiapkan keperluan untuk makan di meja makan. Langkahku terasa begitu berat kali ini. Aku sendiri tak paham. Apakah tubuhku memang terasa lelah atau karena beban ysng semakin bertambah. Sesampainya di klamar, aku langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, setelahnya menggelar sajadah dan bersimpuh melaksanakan kewajiban. Air mataku mengalir tanpa diminta. Bukan karena aku lemah, tapi karena semuanya terlalu menyesakkan. Sasi… Ilham… Apa aku selama ini terlalu polos atau hanya pura-pura tidak tahu? Ternyata semua bukan soal cinta. Tapi soal pengkhianatan yang direncanakan dengan sangat rapi. Soal kerakusan. Soal tipu daya yang membuatku harus jadi piAku terpaku, kata-kata Bimo menggantung di udara, memutar-mutar di benakku seperti gema yang tak berkesudahan. Delia tahu? Pertanyaan itu berkelebat, meninju ulu hatiku. Jika Delia tahu, mengapa ia tetap bersikeras? Mengapa ia tetap memaksakan pernikahan ini, yang jelas-jelas akan menghancurkan hatiku? Apakah Delia memang sengaja melakukannya? Sebuah strategi licik di balik topeng kepasrahan seorang yang sakit? Tanganku mengepal.Rasa perih karena pengkhianatan seolah menyelimuti. Namun, lebih dari itu, ada keraguan yang merayap. Bimo menatapku, sorot matanya yang biasanya tenang kini memancarkan keseriusan yang dalam. Seolah ia sedang mempersiapkan diri untuk membongkar kebenaran pahit lainnya. Aku menggenggam jemariku erat, mencoba menahan gejolak dalam dada.“Bagaimana… bagaimana Delia tetap memaksakan pernikahan ini, meksipun ia tahu Saka mencintaiku sejak dulu?” tanyaku, suaraku serak, nyaris tak terdengar.Bimo menghela napas panjang, tatapannya menerawang ke depan, seolah seda
Aku melangkah keluar dari kamar perawatan Delia, menyisakan Saka dan keluarga barunya di dalam. Setiap langkahku terasa berat, seperti menyeret beban.Kuhela nafasku berkali-kali, sementara udara rumah sakit yang dingin kini terasa membakar paru-paruku, dengan bau antiseptik yang tadi mual kini menusuk hingga ke ulu hati. Aku adalah istri yang baru saja mengizinkan suaminya menikah lagi, demi sebuah harapan yang bahkan tidak bisa kupegang.Setidaknya, Delia sekarang sudah menikah dengan Saka. Semoga itu memberinya kekuatan untuk bertahan. Harapanku begitu, di tengah keretakan hatiku sendiri.Aku mencari sudut yang tenang di lorong rumah sakit, duduk di kursi tunggu yang dingin, dan membiarkan air mata yang kutahan sejak tadi tumpah tanpa suara. Rasanya seperti sebuah topeng yang selama ini kukenakan akhirnya pecah, memperlihatkan semua kerapuhan di baliknya. Aku tahu ini adalah hal yang benar, tindakan yang manusiawi. Tapi, kebenaran seringkali terasa begitu menyakitkan.Pikiranku ber
Setelah tangisku mereda, Saka perlahan melepaskan pelukannya. Ia menyeka air mata di pipiku dengan ibu jarinya, sorot matanya masih dipenuhi kekhawatiran. “Sudah lebih tenang?” tanyanya lembut. Aku mengangguk, mencoba menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Ruangan ini, yang seharusnya terasa penuh kebahagiaan, kini diselimuti oleh kesedihan kami berdua. “Ada hal lain yang perlu kamu tahu, Nada,” ujar Saka, suaranya terdengar berat. Ia membimbingku duduk di sofa ruang tamu. Aku menatapnya penuh tanya, firasatku tidak enak. Saka menghela napas panjang sebelum melanjutkan, “Danar datang menemuiku di rumah sakit kemarin.” Mataku membelalak. Degup jantungku langsung berpacu. Mas Danar? Untuk apa dia menemui Saka? Rasa khawatir dan bingung mencampur aduk dalam benakku. “Dia… dia bilang apa?” tanyaku, suaraku nyaris tak terdengar. Saka menatapku lurus, ekspresinya serius. “Dia memintaku untuk menjauhimu, Nada.” Aku terdiam, mencerna kata-kata Saka. Mas Danar datang un
Mataku mengerjap karena mencium aroma kopi yang samar. Aku menggeliat pelan dan beranjak untuk bangun. Melepas mukena yang tak sempat kulepas setelah selesai subuh. "Kau sudah bangun?" Aku menoleh menatap ibu yang sedang membuka tirai jendela yang masih tertutup rapat. Seketika cahaya matahari pagi menyeruak masuk lewat jendela yang kini telah terbuka lebar. "Jam berapa, Bu?" Tanyaku sambil melipat mukena dan merapikannya di ujung ranjang."Baru pukul enam!" Aku menghela nafas. Sudah lama aku tak tidur senyenyak ini. Entah kapan terakhir kalinya. "Bagaimana tidurmu, nyenyak?"Ibu mendekat lalu duduk di sisiku. "Hem. Nyenyak!" Jawabku. Ibu tertawa kecil. "Syukurlah. Ibu was-was kalau kamu gak nyaman!" Ibu mengulurkan tangannya untuk menyingkirkan sehelai rambut dari dahiku dengan lembut. "Mau sarapan apa? Ibu sudah masak nasi uduk kesukaanmu, Soto juga ada" Perutku langsung keroncongan mendengar tawaran ibu. "Ayo bangun. Ibu sudah siapkan kopi di meja!" Aku mengangguk. "Iya, B
Aku tak lagi bersemangat setibanya di klinik. Segera kuminta para pekerja untuk pulang meski belum waktunya jam pulang dan menutup pintu klinik rapat-rapat. Karena aku tak ingin ada yang masuk saat aku sendirian. Menikmati sakit yang tak bisa kutumpahkan. Aku beranjak menghampiri saat kulihat mobil Saka mendekat Aku tersenyum meski tetap tak bisa kusembunyikan lagi rasa lelahku. Saka keluar dari mobil, membukakan pintu deoan dan menatapku dengan sorot mata penuh tanya. “Kamu nggak apa-apa?” Aku hanya mengangguk pelan, lalu masuk ke mobil tanpa banyak bicara. Saka tahu, jika aku diam seperti ini, ada sesuatu yang lebih dari sekadar lelah."Tumben gak nunggu di dalam!" Aku hanya menggeleng. Bagiku, lebih baik melihat keramaian lalu lalang orang dari pada berdiam sendirian di dalam. Di mobil, suasana kembali hening. Hanya suara AC yang mengisi sela-sela kesunyian. Tanganku menggenggam tas kecil di pangkuan. Aku bisa merasakan tatapan Saka dari samping, tapi ia tak memaksaku bicara. I
Aku melepas seat belt dan berniat untuk turun dari mobil Saka. Sejak menikah, aku dan Saka memang belum tinggal satu rumah meskipun Saka selalu rajin untuk antar dan jemput beberapa hari ini. Tak ada romantis gaya anak muda, yang ada hanya tanggung jawab dan rasa ingin melakukan yang terbaik yang di bisa. "Aku jemput nanti pulangnya!" "Hem!" Aku hanya mengangguk lalu mencium pipinya sesaat. Saka tersenyum. "Kenapa?" Tanyaku curiga. "Harusnya bisa lebih dari ini!" Katanya merajuk. "Anggap saja kita lagi pacaran, halal!" Godaku. "Udah, sana! Nanti telat!" Usirku. Saka mengedipkan sebelah mata lalu melajukan mobilnya setelah aku turun. Hari ini, ada pemeriksaan rutin beberapa SD, tentu saja aku kewalahan itu sebabnya aku meminta Saka untuk mengirimkan tenaga bantuan dari rumah sakitnya. Untungnya tak sampai sore, semua telah selesai. Aku baru saja melepas jas putih, mencuci tangan, lalu menyandarkan tubuh sejenak di kursi kerja sambil menikmati alunan musik santai