"Boleh saya minta fakturnya, Pak?" Laki-laki itu mengangguk lalu duduk di sisi Mas Bayu dan mengeluarkan satu bendel faktur.
Aku mengerjapkan mata sesaat. Sebanyak ini? Aku segera menghitung dibantu Fitri. "Saya akan transfer lima puluh persen dulu. Setelah barang ada di toko ini, saya akan tambahkan biaya pengiriman. Bagaimana?" Mereka mengangguk setuju. Awalnya aku sempat was-was. Hal ini memang terlalu frontal tapi mau bagaimana lagi. Aku harus segera mengambil langkah untuk menyelamatkan toko. Aku tak bisa melihat toko ini hancur begitu saja karena kesalahanku yang terlalu cinta buta. Setelah memastikan total jumlah yang mereka tagih aku segera mentransfer sejumlah uang yang telah kujanjikan. "Silakan di cek Mas Bayu, Bapak Irvan. Sudah saya kirimkan sesuai dengan apa yang telah saya sampaikan. Saya tunggu pengiriman barang di toko ini. Seterusnya akan seperti itu. Seperti biasanya. Sekali lagi saya mohon maaf atas kesalahpahaman yang terjadi beberapa waktu ini!" Anggukku sopan. Mas Bayu tersenyum dan menjabat tanganku yang diikuti oleh temannya juga supplier yang lain. "Saya senang bisa bekerja sama dengan Mbak Nada kembali!" Aku tersenyum. "Selama ini, Mas Bayu kan selalu calling saya kalau kirim, juga saat penagihan. Kenapa tiba-tiba ndak calling lagi? Saya pikir malah toko saya ganti supplier?" Tanyaku memancing informasi dari Mas Bayu. "Pak Danar yang meminta agar barang tidak lagi dikirim di toko ini, Mbak Nada. Untuk pembayaran, kami diminta menghubungi Mbak Fitri." "Belum ganti nomor kan, Mbak Nada?" Tanya Mas Bayu sekali lagi. Jadi, ini sebabnya aku tak pernah lagi menerima pesan dari para supplierku. Ternyata Mas danar sudah menyusun semuanya begitu rapi, nyaris sangat sempurna dan hampir tak terendus. Setelah mereka pamit dan meninggalkan ruangan, aku mengecek keuanganku. Barangkali ada supplier lain yang akan menagih, jadi aku masih punya cadangan uang. Untung saja, aku tak menunjukkan semua uangku pada Mas Danar. Ayah memang pernah melarangku untuk membagi semua informasi tentang keuangan yang kumiliki juga aset lain yang ada. keraguan ayah memang tepat dan kini semuanya telah terbukti. "Duduk sini, Fit!" Perintahku. Fitri mengangguk lalu mengambil tempat tepat di depanku. "Mulai besok, kerjakan semua seperti semula. Laporkan semua kas masuk di rekening toko begitu pula dengan semua pengeluaran, semuanya tetap harus lewat rekening toko!" Kataku tegas. "Panggil kembali beberapa karyawan yang kamu anggap kompeten untuk menemanimu. Saya akan pantau mulai hari ini!" Fitri mengangguk. Wajahnya menyiratkan rasa bahagia. Aku memeluknya dan berulang kali kuucapkan kata maaf. "Saya yang salah, Mbak Nada. seharusnya saya tidak hanya percaya sama Pak Danar saja. Saya pikir, saya gak perlu cros cek lagi karena saya mengira semua memang atas persetujuan Mbak Nada!" Fitri mulai tenang menyampaikan isi hatinya. Aku mengangguk pelan. "Ini kesalahan saya, Fit. Saya terlalu abai dengan toko. Saya pikir semua berjalan seperti biasanya! Pulanglah. Mulai kerja lagi besok!" Aku tak bisa lagi berkata-kata hingga memerintahkan Fitri untuk pulang. Fitri semula menolak. Dia ingin tetap menemaniku membenahi toko tapi aku menolak permintaannya. Gadis hitam manis itu terpaksa mengalah. Dia akhirnya pamit pulang, meninggalkanku yang masih terpekur memandang toko. Toko ini, toko yang kuserahkan pada Mas danar untuk dikelolanya ternyata membuat Mas Danar lupa siapa dirinya. Aku bertanya-tanya dalam hati. Andai saja Mas Danar tahu aku masih memiliki toko-toko lain yang kupercayakan pada orang-orang pilihanku, apa yang akan Mas Danar lakukan? Aku menekan dadaku. Kekayaan ternyata memang menyilaukan sebagian orang, hingga tega melakukan hal yang menyakitkan. Bahkan terkadang bertindak tak rasional. Suamiku sendiri, laki-laki yang telah kuperjuangkan hingga membuatku kehilangan harga diri dan masa depan, nyatanya tak lebih dari sekedar pecundang. Kupikir, aku masih bisa menyelamatkan rumah tanggaku. Meski ancaman lewat perempuan lain telah ada di depan mata. Tapi perlakuannya kali ini, aku benar-benar tak bisa menerimanya. Aku masih bisa diam ketika direndahkan dengan pendidikanku yang dikira hanya sebatas SMA. Aku masih diam ketika mertuaku selalu mengatakan bahwa aku bukan menantu pilihannya. Kata-kata mandul yang tak pernah terlewat, selalu mampir di telinga hanya karena aku tak segera hamil di usia pernikahan yang baru seumur jagung. Semua kulakukan agar Mas Danar tak rendah diri menjadi suamiku. Aku rela hanya mengaku tamatan SMA, berada di bawahnya yang katanya sarjana ekonomi. Hanya demi bisa mengejar cintanya, yang menjadi karyawan di toko ayah saat itu. Aku tertawa lirih. Menertawakan kebodohanku selama ini. Seorang putri tunggal wirausahawan yang hanya terkenal dengan toko materialnya. Lulusan kedokteran gigi yang cukup puas berdiam diri menjadi ibu rumah tangga biasa. Nyatanya tetap tak bisa membuatku di hargai dan dicintai sepenuh hati. "Halo, Pak Bambang? Saya ingin buka klinik perawatan gigi. Tolong segera disiapkan semuanya ya, Pak. Masalah lain silakan diatur saja. Saya akan siapkan sesuai arahan Bapak!" Kalimatku terjeda. "Baik Pak Bambang, terima kasih atas bimbingannya. Saya tunggu kabar selanjutnya!" Aku tersenyum. Langkah pertamaku adalah membuka klinik perawatan gigi yang dulu sempat didukung ayah. Untung saja, aku masih menyimpan nomor-nomor penting yang sempat ayah berikan, termasuk Pak Bambang, seorang konsultan jasa legalitas. Aku memasukkan ponselku dalam saku baju. Saatnya aku berubah dan menunjukkan siapa diriku!Mataku mengerjap. Mencoba untuk membuka perlahan meski terasa berat. Seketika bau yang tak asing mulai memenuhi rongga hidung. "Nada?" Aku mendengar sesorang memanggil namaku, tapi bukan Mas Danar. Suara itu terdengar lebih berat dan dalam. "Aku membuka mata dan menatap seseorang yang duduk di sisi ranjang dengan wajah penuh kekhawatiran. "Nada, akhirnya kamu bangun juga! Syukurlah!" Kata-kata lembut itu terdengar menenangkan. Aku mengangguk lemah. Mataku memindai seluruh ruangan sambil mengingat kejadian demi kejadian yang membuatku terbaring di sini. Tak kutemukan sosok Mas Danar. Hatiku mencelos. Justru orang lain yang tampak berbinar saat melihatku kembali sadar. "Aku senang kita bisa kembali berjumpa. Tapi bukan perjumpaan seperti ini yang kuharapkan!" Aku menatap lekat manik matanya. "Saka? Saka Banyu Aji?" Aku membaca name tag yang ada di seragam putihnya juga menatap wajahnya lekat-lekat. Ya. Dia Saka. Laki-laki itu tersenyum dan mengangguk. Kami saling ken
Mataku menatap lalu lalang aktifitas jalanan kompleks dari balkon kamar. Sejak kejadian tempo hari di toko, aku jadi mudah curiga dan membuatku semakin ingin mengumpulkan bukti sebanyak-banyaknya. Bukti yang bisa membuat cintaku luntur tanpa sisa. Benar saja. Tak lama kulihat mobil memasuki halaman. Tampak Mas Danar dan seorang perempuan ada di posisi depan. Sudah beberapa hari ini Mas Danar pergi dan kini, ia kembali. "Nada, kebetulan! Ada yang mau Ibu bicarakan!" Mertuaku naik ke lantai dua dan melihatku yang kini di depan TV ruang tengah. "Apa, Bu?" Ibu mertuaku menatapku serius lalu menghela nafas perlahan. Perempuan yang dulu kuhormati itu, menjatuhkan beban tubuhnya di sisiku. Biasanya aku akan mendekat dan melakukan apa saja untuk membuatnya menerimaku sepenuh hati. Tapi kini, aku tak meresponnya. "Danar harus menikahi Sasi!" Ibu melirikku. "Ibu harap kamu bisa menerima Sasi. Toh selama ini, kamu juga gak hamil-hamil kan?" Aku hanya diam. Menatap suamiku yang akh
"Boleh saya minta fakturnya, Pak?" Laki-laki itu mengangguk lalu duduk di sisi Mas Bayu dan mengeluarkan satu bendel faktur. Aku mengerjapkan mata sesaat. Sebanyak ini? Aku segera menghitung dibantu Fitri. "Saya akan transfer lima puluh persen dulu. Setelah barang ada di toko ini, saya akan tambahkan biaya pengiriman. Bagaimana?" Mereka mengangguk setuju. Awalnya aku sempat was-was. Hal ini memang terlalu frontal tapi mau bagaimana lagi. Aku harus segera mengambil langkah untuk menyelamatkan toko. Aku tak bisa melihat toko ini hancur begitu saja karena kesalahanku yang terlalu cinta buta. Setelah memastikan total jumlah yang mereka tagih aku segera mentransfer sejumlah uang yang telah kujanjikan. "Silakan di cek Mas Bayu, Bapak Irvan. Sudah saya kirimkan sesuai dengan apa yang telah saya sampaikan. Saya tunggu pengiriman barang di toko ini. Seterusnya akan seperti itu. Seperti biasanya. Sekali lagi saya mohon maaf atas kesalahpahaman yang terjadi beberapa waktu ini!" Angg
Setelah Mas Danar pergi, aku segera bersiap. Aku akan mengunjungi toko hari ini. Sudah setahun lebih aku gak pernah lagi mengunjungi toko. Mungkin aku tak akan curiga andai saja aku tak pernah membaca pesan-pesan itu tadi malam. Tanpa membuang waktu, aku meluncur ke toko dengan mobil yang lain. "Mau ke mana, Mbak Nada. Cantik banget!" Bu Ana, salah seorang tetangga menyapaku saat aku menutup pintu pagar rumah. Aku cuma tersenyum kecil. Sejak menikah, aku hanya pakai daster ke mana-mana, paling banter ke pasar. Kali ini, aku memakai outfit celana kain hitam dengan kemeja marun, lengkap dengan make up meski tipis dan natural. "Mau ke toko, Bu Ana! Mari, Bu!" Aku mengangguk ramah dan kembali masuk mobil. Membawanya memecah jalanan menuju toko yang selama ini kuabaikan. Sesampainya di toko, aku menatap heran kondisi toko yang setengah tertutup. Biasanya jam-jam siang begini, toko lagi ramai-ramainya. Tapi kali ini sepi seperti tak ada aktifitas apapun. "Loh, Mbak? Ya Allah Mbak
Aku baru saja selesai mengerjakan pekerjaan rumah dan berniat untuk segera istirahat. Saat aku membuka pintu kamar, kulihat suamiku yang sedang sibuk menata baju di koper kecil. "Mau ke mana, Mas. Tumben packing gak nyuruh?" Aku duduk di sisi ranjang sambil terus memperhatikannya. "Iya, Dek. Mendadak!" Suamiku menjawab tanpa menoleh. "Urusan apa?" Aku mulai melepas ikatan rambutku dan merapikannya dengan tangan. "Diajak Ibu, ada acara di kampung!" Aku mengernyitkan dahi. "Acara di kampung? Di kampungnya siapa?" Sesaat Mas Danar terdiam, lalu menoleh dan tersenyum. "Di kampung kerabat jauhnya Ibu, Dek!" Entah kenapa aku ingin tahu. Setahuku, Mas Danar tak lagi punya kerabat di kampung. Sejak menikah denganku, Mas Danar memang memboyong ibunya. Mas danar beralasan, dia anak tunggal apalagi laki-laki. Sudah seharusnya berbakti pada ibunya dan aku memang tak pernah mempermasalahkan hal itu. Selama hal itu adalah perintah agama, aku akan selalu mendukungnya. "Aku tidur