Share

3. Langkah Awal

Author: Banyu Biru
last update Last Updated: 2025-06-05 15:04:40

Setelah Fitri pulang, aku mengecek laporan keuangan pribadi dan cadangan investasi yang ayah tinggalkan untukku. Syukurlah, sebagian besar belum kusentuh. Dan sebagian lainnya, masih tersimpan dalam bentuk aset yang tak pernah Mas Danar ketahui. Rumah sewa, beberapa tanah kavling, dan dua unit toko kecil di daerah strategis yang ayah wariskan tanpa sepengetahuan siapa pun—termasuk suamiku sendiri.

Ayah selalu bilang, "Jangan serahkan seluruh kendali pada siapa pun, bahkan suamimu. Jangan sampai cintamu membutakanmu, Nada!"

Dulu, aku menganggap ayah terlalu curiga. Bahkan sempat menuduhnya berlebihan. Tapi sekarang, aku tahu... itu adalah bentuk cinta, bentuk perlindungan yang ayah berikan. Cinta dari seorang ayah kepada putrinya yang terlalu percaya pada cinta seorang laki-laki.

Aku menarik napas dalam-dalam. Dada ini sesak, bukan karena lelah, tapi karena kecewa yang tak terucap. Kini saatnya aku mengambil kendali kembali—bukan hanya untuk toko ini, tapi juga untuk hidupku. Untuk masa depanku. Untuk harga diriku.

Kuraih ponsel, menggulir daftar kontak, dan menekan satu nama yang dulu sempat jadi harapan dan masa depanku:

Pak Bambang – Konsultan Klinik.

Salah satu sahabat ayah yang dulu pernah dipercaya untuk membantu mewujudkan impianku—klinik perawatan gigi. Klinik yang dulu hampir berdiri, tapi akhirnya kubatalkan karena memilih menjadi istri yang sepenuhnya hadir di rumah.

Telepon tersambung.

“Halo, Pak Bambang? Ini Nada Pramesthi.”

“Oh, Mbak Nada! Ya Allah... sudah lama sekali! Wah, saya pikir Mbak sekarang sudah jadi ibu rumah tangga sejati. Bagaimana kabarnya, Mbak?”

Aku tersenyum pahit. “Baik, Pak. Alhamdulillah. Mohon maaf mengganggu waktu Bapak. Saya ingin mengaktifkan kembali izin dan rencana pendirian klinik gigi yang dulu pernah saya bicarakan. Masih bisa dibantu, kan, Pak?”

“Tentu! Wah, kabar bagus sekali. Saya masih simpan semua dokumen dan denah lama. Tinggal kita revisi sedikit. Lokasi masih sama?”

“Masih, Pak. Dan saya ingin prosesnya secepat mungkin. Kali ini, saya tidak akan tunda lagi.”

“Baik, Mbak Nada. Saya segera atur jadwal pertemuan dengan tim legal dan desain. Saya kabari segera ya.”

“Terima kasih, Pak Bambang. Saya tunggu kabarnya.”

Telepon kututup. Aku masih menggenggam ponsel erat-erat sebelum akhirnya berdiri dan menatap cermin kecil di balik meja kasir.

Wajahku masih sama. Tapi ada yang berbeda di sorot mataku. Bukan lagi tatapan istri yang sabar menunggu cinta dan perhatian. Tapi tatapan perempuan yang mulai menyadari bahwa ia harus berdiri di atas luka-lukanya sendiri.

Mulai hari ini, aku bukan lagi istri yang lemah dan bisa dipermainkan dengan mudah. Tapi perempuan yang berdiri di atas kecewa dan kehancuran. Perempuan yang siap merebut kembali hidup dan martabatnya.

Mataku mengarah pada seluruh sudut toko ini. Rak yang kosong. Kursi kasir yang mulai lapuk. Plafon yang mengelupas. Ini toko yang dulu menjadi kebanggaan ayah. Toko yang dengan rela kuserahkan pada Mas Danar untuk dikelola.

Ternyata, keputusan itu adalah awal dari penghancuran perlahan-lahan.

Ternyata, kekayaan bisa menyilaukan sebagian orang. Menyulap cinta menjadi ambisi, dan rasa terima kasih menjadi pengkhianatan. Bahkan membuat seseorang bertindak di luar akal sehat, termasuk suamiku sendiri.

Laki-laki yang dulu kuperjuangkan. Yang dulu kupercaya sepenuh hati. Hingga aku rela meninggalkan semua mimpi dan gelarku. Rela mengaku hanya lulusan SMA di hadapan semua orang, hanya agar dia tak rendah diri sebagai suami dari wanita bergelar dokter.

Kupikir, aku masih bisa menyelamatkan rumah tangga kami. Kupikir, semua akan baik-baik saja selama aku tetap sabar dan mengalah. Tapi setelah apa yang kulihat—pengkhianatannya, penggelapan toko, pesan mesra dengan wanita lain—aku tahu, kali ini aku benar-benar tak bisa memaafkan.

Aku masih bisa diam ketika ibu mertuaku bilang aku bukan menantu pilihannya. Aku masih bisa diam ketika dikatai mandul, hanya karena belum hamil dalam dua tahun pernikahan kami. Padahal mereka tak pernah sekalipun bertanya, siapa yang sebenarnya perlu diperiksa?

Aku masih bisa diam... ketika diperlakukan sebagai istri kelas dua hanya karena memilih menjadi ibu rumah tangga. Tapi semua itu kini seperti tumpukan bara yang siap meledak. Apalagi setelah tahu, nama dan rekeningku dipakai untuk mencicil perhiasan demi perempuan lain.

Kamu pikir aku tak akan tahu, Mas Danar?

Kamu pikir aku akan diam terus seperti boneka di rumah?

Aku tertawa lirih. Menertawakan kebodohanku sendiri. Seorang putri tunggal dari wirausahawan sukses. Lulusan kedokteran gigi dari universitas ternama. Tapi kini, hanya dikenal sebagai istri yang “cuma lulusan SMA dan mandul.”

Ternyata, semua pengorbanan tak cukup untuk membuatku dihargai.

Ternyata, cinta saja tidak cukup.

Dan kini... aku tak akan mencari cinta itu lagi. Aku akan mencari diriku sendiri yang hilang!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bangkitnya Istri Kaya yang Terluka   82. Ada yang Beda

    Aroma tumis buncis dan telur dadar menguar dari dapur. Ibu dan Mbok Nah sudah menyiapkan sarapan sejak subuh, sementara aku duduk di meja makan, menunggu Saka yang masih terlelap sambil menatap layar ponselku. Melihat beberapa detail kebutuhan andai aku memang berencana untuk membuka toko baru. sesuai dengan apa yang kusampaikan pada Fitri. "Suamimu belum bangun, Nada?" Ibu muncul sambil membawakanku secangkir teh hangat. Tangan ibu mengelus ranbutku yang terurai. "Belum bu!" Aku hanya menjawab pendek lalu menikmati teh melati yang kini ada di tanganku. "Beberapa hari ini, ibu mau ke Jogja. Ada tawaran untuk mengirim barang ke luar negeri dalam jumlah besar. Ibu mau pastikan sendiri kualitas batiknya. Kamu gak papa kan, ditemani Mbok Nah dulu?" Ibu duduk di depanku sambil menata hidangan di meja makan. "Hem, gak papa Bu. Aku juga santai beberapa hari ini. Ke klinik kalau insidentil aja. Dokter baru lumayan cekatan juga jadi bisa tenang!" Ibu mengangguk, "Syukurlah. Ata

  • Bangkitnya Istri Kaya yang Terluka   81. Suara Livia di ponsel Saka

    Setelah puas ngobrol dengan Fitri. aku kembali pulang dengan mobil online. Tak kulihat mobil Saka di garasi, artinya Saka belum pulang. "Baru pulang. Nada?" Aku mengangguk saat ibu yang keluar menyambut. "Saka gak jemput?" Ibu menatap halaman lalu melihatku dengan tanda tanya. "Pagi tadi pamitnya mau lembur, Bu. Rumah sakit mau akreditasi!" jawabku sambil mencium tangan ibu dan kedua pipinya. "Kamu sendiri, kenapa sampai jam segini?" Ibu menjajari langkahku. "Tadi cuma sebentar di klinik, Bu. Sudah ada dua dokter yang bisa bantu jadi aku bisa lebih santai di masa kehamilan. Yang lama ngobrol sama Fitri!" Terangku panjang kali lebar. "Oh. begitu! Ya sudah, bersih-bersih dulu, ibu sama Mbok Nah mau siapin makan dulu!" aku mengangguk lalu masuk kamar. Setelah mandi dan mengganti pakaian, aku menyusul ibu dan Mbok Nah di ruang makan. Mataku mengedar sekitar. "Bu Asa mana, Bu?" Aku menuang teh hangat ke cangkir yang disodorkan Mbok Nah. "Mertuamu pamit pulang tad

  • Bangkitnya Istri Kaya yang Terluka   80. Semua Menata Rencana

    Hari inii, jadwal Saka di rumah sakit Harapan Kita. Rumah sakit yang Delia wariskan untuk Saka yang arahnya melewati klinik gigiku, itu sebabnya aku berinisiatif untuk ikut mobil Saka. "Jangan banyak aktifitas, Nada!" Saka kembali mengingatkan saat berhenti di lampu merah. "Tenang saja. aku hanya ingin menyapa dokter baru di klinik. Setelahnya aku akan ke toko sebentar. Gak capek, kok!" Jawabku. Saka hanya memgangguk sambil tersenyum. "Kapan kontrol kehamilan?" Tanya Saka sambil kembali fokus menatap jalanan. Aku mengecek ponselku lalu msnatapnya kembali. "Beberapa hari lagi!" Saka mengantar sampai halaman klinik, meskipun ia sibuk dengan aktifitasnya di rumah sakit. Ia tak pernah lupa mengingatkanku tentang kehamikanku yang harus di jaga dengan ekstra. Baik.soal vitamin, atau janji rutin kontrol kehamilan. “Jangan terlalu banyak berdiri. Dan jangan sungkan untuk meminta mereka bantu kamu, ya,” katanya sambil mencubit pipiku ringan. “Iya, Dokter Saka yang cerewet,”

  • Bangkitnya Istri Kaya yang Terluka   79. Warisan Cinta

    Sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, pagi ini adalah hari di mana Saka kembali dikukuhkan sebagai direktur di rumah sakit yang Delia wariskan. Banyak wajah lama yang menyambutnya dengan senyum haru, tapi tidak sedikit pula yang menatapnya dengan curiga. Ada rasa kaku yang belum sepenuhnya mencair. Mungkin karena desas desus yang pernah berhembus dan tak pernah ada yang mengklarifikasinya.“Direktur Saka… kami tak menyangka Anda akan kembali,” ujar Pak Rudi, salah satu anggota dewan, dengan senyum datar.Saka membalas dengan sopan. “Saya kembali bukan untuk mengulang masa lalu. Tapi jika kehadiran saya bisa membantu rumah sakit ini tumbuh lebih baik, maka saya bersedia.”Nada suaranya tenang, tapi aku bisa melihat ketegangan dari gerak tangannya yang menggenggam dokumen cukup erat. Ia selalu begitu. Memendam segala masalah dalam ketenangan.Setelah semua selesai, seorang wanita muda berambut sebahu menghampiriku. Wajahnya ramah, tapi sorot matanya tajam. Wanita yang sejak tadi k

  • Bangkitnya Istri Kaya yang Terluka   78. Berbesar Hati

    Malamnya, kami makan malam seperti biasa. Hanya saja, kali ini berbeda karena ada Tante Asa yang turut makan bersama. Setelahnya, Mbok Nah lebih dulu undur diri untuk istirahat. Sementara aku, Saka, Ibu dan Tante Asa berkumpul di ruang tengah. “Ibu, Bu Rahma,” Saka memulai pelan, menatap dua perempuan penting dalam hidup kami. “Aku... ingin bicara soal tawaran keluarga Delia.” Ibu mengangguk tenang, sedang Tante Asa hanya menatap Saka dengan senyum lembut. Aku ikut duduk di sebelahnya, meraih tangan Saka, mencoba untuk memberi semangat. “Mereka memintaku kembali ke rumah sakit,” lanjutnya. “Mengembalikan posisiku sebagai direktur utama. Tapi aku tahu keputusan ini bukan hanya soal aku pribadi, tapi juga tentang kalian… tentang kita.” “Apa yang membuatmu ragu, Nak?” tanya Ibu mencoba untuk memahami pilihan Saka. Saka menunduk sebentar sebelum menjawab, “Aku takut dianggap memanfaatkan keadaan. Aku takut dianggap menggunakan perasaan keluarga Delia dan hanya menjadinya jembat

  • Bangkitnya Istri Kaya yang Terluka   77. Bimo Membawa Istri

    Sorenya, saat Saka datang, aku menceritakan kehadiran Sasi sambil menemaninya di ruang makan. Saka terlihat antusias meski berkali-kali kembali mengingatkanku untuk tidak menjalin kedekatan dengan Sasi. Bagaimanapun, kita tidak bisa mempercayainya mentah-mentah meskipun kesempatan untuk mereka tetap harus kita berikan. Aku hanya mengangguk sesekali waktu karena apa yang dikatakan Saka memang ada benarnya. Setiap kali Sasi datang, setelahnya pasti muncul masalah baru. Sesuai janjiku pada Sasi, aku segera menghubungi teman yang ada di dinas sosial dan untungnya, dia bersedia untuk datang ke alamat yang Sasi berikan. "Nada, Mas Saka ada tamu!" Mbok Nah yang ijin menyiram di depan tergopoh-gopoh masuk. "Siapa Mbok?" Tanyaku sambil membenahi pashmina dan daster panjangku. "Mas Bimo sama istrinya!" Mbok Nah tersenyum lalu berjalan ke belakang. Aku dan Saka saling pandang. "Bimo dan istrinya?" Setahuku Bimo ke luar negeri untuk profesinya. Aku dan Saka segera bergegas ke ru

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status