Setelah Mas Danar pergi pagi itu, aku segera bersiap. Hari ini, aku memutuskan untuk mengunjungi toko. Sudah lebih dari setahun aku tidak pernah menampakkan diri di sana.
Mungkin aku tak akan curiga andai tadi malam tak membaca pesan-pesan itu. Pesan-pesan yang membuka mataku bahwa ada sesuatu yang selama ini disembunyikan. Aku mematut diri sesaat di depan kaca. Benar-benar berbeda dengan diriku ysng biasanya. Tunik batik dengan rok panjang hitam dan kerudung warna senada juga make up natural yang menutup wajah. Aku tersenyum. Selama ini aku hanya puas dengan daster panjang dan kerudung instan semata-semata karena Mas Danar menginginkan aku untuk tampil sederhana. Tanpa membuang waktu, aku langsung meluncur ke toko dengan mobil cadangan. Sesampainya di toko, aku menatap lekat-lekat kondisi toko. Jantungku berdebar aneh. Toko itu tampak sepi. Pintu tertutup rapat. Tidak ada aktivitas seperti dulu, padahal ini jam-jam sibuk. "Loh, Mbak? Ya Allah... Mbak Nada!" suara familiar membuatku menoleh. Fitri memarkirkan motornya di depan toko dan berlari menghampiriku. "Fitri? Kok tokonya tutup? Ke mana semuanya? Kamu sendirian?" tanyaku, mendekatinya. Fitri, kasir dan staf kepercayaanku, tampak gugup. "Anu, Mbak... cuma saya yang jaga!" "Hari ini?" Aku bertanya lagi. "Setiap hari, saya yang jaga sendiri Mbak!" "Apa!" Aku menautkan alisku. Otakku masih mencoba mensinkronkan keadaan. Aku mengikuti langkah Fitri yang membuka pintu toko. Memandang sekeliling. Mataku menyapu rak demi rak. Tanganku menyisir setiap sudutnya yang bersih dari debu dan barang. "Ini... kenapa, Fit? Kenapa toko jadi begini?" suaraku gemetar. "Karyawan yang lain ke mana?" Fitri gelagapan. "Anu, Mbak... sejak Mbak gak pernah datang lagi ke toko, karyawan mulai diberhentikan satu per satu." Aku terpaku. Sepuluh karyawan tetap dan kini menghilang tanpa jejak. "Kenapa kamu gak pernah bilang?" suaraku meninggi. "Kenapa kamu diam saja, Fit?!" Aku duduk di kursi kasir sambil memijit pelipisku. Fitri menunduk. "Pak Danar melarang saya, Mbak...!" "Maaf, Mbak!" Fitri menyodorkan segelas air. Aku menerimanya dan meneguknya tanpa bicara. "Maaf, Mbak. Ini invoice yang belum terbayar. Pak Danar meminta saya untuk segera membereskannya." Ia menyerahkan setumpuk kertas. Jumlahnya... mengejutkan. "Sebanyak ini...?" tanganku gemetar. Sekali lagi. mataku menyapu toko, membandingkan dengan tagihan pembayaran yang kuterima dari Fitri. "Tapi....!" Aku menatap Fitri. "Barang dikirim ke toko baru Mbak!" Fitri meremas tangannya. "Semua?" Fitri mengangguk menjawab pertanyaanku. "Toko ini?" "Toko ini dapat kiriman barang yang tidak laku atau kadang barang yang sudah rusak, Mbak!" Tanganku seketika mengepal. Jadi ini alasan Mas Danar melarangku ke toko dan memintaku menjadi istri yang hanya diam di rumah? Karena dia ingin mengalihkan toko yang ayahku tinggalkan? Keterlaluan kamu, Mas! Aku menahan napas. Dunia seperti berputar di kepalaku. Dia tidak hanya menduakanku, tapi juga menghancurkan toko ini secara diam-diam. Ternyata selama ini, Mas Danar sudah menipuku. Toko baru itu hanya pengalihan. Punggungku bersandar di kursi kasir. Pandanganku menyapu seluruh sudut toko yang kosong dan sunyi. Toko ini... dulu rumah keduaku. Kini, tampak seperti reruntuhan kepercayaan. “Fitri,” panggilku. Fitri mendekat dengan wajah menyesal. “Iya, Mbak?” “Untuk kali ini, selesaikan semua pembayaran. Aku akan mengirimkan dana ke rekening toko!" Aku menarik nafas perlahan. "Dan katakan pada supplier kita, untuk kedepannya, kita menolak melakukan pembayaran yang dikirim ke toko lain yang tidak memakai nama kita!" Fitri mengangguk. "Kita perbaiki toko ini dari nol.” Fitri mengangguk cepat “Terima kasih, Mbak... Saya janji gak akan ngecewain lagi.” Aku menepuk pundaknya. “Panggil karyawan lama yang bisa dipercaya. Mulai kita hidupkan tempat ini. Kita mulai dari sini.” Tiba-tiba, ponselku berdering. Nama di layar membuat hatiku berdenyut. Mas Danar. Kutatap sejenak, sebelum akhirnya menjawab dengan suara dingin. “Halo?” "Ya, Dek... Ini aku. Tolong urus pembayaran ke supplier, kukirimkan jumlahnya nanti. Oh ya, kirim ke nomor rekeningku, biar aku bisa cepat selesaikan. Jangan luoa dilebihkan ya Dek, soalnya butuh untuk nutup tender besok. Penting banget. Paham, kan?" Klik. Telepon diputus sepihak. Aku diam beberapa detik menatap layar kosong. Beberapa menit kemudian… Notifikasi masuk ke HP-ku. Dari nomor toko perhiasan yang biasanya kudatangi. "Assalamu'alaikum, Bu Nada. Maaf mengganggu. Nama saya Rani, staf butik di toko perhiasan seorang wanita bernama Sasikirana Putri dan Pak Danar melakukan pembelian perhiasan dan meminta Bu Nada untuk membayarnya! Bisa Bu Nada selesaikan segera?" Aku menggenggam ponsel erat-erat. Mataku menyipit. Mereka memakai namaku untuk pembayaran perhiasan?! Dadaku bergemuruh. Permainan kalian semakin jelaa terlihat tanpa sungkan. Haruskah aku masih menerimanya?Beberapa bulan kemudian, klinik pribadi yang Saka inginkan sudah berdiri. Tepat di samping rumah. Sedikit demi sedikit, harapan kami terwujud satu persatu. "Ibu gak nyangka. akhirnya kamu bisa mewujudksn mimpimu, Saka!" Tante Asa menepuk pundak Saka, terharu. Ruangan mulai penuh dengan tamu-tamu undangan. Beberapa diantaranya banyak yang duduk sambil menikmati hidangan yang telah disiapkan. Saka justru memelukku dan mencium dahiku lembut, "Semua karena dukungan Nada, Bu!" Tante Asa mengangguk. "Tentu. Ibu tahu jika Nada istri yang hebat untukmu!" Kini, Tante Asa menatapku. "Maafkan ibu, Nada. Mungkin ibu pernah tak percaya padamu!" Aku mengusap punggung tangan Tante Asa sambil menggeleng. "Semua sudah berlalu, Bu. Saka suamiku. Tentu aku akan selalu melakukan yang terbaik untuknya!" Kami menoleh saat terdengar gelak tawa Naren yang ada dalam gendongan ibu. Bersama ibu, tampak Fajar yang sedang menggoda Naren, itu sebabnya Naren tertawa lebar. "Kau harus menjaga rumah
Malamnya, setelah Naren tertidur pulas di tengah-tengah kami, Saka memulai percakapannya kembali. "Nada," panggilnya pelan. "Aku minta maaf." Saka mengangkat Naren dan memindahkannya di box bayi yang ada di sisinya. Aku menoleh. "Untuk apa?" "Untuk Larasati. Aku tidak bermaksud menyembunyikannya darimu. Aku hanya... aku hanya tidak ingin kamu khawatir," jawabnya. Kini, Saka kembali duduk di sisiku. Aku tersenyum. "Aku paham maksudmu!" Jawabku pelan. Aku memang sadar. Tak akan pernah bisa merubah karakter Saka yang ringan tangan dan selalu ingin membantu urusan orang lain. Meskipun kadang, hal itu justru merugikan Saka sendiri. Saka menghela napas lega. Ia mencium keningku. "Nada, aku ingin kamu tahu, aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu!" Aku membalas pelukannya. "Aku tahu!" Saka terdiam sejenak. "Kita tak mungkin tak ada masalah, tapi apapun masalahnya, aku harap kita tak saling melepaskan genggaman!" Aku menatapnya, menunggunya melanjutkan kata-kata. "Aku tah
Setelah selesai makan, aku beranjak ke kamar diikuti Saka yang berjalan di belakangku. "Nada, kamu marah?" tanyanya, suaranya terdengar ragu. Aku... aku tidak marah," jawabku, suaraku terdengar serak. "Jangan khawatir Saka. Ini bukan masalah. Aku tahu kamu memahami batasan yang jelas tentang hal seperti ini!" Kataku pelan meski kadang aku meragukannya. Saka terdiam. Ia menghela napas. Mungkin saja ia tahu jika aku berbohong. Sesampainya di kamar, aku menatap Naren yang ternyata telah bangun. "Biar aku saja yang menggendongnya!" aku mengangguk lalu berjalan pelan ke sudut ruangan dan duduk di sofa. Saka tampak berbinar menatap anaknya. Berkali-kali Saka mencium pipi gembul Naren. Terang saja, bobotnya lumayan besar. Dengan berat 3,6 kilogram membuatnya seperti bayi besar. Ada hikmahnya anak kecil itu menabrakku hingga aku harus operasi caesar. Aku sendiri tak bisa membayangkan andai aku harus melahirkan normal dengan kondisi Naren yang sebesar itu. Tok. Tok. Kami
Aku menutup telepon dengan tangan sedikit gemetar, mencoba menenangkan degup jantung yang terasa begitu kacau. Aku memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang, lalu meletakkan ponsel di meja nakas. Nada, kamu harus kuat, bisikku pada diriku sendiri. Memikirkan hal ini berlarut-larut hanya akan membuatku semakin sakit. Aku baru saja melahirkan, tubuhku masih belum sepenuhnya pulih, dan Naren membutuhkan perhatianku. Aku mencoba untuk berpikir positif. Larasati mungkin hadir di rumah sakit karena profesionalisme, bukan semata karena hubungan pribadinya dengan Saka. Untuk itu, aku harus belajar percaya… pada Saka, dan juga pada diriku sendiri. Aku memejamkan mata sesaat, menikmati angin yang berhembus semilir melalui jendela yang terbuka dengan semerbak kenanga. Entah, berapa lama aku tertidur pada akhirnya. Yang pasti, aku terbangun saat mendengar rengekan kecil. Sepertinya, seseorang membawa Naren masuk ke kamar dan menidurkannya di box. Perlahan aku bangkit dan mendekat
Aroma masakan Bu Sri yang memenuhi seluruh ruang makan, seketika membuat perutku yang belum sepenuhnya pulih menjadi terasa lapar. Aku duduk di kursi makan sambil memangku Naren. Di seberang meja, Ibu dan Tante Asa sudah duduk sambil berbincang ringan. Ibu sesekali menatapku dengan mata penuh perhatian, seakan mencoba membaca isi hatiku. “Nada, ayo makan yang banyak. Kamu kan butuh tenaga untuk menyusui Naren,” ucap Ibu sambil menyendokkan bubur hangat ke mangkukku. Aku tersenyum tipis. “Iya, Bu.” Suaraku nyaris tak terdengar. Tante Asa menimpali sambil tersenyum hangat, “Lihat tuh, wajahmu masih pucat. Fokus dulu untuk cepat pulih, ya!" Aku mengangguk kecil tanpa berkomentar. Semalaman aku tidak bisa tidur memikirkan Saka. Ia benar-benar belum pulang sampai sekarang. Aku mencoba berkali-kali menenangkan diri, berpikir positif bahwa ia benar-benar hanya membantu Larasati karena situasi darurat. Mbok Nah mendekat dan meminta Naren yang telah kenyang menyusu agar aku bisa
Aku duduk di tepi ranjang dengan napas sedikit terengah. Rasa sakit mulai terasa membebani perutku yang masih nyeri pasca operasi. Saka menuntunku dengan hati-hati, kedua tangannya tak pernah lepas dari pinggangku. “Pelan-pelan, Nada.” ucapnya lembut, namun aku bisa merasakan nada tegas yang terselip. Ia membantuku duduk, lalu merapikan bantal di belakangku sebelum menyelimutiku hingga dada. “Kamu baru melahirkan, jangan memaksakan diri untuk berdiri terlalu lama. Apa yang kamu pikirkan sampai-sampai turun sendirian tanpa aku?” Aku memaksakan senyum, mencoba terlihat tenang meski hatiku kacau. “Aku hanya… ingin pamit pada tamu. Lagipula, tidak enak kalau mereka pulang tanpa sempat aku sapa,” jawabku pelan mencari alasan. Saka menghela napas, lalu duduk di tepi ranjang di sebelahku. Tangannya terulur, menyentuh pipiku dengan lembut. “Aku tahu tapi kondisimu lebih utama! Mereka juga akan paham!" Kata-kata itu seharusnya bisa menenangkan, tapi yang kudengar justru gema suara Lara