Setelah Mas Danar pergi, aku segera bersiap. Aku akan mengunjungi toko hari ini. Sudah setahun lebih aku gak pernah lagi mengunjungi toko. Mungkin aku tak akan curiga andai saja aku tak pernah membaca pesan-pesan itu tadi malam. Tanpa membuang waktu, aku meluncur ke toko dengan mobil yang lain.
"Mau ke mana, Mbak Nada. Cantik banget!" Bu Ana, salah seorang tetangga menyapaku saat aku menutup pintu pagar rumah. Aku cuma tersenyum kecil. Sejak menikah, aku hanya pakai daster ke mana-mana, paling banter ke pasar. Kali ini, aku memakai outfit celana kain hitam dengan kemeja marun, lengkap dengan make up meski tipis dan natural. "Mau ke toko, Bu Ana! Mari, Bu!" Aku mengangguk ramah dan kembali masuk mobil. Membawanya memecah jalanan menuju toko yang selama ini kuabaikan. Sesampainya di toko, aku menatap heran kondisi toko yang setengah tertutup. Biasanya jam-jam siang begini, toko lagi ramai-ramainya. Tapi kali ini sepi seperti tak ada aktifitas apapun. "Loh, Mbak? Ya Allah Mbak Nada!" Aku menoleh asal suara. "Fitri? Kok tokonya tutup. Pada ke mana? Terus kamu? Sendirian di toko?" Aku mendekati Fitri yang tampak kaget melihatku. "Anu, Mbak. Di toko ini cuma saya yang jaga." Aku masuk ke dalam toko dan di ikuti Fitri. Sesaat langkahku terhenti. Toko ini kosong. Hanya beberapa barang dagangan itupun seperti stok lama yang tak terjual. "Ini.. Ini kenapa Fit. Kenapa toko jadi kayak begini?" Fitri menatapku serba salah. "Karyawan yang lain?" Aku tak sabar menunggu jawaban Fitri. Sebelum Fitri menjawab, aku sudah bertanya lagi. Fitri makin gelagapan mencernanya. Setidaknya ada sepuluh karyawan di toko ini, dulunya. Semua barang lengkap. Terkenal murah dan banyak pilihan. Tiba-tiba kosong melompong. Aku menatap Fitri dengan perasaan yang tak bisa kuungkapkan. "Anu, Mbak!" Fitri meremas tangannya. Membuatku makin gemas. Aku kembali keliling toko dan melihat dengan seksama. Aku terduduk di kursi kasir. Mataku nanar menatap Fitri yang kembali terdiam. "Anu, anu. Anu kenapa Fit!" Aku berusaha mengorek keterangan Fitri yang masih tampak bingung untuk menyampaikan sesuatu. "Sejak kapan Fit?" Tanyaku hati-hati sambil melipat kedua tanganku. "Sejak Mbak Nada gak pernah ke sini lagi. Satu tahun yang lalu, Mbak!" Jadi ini alasan Mas danar melarangku ke toko? Ternyata toko lain yang Mas Danar maksud adalah hasil sabotase dari toko ini? "Kenapa kau diam saja, Fit! Kenapa kamu gak cari saya dan mengatakan semuanya?" "Maaf, Mbak. Pak Danar melarang saya!" "Karyawan lain?" Aku kembali menginterogasi Fitri. "Sudah banyak yang diberhentikan, Mbak. Sebagian karyawan baru di toko yang lain!" Aku mengangguk paham. Fitri adalah orang kepercayaanku sejak ayah mash ada. Itu sebabnya Mas Danar tetap meminta Fitri untuk menjaga toko ini. Rupanya untuk membohongiku agar tak curiga jika toko ini masih berjalan seperti biasa. Aku menekan dadaku yang berdenyut nyeri. "Mbak?" Fitri segera berdiri dan mengambilkan air di gelas lalu mengulurkan padaku. "Maaf, Mbak. Maaf. Saya terlalu pengecut untuk melaporkan semua pada Mbak Nada, saya takut, Mbak!" Aku menenggak air di gelas hingga tandas lalu kembali terdiam tanpa kata. "Permisi!" Kami saling pandang ketika mendengar suara asing yang setengah berteriak. "Siapa, Fit. Suruh masuk saja!" Fitri mengangguk lalu beranjak ke luar ruangan sementara aku memijit keningku. "Supplier, Mbak!" Fitri melangkah masuk di ikuti dua orang laki-laki yang berseragam wearpack dengan logo cat merk terkenal. "Mas Bayu?" Aku menyapa salah satunya. Laki-laki itu mengangguk ramah. Kami bersalaman sejenak lalu aku mempersilakannya untuk duduk di sofa tamu, sedang fitri keluar untuk menyiapkan minuman. "Tumben Mbak Nada ke toko?" Mas Bayu tersenyum lebar. "Pengen lihat-lihat toko, Mas. Sudah lama gak lihat-lihat!" Gurauku. Mas Bayu dan rekannya mengangguk. tergambar kepuasan di wajahnya. "Kalau boleh tahu, ada apa ya, Mas?" Tanyaku. Mas Bayu termasuk supplier senior. Beberapa tahun menjalin kerja sama dengannya, aku hafal betul tabiatnya. Tak pernah menagih pembayaran, barang yang dikirim pasti berkualitas dan murah. "Begini, Mbak Nada. Sudah hampir setengah tahun ini, pembayaran dari toko Mbak Nada terhenti, padahal barang banyak yang sudah masuk di toko yang baru!" Mas Bayu menjeda kalimatnya untuk melihat reaksiku. Aku hanya membuka mulut tanpa sadar. "Kenapa..?" Aku menatap Mas Bayu tak mengerti. Mas Bayu segera mengeluarkan tumpukan invoice dan menyerahkan kepadaku. "Sebanyak ini, Mas?" Tanganku bergetar. "Permisi!" Kembali suara tamu terdengar. Setelah Fitri meletakkan baki berisi air mineral untuk tamu, fitri kembali melihat ke depan. Aku masih menghitung tagihan yang harus terbayar, ketika Fitri kembali masuk bersamaan dengan seorang lelaki. "Mau nagih pembayaran, Mbak!" Aku terperangah tak berkedip. Tagihan lagi? "Pengiriman ke mana, Pak? Ke toko yang lain?" Laki-laki itu mengangguk mengiyakan. "Sudah beberapa hari ini toko di sana tutup. Padahal janji mau melakukan pelunasan kekurangan yang sudah nunggak berbulan-bulan!" Tanpa sadar aku bersandar dengan menggumam istighfar. Mas Danar benar-benar keterlaluan. Tak hanya menduakanku, tapi juga melakukan tindakan yang tak pernah aku duga. Memindah tokoku, melakukan penggelapan, juga tak membayar tagihan yang nilainya tak sedikit. "Saya akan selesaikan tapi dengan syarat. Bagaimana?" Aku terpaksa mengancam mereka. Mereka saling pandang. "Saya akan lunasi semua pembayaran, setelah barang yang sudah di kirim di toko lain, dikirimkan kembali di toko ini!"Mataku mengerjap. Mencoba untuk membuka perlahan meski terasa berat. Seketika bau yang tak asing mulai memenuhi rongga hidung. "Nada?" Aku mendengar sesorang memanggil namaku, tapi bukan Mas Danar. Suara itu terdengar lebih berat dan dalam. "Aku membuka mata dan menatap seseorang yang duduk di sisi ranjang dengan wajah penuh kekhawatiran. "Nada, akhirnya kamu bangun juga! Syukurlah!" Kata-kata lembut itu terdengar menenangkan. Aku mengangguk lemah. Mataku memindai seluruh ruangan sambil mengingat kejadian demi kejadian yang membuatku terbaring di sini. Tak kutemukan sosok Mas Danar. Hatiku mencelos. Justru orang lain yang tampak berbinar saat melihatku kembali sadar. "Aku senang kita bisa kembali berjumpa. Tapi bukan perjumpaan seperti ini yang kuharapkan!" Aku menatap lekat manik matanya. "Saka? Saka Banyu Aji?" Aku membaca name tag yang ada di seragam putihnya juga menatap wajahnya lekat-lekat. Ya. Dia Saka. Laki-laki itu tersenyum dan mengangguk. Kami saling ken
Mataku menatap lalu lalang aktifitas jalanan kompleks dari balkon kamar. Sejak kejadian tempo hari di toko, aku jadi mudah curiga dan membuatku semakin ingin mengumpulkan bukti sebanyak-banyaknya. Bukti yang bisa membuat cintaku luntur tanpa sisa. Benar saja. Tak lama kulihat mobil memasuki halaman. Tampak Mas Danar dan seorang perempuan ada di posisi depan. Sudah beberapa hari ini Mas Danar pergi dan kini, ia kembali. "Nada, kebetulan! Ada yang mau Ibu bicarakan!" Mertuaku naik ke lantai dua dan melihatku yang kini di depan TV ruang tengah. "Apa, Bu?" Ibu mertuaku menatapku serius lalu menghela nafas perlahan. Perempuan yang dulu kuhormati itu, menjatuhkan beban tubuhnya di sisiku. Biasanya aku akan mendekat dan melakukan apa saja untuk membuatnya menerimaku sepenuh hati. Tapi kini, aku tak meresponnya. "Danar harus menikahi Sasi!" Ibu melirikku. "Ibu harap kamu bisa menerima Sasi. Toh selama ini, kamu juga gak hamil-hamil kan?" Aku hanya diam. Menatap suamiku yang akh
"Boleh saya minta fakturnya, Pak?" Laki-laki itu mengangguk lalu duduk di sisi Mas Bayu dan mengeluarkan satu bendel faktur. Aku mengerjapkan mata sesaat. Sebanyak ini? Aku segera menghitung dibantu Fitri. "Saya akan transfer lima puluh persen dulu. Setelah barang ada di toko ini, saya akan tambahkan biaya pengiriman. Bagaimana?" Mereka mengangguk setuju. Awalnya aku sempat was-was. Hal ini memang terlalu frontal tapi mau bagaimana lagi. Aku harus segera mengambil langkah untuk menyelamatkan toko. Aku tak bisa melihat toko ini hancur begitu saja karena kesalahanku yang terlalu cinta buta. Setelah memastikan total jumlah yang mereka tagih aku segera mentransfer sejumlah uang yang telah kujanjikan. "Silakan di cek Mas Bayu, Bapak Irvan. Sudah saya kirimkan sesuai dengan apa yang telah saya sampaikan. Saya tunggu pengiriman barang di toko ini. Seterusnya akan seperti itu. Seperti biasanya. Sekali lagi saya mohon maaf atas kesalahpahaman yang terjadi beberapa waktu ini!" Angg
Setelah Mas Danar pergi, aku segera bersiap. Aku akan mengunjungi toko hari ini. Sudah setahun lebih aku gak pernah lagi mengunjungi toko. Mungkin aku tak akan curiga andai saja aku tak pernah membaca pesan-pesan itu tadi malam. Tanpa membuang waktu, aku meluncur ke toko dengan mobil yang lain. "Mau ke mana, Mbak Nada. Cantik banget!" Bu Ana, salah seorang tetangga menyapaku saat aku menutup pintu pagar rumah. Aku cuma tersenyum kecil. Sejak menikah, aku hanya pakai daster ke mana-mana, paling banter ke pasar. Kali ini, aku memakai outfit celana kain hitam dengan kemeja marun, lengkap dengan make up meski tipis dan natural. "Mau ke toko, Bu Ana! Mari, Bu!" Aku mengangguk ramah dan kembali masuk mobil. Membawanya memecah jalanan menuju toko yang selama ini kuabaikan. Sesampainya di toko, aku menatap heran kondisi toko yang setengah tertutup. Biasanya jam-jam siang begini, toko lagi ramai-ramainya. Tapi kali ini sepi seperti tak ada aktifitas apapun. "Loh, Mbak? Ya Allah Mbak
Aku baru saja selesai mengerjakan pekerjaan rumah dan berniat untuk segera istirahat. Saat aku membuka pintu kamar, kulihat suamiku yang sedang sibuk menata baju di koper kecil. "Mau ke mana, Mas. Tumben packing gak nyuruh?" Aku duduk di sisi ranjang sambil terus memperhatikannya. "Iya, Dek. Mendadak!" Suamiku menjawab tanpa menoleh. "Urusan apa?" Aku mulai melepas ikatan rambutku dan merapikannya dengan tangan. "Diajak Ibu, ada acara di kampung!" Aku mengernyitkan dahi. "Acara di kampung? Di kampungnya siapa?" Sesaat Mas Danar terdiam, lalu menoleh dan tersenyum. "Di kampung kerabat jauhnya Ibu, Dek!" Entah kenapa aku ingin tahu. Setahuku, Mas Danar tak lagi punya kerabat di kampung. Sejak menikah denganku, Mas Danar memang memboyong ibunya. Mas danar beralasan, dia anak tunggal apalagi laki-laki. Sudah seharusnya berbakti pada ibunya dan aku memang tak pernah mempermasalahkan hal itu. Selama hal itu adalah perintah agama, aku akan selalu mendukungnya. "Aku tidur