Kevin mengerutkan keningnya saat sosok anggun itu melangkah masuk ke dalam ruang pertemuan. Cahaya lampu kristal yang menggantung megah di langit-langit memantulkan kilauan halus di atas setelan jas navy yang membalut tubuh Julia dengan sempurna.
Matanya menyipit, mengamati wanita yang pernah menjadi bagian dari hidupnya—sekarang berdiri di hadapannya dengan aura yang jauh lebih mengintimidasi.
“Untuk apa kau kemari? Ada urusan apa?” suaranya terdengar tajam, sarat dengan ketidaksenangan yang tak berusaha ia sembunyikan.
Julia tetap melangkah maju dengan percaya diri, langkahnya mantap seperti seorang ratu yang memasuki medan pertempuran yang telah dikuasainya.
Ia menyunggingkan senyum tipis, seolah menikmati ketidaknyamanan yang jelas terlihat di wajah Kevin.
“Kolegamu adalah kolegaku juga, Kevin,” ucapnya ringan, suaranya lembut namun menusuk. “Aku hanya penasaran… apa yang akan terjadi dengan perusahaanmu jika tidak ada aku yang membantumu!”
Kevin terkekeh sinis, melipat kedua tangannya di dada, mencoba mempertahankan kesombongannya. “Jangan mengada-ada, Julia. Kau sama sekali tidak berperan penting dalam pembangunan bisnisku. Aku bisa sukses tanpamu.”
Julia mendengus, matanya menatap Kevin dengan penuh penilaian. “Lihat saja nanti, Kevin,” ujarnya dengan nada santai yang justru terdengar semakin mengancam.
“Setelah ini, kita akan lihat siapa yang akan menangis karena kehilangan banyak vendor.”
Tanpa menunggu respons dari Kevin, Julia melangkah melewatinya dengan anggun, meninggalkannya dalam keterkejutan yang sulit ia sembunyikan.
Aroma parfumnya yang lembut namun memikat menyelinap di udara, meninggalkan jejak samar yang tak bisa dihindari Kevin—seperti bayangan masa lalu yang enggan pergi.
Saat Julia memasuki ruang meeting, atmosfer ruangan seketika berubah. Para pendiri perusahaan yang telah menunggunya di sana menyambutnya dengan penuh antusias, seolah seorang pemain kunci baru saja kembali ke dalam permainan.
Albert, salah satu pendiri yang paling berpengaruh, segera menghampirinya dan menjabat tangannya dengan erat.
“Akhirnya kau kembali, Julia. Kami sudah menantikanmu bergabung dengan The Gold Company,” ucap Albert, suaranya mencerminkan penghormatan yang tulus.
Julia membalas senyumnya dengan anggun, lalu melirik sekilas ke arah Kevin yang kini tampak semakin gelisah.
“Aku juga senang bisa kembali bekerja dengan kalian,” ujarnya dengan tenang, meski ada bara api yang membara di balik kata-katanya.
Begitu pertemuan dimulai, Julia mengambil alih pembicaraan dengan ketenangan yang luar biasa.
Ia menguraikan visinya dengan gamblang, menjelaskan setiap strategi dan inovasi yang akan membawa perusahaan ke tingkat yang lebih tinggi.
“Aku akan memberikan salinannya dalam dua minggu,” katanya, suaranya penuh keyakinan.
Ruangan sejenak hening, lalu gumaman kagum mulai terdengar. Salah satu dari mereka bahkan berseru, “Dua minggu? Ini luar biasa, Julia. Yang lain biasanya membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk menyusun rencana sebesar ini.”
Julia tersenyum tipis, memainkan jarinya di atas pena emas yang berada di tangannya. “Ini hal yang mudah bagiku,” ujarnya ringan, sebelum menambahkan dengan nada yang lebih menusuk.
“Bahkan salah satu perusahaan yang aku bantu pun kini berkembang pesat. Sayangnya, pemilik perusahaan itu tidak pernah mengakui kehebatanku.”
Ucapannya bagaikan belati yang meluncur tepat ke jantung Kevin. Seisi ruangan kini memperhatikannya—beberapa dengan ekspresi penasaran, yang lain dengan sorot mata yang seolah baru menyadari sesuatu. Wajah Kevin mulai memerah, entah karena amarah, malu, atau kombinasi dari keduanya.
Ia mengepalkan tangannya di bawah meja, berusaha keras menahan emosinya. Tapi, dalam diamnya, ia tahu satu hal—Julia bukan lagi wanita yang dulu bisa ia kendalikan. Kini, ia berdiri sebagai lawan yang tak bisa diremehkan.
Meeting baru saja usai ketika Kevin melesat maju, langkahnya terburu-buru seperti seseorang yang sedang kehilangan kendali.
Dalam sekejap, ia sudah berada di sisi Julia, tangannya mencengkeram pergelangan wanita itu dengan sedikit kasar.
"Apa maksudmu bicara seperti itu? Dan kenapa kau ingin menyerobot pekerjaanku?" suaranya rendah, tetapi menggigit, seperti bara api yang membara di balik lapisan es.
Julia menoleh perlahan, menatap Kevin dengan ekspresi yang nyaris malas, seolah menghadapi amukan seorang anak kecil yang keras kepala.
Ia melepaskan tangannya dari genggaman Kevin dengan gerakan anggun, lalu mengangkat bahunya tanpa beban.
"Aku tidak menyerobot apa pun, Kevin," ujarnya ringan, namun nada suaranya tajam seperti belati yang baru diasah.
"Aku adalah perancang hebat yang sudah diakui banyak perusahaan besar. Jadi, jangan heran jika aku bisa menaklukkan semua orang untuk mengambil rancangan yang aku buat."
Ada kemarahan yang jelas membayang di wajah Kevin. Rahangnya mengeras, matanya membara. Ia melangkah lebih dekat, hingga hanya ada jarak tipis di antara mereka.
Aroma parfumnya yang maskulin bercampur dengan hawa panas emosinya, namun Julia tidak gentar.
"Aku tidak akan tinggal diam," bisik Kevin dengan suara penuh tekad. "Aku akan merebut kembali hati mereka dan memastikan mereka memilih perusahaanku, bukan dirimu."
Ucapan itu hanya membuat Julia tertawa—tawa yang begitu ringan, begitu penuh ejekan, seolah ia baru saja mendengar sebuah lelucon yang sangat menggelikan.
Mata keemasannya berkilat tajam, bibirnya melengkung dalam senyum kemenangan.
"Lakukan saja, Kevin," tantangnya, nadanya dipenuhi dengan keangkuhan yang elegan. "Aku sudah tidak sabar ingin melihatmu ditolak mentah-mentah oleh mereka."
Ia melangkah lebih dekat, kini hanya beberapa inci dari wajah Kevin. Dalam suaranya yang lembut, ada racun yang terselubung rapi.
"Karena sampai saat ini, mereka hanya tahu bahwa seorang Julia-lah yang merancang ide sejak perusahaanmu berdiri."
"Hi, Bu," sapa Julia ramah.Amelia, sang ibu, tersenyum hangat. Ia berjalan menghampiri lalu duduk di samping putri semata wayangnya itu."Bagaimana? Kau nyaman dengan pekerjaan di kantor?" tanyanya, menatap Julia dengan penuh perhatian.Julia menghela napas panjang sebelum menjawab. "Mengurus berkas dan laporan perusahaan memang cukup membuatku pusing, Bu. Tapi..." Ia tersenyum tipis. "Setidaknya harga diriku tidak jatuh."Amelia tertawa kecil mendengar jawaban anaknya. Ia merasa bangga melihat Julia yang kini telah kembali menjadi wanita tegas dan mandiri, bukan lagi sosok yang terjebak dalam cinta buta."Ini baru anakku," puji Amelia, membelai lengan Julia dengan penuh kasih sayang."Kau tegas, berani, dan mandiri. Andai kau sadar sejak lama, mungkin sekarang kau sudah menikah dengan pria kaya raya yang derajatnya sesuai denganmu."Julia sontak tertawa mendengar ucapan ibunya. Tawa yang penuh kelegaan sekaligus sedikit rasa malu."Anggap saja tiga tahun ini aku bereksperimen, Ibu,"
“Kau masih marah?” tanya Mike hati-hati, memperhatikan ekspresi Julia yang tampak murung.Julia menoleh perlahan, lalu tersenyum tipis ke arah lelaki itu. Senyumnya tidak benar-benar sampai ke matanya. “Kenapa kau bertanya seperti itu?” sahutnya, nadanya ringan tapi mengandung kelelahan.Mike menyandarkan punggungnya di kursi, menatap Julia dengan cermat. “Wajahmu tampak tidak bersahabat, Julia. Dan aku masih ingat pertemuanmu dengan Cindy juga Kevin di restoran—yang membuatmu sangat marah,” jelas Mike, mencoba mengingatkan.Julia terkekeh pelan, suara tawanya terdengar getir. “Sudah tidak terlalu marah, Mike. Aku malah sudah sedikit lega. Karena aku sudah membuat Kevin marah tadi siang.”Mike mengangkat alisnya, penasaran. “Aku tidak bisa membayangkan betapa marahnya Kevin saat kau membatalkan kontrak kerja itu, Julia.”Julia menyunggingkan senyum tipis, matanya berbinar nakal. “Andai kau melihat wajahnya, Mike... Aku yakin kau pasti ingin tertawa. Dia tampak seperti bocah yang maina
Di sore yang tenang, cahaya matahari mengalir lembut lewat jendela besar ruang tengah rumah mereka.Cindy duduk santai di atas sofa, mengenakan gaun santai berwarna biru muda, sebuah majalah di pangkuannya.Saat mendengar langkah kaki yang mendekat, ia mendongak dan mendapati Kevin, suaminya, berjalan ke arahnya. Senyum sumringah langsung menghiasi wajah Cindy."Hey, kau pulang lebih cepat hari ini," sapa Cindy ceria, meletakkan majalah di meja.Kevin tersenyum tipis, tetapi sorot matanya mengisyaratkan kegelisahan. Ia duduk di samping Cindy, tanpa basa-basi, langsung menatapnya dalam-dalam."Cindy, aku butuh bantuanmu," kata Kevin, suaranya berat.Cindy mengerutkan keningnya mendengarnya. “Bantuan? Bantuan apa, Kevin?” tanyanya dengan nada ingin tahu."Aku ingin kau membantuku membuat Julia menyesal... karena dia telah membatalkan kontrak kerja sama dengan perusahaanku."Cindy membelalak. Bola matanya membulat seketika. Ia memiringkan tubuhnya, menatap Kevin dengan ekspresi tidak per
Kevin bersandar di kursinya, mengusap permukaan meja kayu mahoni yang mengilap dengan ujung jarinya, seolah merasakan denyut kemenangan yang bergetar di setiap seratnya.Senyum tipis bertengger di sudut bibirnya saat tinta emas pena menggoreskan tanda tangannya di atas kontrak yang menjanjikan masa depan gemilang bagi perusahaannya.Ini bukan sekadar kesepakatan biasa, melainkan puncak dari perjalanan panjang yang penuh lika-liku. Sebuah mahakarya diplomasi bisnis yang akhirnya terwujud dalam lembaran perjanjian resmi.Namun, euforia itu buyar dalam sekejap. Seperti kaca kristal yang terlepas dari genggaman, jatuh dan hancur berkeping-keping di lantai realitas yang kejam.Notifikasi email menyala di sudut layar laptopnya, seperti pertanda kehancuran yang menanti. Alisnya mengernyit, jemarinya bergerak membuka pesan dengan perasaan yang tiba-tiba diliputi firasat buruk.Begitu matanya menyapu isi surat elektronik itu, denyut nadinya melonjak, dan perutnya seakan dihantam gelombang ding
Mike melirik arlojinya sejenak sebelum memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku. Waktu sudah berlalu lebih cepat dari yang ia kira.Dengan langkah mantap, ia menuju restoran kecil yang terletak tak jauh dari kantor The Gold Company.Aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan keharuman roti panggang yang baru keluar dari oven menyambutnya begitu ia mendorong pintu kaca restoran.Di dekat jendela besar yang menghadap ke jalan, Julia sudah menunggu. Cahaya matahari yang menembus kaca membingkai wajahnya dengan kilauan keemasan, menciptakan siluet yang hampir tak nyata.Ia tampak anggun dalam setelan formalnya, meskipun ada sedikit kelelahan yang tersembunyi dalam sorot matanya."Maaf menunggu lama, Julia," ujar Mike dengan senyum tipis, nada suaranya penuh kehangatan.Julia mengangkat wajahnya, tersenyum samar. "Tidak apa-apa, aku juga baru saja datang. Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk makan siang bersamaku."Mike menarik kursinya dan duduk, kedua sikunya bertumpu ringan
Kevin mengerutkan keningnya saat sosok anggun itu melangkah masuk ke dalam ruang pertemuan. Cahaya lampu kristal yang menggantung megah di langit-langit memantulkan kilauan halus di atas setelan jas navy yang membalut tubuh Julia dengan sempurna.Matanya menyipit, mengamati wanita yang pernah menjadi bagian dari hidupnya—sekarang berdiri di hadapannya dengan aura yang jauh lebih mengintimidasi.“Untuk apa kau kemari? Ada urusan apa?” suaranya terdengar tajam, sarat dengan ketidaksenangan yang tak berusaha ia sembunyikan.Julia tetap melangkah maju dengan percaya diri, langkahnya mantap seperti seorang ratu yang memasuki medan pertempuran yang telah dikuasainya.Ia menyunggingkan senyum tipis, seolah menikmati ketidaknyamanan yang jelas terlihat di wajah Kevin.“Kolegamu adalah kolegaku juga, Kevin,” ucapnya ringan, suaranya lembut namun menusuk. “Aku hanya penasaran… apa yang akan terjadi dengan perusahaanmu jika tidak ada aku yang membantumu!”Kevin terkekeh sinis, melipat kedua tang