Surat cerai yang dilempar Kevin pada Julia membuat hati Julia sangat hancur. Dia begitu mencintai Kevin. Namun, ternyata Kevin tidak begitu tulus mencintainya. Setelah tahu alasan Kevin menceraikannya—karena telah mendapat wanita yang jauh lebih cantik dan seksi darinya, Julia pergi meninggalkan kediaman Kevin. Lebih parahnya lagi, rupanya orang tua Kevin mendukung Kevin bercerai dengannya. Julia akhirnya bangkit untuk membalaskan dendam dan pengkhianatan yang telah dilakukan oleh Kevin padanya. Ia dipertemukan dengan rekan kerja ibunya—Mike, seorang pengusaha muda kaya raya. "Maukah kau membantuku menghancurkan mantan suamiku?" "Dengan senang hati!"
View More"Mulai detik ini, kau bukan istriku lagi!"
Suara Kevin bergema di ruangan itu, dingin dan tak berperasaan. Lembar-lembar surat cerai melayang di udara sebelum akhirnya jatuh menampar wajah Julia.
Jari-jarinya yang gemetar meraih kertas itu, seakan berharap bahwa ia salah melihat, bahwa ini semua hanyalah mimpi buruk yang akan segera berakhir.
Namun, tinta hitam yang tertulis di atas kertas putih itu adalah vonis mati atas pernikahannya. Setiap hurufnya seolah berbisik kejam di telinganya, mengukuhkan nasib yang kini tak lagi bisa dihindari.
"Kenapa kau tega menceraikanku secara mendadak seperti ini?" suaranya lirih, bergetar di antara isakan yang ia tahan sekuat tenaga.
Matanya yang mulai memerah mencari-cari sesuatu dalam diri Kevin—secuil belas kasih, sedikit saja perasaan yang mungkin masih tersisa untuknya.
Namun, Kevin hanya mendengus. Pria itu menyilangkan tangan di dadanya, matanya menatap Julia dengan ekspresi dingin, tanpa sedikit pun emosi.
"Aku tidak membutuhkanmu lagi dalam hidupku,” ucapnya dengan suara datar.
"Apa kurangku padamu, Kevin?" suaranya pecah, tubuhnya bergetar hebat. "Kenapa kau tega menceraikanku seperti ini? Apakah aku sudah tidak berharga lagi di hidupmu?"
Air matanya akhirnya jatuh, mengalir deras tanpa bisa ia tahan. Selama ini, ia mencintai Kevin dengan seluruh jiwa dan raganya.
Ia berjuang demi rumah tangga mereka, rela mengorbankan segalanya. Dan kini, balasan yang ia terima hanyalah pengkhianatan yang begitu kejam.
Kevin menatapnya dengan sorot mata tajam, penuh kebencian yang bahkan Julia tak pernah bayangkan sebelumnya. "Tentu saja! Kau tidak berharga lagi bagiku!" suaranya sarat dengan kejijikan.
"Lihat dirimu, Julia. Kau kucel, tidak menarik, dan tidak tahu bagaimana menyenangkan suami! Aku lelah denganmu! Aku malu pada rekan-rekan kerjaku karena ulahmu yang tak pernah terlihat cantik di depan mereka!"
Dunia Julia seakan runtuh. Kata-kata itu menusuk tepat di relung hatinya yang terdalam, meremukkan sisa-sisa kepercayaan dirinya.
"Aku selalu berusaha menjadi istri yang baik..." ucapnya dengan suara yang hampir tak terdengar.
"Aku bekerja keras untukmu, untuk kita! Aku tidak pernah mengeluh! Aku tidak punya waktu untuk merawat diri karena semua waktuku kuhabiskan untukmu!"
Namun, Kevin hanya tertawa sinis. Tawa yang dingin, penuh penghinaan, yang membakar habis segala harapan Julia.
"Itu masalahmu! Aku tidak peduli! Aku ingin hidup dengan seseorang yang tahu bagaimana memperlakukan suaminya, bukan hanya sibuk berkutat di dapur dan mengabaikan suaminya sendiri!"
Julia menggigit bibirnya, menahan isakan yang semakin keras mengoyak tenggorokannya. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, kuku-kukunya hampir menembus kulitnya sendiri.
"Jadi… semua ini karena aku tidak bisa tampil cantik untukmu?" matanya menatap Kevin dengan pandangan yang penuh luka.
"Kau tidak pernah memberiku uang untuk membeli make-up atau pakaian bagus! Kau bahkan tidak pernah peduli!"
Namun, tidak ada penyesalan di mata Kevin. Tidak ada rasa bersalah. Yang ada hanyalah keangkuhan dan ketidakpedulian yang membuat Julia ingin menjerit.
Betapa bodohnya ia selama ini.
Selama ini, Julia lah yang menemani Kevin, membantunya mengatasi bisnis yang hampir bangkrut. Ia yang bekerja siang dan malam, memastikan pria itu sukses, mendukungnya tanpa henti.
Namun kini, setelah tiga tahun ia berjuang, setelah Kevin berdiri kokoh di puncak kesuksesannya, pria itu justru melemparkannya ke jurang kehancuran.
Menceraikannya dengan cara hina seperti ini.
"Aku mohon, Kevin. Pertimbangkan lagi keputusanmu ini." Suara Julia nyaris tak terdengar.
Matanya yang membasah menatap pria di hadapannya, mencoba mencari secercah kebaikan yang mungkin masih tersisa di hatinya.
"Aku muak, Julia. Aku tidak ingin mendengar rengekanmu lagi. Sekarang, berkemaslah dan pergi dari rumah ini!"
Tangannya terangkat, menunjuk pintu utama dengan kasar—mengusir Julia dari rumah megah yang dulu ia sebut sebagai rumahnya.
Julia membelalakkan mata, dadanya naik turun menahan gejolak perasaan yang membakar setiap nadinya. "Apa? Malam ini juga? Kau serius ingin mengusirku?" suaranya bergetar antara marah, terluka, dan kecewa yang tak tertahankan.
"Ya! Malam ini juga!" Kevin menegaskan, tanpa ragu, tanpa belas kasih. "Aku tidak ingin melihatmu lagi di rumah ini!"
Belum sempat Julia mencerna ucapan itu, suara langkah kaki terdengar mendekat. Gemerincing perhiasan beradu, aroma parfum yang menyengat memasuki ruang tamu, menciptakan atmosfer yang lebih menyesakkan.
Dari balik pintu, muncul seorang wanita paruh baya dengan sorot mata tajam seperti burung pemangsa—Diana, ibu mertuanya. Tubuhnya tegap dengan dagu terangkat, seolah tengah menatap sesuatu yang lebih rendah darinya.
Di sampingnya berdiri seorang wanita muda berbalut gaun merah ketat yang mencetak sempurna lekuk tubuhnya.
Wajahnya penuh riasan tebal, bibirnya merah menyala, dan di sudut bibirnya terukir senyum yang lebih menyerupai ejekan.
Diana menyipitkan mata, bibirnya melengkung dalam ekspresi penuh penghinaan. "Dengar baik-baik, Julia. Kau sudah bukan menantuku lagi. Kevin sudah menceraikanmu, dan aku lega akhirnya beban ini terlepas dari keluarga kami. Aku muak dengan semua ini. Kau bukan istri yang pantas untuk Kevin!"
Seolah sebuah batu besar menimpa dadanya, Julia menatap wanita muda di samping mertuanya dengan curiga. Hatinya mulai merasakan firasat buruk, hawa dingin menjalar ke seluruh tubuhnya.
"Siapa dia?" tanyanya, suara hampir tenggelam dalam keterkejutan yang melumpuhkan.
Kevin menyunggingkan senyum dingin, senyum yang selama ini tak pernah ia berikan kepada Julia. "Dia Cindy. Calon istriku."
Langkah Julia goyah. Tubuhnya melemah, seakan gravitasi tiba-tiba menjadi lebih berat, menariknya ke dasar jurang penderitaan yang tak berujung.
Matanya membelalak, mulutnya sedikit terbuka, namun tak ada kata yang mampu keluar.
"Jadi... kau menceraikanku karena wanita ini?" suaranya pecah oleh isakan yang berusaha ia tahan.
Diana tertawa sinis, suara tawanya menggema di ruangan yang seketika terasa begitu asing bagi Julia. "Bukan hanya itu, Julia!" ucapnya penuh kemenangan.
"Kau tidak bisa memberiku cucu! Kau mandul! Aku tidak mau membuang waktu lebih lama dengan wanita cacat sepertimu!"
Kata-kata itu menghantam Julia seperti petir yang menyambar tanpa ampun. Tubuhnya menegang, darahnya berdesir dalam amarah yang perlahan mulai menggelegak.
Julia mengepalkan tangannya, matanya menyala penuh perlawanan. "Aku tidak mandul!" suaranya meninggi, penuh penolakan.
"Aku sudah berusaha! Aku bahkan pergi ke dokter dan hasilnya..." Napasnya memburu, dadanya naik turun menahan gejolak emosi. "Hasilnya kau yang bermasalah, Kevin!"
Ruangan itu seketika senyap. Untuk pertama kalinya, wajah Kevin berubah. Sekelebat keterkejutan melintas di matanya, namun ia segera menutupinya dengan tawa sinis.
"Omong kosong!" ucapnya dengan nada mengejek. "Cindy hamil anakku sekarang. Itu buktinya kalau aku tidak bermasalah!"
Julia mundur selangkah, dadanya terasa sesak seperti dihantam palu godam. "Tidak... tidak mungkin..." suaranya bergetar, kepalanya pening, seolah duniannya kini hanya dipenuhi kabut kegelapan.
Diana melipat tangan di dada menatap tajam wajah Julia. "Cepat keluar dari rumah ini, Julia. Cindy yang berhak tinggal di sini, bukan kau!"
Julia menatap mereka satu per satu. Air matanya terus mengalir, membasahi pipinya yang pucat.
Dengan suara yang penuh luka, namun juga kekuatan yang baru, ia berkata, "Kalian tidak akan pernah bahagia dengan cara seperti ini! Aku mencintaimu, Kevin! Aku sudah mengorbankan segalanya untukmu! Tapi ini balasanmu? Menghina dan membuangku seperti sampah?"
Kevin menatapnya dingin, tanpa goresan penyesalan sedikit pun. "Aku tidak pernah mencintaimu, Julia. Kau hanya batu sandungan dalam hidupku. Keluar dari rumah ini sebelum aku menyeretmu sendiri."
"Hi, Bu," sapa Julia ramah.Amelia, sang ibu, tersenyum hangat. Ia berjalan menghampiri lalu duduk di samping putri semata wayangnya itu."Bagaimana? Kau nyaman dengan pekerjaan di kantor?" tanyanya, menatap Julia dengan penuh perhatian.Julia menghela napas panjang sebelum menjawab. "Mengurus berkas dan laporan perusahaan memang cukup membuatku pusing, Bu. Tapi..." Ia tersenyum tipis. "Setidaknya harga diriku tidak jatuh."Amelia tertawa kecil mendengar jawaban anaknya. Ia merasa bangga melihat Julia yang kini telah kembali menjadi wanita tegas dan mandiri, bukan lagi sosok yang terjebak dalam cinta buta."Ini baru anakku," puji Amelia, membelai lengan Julia dengan penuh kasih sayang."Kau tegas, berani, dan mandiri. Andai kau sadar sejak lama, mungkin sekarang kau sudah menikah dengan pria kaya raya yang derajatnya sesuai denganmu."Julia sontak tertawa mendengar ucapan ibunya. Tawa yang penuh kelegaan sekaligus sedikit rasa malu."Anggap saja tiga tahun ini aku bereksperimen, Ibu,"
“Kau masih marah?” tanya Mike hati-hati, memperhatikan ekspresi Julia yang tampak murung.Julia menoleh perlahan, lalu tersenyum tipis ke arah lelaki itu. Senyumnya tidak benar-benar sampai ke matanya. “Kenapa kau bertanya seperti itu?” sahutnya, nadanya ringan tapi mengandung kelelahan.Mike menyandarkan punggungnya di kursi, menatap Julia dengan cermat. “Wajahmu tampak tidak bersahabat, Julia. Dan aku masih ingat pertemuanmu dengan Cindy juga Kevin di restoran—yang membuatmu sangat marah,” jelas Mike, mencoba mengingatkan.Julia terkekeh pelan, suara tawanya terdengar getir. “Sudah tidak terlalu marah, Mike. Aku malah sudah sedikit lega. Karena aku sudah membuat Kevin marah tadi siang.”Mike mengangkat alisnya, penasaran. “Aku tidak bisa membayangkan betapa marahnya Kevin saat kau membatalkan kontrak kerja itu, Julia.”Julia menyunggingkan senyum tipis, matanya berbinar nakal. “Andai kau melihat wajahnya, Mike... Aku yakin kau pasti ingin tertawa. Dia tampak seperti bocah yang maina
Di sore yang tenang, cahaya matahari mengalir lembut lewat jendela besar ruang tengah rumah mereka.Cindy duduk santai di atas sofa, mengenakan gaun santai berwarna biru muda, sebuah majalah di pangkuannya.Saat mendengar langkah kaki yang mendekat, ia mendongak dan mendapati Kevin, suaminya, berjalan ke arahnya. Senyum sumringah langsung menghiasi wajah Cindy."Hey, kau pulang lebih cepat hari ini," sapa Cindy ceria, meletakkan majalah di meja.Kevin tersenyum tipis, tetapi sorot matanya mengisyaratkan kegelisahan. Ia duduk di samping Cindy, tanpa basa-basi, langsung menatapnya dalam-dalam."Cindy, aku butuh bantuanmu," kata Kevin, suaranya berat.Cindy mengerutkan keningnya mendengarnya. “Bantuan? Bantuan apa, Kevin?” tanyanya dengan nada ingin tahu."Aku ingin kau membantuku membuat Julia menyesal... karena dia telah membatalkan kontrak kerja sama dengan perusahaanku."Cindy membelalak. Bola matanya membulat seketika. Ia memiringkan tubuhnya, menatap Kevin dengan ekspresi tidak per
Kevin bersandar di kursinya, mengusap permukaan meja kayu mahoni yang mengilap dengan ujung jarinya, seolah merasakan denyut kemenangan yang bergetar di setiap seratnya.Senyum tipis bertengger di sudut bibirnya saat tinta emas pena menggoreskan tanda tangannya di atas kontrak yang menjanjikan masa depan gemilang bagi perusahaannya.Ini bukan sekadar kesepakatan biasa, melainkan puncak dari perjalanan panjang yang penuh lika-liku. Sebuah mahakarya diplomasi bisnis yang akhirnya terwujud dalam lembaran perjanjian resmi.Namun, euforia itu buyar dalam sekejap. Seperti kaca kristal yang terlepas dari genggaman, jatuh dan hancur berkeping-keping di lantai realitas yang kejam.Notifikasi email menyala di sudut layar laptopnya, seperti pertanda kehancuran yang menanti. Alisnya mengernyit, jemarinya bergerak membuka pesan dengan perasaan yang tiba-tiba diliputi firasat buruk.Begitu matanya menyapu isi surat elektronik itu, denyut nadinya melonjak, dan perutnya seakan dihantam gelombang ding
Mike melirik arlojinya sejenak sebelum memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku. Waktu sudah berlalu lebih cepat dari yang ia kira.Dengan langkah mantap, ia menuju restoran kecil yang terletak tak jauh dari kantor The Gold Company.Aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan keharuman roti panggang yang baru keluar dari oven menyambutnya begitu ia mendorong pintu kaca restoran.Di dekat jendela besar yang menghadap ke jalan, Julia sudah menunggu. Cahaya matahari yang menembus kaca membingkai wajahnya dengan kilauan keemasan, menciptakan siluet yang hampir tak nyata.Ia tampak anggun dalam setelan formalnya, meskipun ada sedikit kelelahan yang tersembunyi dalam sorot matanya."Maaf menunggu lama, Julia," ujar Mike dengan senyum tipis, nada suaranya penuh kehangatan.Julia mengangkat wajahnya, tersenyum samar. "Tidak apa-apa, aku juga baru saja datang. Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk makan siang bersamaku."Mike menarik kursinya dan duduk, kedua sikunya bertumpu ringan
Kevin mengerutkan keningnya saat sosok anggun itu melangkah masuk ke dalam ruang pertemuan. Cahaya lampu kristal yang menggantung megah di langit-langit memantulkan kilauan halus di atas setelan jas navy yang membalut tubuh Julia dengan sempurna.Matanya menyipit, mengamati wanita yang pernah menjadi bagian dari hidupnya—sekarang berdiri di hadapannya dengan aura yang jauh lebih mengintimidasi.“Untuk apa kau kemari? Ada urusan apa?” suaranya terdengar tajam, sarat dengan ketidaksenangan yang tak berusaha ia sembunyikan.Julia tetap melangkah maju dengan percaya diri, langkahnya mantap seperti seorang ratu yang memasuki medan pertempuran yang telah dikuasainya.Ia menyunggingkan senyum tipis, seolah menikmati ketidaknyamanan yang jelas terlihat di wajah Kevin.“Kolegamu adalah kolegaku juga, Kevin,” ucapnya ringan, suaranya lembut namun menusuk. “Aku hanya penasaran… apa yang akan terjadi dengan perusahaanmu jika tidak ada aku yang membantumu!”Kevin terkekeh sinis, melipat kedua tang
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments