Share

Korban Sebenarnya

Author: humaidah4455
last update Huling Na-update: 2023-10-06 16:52:37

Kau bisa, Aku juga 6

Melangkah menenteng ember cucian aku masuk ke rumah.

"Dari mana kamu, Han?!" sentak Bu Lasmi.

Busyet ini, nanya apa ngajakin perang sih? Galak banget jadi mertua. Ooh, mungkin dulunya dia di galakin juga kali sama mertuanya, sekarang balas dendam ke akuh. Duh, ngenes!

"Dari mana, kamu?! Jawab! Malah diem aja! Jam segini cucian piring masih numpuk, teh, ataupun kopi belum ada! Ngapain aja sih kamu?!" Bu Lasmi sudah seperti satpol PP sedang sidak.

"Dari nyari pahala, Bu. Ampun, dah! Baru pada melek udah teriak-teriak! Ati-ati pita suara putus. Atau tensinya naik, lho!" Kuletakkan ember di kamar mandi. Tumpukan baju kotor Bu Lasmi dan Rita masih utuh disana. Ogah yaaa kalau disuruh nyuci lagi.

"Nyari pahala, nyari pahala, pala Lo peang!" umpat Rita. "Cuciin gelas! Bikinin aku teh, cepetan!" Gantian Rita kini memerintah.

Aku berdiri, meraih teko berisi air lalu ku tenggak isinya, gelas habis di rak piring, semua kotor teronggok di wastafel.

"Punya kaki, punya tangan, sehat bugar enggak cacat, cuci sendirilah! Aku mo mandi, mo kerja!" ketusku meletakkan teko.

"Hari ini kamu nggak usah kerja, Han! Motornya mau Mas pake buat nganterin Rita cek kandungan ke dokter spesialis lain." Tiba-tiba laki-laki yang masih berstatus suamiku muncul menenteng ponsel kesayangannya.

"Iya, bener kata Heru! Kamu dirumah aja, nggak usah sok kerja segala! Beresin semua perabotan kotor ini, cucian juga numpuk!" sahut Bu Lasmi.

Widih, enak saja main larang hak orang untuk bekerja, malah nyuruh dirumah jadi babu, iiih, ogah laaa yaau!

"Hmmm, boleh aja! Kasih aku uang empat ratus ribu, Mas boleh bawa motorku, dan aku mau dirumah aja bersantai menikmati weekend!" Aku tersenyum menatap suamiku.

"Apa? Empat ratus ribu?!" Rita mendelik. Huh lebay. "G1la kamu!!!" umpatnya menudingku.

"Lho, Mas Heru melarangku untuk kerja lembur 'kan? Asal kalian tau, sehari lembur kemarin tip yang kudapat tiga ratus ribu. Ini hari Minggu, pengunjung restoran pasti tambah banyak, aku ogah tekor lah!" sahutku sinis pada Rita. "Lagian ya, Mas! Si Rita 'kan punya suami, kenapa harus kamu yang repot nganterin? Aku aja dulu mandiri kemana-mana, bahkan sampai ke rumah sakit nahan kontraksi lahiran cuma diantar bidan!" Kulirik Bu Lasmi sekilas.

"Hei, suaminya Rita ini pemborong, kerjanya dijalanan ngurusin pembangunan jalan, pulangnya tiga bulan sekali, kasihan Rita kalo harus sendirian periksa kehamilan, gitu aja nggak tau!" Bu Lasmi nyolot.

Aku terkekeh mendengar perkataan mertuaku. "Dasar manja!"

Wajah Rita berubah, "Apa katamu?!"

"Iya, manja! Udah gitu pemalas pula!" Aku tersenyum puas bisa membuat Rita kebakaran jenggot.

"Tutup mulutmu, Hani! Kau nggak liat, Rita lagi hamil besar, dia butuh bantuan orang lain, tau!"

"Ck ck ck!" Aku menggelengkan kepala. "Dulu aku hamil besar, biasa aja deh kalian. Bahkan Mas Heru nggak pernah nganterin aku periksa, sibuk terus alesannya. Aku juga ngerjain semua pekerjaan rumah, dan selalu disuruh-suruh, nggak kaya si Rita yang malesan ini, dikit-dikit teriak nyuruh kek nyonya bos aja!" sindirku spontan.

"Hani, stop membandingkan kamu dan Rita!" sentak Mas Heru.

Aku mendelik mendengar sentakan suamiku. Demi membela adiknya dia lagi-lagi meninggikan suara padaku.

"Kenapa? Kenapa nggak boleh? Aku bicara fakta! Adikmu ini punya suami, harusnya kamu nggak usah sok jadi pahlawan kesiangan nganterin dia periksa segala! Kau lupa, dulu sembilan bulan lebih anakmu dalam perut ini, kau abaikan. Jangankan mengantar periksa, sekedar mengelus saja bisa dihitung jari!" Aku meluap emosi ini sulit untuk ditahan.

"Jangan ngungkit masa lalu!" sentak Bu Lasmi.

"Kenapa, nggak trima, iya?!" Mereka pikir dengan tiga lawan satu, aku mengkeret? Oooh, tidak. Aku bukan Hani yang dulu.

"Hani, kau ini kenapa? Kenapa jadi begini, melawan, membantah, dan malah mengungkit masa lalu?!" Mas Heru menudingku.

Aku menyeringai puas mendengar suamiku bingung dengan tingkahku sekarang. "Luka disini yang membuatku berubah!" Kupegang bagian dadaku. "Sikap egois kalian juga yang memaksaku berubah." Kutatap mereka satu persatu. "Kau itu suami yang aneh, istri sendiri hamil kau abaikan, giliran orang lain hamil sok perhatian. Kau lupa, gara-gara keegoisanmu, aku kehilangan anak, darah dagingmu sendiri!" Ku tuding wajah pias suamiku.

"Cukup Hani, jangan salahkan Heru!" Bu Lasmi memekik. Sudah pasti dia keberatan jika anaknya kusalahkan.

Aku menoleh mertuaku menatapnya sinis, "Ibu juga turut andil atas meninggalnya putraku. Andai kalian berdua tidak egois!" desisku geram.

"Lancang kau, Hani!"

Aku membuang muka malas. Perdebatan ini hanya mengorek luka dalam yang sedang berusaha ku obati. Mengenang almarhum Zidan membuat hatiku berdarah. Aku memilih kekamar bersiap mandi dan berangkat kerja. Terserah dengan mereka. Jika mereka saja tak peduli denganku, untuk apa aku peduli pada mereka.

Omelan Bu Lasmi terdengar sumbang di telinga, aku berusaha cuek kuanggap itu suara siaran radio.

Selesai mandi, aku segera berganti pakaian dan bersiap kerja. Jam dinding dikamar menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas menit aku bisa telat masuk hari ini.

"Han, kau masih ngotot berangkat kerja?" Mas Heru masuk kamar sambil berkacak pinggang bayangannya terlihat di cermin.

"Iyalah. Aku mau ngumpulin duit, bapak sama emak dikampung minta kiriman. Mas lupa, biaya operasi Caesar ku mereka yang bayar!"

Menyisir rambut, lalu mengikatnya tinggi kemudian ku oles lipstik murahan ini agar wajahku tidak pucat.

"Sebentar lagi bulan puasa, kasihan orangtuaku di kampung. Kamu jangan melarangku bekerja kalau kamu sendiri masih perhitungan!"

Mas Heru nampak heran ia menatapku terlihat jelas sekali ekspresinya dari cermin.

"Tapi, Han ... gimana dengan Rita?" Mas Heru mencekal tanganku saat aku hendak meraih tas kerja.

"Bukan urusanku! Dia dihamili suaminya, kenapa aku yang repot?! Lepas!" Kuhentak tangan laki-laki yang masih punya gelar suami atas diriku.

Meraih tas beserta kunci motor, aku bersiap berangkat kerja.

"Hani, tunggu!" Mas Heru kembali meraih tanganku membuat langkah ini berhenti.

"Apa lagi, sih?!" Aku mbrengut kesal dibuatnya.

"Kau bilang, kemarin dapat uang lembur, bagi selembar, aku mau servis motor," lirihnya tanpa rasa malu.

Aku membelalakkan mata mendengar kalimat yang menurutku tak tahu diri. "Enak aja!" Senyumku mengejek sambil melangkah keluar kamar.

"Lho, kok kamu mau kerja? Siapa yang beresin rumah?!" Rita melongo melihatku. Si bunting itu sedang duduk di kursi makan. Nampak beberapa bungkus roti di atas meja. Tangan Rita juga memegang roti.

"Iyalah, kerja! Akukan bukan pengangguran serta parasit yang bisanya nyusahin orang!" sahutku kesal.

Rasanya malas berlama-lama dirumah ini. Sepertinya, aku harus mulai berpikir untuk mencari tempat tinggal baru agar terbebas dari mereka ini.

"Hani, berdosa kau membangkang perintah suami untuk tidak bekerja!" Mas Heru mengeluarkan jurus andalannya bersembunyi dibalik kata berdosa.

Aku menoleh dirinya. "Lebih berdosa lagi kamu, Mas! Yang nggak bisa memberikan kebahagiaan pada istri. Diam saat istri ditindas, dan diperlakukan semena-mena, ditambah lalai pada kewajiban sebagai suami. Aku begini juga karena kamu!" Tudingku pada laki-laki berkaos oblong dan bercelana kolor itu. Air mataku hampir tumpah sakit mengurai luka.

Kembali kulanjutkan langkah kaki mengeluarkan matic kesayanganku lalu memakai sepatu dan helm jengah rasanya dirumah ini. Mereka semua nggak ada yang ngerti, tapi nuntut dimengerti.

"Hani, stop!" Mas Heru mencekal tanganku.

"Lepas! Aku mau kerja!"

Motor kudorong keluar menuju teras. Kemudian kupakai sepatu butut ini, lalu tak lupa mengenakan helm.

"Hani, kamu benar tak menghargai aku sebagai suami," desisnya.

Aku tersenyum kecut sambil bertengger diatas motor. "Kamu menganggap ku istri hanya disaat butuh saja, Mas. Wajar 'kan kalo aku capek? Jangan bersikap seolah laki-laki terdholimi. Aku, aku korban sebenarnya, Mas! Bukan kamu!"

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Bangkitnya Istri Yang Kau Hina   Kau pasti menyesal (24)

    POV Author Mbak Enik panik sebab tak mendengar suara Hani padahal tadi ia dengan jelas sekali mendengar wanita itu berteriak minta tolong. Didalam rumah .... "Jangan coba-coba teriak, atau kupatahkan sekalian tanganmu ini!" desis Heru mengancam Hani. Wanita dengan tangan masih mengenakan arm sling itu hanya bisa meneteskan air mata dalam diam sebab mulutnya dibekap kuat oleh Heru. "Hani! Han! Kamu nggak papa 'kan?" Mbak Enik terus memanggil Hani, ia hendak membuka pintu namun takut disebut pencuri sebab dirinya hanya sendirian. Mbak Enik bingung mencari bantuan, ia clingukan kesana kemari. Sepeda motor Heru masih di halaman rumah. Namun, kedua manusia itu tak menyahut dari dalam sana. "Heru, kamu akan menyesal melakukan ini padaku," lirih Hani. "Apa, menyesal? Nggak! Aku nggak akan menyesal! Ini hukuman untuk istri pembangkang sepertimu!" geram Heru masih mengunci tubuh Hani sambil menahan sakit pada area sensitifnya. Hani meneteskan air mata. Ia sadar, jika berteriak Heru ak

  • Bangkitnya Istri Yang Kau Hina   Heru kalap (23)

    POV AuthorHani berjalan mencari makanan siap santap sambil menggendong tangannya yang retak. Rambutnya juga nggak di ikat. Biasanya jam segini, warung nasi uduk Ibu Hartati sudah siap nasi uduk, sayur matang, gorengan, dan es cendol juga ada, pedagang itu sering mangkal di sekolahan yang tak jauh dari rumah mertua Hani. "Mbak Hani! Ya Allah, itu Mbak Hani!" Para tetangga yang melihat Hani berjalan perlahan langsung menghampiri istrinya Heru itu. "Ya Allah, alhamdulilah, Mbak Hani selamat!" ungkap Bu Lis. "Si Hani, eta?!" Ceu Kokom ikutan heboh. Mereka mendekati Hani. "Aduuh hatur nuhun, Gusti, si Hani diselamet keun!" syukur Ceu Kokom. Hani tersenyum menanggapi para tetangga yang kepo terhadap dirinya. "Ya Allah, Han ... alhamdulilah kamu selamat. Aku liat berita di tv ngeri lho! Aku kemarin nanya sama mertuamu, dia malah cuek!" ujar Bu Lis. Dia terkenal biang kerok tukang adu ayam, eh domba. Dia senang jika melihat menantu dan mertua yang tidak akur."Alhamdulilah, aku selama

  • Bangkitnya Istri Yang Kau Hina   Heru stres (22)

    POV Author Heru memacu sepeda motornya menuju ke rumah, ia harus masuk kerja hari ini agar tidak kena pinalti dan berakhir pemecatan. Kepalanya pusing sebab Deni tidak mau menanggung biaya operasi Caesar Rita. 'Kenapa rasanya ini sama dengan keadaan Hani dulu? Pas Hani mau SC ibu melarangku memberikan izin untuk SC hingga akhirnya tindakan itu telat dilakukan, dan sampai saat ini aku juga tak tau menau perihal biaya itu, orang tua Hani yang menanggung semuanya. Ya Allah, apakah ini namanya karma?' batin Heru kebingungan. Motor terus melaju membawanya menjauh dari area rumah sakit. Hatinya dongkol sebab Deni lebih mementingkan adik kandungnya sendiri dari pada Rita istrinya. 'Aku bingung dengan jalan pikiran Deni, dalam perut Rita itu anaknya, darah dagingnya, kenapa dia bersikap begini?' Sepertinya karma dimasa lalu kini tengah menghampiri Heru. Situasinya sama dengan masa-masa Hani akan melahirkan. Heru terkesan cuek dan bodo amat pada Hani. Erangan, serta rintihan perempuan itu

  • Bangkitnya Istri Yang Kau Hina   Semoga doaku terkabul (21)

    POV HaniAku sedikit curiga melihat Bu Lasmi membawa buku KMS, ditambah ia bebenah baju dua tas berukuran besar serta Mas Heru dan Rita tidak ada dirumah. Jangan-jangan Rita sudah kontraksi dan akan melahirkan. Ahh, semoga saja dia juga merasakan apa yang kurasa dulu. Jahat? Yaa ... terserah deh mau dibilang apa, yang jelas, aku ingin sekali Rita merasakan apa yang aku rasakan dulu, saat berjuang melahirkan Zidan. Sakit, tertekan, dan setres. "Bu, Rita sama Mas Heru kemana? Ibu juga mau kemana pagi-pagi udah sibuk sama dua tas gede-gede gini. Mau liburan, kah?" Iseng aku kembali bertanya. "Udahlah kamu nggak usah kepo! Urusi aja rumah yang kacau ini. Pastikan semuanya bersih, sebelum kami pulang!" sentaknya. Aku berdecak kesal. "Bu, tanganku sakit. Jangankan beberes, ngiket rambutku sendiri aja aku kesusahan, gimana sih?!" Aku mencebik bibir. Aneh mertuaku ini, udah tahu mantunya masih cidera pasca kecelakaan, tetep aja nyuruh-nyuruh. Dasar mertua gaje! Aku duduk di kursi makan

  • Bangkitnya Istri Yang Kau Hina   Mau kemana sepagi ini? (20)

    POV Hani Aku masih mengompres tanganku sambil duduk di ranjang. Mas Heru masih berdiri di dekat meja kerjanya. "Hani, bukanya istri itu tugasnya melayani suami, kau tau 'kan?" Dia mendekat. Aku mengerling sekilas, menatapnya sambil tersenyum. Kini dia membahas perihal tugas istri. Baiklah, akan kubahas juga tugas suami. "Iya, melayani urusan syahwat terutama. Sebab, pernikahan memang bertujuan untuk berkembang biak, bukan diperbudak. Dan selama ini, aku merasakan, hidup bersamamu dirumah ini, hanya dijadikan babu gratisan serta pemuas n4fsv mu aja. Kau tak pernah peduli dengan kebahagiaanku, kesejahteraan ku. Yang ada di pikiranmu cuma kebahagiaanmu dan keluarga intimu saja, ibu dan Rita, tanpa aku." "Tapi, Han ... surgaku ada pada ibuku, dan surgamu ada padaku!" Dia ngegas. "Ya udah kalo gitu. Kamu tetap pada pendirianmu, aku juga akan milih jalanku sendiri. Kalo kamu nggak bisa berubah, maaf ... aku mending nggak punya suami, deh! Buat apa punya suami, kalo kenyataannya lahir

  • Bangkitnya Istri Yang Kau Hina   jangan bahas perceraian (19)

    POV HaniAku menautkan alis menatap sekilas suamiku yang tumben banget berubah sikapnya, ada apa ini? "Yuk, kita istirahat aja, Dek! Mas temenin!" Mas Heru menggamit lembut tanganku. Widih, ciyus? Kok jadi lembut kek brownis kukus begini, wah patut di curigai ini! Aku merasa aneh dengan perubahan sikap suamiku. Nggak ada angin, nggak ada hujan, dia yang tadinya cuek secuek bebek mendadak lembut dan romantis, wah kurasa ada yang nggak beres ini. Okelah, kita ikuti saja alur yang dibuat Mas Heru, ada misi apa sebenarnya? Kok hatiku bilang, dia sedang melakukan modus demi sesuatu, aku harus waspada! Mas Heru membimbingku masuk kamar. Mataku menyipit melihat bungkusan plastik serta paper bag pemberian Aryan. Kuambil plastik itu, oooh rupanya berisi buah. Baguslah, buah ini aman dikamarku. "Apa ini, Dek?" Mas Heru meraih paper bag pemberian Aryan. "Jangan! Ini dari menejerku!" Refleks tangan kananku langsung merebut paper bag itu. Bukan tanpa sebab, tadi sempat ku intip ada amplop d

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status