“Lo gila, Kal!” Ramon sedikit memekik ketika mendengar tujuan Kala akan menikahi Binar. Lelaki itu tidak akan pernah setuju dengan rencana Kala. Binar adalah sahabat Ramon yang paling disayangi. Dia tak ingin perempuan itu akan mengalami kegagalan untuk kedua kalinya. “Bukannya untuk melupakan seseorang kita perlu orang baru untuk membantu?” Kala menatap Ramon seolah tanpa dosa. “Jadi gue pikir ini cara yang baik. Gue dan Binar bisa sama-sama saling menguntungkan.” “Lo bisa cari orang lain, Kal. Bukan Binar.” “Kenapa harus orang lain kalau ada orang yang gue rasa cocok untuk gue.” “Lo gila. Binar sahabat gue, lo juga sahabat gue. Tapi gue nggak setuju dengan ide lo yang di luar nalar.” Ramon melotot marah mendengar penuturan Kala yang terdengar menyebalkan di telinganya. Yang membuat Ramon tampak uring-uringan adalah ketika Kala memiliki rencana, maka dia tidak akan mundur sampai dia mendapatkannya. Kekhawatiran di dalam hati Ramon tentu saja melambung begitu tinggi. Dia m
“Kenapa kamu sekarang jadi hitung-hitungan begini?” Rasya protes kepada Nindi saat mereka sudah ada di dalam kamar. “Bukankah sebelum menikah, aku selalu kasih uang ke kamu? Aku dulu jarang kasih uang ke Binar tapi aku nggak pernah lupa kasih jatah buat kamu. Saat itu kita belum menikah, lho,” lanjutnya lagi untuk mengingatkan Nindi. Rasya tampak geram, tapi Nindi justru bersikap biasa saja. Perempuan itu menatap Rasya sebelum menjawab. “Kita dulu pacaran itu diam-diam, Mas. Kalau aku dan kamu ketahuan selingkuh, aku yang dirugikan. Rasanya pantas kalau aku mendapatkan uang ‘tutup mulut’ agar aku bisa mengontrol sikapku. Jadi, uang yang dulu kamu kasih ke aku, seharusnya kamu nggak pernah mengungkitnya lagi.” “Aku nggak akan mengungkitnya kalau sekarang kamu bisa sedikit lebih bijak, Nindi. Dengan kamu mengatakan tentang jatah bulanan di depan Mama, dan mengatakan kami datang nggak bawa apa-apa, itu sama aja kamu ngerendahin aku secara nggak langsung.” “Ngerendahin gimana sih, Mas?
Pengusiran itu apakah lantas membuat ‘tamu’ Binar itu pergi meninggalkan rumahnya? Tentu saja tidak. Sejak dia mengatakan fakta yang sebenarnya, baik ayah dan ibunya menatap Rasya dengan ekspresi penuh permusuhan. Pak Amir terlihat emosi dengan tangan terkepal erat. Bu Yuni pun melotot marah. Bagaimanapun, Binar adalah putrinya, mereka akan sakit hati ketika putrinya dikhianati.“Berdirilah Rasya!” Pak Amir berdiri kemudian menggulung lengan bajunya. Kepalan tangannya tidak terurai dan justru semakin menguat. Rasya yang melihat itu tampak terkejut, tapi dia memilih diam. Sudah bisa dipastikan apa yang akan dilakukan oleh ayah mertuanya itu kepadanya. Dia pasti akan dihajar habis-habisan oleh lelaki paruh baya tersebut karena sudah melukai Binar. “Saya bilang, berdiri!” Pak Amir membentak Rasya sehingga suaranya mengaung di ruang keluarga tersebut. Rasya hampir berdiri ketika suara Binar mengudara. “Ayah tidak perlu melakukannya,” cegah Binar tahu apa yang akan dilakukan oleh sang a
Kala membaca chat yang Binar kirimkan kepadanya. Tatapannya tidak terbaca, tapi setelahnya ada seringaian kecil muncul di bibirnya. Tidak tahu apakah ada sesuatu yang tengah memengaruhi Binar dengan keputusan yang diambil, tapi apa pun itu, Kala merasa puas. Tidak kurang enam bulan lagi, dia pasti akan menikah dengan perempuan itu. “Jadi kamu sudah memikirkan keputusan yang kamu ambil?” Keesokan harinya, Binar dipanggil Kala masuk ke dalam ruangannya untuk membicarakan masalah tersebut. “Keputusan apa yang Bapak maksud?” tanya Binar pura-pura bodoh. Dia bahkan tidak dipersilakan untuk duduk oleh bosnya tersebut. “Kamu tahu maksud saya.” Kala memberikan atensinya pada Binar tanpa beralih sama sekali. “Chat kamu yang semalam, itu bukan karena kamu mimpi ‘kan?” Binar tidak bereaksi. Ekspresinya juga begitu dingin dan tampak tidak bersahabat. Kemudian satu jawaban lolos membuat Kala hampir mengumpati perempuan itu. “Ini di kantor, Pak. Pembahasan masalah pribadi seharusnya dilakukan
Kala tampak tidak terpengaruh dengan pertanyaan Anton dan dengan santainya dia menyuapkan ayam ke dalam mulutnya. Iseng. Mulut Anton memang sering seperti itu. Kala memang belum terlalu mengenalnya, tapi dia juga bisa melihat ketika Anton bersama dengan teman-temannya, ada saja ulahnya yang membuat geram. “Binar!” Nama itu terlontar. Membuat satu meja itu tampak terkejut. Tidak tahu apakah itu sebuah jawaban yang Kala berikan, atau hanya ingin mengungkapkan sesuatu kepada perempuan itu. Sedangkan Binar bahkan terlihat membeku. Kini mereka semua menunggu dengan harap-harap cemas atas kelanjutan jawaban Kala. Tapi selanjutnya mereka semua justru mendesah kecewa. “Kamu sudah berapa lama kerja dengan Anton?” tanya Kala dengan santai. “Kamu nggak merasa dia merepotkan?” Binar menatap Kala yang kemudian menoleh pada Anton. Ada seringaian tipis yang terlihat. “Namanya orang marketing, Pak. Harus bisa improvisasi.” Anton mendengus kesal. “Saya tanya apa, jawabannya malah buat orang keki.
Kala masih berada di depan rumah Binar meskipun perempuan itu sudah masuk ke dalam rumah. Menarik napasnya panjang, Kala membuka jendela mobil, mengeluarkan rokok dari dashboard mobilnya, lalu menyalakannya. Menghisap nikotin tersebut dengan santai sambil menumpukan kepalanya pada kepalan tangannya. Lelaki itu masih belum berniat untuk pergi dari sana. Menikah. Kala pernah berpikir akan menikah lagi setelah dirinya menyandang status duda selama tiga tahun terakhir ini. Tapi di antara banyak perempuan yang dikenalnya, tidak satupun yang menarik perhatiannya. Tapi Binar, perempuan itu tentu menjadi pilihan yang tepat untuk saat ini dan waktu-waktu selanjutnya. “Kamu nggak ada niatan untuk menikah lagi?” Malam itu, malam di mana dia mengalami ‘kecelakaan’ yang membuatnya pada akhirnya mengenal Binar, dia mendapatkan pertanyaan itu dari ibunya. Ibunya yang selalu mendorong dirinya untuk segera kembali berkeluarga setelah kegagalan yang dialami. “Aku akan menikah kalau aku sudah bertem
Binar tidak segera menjawab. Ada sedikit rasa takut di dalam hatinya saat dia menerima penawaran Kala. Dia takut jatuh cinta. Benar, dia sudah meyakinkan dirinya jika dia tak akan lagi menjadi perempuan yang ‘tergantung’ pada orang lain. Tapi tetap saja kekhawatiran itu ada. Setelah dia meyakinkan dirinya untuk menutup hatinya rapat. Dan dia yakin tidak ada yang bisa membukanya. Maka dia mengangguk mantap. “Tujuan saya menikah hanya satu. Saya ingin memiliki anak. Tak peduli meskipun itu tanpa cinta.” “Bagaimana kalau saya memanfaatkan kamu dalam hubungan ini?” Kala kembali bersuara.“Bukankah kita sama-sama melakukannya dengan keuntungan kita masih-masing? Jadi saya pikir, kita tidak perlu lagi membicarakan ini lagi.” Binar kemudian beranjak. “Kalau tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi, saya akan kembali.” Kala mengangguk mempersilakan Binar untuk pergi dari ruangannya. Mengikuti kepergian Binar sampai perempuan itu duduk di kubikelnya dengan tatapan tajamnya seperti biasa. Ka
“Saya Binar, istri Kala.” Senyum Binar terbit dan tampak tidak ada kecemburuan. Bukankah memang dia tidak berhak cemburu? Memang dia siapa? Binar memang istrinya, tapi hanya sebagai status di atas kertas. Perempuan itu tidak ingin terlalu mendalami perannya. Membentengi hatinya tinggi-tinggi mulai sekarang akan lebih baik dilakukan. “Saya masuk dulu.” Ketika lift terbuka, Binar keluar lebih dulu meninggalkan Kala dan Widi begitu saja. Ada sesuatu yang aneh yang pasti tampak di mata Widi. Perempuan itu bahkan harus menahan kepergian Kala ketika lelaki itu ingin pergi dari sana. “Tanggapan istrimu, kenapa begitu biasa dengan keberadaanku. Seperti, ada yang aneh dengan hubungan kalian.” Widi adalah seorang perempuan yang tentu saja feelingnya begitu tajam dengan hal-hal seperti itu. Maka dia tak ingin berpura-pura tidak tahu dengan keganjilan yang dirasakan. Kala melepaskan tangan Widi di tangannya. Lelaki itu menggeleng pelan. “Dia memang seperti itu. Selama dia merasa sesuatu yan