Sikap keras kepala ibu Rasya itu membuat rahang Binar mengetat. Tapi, dia tak menjawab lagi dan memilih pergi meninggalkan ruangan itu. Tanpa menoleh lagi ke belakang. Rumahnya menjadi seperti sebuah kutukan baginya. Rumah yang dia beli dan diharapkan menjadi surga untuknya dan keluarganya, nyatanya menjadi sebuah tempat yang terasa bak neraka.
Menatap mobilnya yang tampak mengenaskan, Binar pergi dengan mobil yang dibelikan untuk ibu mertuanya. Beruntung, dia membawa kunci cadangan mobil tersebut. Binar beruntung karena sejak awal dia tidak menjadi perempuan bodoh. Dia memberikan, tapi tidak menyerahkan sepenuhnya.
Sebuah chat masuk ke dalam ponsel Binar saat dia berhenti karena lampu lalu lintas menyala merah. Mendesah kasar, Binar melupakan satu kewajibannya. Dia harus bertanggung jawab kepada mobil yang sudah ditabraknya.
“Maaf, sudah menunggu lama.” Binar sampai di sebuah bengkel. Menghadap pada seorang lelaki yang sudah dirugikan olehnya.
Lelaki itu hanya diam dengan ekspresi wajah dingin. Seorang kepala bengkel mendekat. Memberikan senyum untuk dua orang yang terserang kebekuan yang ada di depannya. “Pak Kala, perbaikan mobil Bapak akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Dan biayanya pun nggak sedikit. Kerusakan bagian belakang mobil Bapak sangat parah. Kami juga harus mengganti dua lampunya yang pecah.”
“Satu bulan, apa itu cukup?” tanya lelaki bernama Kala tersebut.
“Akan kami usahakan. Tapi saya rasa akan membutuhkan waktu lebih dari itu.”
Binar tidak ikut masuk dalam percakapan tersebut. Mobil yang ditabrak ternyata bukan mobil biasa. Itu adalah Mercedes-Benz sport yang memiliki harga selangit. Bisa Binar lihat, mobil itu sudah dalam pengecekan sebelum ditangani.
Kali ini kamu benar-benar mendapatkan kesialan, Binar. Kamu diselingkuhi oleh suamimu dan dikhianati mertuamu, lalu kamu juga menabrak mobil mahal dengan harga perbaikannya bisa membeli mobil baru.
“Ibu.” Kepala bengkel menyadarkan Binar dari lamunannya.
Binar tersenyum sedikit kikuk. “Ya, Pak?”
“Mari ikut saya.” Binar sedikit linglung sebelum dia mengikuti lelaki itu. Kala sudah tidak ada di sana dan sepertinya lelaki itu benar-benar tidak ingin ikut campur dengan biaya perbaikan mobilnya. Lelaki itu, sepertinya adalah lelaki kaya berhati dingin.
“Pak Kala mengatakan kalau Ibu yang akan membayar biaya perbaikan mobilnya, jadi saya perlu memberitahukan kepada Ibu tentang perkiraan biaya yang harus Ibu keluarkan.” Kepala bengkel itu menjelaskan dengan teliti satu per satu beberapa perbaikannya.
“Mobil itu, apa nggak ada asuransinya, Pak?” tanya Binar. Setidaknya kalau asuransi itu ada, dia tak akan begitu banyak mengeluarkan uang.
“Ada, Bu. Tapi Pak Kala bilang, beliau tidak akan menggunakan asuransi karena Ibu lah yang akan membayar penuh.”
Jawaban itu sudah cukup membuat Binar tahu jika dia akan mendapatkan keringanan dalam bentuk apa pun. Jumlah biaya yang harus dikeluarkan benar-benar mencapai angka ratusan juta, bukan puluhan lagi. Beberapa komponen mobil yang rusak itu harus diganti dengan yang original, dan harganya tentu saja tidak murah.
“Baiklah, saya mengerti. Bapak bisa menghubungi saya untuk biayanya nanti.” Binar meninggalkan nomor teleponnya sebagai penanggung jawab.
Tidak ada yang bisa dilakukan oleh Binar selain menyetujui yang diinginkan oleh Kala. Dia sudah mengatakan untuk bertanggung jawab, sehingga dia akan melakukannya sampai akhir.
***
“Lo kenapa?”
Seorang lelaki tinggi menarik kursi di depan Binar sebelum mendudukinnya. Menatap Binar penuh dengan perhatian.
“Kapan lo sampai?” Binar tidak menyadari kedatangan lelaki itu karena dirinya asyik dengan dunianya sendiri.
“Barusan. Lo kenapa?” ulang lelaki itu. “Kelihatan keruh banget.”
Binar mengambil jeda sebelum dia menjawab pertanyaan lelaki yang ada di depannya, sahabatnya. “Rasya akan punya anak sebentar lagi.”
“Lo hamil?” Namanya Ramon. Lelaki itu tersenyum lebar saat melontarkan pertanyaannya. Tapi tak lama senyum itu kembali menyusut ketika mendengar jawaban Binar.
“Bukan anak gue. Anak selingkuhannya.” Jawaban itu seringan kapas, berbanding terbalik dengan beratnya perasaan yang dirasakan sekarang.
Lelaki itu tampak membeku seolah mencerna ucapan Binar adalah sesuatu yang sangat menyulitkan. Terlebih lagi ekspresi Binar yang tampak biasa saja saat mengatakannya, membuat lelaki itu tidak ingin langsung mempercayainya.
“Lo pasti nge-prank gue.” Lelaki itu kembali tersenyum lebar meskipun senyuman itu tampak aneh karena dipaksakan.
“Gue serius, Ram. Rumah tangga gue hancur dan gue nggak bisa mempertahankannya lagi. Semua terkuak hanya dalam hitungan jam.”
Ramon yang tadinya masih mencoba memasang ekspresi santainya, kini menjadi serius luar biasa. Lelaki itu adalah sahabat Binar dan sangat tahu bagaimana usaha perempuan itu agar bisa segera hamil. Segala macam pemeriksaan di beberapa dokter yang berbeda, herbal, dan bahkan petuah-petuah yang diberikan kepadanya dilakukan dengan baik. Tapi sekarang, semuanya itu menjadi sia-sia karena suaminya justru berkhianat.
“Gue mau ajukan gugatan cerai.”
Air mata Binar menetes saat kalimat itu keluar dari bibirnya. Ramon segera mengulurkan tangannya untuk mengelus lengan Binar tanpa mengatakan apa pun. Memberikan waktu kepada perempuan itu untuk menuntaskan tangis sebelum mereka kembali berbicara.
Tidak mudah menghadapi sebuah keretakan. Terlebih lagi itu adalah sebuah keretakan dalam rumah tangga. Binar selama ini sudah menjadi menantu dan istri yang baik untuk Rasya dan orang tuanya, tapi mereka benar-benar sudah melukai hatinya begitu dalam.
“Gue ngerti. Gue akan urus semuanya buat lo. Lo nggak perlu khawatir.”
Ramon adalah seorang pengacara muda yang hebat. Kasus-kasus yang ditanganinya selalu menang di tangannya. Tentu, dia akan membantu sahabatnya untuk keluar dari situasi yang menyesakkan ini.
“Mereka nggak mau meninggalkan rumah gue, Ram. Sedangkan gue nggak bisa lagi tinggal di rumah yang ada mereka di dalamnya.” Binar kembali bersuara mengadukan kepada Ramon. “Sialnya, gue juga dapat masalah lain. Gue nabrak mobil orang semalam, dan biaya perbaikannya sekitar ratusan juta.”
“Astaga, Bin. Tapi lo nggak papa ‘kan?” Ramon tampak khawatir. “Kalau begitu, lo bisa tinggal di apartemen gue.” Ramon menawarkan. “Gue jarang ke apartemen karena nyokap rewel nggak mau ditinggal.”
Binar mendongak menatap Ramon. “Nggak papa?” tanyanya. Tadinya, dia ingin menyewa apartemen atau bahkan tinggal di sebuah indekos untuk menghindari Rasya dan orang tuanya. Tapi tawaran Ramon benar-benar akan membantunya.
“Nggak papa. Lo bisa tinggal selama yang lo mau.”
Binar merasa lega ketika Ramon memberikan bantuan yang luar biasa baginya. Sore harinya, Binar kembali ke rumahnya dan dia masih melihat mertuanya dengan santai tetap tinggal di rumahnya. Usirannya pagi tadi ternyata tidak terpengaruh oleh mereka. Bahkan saat melihat kedatangan Binar, mereka tampak tersenyum seolah tidak ada masalah apa pun. Ibu mertuanya tanpa tahu malu bertanya tentang mobil Binar yang penyok.
“Bi, mobil kamu kenapa bisa penyok? Kamu semalam nabrak apa?”
Binar tidak menjawab dan justru menatap perempuan paruh baya itu dengan datar. “Kenapa kalian masih ada di rumahku? Bukankah kalian sudah aku suruh pergi pagi tadi?”
“Binar!” Ibu mertua Binar itu ingin meraih tangan Binar, tapi Binar berhasil menghindar. “Nak, kami benar-benar tidak bisa meninggalkan rumah ini. Kamu tahu rumah kami terlalu jauh kalau mau ke mana-mana.”
Binar mendengus sebelum dia bersuara dengan ringan sebelum meninggalkan ruang keluarga menuju kamarnya. “Kalian bisa tinggal bersama dengan calon menantu kalian. Pengacaraku yang akan mengurus kalian kalau kalian tetap tidak segera pergi dari sini. Ingat, ketika kalian main-main dengan perasaanku, aku juga bisa main-main dengan hidup kalian.”
***
“Bi, tolong buka pintunya. Ayo kita bicara baik-baik.” Hampir setengah jam suara itu terdengar menyakitkan di telinga Binar. Rasya tidak berhenti mengetuk pintu kamarnya dan memanggil dirinya. Berbicara baik-baik, diskusi, atau apa pun itu sebutannya, selalu dikatakan hanya untuk membuat Binar luluh. Di dunia ini, tidak ada yang lebih menyakitkan dibandingkan dikhianati oleh orang yang kita cintai. Binar mendapatkan itu dan sudah bisa dibayangkan perasaan hancur yang dirasakan oleh Binar saat ini. Untungnya dia bukan perempuan yang terus meratapi kesedihannya berlarut-larut sehingga membuatnya lemah di hadapan para musuhnya. “Bi, please, jangan diam begini. Aku tahu aku salah. Aku tahu aku brengsek. Tapi aku bersumpah, di dalam hatiku aku hanya mencintai kamu. Cintaku sama sekali tidak berubah.” Binar mengemasi beberapa pakaian dan barang-barang berharga miliknya ke dalam sebuah koper besar. Mengabaikan suara Rasya yang baginya hanya kata-kata sampah yang hanya perlu diabaikan. Di
Binar tidak tahu nasib buruk seperti apa lagi yang akan dia dapatkan kali ini. Pemilik mobil yang dia tabrak, ada di depannya. Dan yang menjadi kesialan lainnya adalah lelaki itu sahabat dari sahabatnya. Semesta sepertinya tengah bermain-main dengannya. Ada banyak hal buruk yang datang ke dalam hidupnya secara bertubi-tubi. “Bi, lo oke?” Ramon sedikit mengguncang tubuh Binar yang tampak menegang. Tatapannya nyalang ke arah Ramon, lalu berganti ke arah Kala. “Gue … oke.” Bahkan suaranya sedikit terbata. Ramon tersenyum sebelum mengulangi. “Sorry gue bawa temen gue. Kami tadi baru meeting jadi sekalian. Kenalin dong.” Binar bimbang saat ingin mengulurkan tangannya kepada Kala mengingat dinginnya ekspresi lelaki itu. Dia bahkan tidak benar-benar bisa menatap matanya. Maka akhirnya dia hanya mengangguk sambil menyebut namanya. “Saya Binar.” Hanya itu yang bisa Binar katakan. Kalandara bahkan tidak menjawab. Ramon sudah tidak kaget lagi melihat sikap Kala yang dingin. Tapi tentu
“Hanya beberapa hal yang perlu lo persiapkan. Buku nikah dan juga KK.” Jawaban Ramon itu membuat Binar beranjak dari sofa. Mengambilkan buku nikah yang tidak lupa dibawanya beserta foto copyan KK. Menyerahkannya kepada Ramon dan langsung diterima oleh lelaki itu. Binar tampaknya ingin bertindak cepat. Dia tidak sudi lagi memiliki sangkut paut dengan Rasya dan keluarga lelaki itu. Manusia-manusia parasite yang tidak punya hati itu perlu dijauhi atau akan menempel dan membuatnya menderita. “Gue serahkan semuanya ke lo, Ram. Gue nggak ingin datang dipersidangan dan bertemu dengan lelaki itu. Sebisa mungkin, gue akan menghilang dari hadapan lelaki itu.” “Lo nggak perlu khawatir. Gue akan bereskan semua buat lo. Lo fokus aja sama kerjaan dan ….” Ramon menjeda ucapannya sebelum kembali berbicara. “Lo perlu sembuhin dulu hati lo.” Meskipun senyum itu kaku, Binar mencoba untuk memberikan senyuman itu untuk Ramon. Binar tidak menjawab. Menyembuhkan hatinya, rasa-rasanya itu akan sulit. Ras
“Maaf, maksud Bapak saya mendapatkan potongan harga?” Jika Binar tidak salah mengingat, semua perbaikan itu sudah tercatat dengan jelas di nota dan dia melihat sendiri biaya itu begitu besar. Dan tiba-tiba saja, lelaki itu bilang ada pengurangan. Tentu saja Binar sangat terkejut mendengarnya. Kini tatapannya seolah menuntut jawaban. “Karena Pak Kala adalah customer VVIP kami, kami tentu saja memberikan diskon, Bu. Dan perhitungan yang kemarin, itu masih belum ada hitungan diskonnya.” Penjelasan itu terdengar kurang masuk akal di telinga Binar. Tapi, senyumnya kemudian terbit. “Jadi, berapa yang perlu saya bayar, Pak?” Lelaki di depannya itu mendorong nota untuk sampai tepat di depan Binar. “Ibu bisa melihatnya.” Tanpa banyak berpikir, Binar langsung bisa melihat nominal yang tertulis di barisan paling akhir, dan itu tidak sampai seratus juga. Hal itu membuat bibir Binar mengurva semakin lebar. Binar menatap nota dan kepala bengkel bergantian. “Benar hanya perlu membayar sebesar
“Aku akan menikahimu kalau urusanku dengan Binar selesai.” Rasya menjawabnya dengan santai. “Tunggulah dan bersabar.” Nindi tampaknya tidak terima dengan jawaban Rasya yang terdengar sangat menyepelekan. Dalam pikiran Nindi bersuara, dia mengandung janin di perutnya dan dia butuh segera menikah untuk menutupi ‘aib’ yang semakin lama akan semakin membesar. Tentu saja dia tak boleh mengulur terlalu lama atau dia akan dipermalukan. “Kalau begitu, aku juga nggak bisa membawa Mas dan orang tua Mas untuk tinggal di sini. Aku nggak mau tetanggaku mengghibah karena masalah ini dan menimbulkan masalah baru.” “Kenapa kamu perhitungan banget sih?” Rasya bereaksi keras. Raut wajahnya tampak kesal luar biasa karena penolakan Nindi. “Bagaimanapun kita juga nanti akan menikah. Tapi tunggulah sampai semua selesai.” Rasya kini yang memuntahkan amarahnya. Rambutnya yang mencuat berantakan, seperti hatinya yang tengah gundah gulana. “Sampai selesai itu kapan? Mas bahkan bilang nggak mau bercerai den
Binar memejamkan matanya erat sebelum memberanikan diri untuk mengetuk pintu ruangan Kalandara. Mencoba tenang, tapi jantungnya tetap saja bertalu-talu tak karuan. Di dalam benaknya muncul banyak spekulasi tentang ‘kenapa’ dan ‘ada apa’ dirinya dipanggil ke ruangan bosnya. Tapi, dia ‘kan memang kepala department ini, rasa-rasanya itu wajar. “Masuk!” Suara Kala terdengar dari dalam ruangan ketika Binar mengetuk pintunya. Kaki Binar terasa berat saat akan melangkah. Namun dia harus tetap maju. Berjalan dengan pasti untuk menghadap Kala, kini dia berdiri tepat di depan meja lelaki itu. Binar bisa melihat, Kala sama sekali tidak mendongakkan kepalanya meskipun tahu Binar ada di ruangan yang sama dengannya. “Ada yang harus saya kerjakan, Pak?” Barulah ketika Binar bersuara, Kala mengangkat kepalanya dan tatapan mereka bertemu. Tatapan lelaki itu masih begitu dingin dan penuh peringatan. Yang mau tak mau membuat Binar harus mengeratkan kepalan tangannya. Tentu bukan untuk melayangkan
“Binar, kamu ini bicara apa? Pindah apa? Kenapa kami harus pindah?” Menghadapi orang-orang yang tidak punya hati nurani memanglah sulit. Binar lelah, tapi jika dia tidak mendorong dan melawan mereka, dia hanya akan diinjak-injak. Itulah kenapa dia memilih untuk menghadapinya lagi. “Duduk, Ram.” Binar berjalan menuju sofa, kemudian Ramon menyusul setelahnya. Rasya masih berdiri dengan wajah pias. Namun tak lama dia bergabung juga. Kedua orang tua Rasya tampak tidak nyaman tapi Binar tidak peduli. Ditatapnya tiga orang itu dengan tidak bersahabat sebelum berbicara. “Saya tidak ingin banyak menjelaskan tentang alasan kenapa kalian harus pindah, karena kalian tahu pasti apa yang terjadi. Sebelumnya, saya juga sudah pernah mengatakan kalau urusan perceraian dan semua harta milik saya akan diurus oleh pengacara saya. Dan pengacara saya sudah datang hari ini. Artinya, sudah tidak ada waktu lagi untuk menunda apa pun.” Binar mengangguk pada Ramon untuk menggantikannya berbicara. Dengan s
Binar keluar dari rumah itu membawa kepingan hatinya yang telah hancur. Dia bersumpah di dalam hati, dia akan menemukan pengganti Rasya yang jauh lebih baik dari lelaki itu. Dia akan menikah lagi dan memiliki anak. Bukankah dokter sudah bilang kalau kandungannya baik-baik saja? Semua ini hanyalah perkara waktu. Tapi keyakinannya begitu tinggi jika dia tidak mandul. “Bi!” Ramon menyusulnya dari belakang kemudian mendekatinya. “Gue nggak tahu harus bilang apa. Tapi satu hal, lo harus kuat. Gue akan bantu lo dan lo akan mendapatkan keadilan.” Binar menatap Ramon dan memaksakan senyumnya. “Hanya lo yang bisa ngebantu gue, Ram. Gue percaya lo bisa menyelesaikan semua ini.” Ramon mengangguk dengan yakin. “Gue akan segera memprosesnya. Besok, gue akan minta temen gue yang anggota kepolisian untuk ngebantu mengusir mereka. Gue yakin lusa lo bisa menempati rumah ini lagi.” “Kalau gue tetep di unit lo untuk satu bulan ini gimana, Ram?” Binar menarik napas panjang. “Jujur saja, gue masih sed