“Bi, tolong buka pintunya. Ayo kita bicara baik-baik.”
Hampir setengah jam suara itu terdengar menyakitkan di telinga Binar. Rasya tidak berhenti mengetuk pintu kamarnya dan memanggil dirinya. Berbicara baik-baik, diskusi, atau apa pun itu sebutannya, selalu dikatakan hanya untuk membuat Binar luluh.
Di dunia ini, tidak ada yang lebih menyakitkan dibandingkan dikhianati oleh orang yang kita cintai. Binar mendapatkan itu dan sudah bisa dibayangkan perasaan hancur yang dirasakan oleh Binar saat ini. Untungnya dia bukan perempuan yang terus meratapi kesedihannya berlarut-larut sehingga membuatnya lemah di hadapan para musuhnya.
“Bi, please, jangan diam begini. Aku tahu aku salah. Aku tahu aku brengsek. Tapi aku bersumpah, di dalam hatiku aku hanya mencintai kamu. Cintaku sama sekali tidak berubah.”
Binar mengemasi beberapa pakaian dan barang-barang berharga miliknya ke dalam sebuah koper besar. Mengabaikan suara Rasya yang baginya hanya kata-kata sampah yang hanya perlu diabaikan. Dia harus fokus pada yang dikerjakan dan berusaha untuk tidak meneriaki dan memaki lelaki brengsek itu.
Seharusnya dia tetap bertahan di rumah miliknya. Tapi demi Tuhan, dia tak bisa melakukan itu. Berada di dalam tempat yang sama dengan suami dan kedua mertuanya, hanya akan membuatnya gila. Karena itulah dia memilih menyerahkan urusan mengambil rumah ini kepada Ramon.
“Bi, kamu akhirnya membukakan pintu.” Rasya tersenyum senang ketika pintu kamarnya terbuka. Tapi senyuman itu seketika menghilang melihat Binar menyeret koper besar di tangannya. “Bi, kamu mau ke mana? Kenapa kamu membawa koper?”
Binar susah payah menuruni tangga dengan koper besar yang dibawanya, mengabaikan ucapan suaminya yang panik luar biasa. Sampai di ruang keluarga, dia mendapati kedua mertuanya sudah berdiri dan menatap ke arahnya sama terkejutnya. Binar berdiri di tengah ruangan dan menatap satu per satu ketiga orang yang ada di depannya.
“Pertama, aku sudah memeringatkan kalian untuk segera meninggalkan rumah ini. Tapi kalian dengan tak tahu malu memilih tetap berada di sini. Kedua, kalau beberapa hari ke depan ada orang yang datang dan mengusir kalian dari sini, jangan menyalahkan siapapun. Ketiga, aku sudah mengurus perceraian. Dan aku tidak menerima mediasi dalam bentuk apa pun. Aku menyerahkan semua masalah ini kepada pengacaraku. Dan yang keempat, semua harta yang aku miliki dan Rasya miliki tentu saja akan dipisahkan. Kalau kamu mau mencari pengacara, kamu boleh melakukannya.”
“Bi, kamu nggak bisa mengambil keputusan semudah ini dong. Kita harus membicarakan ini lebih dulu.” Rasya segera membuka mulutnya untuk bersuara. Jangan tanyakan wajah pucat lelaki itu. Darah merahnya seolah habis dari tubuhnya.
Dua mertua Binar yang ada di sana hanya bisa terdiam. Sepertinya mereka belum ingin menyerang Binar. Mungkin menunggu waktu yang tepat.
Rasya ingin mendekat, tapi Binar mengangkat tangan kanannya memberikan isyarat agar lelaki itu tidak melanjutkan langkahnya. Otomatis membuat lelaki itu bertahan di tempatnya. Rasya juga baru saja pulang dari kantor, baju kerjanya masih rapi melekat di tubuhnya. Raut wajah lelahnya tampak suram membalut wajahnya. Tapi, hal itu tak membuat Binar meluluhkan hatinya.
“Kamu bisa berbicara dengan pengacaraku nanti. Apa pun keluhanmu tentangku, kamu bisa mengungkapkan kepadanya.”
“Bi, aku sudah meminta maaf. Aku mengaku salah. Tapi, semua ini sudah terlanjur. Tidak bisakah kita melewati ini sama-sama?”
“Kamu berpikir kesalahanmu sekecil melupakan hari ulang tahunku, atau sekecil kamu lupa menjemputku pulang kantor?” Rasya membuka mulutnya, lalu menutupnya kembali ketika dia tak tahu harus berbicara apa. “Kesalahanmu tidak sekecil itu, Rasya. Kamu sudah menghamili perempuan lain di belakangku. Kalau aku melakukan itu, aku hamil dengan lelaki lain, apa yang akan kamu lakukan?”
“Sayangnya kamu tidak akan bisa melakukannya karena kamu tidak bisa hamil.” Seolah memiliki pancatan untuk bicara, ibu Rasya menyerang Binar dari sudut lain. “Bi, kalau kamu bisa hamil dan memberikan anak kepada Rasya, apa kamu pikir dia akan mencari perempuan lain? Tidak. Rasya pasti akan tetap berada di sisimu.”
Seperti sebuah pukulan keras tepat di ulu hatinya saat ibu Rasya mengatakan itu kepada Binar. Miris memang, tapi memang itulah kenyataannya. Dua tahun bersama, dia tak mampu memberikan Rasya keturunan.
Tidak, Binar. Kini bukan saatnya kamu menunjukkan kelemahanmu. Kamu harus melawan mereka. Batinnya menyemangati. Meskipun hatinya terluka dan berdarah-darah, tapi dia tidak akan mati di depan lawan. Dengan senyum kecil, dia segera menjawab.
“Ya sudah, kalian selalu bilang kalau aku nggak bisa hamil dan punya anak. Membenarkan kesalahan yang dilakukan oleh Rasya. Bukankah aku juga udah memberikan jalan untuk Rasya dan selingkuhannya bersatu? Apa lagi yang kurang dari itu? Bahkan dengan tidak tahu malunya, kalian masih tinggal dan makan di rumahku. Kalau memang kalian menganggap wajar perbuatan bejat Rasya, maka kalian juga harus menganggap wajar keinginanku agar kalian angkat kaki dari sini.”
“Kamu selalu mengatakan ini rumahmu. Benar, kamu yang membeli rumah ini, tapi Rasya yang membiayai renovasinya sampai menjadi sebagus ini. Wajar kalau kami mempertahankan keberadaan kami di sini.” Ibu Rasya tak mau kalah. Perempuan itu bahkan melotot lebih galak.
Tuhan! Binar benar-benar tidak menyangka ada manusia-manusia seperti inu. Untuk meluruskan kesalahan itu, Binar segera menolak pernyataan yang dikatakan oleh ibu mertuanya.
“Jadi, kamu bilang begitu kepada ibumu, Rasya? Kamu bilang kepada ibumu kalau rumah ini direnovasi menggunakan uangmu?” Tidak ada lagi panggilan ‘mas’ yang biasanya tersemat di depan nama Rasya. Bahkan Rasya pun tampak terkejut mendengar itu.
“Bi, aku masih suamimu. Jangan memanggil sembarangan,” tegur Rasya tampak kesal.
Namun Binar sudah kehilangan respect pada lelaki tiu. Maka ucapan Rasya bukan apa-apa kecuali hanya angin lalu. “Tentang masalah harta gono-gini, aku tidak akan membahasnya sekarang. Aku pastikan, kalian akan mendapatkan kejelasannya dari pengacaraku.”
Binar menarik pegangan kopernya, berbalik untuk pergi dari rumahnya. Rasya menghalangi, tapi sekuat tenaga, dia meloloskan diri. Dia sengaja memarkirkan mobilnya di luar pagar agar mudah baginya pergi dari rumahnya.
“Bi, please. Aku mohon jangan pergi. Aku janji aku akan menyelesaikan hubunganku dengan Nindi secepatnya. Aku akan mengambil anak itu dan kita harus menjadikan anak itu menjadi anak kita.”
Ucapan Rasya terlalu bodoh di telinga Binar. Entah ke mana perginya otak lelaki itu sampai bisa berpikir kalau Binar akan menerima anak dari hasil perselingkuhan suaminya dengan perempuan lain. Sampai mati pun, dia tak akan pernah melakukannya. Tanpa menanggapi ucapan Rasya, Binar meninggalkan rumah itu dengan teriakan Rasya tertinggal di belakangnya.
Tangis Binar kembali pecah. Rasa sakit yang dirasakan benar-benar terasa ingin mencekik dan membunuhnya. Dua tahun yang indah, menjadi sebuah duka yang menyesakkan. Kebahagiaan itu lenyap begitu saja bak buih di lautan. Binar menguatkan hatinya untuk melalui semua hal buruk ini di hidupnya meskipun bayangan buruk mengikutinya dan menjadikannya ketakutan.
Sampai di basement apartemen Ramon, Ramon sudah menunggu Binar. Namun yang mengejutkan adalah ketika Ramon tidak sendirian. Dia membawa seorang lelaki yang pagi tadi dia temui di bengkel mobil.
“Bi, perkenalkan. Dia sahabat gue. Kalandara.”
***
Binar tidak tahu nasib buruk seperti apa lagi yang akan dia dapatkan kali ini. Pemilik mobil yang dia tabrak, ada di depannya. Dan yang menjadi kesialan lainnya adalah lelaki itu sahabat dari sahabatnya. Semesta sepertinya tengah bermain-main dengannya. Ada banyak hal buruk yang datang ke dalam hidupnya secara bertubi-tubi. “Bi, lo oke?” Ramon sedikit mengguncang tubuh Binar yang tampak menegang. Tatapannya nyalang ke arah Ramon, lalu berganti ke arah Kala. “Gue … oke.” Bahkan suaranya sedikit terbata. Ramon tersenyum sebelum mengulangi. “Sorry gue bawa temen gue. Kami tadi baru meeting jadi sekalian. Kenalin dong.” Binar bimbang saat ingin mengulurkan tangannya kepada Kala mengingat dinginnya ekspresi lelaki itu. Dia bahkan tidak benar-benar bisa menatap matanya. Maka akhirnya dia hanya mengangguk sambil menyebut namanya. “Saya Binar.” Hanya itu yang bisa Binar katakan. Kalandara bahkan tidak menjawab. Ramon sudah tidak kaget lagi melihat sikap Kala yang dingin. Tapi tentu
“Hanya beberapa hal yang perlu lo persiapkan. Buku nikah dan juga KK.” Jawaban Ramon itu membuat Binar beranjak dari sofa. Mengambilkan buku nikah yang tidak lupa dibawanya beserta foto copyan KK. Menyerahkannya kepada Ramon dan langsung diterima oleh lelaki itu. Binar tampaknya ingin bertindak cepat. Dia tidak sudi lagi memiliki sangkut paut dengan Rasya dan keluarga lelaki itu. Manusia-manusia parasite yang tidak punya hati itu perlu dijauhi atau akan menempel dan membuatnya menderita. “Gue serahkan semuanya ke lo, Ram. Gue nggak ingin datang dipersidangan dan bertemu dengan lelaki itu. Sebisa mungkin, gue akan menghilang dari hadapan lelaki itu.” “Lo nggak perlu khawatir. Gue akan bereskan semua buat lo. Lo fokus aja sama kerjaan dan ….” Ramon menjeda ucapannya sebelum kembali berbicara. “Lo perlu sembuhin dulu hati lo.” Meskipun senyum itu kaku, Binar mencoba untuk memberikan senyuman itu untuk Ramon. Binar tidak menjawab. Menyembuhkan hatinya, rasa-rasanya itu akan sulit. Ras
“Maaf, maksud Bapak saya mendapatkan potongan harga?” Jika Binar tidak salah mengingat, semua perbaikan itu sudah tercatat dengan jelas di nota dan dia melihat sendiri biaya itu begitu besar. Dan tiba-tiba saja, lelaki itu bilang ada pengurangan. Tentu saja Binar sangat terkejut mendengarnya. Kini tatapannya seolah menuntut jawaban. “Karena Pak Kala adalah customer VVIP kami, kami tentu saja memberikan diskon, Bu. Dan perhitungan yang kemarin, itu masih belum ada hitungan diskonnya.” Penjelasan itu terdengar kurang masuk akal di telinga Binar. Tapi, senyumnya kemudian terbit. “Jadi, berapa yang perlu saya bayar, Pak?” Lelaki di depannya itu mendorong nota untuk sampai tepat di depan Binar. “Ibu bisa melihatnya.” Tanpa banyak berpikir, Binar langsung bisa melihat nominal yang tertulis di barisan paling akhir, dan itu tidak sampai seratus juga. Hal itu membuat bibir Binar mengurva semakin lebar. Binar menatap nota dan kepala bengkel bergantian. “Benar hanya perlu membayar sebesar
“Aku akan menikahimu kalau urusanku dengan Binar selesai.” Rasya menjawabnya dengan santai. “Tunggulah dan bersabar.” Nindi tampaknya tidak terima dengan jawaban Rasya yang terdengar sangat menyepelekan. Dalam pikiran Nindi bersuara, dia mengandung janin di perutnya dan dia butuh segera menikah untuk menutupi ‘aib’ yang semakin lama akan semakin membesar. Tentu saja dia tak boleh mengulur terlalu lama atau dia akan dipermalukan. “Kalau begitu, aku juga nggak bisa membawa Mas dan orang tua Mas untuk tinggal di sini. Aku nggak mau tetanggaku mengghibah karena masalah ini dan menimbulkan masalah baru.” “Kenapa kamu perhitungan banget sih?” Rasya bereaksi keras. Raut wajahnya tampak kesal luar biasa karena penolakan Nindi. “Bagaimanapun kita juga nanti akan menikah. Tapi tunggulah sampai semua selesai.” Rasya kini yang memuntahkan amarahnya. Rambutnya yang mencuat berantakan, seperti hatinya yang tengah gundah gulana. “Sampai selesai itu kapan? Mas bahkan bilang nggak mau bercerai den
Binar memejamkan matanya erat sebelum memberanikan diri untuk mengetuk pintu ruangan Kalandara. Mencoba tenang, tapi jantungnya tetap saja bertalu-talu tak karuan. Di dalam benaknya muncul banyak spekulasi tentang ‘kenapa’ dan ‘ada apa’ dirinya dipanggil ke ruangan bosnya. Tapi, dia ‘kan memang kepala department ini, rasa-rasanya itu wajar. “Masuk!” Suara Kala terdengar dari dalam ruangan ketika Binar mengetuk pintunya. Kaki Binar terasa berat saat akan melangkah. Namun dia harus tetap maju. Berjalan dengan pasti untuk menghadap Kala, kini dia berdiri tepat di depan meja lelaki itu. Binar bisa melihat, Kala sama sekali tidak mendongakkan kepalanya meskipun tahu Binar ada di ruangan yang sama dengannya. “Ada yang harus saya kerjakan, Pak?” Barulah ketika Binar bersuara, Kala mengangkat kepalanya dan tatapan mereka bertemu. Tatapan lelaki itu masih begitu dingin dan penuh peringatan. Yang mau tak mau membuat Binar harus mengeratkan kepalan tangannya. Tentu bukan untuk melayangkan
“Binar, kamu ini bicara apa? Pindah apa? Kenapa kami harus pindah?” Menghadapi orang-orang yang tidak punya hati nurani memanglah sulit. Binar lelah, tapi jika dia tidak mendorong dan melawan mereka, dia hanya akan diinjak-injak. Itulah kenapa dia memilih untuk menghadapinya lagi. “Duduk, Ram.” Binar berjalan menuju sofa, kemudian Ramon menyusul setelahnya. Rasya masih berdiri dengan wajah pias. Namun tak lama dia bergabung juga. Kedua orang tua Rasya tampak tidak nyaman tapi Binar tidak peduli. Ditatapnya tiga orang itu dengan tidak bersahabat sebelum berbicara. “Saya tidak ingin banyak menjelaskan tentang alasan kenapa kalian harus pindah, karena kalian tahu pasti apa yang terjadi. Sebelumnya, saya juga sudah pernah mengatakan kalau urusan perceraian dan semua harta milik saya akan diurus oleh pengacara saya. Dan pengacara saya sudah datang hari ini. Artinya, sudah tidak ada waktu lagi untuk menunda apa pun.” Binar mengangguk pada Ramon untuk menggantikannya berbicara. Dengan s
Binar keluar dari rumah itu membawa kepingan hatinya yang telah hancur. Dia bersumpah di dalam hati, dia akan menemukan pengganti Rasya yang jauh lebih baik dari lelaki itu. Dia akan menikah lagi dan memiliki anak. Bukankah dokter sudah bilang kalau kandungannya baik-baik saja? Semua ini hanyalah perkara waktu. Tapi keyakinannya begitu tinggi jika dia tidak mandul. “Bi!” Ramon menyusulnya dari belakang kemudian mendekatinya. “Gue nggak tahu harus bilang apa. Tapi satu hal, lo harus kuat. Gue akan bantu lo dan lo akan mendapatkan keadilan.” Binar menatap Ramon dan memaksakan senyumnya. “Hanya lo yang bisa ngebantu gue, Ram. Gue percaya lo bisa menyelesaikan semua ini.” Ramon mengangguk dengan yakin. “Gue akan segera memprosesnya. Besok, gue akan minta temen gue yang anggota kepolisian untuk ngebantu mengusir mereka. Gue yakin lusa lo bisa menempati rumah ini lagi.” “Kalau gue tetep di unit lo untuk satu bulan ini gimana, Ram?” Binar menarik napas panjang. “Jujur saja, gue masih sed
“Bi, lo yakin akan ikut pergi ke rumah dan menyaksikan mereka keluar dari rumah lo?” Ramon meyakinkan sekali lagi kepada Binar sebelum mereka pergi untuk mengusir Rasya dan keluarganya. “Gue yakin, Ram. Gue harus lihat mereka keluar dari rumah gue dengan kepala mata gue sendiri.” Bukankah dia sudah meminta kepada Ramon untuk mengurus permasalahannya? Lalu kenapa dia sekarang harus ikut sibuk menyaksikan kepergian Rasya dengan mata kepalanya sendiri? Tentu saja untuk memuaskan harga dirinya. Dengan melihat Rasya dan keluarganya keluar dari rumahnya, dia akan merasakan jika itu sebanding dengan rasa sakit yang dia rasakan. Binar sampai di depan rumahnya dengan Ramon di sampingnya. Dia tak membawa mobilnya karena sengaja tidak ingin langsung muncul di depan mantan keluarganya tersebut. “Lo akan tetap di sini?” Ramon sekali lagi bertanya ketika dia akan keluar dari mobil. “Iya, gue akan tetap di sini.” Mobil milik Ramon terparkir di luar pagar rumah dengan dua mobil lainnya. Satu mo