Share

Part 4. Peringatan Binar

Binar sudah bukan Binar yang biasanya. Rasa sakit dan pengkhianatan yang diberikan oleh sang suami, memunculkan sosok iblis di dalam hatinya. Dia tidak bisa lagi dibujuk meskipun orang-orang itu merangkak di bawah kakinya meminta maaf. Mengalihkan tatapannya dari Rasya, dia melanjutkan ucapannya yang kini ditujukan kepada Nindi. 

“Katakan, berapa lama kamu berhubungan dengan Rasya.” Pertanyaan Binar membuat Nindi menatap ke arah Rasya seolah meminta petunjuk apakah dia akan mengatakan dengan jujur atau memilih berbohong. 

Saat Rasya menggeleng, maka Nindi berbicara dengan sebuah kebohongan. “Kami hanya bersama selama dua bulan.” 

“Katakan yang sebenarnya.” Binar menekan Nindi dengan ucapannya. “Aku hanya perlu kejujuranmu.” 

“Binar! Kendalikan emosimu.” Dalam keadaan bersitegang, ibu Rasya justru mendekat ke arah Binar dan berusaha membujuk. “Nak, ini sudah sangat larut. Mari kita bicarakan ini lagi nanti. Kamu istirahatlah dulu dan tenangkan pikiranmu.”

“Ibu berpikir aku bisa melakukannya?” Binar kembali melotot marah. “Ibu berpikir aku bisa tidur dengan tenang sedangkan kalian semua membohongiku!” Suara Binar kini meledak keras dan kemarahan menguasainya. “Ibu, dalam keluarga ini aku sudah memberikan banyak hal untuk kalian. Apa yang Ibu minta aku selalu memberikannya. Tapi apakah ini balasannya? Kalian bersatu untuk mengkhianatiku dan menusukku dari belakang?” 

Binar menangis. Lagi.  Air matanya terus turun seperti air terjun yang tak bisa dihentikan. Usapan demi usapan di wajahnya tak sanggup mengeringkan air mata yang terus tumpah. Ibu mertua Binar terlihat terkejut dengan ucapan Binar. Tapi, Binar tak ingin berhenti berbicara.

“Apa yang akan kalian katakan kalau aku sudah tahu tentang perbincangan kalian siang tadi? Ibu dan Ayah berada di restoran mal dan bertemu dengan Nindi di sana bersama dengan Rasya?” 

Tadinya Binar ingin membuat masalah ini mudah diselesaikan jika seandainya baik Rasya atau mertuanya berterus terang kepadanya. Sayang sekali, mereka semua berkelit.

Saat Binar mengatakan kenyataan yang diketahui, atmosfer di sekitar mereka menjadi beku. Tidak ada dari mereka yang bersuara atau menjawab ucapan Binar. Entah itu karena mereka malu atau memang ingin terus menyembunyikannya.

“Berumah tangga akan lebih bahagia jika ada anak di dalamnya. Binar, selama dua tahun pernikahanmu dengan Rasya, kamu tidak bisa memiliki anak. Meskipun dokter mengatakan kamu tidak mandul, lantas apa sebutannya jika seorang perempuan tidak bisa dibuahi?” 

Suara ayah mertua Binar keluar dengan kata-kata yang begitu menusuk di telinga. Lelaki itu dikenal bijaksana oleh keluarganya, tapi sekali dia berbicara, maka kalimatnya sangat menyakitkan. 

Binar menatap lelaki paruh baya itu dengan tatapan tak percaya. Lelaki yang selama ini dihormatinya justru mematuknya begitu keras. 

“Kami sebagai orang tua Rasya tentu saja menginginkan cucu dari putra kami. Kami sudah menunggu cukup lama tapi bahkan tanda-tanda kamu hamil pun tidak terlihat. Apa yang bisa kami lakukan kecuali membiarkan Rasya mencari orang lain dan mendapatkan keturunan. Bukankah itu bagus, kamu tidak perlu lagi merasa terburu-buru untuk memberikan kami seorang cucu?” 

“Binar. Ayah benar. Usia kami semakin hari semakin bertambah. Kami akan semakin tua dan keinginan kami adalah melihat dan bisa bermain dengan cucu kami sebelum kami meninggal. Itu adalah keinginan yang wajar bukan?” 

“Dengan cara mengkhianatiku, Bu?” Suara Binar bergetar. “Setidaknya kalau kalian ingin Rasya memiliki anak dengan perempuan lain, kalian bisa mengatakan dan membicarakannya denganku terlebih dahulu. Aku akan mundur dan menceraikannya dibandingkan kalian mengkhianatiku!” Binar tergugu di tempatnya. 

Satu lawan tiga seharusnya tidak sepadan. Tapi itulah yang terjadi sekarang. Binar dipaksa untuk melindungi harga dirinya agar tidak terinjak-injak oleh Rasya dan keluarganya. 

“Bi, aku minta maaf.” 

Sesaat setelah Rasya mengatakan itu, tangan Binar melayang di wajah Rasya dengan membabi buta. Bahkan dia menendang dan menarik rambut Rasya dengan kuat sehingga teriakan kesakitan Rasya menggema di seluruh ruangan. Orang tua Rasya yang mencoba memisahkan Binar dengan Rasya bahkan tidak sanggup. Emosi Binar tampaknya memberikan kekuatan lebih untuk perempuan itu. 

Binar mendorong Rasya sampai lelaki itu jatuh dan menabrak dinding. Ibu Rasya segera mendekati putranya dan melihat kondisinya yang sudah acak-acakan.

“Binar! Kenapa kamu melakukan ini!” Jeritan itu terdengar nyaring di telinga Binar namun dia sama sekali tak peduli. 

“Aku memberikan waktu kalian sampai besok jam sepuluh pagi. Tinggalkan rumah ini dan surat perceraian akan segera aku urus. Dan jangan berani-beraninya mengambil barang dari rumah ini meskipun itu hanya butiran debu.” 

Binar tidak tahan di ruangan yang sama dengan para pengkhianat itu. Dia segera naik ke lantai atas dan masuk ke dalam kamarnya, lalu menguncinya. Tubuhnya luruh ke lantai saat dia menangis sambil memukul dadanya seolah dengan cara itu, perasaannya akan menjadi lebih baik. 

Tentu saja, aksinya itu hanya menambah rasa sakit pada fisiknya. Tertatih, dia naik ke atas ranjang, Binar membaringkan tubuhnya dengan lemah. Tatapannya kosong mengarah pada dinding yang ada di depannya. Meringkuk seperti janin dengan air mata yang terus keluar. Sampai pagi menjelang, dia hanya bisa tidur selama satu jam. 

“Kamu sudah bangun? Ayo duduk, Mama sudah siapkan sarapan buat kamu. Ini ada ayam kecap kesukaan kamu.” 

Pagi harinya, seolah tidak pernah terjadi apa-apa, ibu mertua Binar tersenyum seperti biasa kepada Binar. Sejak kapan perempuan itu mau repot-repot menyiapkan makanan untuk keluarganya? Biasanya juga bibi yang melakukannya. 

Binar menatap perempuan itu dingin dan beralih pada dua lelaki yang sudah duduk di kursi meja makan. 

Binar tidak menjawab dan memilih menuangkan air minum ke dalam gelas lalu menenggaknya sampai tandas. Kembali menatap kedua mertuanya sebelum bersuara. 

“Kalian sudah bersiap untuk pergi? Atau ini adalah sarapan tanda perpisahan?” 

Ibu mertua Binar segera menyurutkan senyumnya dan ekspresinya berubah gugup. “Binar, kita bisa berbicara baik-baik, Nak. Kita kan keluarga, Mama dan Papa adalah orang tuamu. Mana mungkin kami pergi dari rumah ini?” 

Tidak tahu malu. Binar menatap Rasya yang sejak tadi hanya bungkam seribu bahasa, pun dengan sang ayah mertua. Mereka hanya menatap Binar dengan tatapan melas seolah ingin membuat Binar memaafkannya dengan melakukan itu. Apa mereka kira Binar memiliki hati selapang itu? 

“Kalian bukan lagi keluargaku setelah kalian mengkhianatiku. Pilihan kalian hanya satu, pergi dari rumah ini sebelum aku pulang kerja nanti.” 

“Binar, kamu nggak bisa begini dong, Bi.” Akhirnya Rasya bersuara. “Aku sudah meminta maaf kepadamu dan aku mengaku salah. Apalagi yang kamu mau?” 

“Bercerai. Keinginan terbesarku saat ini adalah bercerai dan menjauh darimu dan keluargamu.” 

“Binar. Kenapa kamu masih ngotot? Dengan Rasya memiliki anak dengan Nindi, kamu nggak perlu lagi berpikir untuk memiliki anak. Kamu bisa santai.” Sang ayah mertua bersuara. 

“Bukan itu alasannya, Pa.” Binar bersuara tegas. “Karena setelah aku lepas dari Rasya, aku akan menikah lagi dan aku akan memiliki anakku sendiri.” 

Mendengar ucapan Binar, tiga orang di sana melotot terkejut. Tidak menyangka Binar akan sanggup mengatakan itu. “Kalian sudah mendengar alasanku, bukan? Jadi, silakan bersiap-siap untuk pergi dan meninggalkan rumah ini.” 

Binar berbalik untuk pergi. Tapi suara ibu mertuanya menghentikan langkahnya. “Binar, rumah ini adalah hasil dari kerja Rasya juga. Bagaimana bisa kamu mengusir kami begitu saja?”

Kembali membalikkan tubuhnya dan menatap tiga ‘musuh’ yang ada di depannya. “Hasil kerja Rasya? Mama yakin mengatakan itu? Rumah ini aku beli sebelum aku menikah dengan anak Mama. Mobil yang Rasya pakai, juga hasil dari kerjaku. Mobil yang Mama pakai pun sama. Rasya tidak memiliki asset apa pun di rumah ini kecuali sikap pecundangnya.” 

“Binar!”

Tak tahan dengan ejekan menantunya, perempuan paruh baya itu meninggikan suaranya di depan sang menantu. Ekspresinya keruh luar biasa. Napasnya bahkan tampak memburu. 

“Bagaimanapun, Rasya adalah suamimu. Nggak pantas kamu mengejeknya begitu.” 

“Kalau dia tidak bermain api di belakangku, aku tidak akan bersikap hitung-hitungan seperti ini. Saat dia dulu kena PHK, dia hanya menjadi pengangguran dan aku bekerja keras sendirian. Aku nggak pernah mengeluh karena aku tahu aku sanggup memenuhi biaya rumah tangga. Tapi, dia benar-benar lelaki tidak tahu diri.”

Ibu Rasya menjawab berapi-api dengan tak tahu malu. “Mama nggak peduli, kami tidak akan pernah meninggalkan rumah ini.” 

*** 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
si binar terlalu banyak bacot tapi minim tindakan.
goodnovel comment avatar
Wi Win
buat emosi aja tuh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status