Share

Part 7. Ingin Segera Bercerai

Binar tidak tahu nasib buruk seperti apa lagi yang akan dia dapatkan kali ini. Pemilik mobil yang dia tabrak, ada di depannya. Dan yang menjadi kesialan lainnya adalah lelaki itu sahabat dari sahabatnya. Semesta sepertinya tengah bermain-main dengannya. Ada banyak hal buruk yang datang ke dalam hidupnya secara bertubi-tubi. 

“Bi, lo oke?” Ramon sedikit mengguncang tubuh Binar yang tampak menegang. Tatapannya nyalang ke arah Ramon, lalu berganti ke arah Kala. 

“Gue … oke.” Bahkan suaranya sedikit terbata. 

Ramon tersenyum sebelum mengulangi. “Sorry gue bawa temen gue. Kami tadi baru meeting jadi sekalian. Kenalin dong.” 

Binar bimbang saat ingin mengulurkan tangannya kepada Kala mengingat dinginnya ekspresi lelaki itu. Dia bahkan tidak benar-benar bisa menatap matanya. Maka akhirnya dia hanya mengangguk sambil menyebut namanya. 

“Saya Binar.” Hanya itu yang bisa Binar katakan. Kalandara bahkan tidak menjawab. 

Ramon sudah tidak kaget lagi melihat sikap Kala yang dingin. Tapi tentu saja sekarang berbeda. Mereka berhadapan Binar, sahabat baiknya. Maka Ramon memberikan isyarat dengan sedikit mencubit punggungnya dan mengedikkan kepalanya untuk memperkenalkan diri. Kalandara yang tidak terima melotot kesal sebelum bersuara. 

“Gue udah tahu dia siapa.” 

Suara Kalandara yang berat seolah menggema di basement sepi apartemen. Binar mendongak dengan mata yang mengandung banyak kesakitan. Menatap Kalandara dan Ramon bergantian. 

“Dia orang yang udah buat mobil gue hancur.” Kini Ramon yang menganga dibuatnya. Ini benar-benar sebuah kejutan yang luar biasa. 

“Jadi, mobil yang lo tabrak mobil Kalandara, Bi? Lo harus keluarin duit ratusan juta untuk memperbaiki mobil Kalandara?” Ramon meyakinkan lagi. 

Binar mengangguk pelan. “Iya Ram. Itu memang udah kewajiban gue. Sekali lagi, saya benar-benar minta maaf, Pak Kala.” 

“Astaga!” Ramon menggeleng miris dengan kejadian yang menyangkut dua temannya ini. 

Merasa kasihan kepada Binar, tapi dia juga tak akan pernah bisa membujuk Kalandara untuk meringankan beban Binar. Kala bukan orang yang akan membiarkan seseorang menghancurkan barangnya. Tidak membahas lagi masalah kejadian mobil, mereka bertiga pergi ke unit milik Ramon. 

Bahkan di dalam lift pun obrolan itu hanya didominasi oleh Binar dan Ramon. Kalandara tak ubahnya seperti patung hidup yang bernapas. Dia hanya berdiri di sudut lift dengan ekspresi datar tanpa minat. 

“Ini dia unit gue, Bi.” Setelah memasukkan password pintu lalu membukanya, Ramon segera memperkenalkan unitnya kepada Binar. “Rumah baru buat lo.” Lelaki itu tersenyum kecil sambil menatap Binar. “Gue harap lo betah di sini.” 

“Thanks banget, Ram. Gue udah banyak nyusahin lo.” 

“No … no. Lo nggak perlu bilang itu. Yang penting lo sekarang bisa tinggal dengan nyaman. Gue janji sama lo, rumah dan semua barang lo akan kembali lagi.”

Ramon berjalan ke salah satu pintu yang berhadapan dengan sofa. Unit itu memiliki dua kamar yang berjejer. Satu kamar utama dan satu lagi kamar tamu. Ramon membuka kamar tamu yang ukurannya lumayan besar. 

“Di kamar sebelah masih ada barang-barang gue. Lo bisa gunakan kamar yang ini. Nggak papa, kan? Bersih ‘kok.” 

“Nggak papa. Ini juga lebih dari cukup.” Bagi Binar, diberikan bantuan luar biasa seperti ini di saat dia sedang kesusahan adalah sebuah berkah. “Tapi, Ram. Mending lo kunci aja kamar utama. Gue takut kalau ada yang penting ….”

“Heh, ngomong apa. Itu cuma baju-baju aja. Nggak ada yang lain. Gue udah bilang ‘kan. Udah lama nggak datang ke sini.” 

Ramon tanpa diperintah pun segera memasukkan koper Binar di kamar yang akan ditempati. Semua itu tak luput dari perhatian Kalandara yang tengah duduk di sofa dengan santai. Tatapan itu begitu dingin dan datar. Tak sengaja, tatapannya beralih pada Binar yang masih berdiri dengan tatapan kosong. Perempuan itu seolah tidak memiliki semangat hidup sama sekali. 

Entah masalah apa yang dialami oleh Binar, tapi kesedihan itu tampak nyata di wajahnya. 

“Bi!” Barulah Binar memfokuskan lagi matanya ke arah Ramon ketika lelaki itu memanggilnya. 

“Ya?” 

“Lo udah makan belum? Kita makan dulu. Ini udah malam.” 

“Bagaimana kalau gue yang masak?” tawar Binar. “Sebagai tanda terima kasih gue.” 

Ramon tersenyum. “Oke. Gue antar lo buat belanja di supermarket bawah.” 

Binar tidak menolak dan mengangguk setuju. Hanya ini yang dia bisa dilakukan untuk Ramon. Jika dia diminta untuk membayar segala kebaikan lelaki itu sekarang, dia mungkin tidak akan bisa membayarnya. Semua uangnya habis untuk perbaikan mobil Kalandara. 

Ngomong-ngomong tentang Kalandara, Binar sedikit melirik lelaki itu yang tengah duduk di sofa sambil menatap datar pada televisi di depannya. Binar tidak berani berbicara dengan lelaki itu, jadi dia juga tidak mungkin menawarkan untuk ikut belanja dengannya. Namun Ramon yang melakukannya.

“Lo mau di sini apa ikut kami ke supermarket, Bos?” 

Mendengar suara Ramon, lelaki itu menoleh. Tampak berpikir sebelum beranjak tanda dia tak ingin sendirian di sana. Binar tidak bereaksi. Sebisa mungkin dia berdiri jauh dari lelaki itu. Mereka bertiga hanya perlu berjalan kaki untuk sampai di supermarket. Sekali lagi, obrolan itu hanya didominasi Binar dan Ramon. Namun, Ramon sama sekali tidak membahas tentang Rasya. Itu hanya akan membuat Binar merasa tertekan. 

Acara belanja itu dilakukan dengan cepat. Setelah itu, Binar benar-benar memasak dengan sepenuh hati. Melupakan sejenak rasa sakit hati yang masih menggulung perasaannya. Satu setengah jam, makanan siap dihidangkan dan Binar memanggil dua lelaki yang tengah mengobrol itu untuk makan. 

“Waw, lo emang keren, Bi. Lo serius buatin gue rica-rica?” Mata Ramon tampak berbinar cerah melihat makanan kesukaannya. Ya, Binar sempat bertanya kepada Ramon untuk dimasakkan apa. Dan jawabannya adalah rica-rica. Maka Binar membuatkannya. 

“Iya, tapi nggak pedes banget sesuai permintaan lo.” 

Mereka makan malam bersama untuk pertama kalinya. Lebih tepatnya, pertama kalinya untuk Kala dan Binar. Mereka makan dengan tenang. Sedikit melirik Kala, Binar merasa lega karena lelaki itu tampak menikmati makannya. Tidak ada komplain sama sekali. Acara makan pun tampak khidmat. Hanya saja, Binar sama sekali tak berselera. Perutnya tidak benar-benar lapar, dan lidahnya terasa hambar. 

“Gue yang akan cuci piringnya. Lo mending istirahat dulu.” Ramon mencegah Binar membersihkan bekas makan mereka. 

“Nggak papa. Gue bisa,” tolak Binar. 

“No. Lo butuh istirahat, atau setidaknya mandi biar lebih seger.” 

Binar memang membutuhkan itu. Jadi dia hanya mengangguk dan berlalu dari sana. Masuk ke dalam kamarnya, membawa perkakas mandinya, tak lupa baju gantinya. Lalu masuk ke dalam kamar mandi yang berada di samping dapur. Yang membuat Binar sedikit geli ketika melewati Kala, lelaki itu tengah dengan santainya makan ayam goreng buatannya. 

Binar mandi dengan cepat dan segera keluar setelah selesai. Membawa aroma mawar yang lembut dari tubuhnya. Dia merasa lebih baik setelah mandi. Bergabung dengan Kala dan Ramon, di sofa membawa serta ponselnya di genggamannya. Baru dia duduk, deringan teleponnya terdengar. Nama ‘Suami’ tertulis di sana. Binar hanya menatap itu dengan tatapan kesakitan. 

Ternyata ada tiga puluh panggilan tidak terjawab yang terlihat di layar ponsel tersebut. Segera, nomor itu Binar masukkan ke  daftar hitam sehingga Rasya tidak lagi bisa menghubunginya. 

“Apa yang perlu gue persiapkan untuk pengajuan perceraian itu, Ram?” Mata sayunya menatap Rama. “Gue mau segera lepas dari dia.” 

***  

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Inak Alvaro
kereen sy suka crita ny
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status