Share

Dian VS Raya

"Gak ada Mbak, saya hanya sebatas kenal saja dengan Bu Raya."

Nengsih akhirnya bicara setelah sekian lama membisu, wanita itu mengerlingkan matanya ke atas, gelagatnya menunjukan ketakutan yang membuat Dian semakin yakin ada sesuatu tak beres yang Nengsih sembunyikan.

"Jadi benar kamu yang membunuh pak Adrian?"

Dian berusaha untuk meyakinkan, sementara Nengsih hanya mengangguk perlahan, seolah-olah berat mengakuinya. Meskipun dibujuk, tetapi Nengsih tetap diam sampai waktu besuk habis. 

"Baiklah, maaf saya sudah mengganggu, kalau begitu saya permisi."

Dian berpamitan pada Nengsih dan berterima kasih pada polisi atas waktu yang diberikan, tetapi hatinya masih diliputi banyak pertanyaan, terlebih sikap Nengsih yang kian mencurigakan.

Dian berjalan ke luar dan meninggalkan kantor polisi, tetapi baru saja hendak memasuki mobil, wanita itu tak sengaja melihat lelaki itu, lelaki yang pernah bicara perihal pembunuhan dengan Raya tempo hari.

Rasa penasaran kian menghantui Dian, wanita itu memutuskan untuk kembali masuk. Benar saja, lelaki itu menemui Nengsih dan mereka berbicara, tetapi sayangnya Dian tak bisa mendengar obrolan mereka karena jarak yang lumayan jauh.

****

"Bagaimana penyelidikan hari ini Dian?" tanya Nurul saat menikmati makan malam. Kebetulan malam ini Nurul masak gulai nangka kesukaan Dian sehingga wanita hamil itu makan dengan lahap.

"Masih belum ada titik terang Tante, Nengsih bilang gak ada keterikatan antara kasusnya dengan Raya," jawab Dian, wanita yang sedang asyik menikmati makan malam itu berhenti seketika, raut wajahnya berubah sendu.

"Ya sudah Dian, mungkin memang Raya tidak melakukan itu, mungkin lebih baik kamu fokus sama kehamilan kamu, sebentar lagi anakmu lahir," timpal Damar kemudian.

Mungkin benar, Dian terlalu curiga pada Raya, dendam dalam hatinya sudah meracuni akal sehat sehingga selalu berprasangka negatif dan mengaitkan hal buruk dengan sepupunya sendiri.

Malam semakin larut, kantuk sudah mendera, tetapi mata Dian sulit sekali untuk terpejam. Wanita itu membuka ponsel, ternyata ada satu notifikasi pesan dari Bi Imah yang sudah masuk dari beberapa jam yang lalu.

[Bu, Bapak dan Bu Raya ribut besar, bapak sudah tahu kalau ibu gak selingkuh dan hanya difitnah sama Bu Raya] 

Dian tersenyum sinis melihat pesan dari asisten rumah tangga yang dijadikan mata-mata untuk Raya itu. Hatinya sedikit puas karena sang suami telah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

"Kebenaran akan selalu terungkap meski sepintar apapun kamu menyembunyikannya, Raya," gumam Dian pelan, sorot matanya lurus ke depan.

Menurut Dian, pasti Radit akan lebih marah jika tahu anak yang Raya kandung bukanlah darah dagingnya. Namun sayang, bagi Dian Radit kini terlalu polos, lelaki itu bahkan tak bisa membedakan mana hamil tujuh bulan dan mana hamil lima bulan. Dian menggelengkan kepala mengingat bagaimana lelaki itu begitu membela istri mudanya.

Tubuh Raya memang tetap ramping meski ia sedang hamil, perutnya pun tidak terlalu besar, menurut Dian itu alasan Radit percaya pada wanita berhati iblis seperti Raya dan masuk dalam perangkapnya.

**

"Ada apa?" tanya Dian  saat melihat Radit tiba-tiba saja datang ke rumah Damar di pagi buta.

"Dian, aku minta maaf ya," pintanya sembari berusaha menyentuh tangan Dian, tatapannya lesu dan layu, sorot matanya penuh penyesalan, tetapi dengan tegas Dian menepis sentuhan tangan Radit. Dian hanya tersenyum kecut sembari menyilangkan tangan di atas dada saat melihat Radit memohon maaf padanya.

"Aku sudah tahu bahwa kamu tidak selingkuh Dian, Raya sudah fitnah kamu perihal laki-laki itu," lanjutnya lagi, hatinya kian teriris, dadanya tercabik oleh penyesalan karena dengan mudah percaya pada perkataan Raya.

"Aku sudah terlanjur sakit hati, Mas. Bukan hanya Raya yang sudah fitnah aku tapi juga kamu. Seharusnya kamu dengerin dulu penjelasan aku, tetapi yang kamu lakukan justru mengusirku begitu saja tanpa mau mendengarkan. Kamu sengaja menutup telinga bahkan menutup mata padaku."

Suara Dian serak menahan emosi. Matanya sudah berkaca-kaca karena luka yang pernah Radit torehkan dalam hatinya.

"Iya aku tahu Dian, maka dari itu aku minta maaf, kamu mau kan kembali sama aku lagi?"

Radit berusaha menyentuh tangan Dian, tetapi wanita itu sudah terlanjur sakit hati dan tak ingin disentuhnya.

"Aku mohon demi anak kita," tambah Radit, dia bertekuk lutut di hadapan Dian lalu memegang kakinya.

"Untuk apa? Toh kamu sudah mempunyai Raya, aku gak mau dimadu, lagian bukannya kita akan cerai setelah anak ini lahir?"

Dian justru melontarkan pertanyaan yang membuat hati Radit kian merasa bersalah, lelaki itu tak mau jika harus berpisah dengan wanita terindahnya.

"Enggak Dian, aku gak akan ceraikan kamu sampai kapanpun, aku cinta sama kamu, dulu, sekarang dan sampai nanti akan tetap mempertahankan rumah tangga ini."

Dengan tegas dan mantap Radit menjawab pertanyaan Dian, sementara wanita itu hanya tersenyum kecut mendengar ucapan suaminya.

"Egois ...."

Dian menggelengkan kepala karena tak habis pikir dengan lelaki yang menurutnya tak tahu malu itu.

"Aku mencintaimu Dian, kita lanjutkan kisah ini dan benahi lagi," pinta Radit sembari menatap dalam manik hitam wanita yang masih berstatus istrinya tersebut.

"Mas, kalau kamu memang mencintai aku, gak akan ada pengkhianatan dalam rumah tangga kita."

Dian berjalan pelan membelakangi Radit, hatinya tercabik perih mengingat saat pertama dirinya melihat Radit dan Raya berduaan di tengah perjuangannya untuk sembuh.

Hati Dian ngilu membayangkan lelaki itu bercumbu dengan sepupunya, sedangkan dirinya sekuat tenaga berjuang untuk hidup demi suami dan anak dalam kandungannya.

"Maaf Dian, tapi waktu itu aku sama sekali gak sadar bisa berhubungan dengan Raya, tahu-tahu kami sudah melakukannya."

Radit berjalan mendekati istrinya lalu menggenggam tangan Dian, ia berusaha membela diri atas perbuatan menjijikan yang pernah dilakukannya bersama Raya.

"Mas ... Mas ... mana ada orang melakukannya tanpa sadar?"

Dian tersenyum sinis, ia melepaskan genggaman tangan Radit sambil menggelengkan kepala, lalu wanita itu berjalan dan masuk ke dalam rumah.

Dian menutup pintu dan menguncinya dari dalam, tak peduli Radit terus mengetuknya dan terus berteriak memanggil. Di luar lelaki itu pun terus berusaha berbicara untuk menjelaskan, Radit juga mengajak agar Dian mau kembali padanya, tetapi hati Dian sudah terlanjur sakit dengan pengkhianatan yang dilakukan suaminya.

Dian berjalan ke arah kamar dan duduk di sisi ranjang, wanita itu menumpahkan semua rasa yang berkecamuk dalam dada, air mata terus mengalir deras seiring perihnya luka, jauh dalam hati kecilnya ia masih mencintai Radit, tetapi kekecewaan dan pengkhianatan terus menghantui pikirannya. 

"Dian, ini Tante Nak."

Nurul mengetuk pintu kamar. Setelah mendengar suara istri Damar, Dian tanpa ragu membukanya kemudian kembali ke tempat semula. 

"Dian maaf Tante gak sengaja mendengar pembicaraan kamu sama Radit tadi, apa gak sebaiknya kamu pulang? Rumah tangga itu kalau masih bisa dipertahankan ya lebih baik pertahankan." 

Nurul menghampiri Dian yang tengah duduk menatap kosong ke arah jendela, lalu wanita itu duduk di sebelah Dian, ia mengelus rambutnya dan menyelipkannya di telinga. Sementara Dian menarik napas berat lalu mengembuskan pelan, entah mengapa perkataan Nurul begitu mengusik hatinya. 

"Tapi, Tante ...."

Dian berusaha menyanggah, hatinya kian bimbang, ia tahu kalau perceraian adalah sesuatu yang diperbolehkan tetapi dibenci Tuhan.

"Dian, anak kamu butuh ayah, siapa tahu suatu saat nanti Radit berubah, sebelum ini dia juga belum pernah menyakiti kamu, kan? Semenjak Raya hadir saja rumah tangga kalian hancur, kan?" tanya Nurul dengan lembut.

Dian hanya mengangguk pelan. Memang, wanita itu pun menyadari kalau Radit tak pernah menyakitinya sebelum ini, bahkan lelaki itu  selalu memanjakan dirinya karena tahu kalau Dian tak pernah merasakan kasih sayang orang tua sedari kecil. Radit selalu berusaha menghibur Dian agar istrinya tak kekurangan kasih sayang, cinta bahkan harta.

"Dian, laki-laki bisa saja khilaf, apalagi saat dia memiliki segalanya, tapi bukankah satu kesalahan harusnya tidak mengubur seribu kebaikan?"

Nurul mengalihkan pandangan ke arah luar jendela, rintik hujan perlahan turun di sana.

"Tapi, Tan ...," sela Dian lagi, bisikan perceraian begitu kuat mendengung di telinganya.

"Dian, justru dengan kamu tinggal di sana bersama Raya, bukankah kamu bisa semakin mudah menyelidikinya?"

Nurul kini kembali mengalihkan pandangan ke arah Dian dan menatap tajam kedua matanya.

Dian berpikir sejenak, benar juga ucapan Nurul, tinggal seatap dengan Raya maka akan membuatnya semakin mudah untuk menyelidiki wanita berhati iblis itu dan memberikan pelajaran untuknya.

"Iya Tan, Tante benar," jawab Dian setelah berpikir, senyum tipis kini mengembang di bibirnya.

"Iya, kalau kamu mau tahu kelemahan musuh, maka kamu harus berani dekat dengannya."

"Ya sudah aku siap-siap dulu ya Tan, kebetulan Mas Radit juga masih menunggu di luar, katanya dia gak akan pulang sebelum aku ikut dengannya."

Dian kini semangat lalu beranjak memasukan pakaian pada koper. Senyum penuh misteri tergambar dari bibir manisnya.

***

Hujan mulai reda, tetapi Radit masih setia berdiri di depan rumah Damar sambil menunggu Dian berubah pikiran, bajunya sedikit basah terkena cipratan air hujan.

"Ayok!"

Dian membuka pintu sambil membawa koper, sontak Radit yang sedang menghangatkan tubuhnya dengan cara meniup jemarinya itu melongo, mungkin lelaki itu tak percaya akhirnya Dian berubah pikiran.

"Mau aku pulang gak? kalau gak mau ya sudah balik lagi."

Dian bertanya sembari membalikkan badan ke arah pintu.

"Mau ... mau, jangan dong, sini kopernya aku bawa."

Dengan mata berbinar Radit berjalan ke arah Dian, bibirnya tersenyum bahagia, wajah yang tadi kusut kini berubah semringah. Radit dan Dian tak langsung pulang karena menunggu kepulangan Damar yang masih di Mushala terlebih dahulu untuk berpamitan.

"Hati-hati di jalan ya, Radit Om titip Dian, ya," ujar Damar dengan nada tegas setelah sampai di rumah, lelaki itu masih tak percaya kalau Radit mampu menjaga Dian dengan baik.

"Iya Om," balas Radit lalu mencium tangan Damar takzim.

"Hati-hati ya, kalau ada apa-apa kabarin Tante."

Dian mencium tangan Nurul takzim lalu memeluknya penuh haru.

Mobil melesat ke jalan raya dan perlahan meninggalkan halaman rumah Damar. Di perjalanan Radit  mengajak Dian makan di restoran favorit keduanya guna menumbuhkan lagi cinta yang hampir pudar.

"Terima kasih ya, aku bahagia sekali karena kamu mau kembali, sehat-sehat ya anak Papa, sebentar lagi kita bertemu," ucap Radit sembari mengelus perut Dian.

Keduanya bercengkrama, bernostalgia, merajut tali kasih yang sempat mengendur, seolah-olah lupa bahwa diantara mereka ada orang ketiga yang sedang menunggu di rumah. Namun, tanpa Radit ketahui bahwa yang Dian lakukan adalah kepura-puraan. 

****

"Mas, kamu ke mana saja sih, Aku telpon gak diangkat, kan aku jadi khawatir?" tanya Raya sembari membingkai tangan di wajah Radit saat lelaki itu baru saja datang.

Dian berjalan di belakang Radit dan sengaja menyuruhnya masuk terlebih dahulu, wanita itu ingin memberikan kejutan spesial pada Raya atas kedatangannya kembali. Bagi Dian genderang sudah ditabuh dan ia akan mengikuti ke mana arah permainan Raya.

"Sudah, aku lelah."

Radit melepaskan tangan Raya dengan kasar.

"Kok kamu gitu sih Mas? Kan aku sudah jelaskan semuanya kalau apa yang kamu lihat itu gak ben ...." Perkataan Raya tiba-tiba saja terpotong saat melihat kedatangan Dian, seketika wajah Raya memerah.

"Hai Ray," sapa Dian sembari tersenyum  penuh kemenangan. Wanita itu nampak syok tetapi berusaha tenang dan tak menghiraukan Dian.

"Mas, kenapa dia datang lagi?" tanya Raya dengan deru napas tak beraturan karena amarah.

"Dian masih istri saya, jadi dia masih punya hak untuk tinggal di sini," jawab Radit tegas, "ayok!" Radit menyentuh lengan Dian dan menuntunnya masuk.

"Dadah ...."

Dian melambaikan tangan dengan menjulurkan lidah pada Raya, sementara wajah sepupunya itu kian memerah menahan murka.

***

"Mas, sarapan dulu yuk."

Raya sembari menggenggam tangan Radit ketika lelaki itu hendak berangkat kerja, matanya melirik sinis ke arah Dian yang berdiri di belakang suaminya.

Dengan tenang Dian mengekor dibelakang Radit sembari membawakan tas kerjanya.

"Gak perlu, aku sudah sarapan sama Dian," jawab Radit dingin sehingga membuat Raya semakin murka melihat lelaki itu lebih perhatian pada Dian.

"Aku pergi dulu, ya."

Radit mengecup kening Dian lalu mengusap perutnya yang kian membuncit. Sementara Dian membenarkan kerah baju suaminya di hadapan Raya. Wanita itu kini merasa puas sekali karena bisa memanas-manasi wanita licik di depannya.

"Iya, Mas," jawab Dian lalu mencium punggung tangan Radit.

"Mas...."

Raya menyodorkan tangannya pada Radit, tetapi lelaki itu tak menghiraukan.

Dian tahu betul kalau Radit pasti sangat marah karena Raya telah berbohong dengan memfitnahnya, karena sejak dulu Radit adalah orang yang jarang mentoleransi kebohongan. Saat ini lelaki itu bertahan hanya karena Raya sedang hamil.

"Apa yang kamu inginkan, Dian? Kenapa sih kamu selalu merebut kebahagiaanku? Aku sudah bahagia dengan Mas Radit, kenapa kamu harus kembali lagi dan menghancurkan kebahagiaanku, hah? Dasar wanita tak tahu diri."

Setelah kepergian Radit Raya mencecar Dian dengan kemarahan.

"Enggak kebalik? Bukankah seharusnya aku yang ngomong begitu sama kamu? Oh ya, aku ingat ... kayaknya kamu gak punya kaca buat ngeliat kelakuan bejat sendiri kayak apa."

Dian membalas  kemarahan sepupunya dengan tenang tetapi langsung menghunus dada Raya.

Mendengar jawaban Dian yang menyudutkannya, Raya mengepalkan tangan kuat sehingga urat-uratnya menonjol, sementara giginya gemerutuk menahan emosi yang sudah di ubun-ubun.

"Satu lagi, aku bukan Dian yang dulu, bukan Dian yang bisa selalu kamu setir, perlahan tapi pasti aku akan buka semua kedok kamu, terutama tentang ayah biologis dari anakmu, dan saat itu terjadi, siap-siap saja Mas Radit akan mendepak kamu dan ibumu."

Dian kembali melanjutkan ucapannya, menantang Raya agar tak menyepelekannya, kemudian dia berjalan meninggalkan Raya yang masih termangu melihat keberaniannya sekarang. 

"Oh ya, satu lagi. Saya juga tahu tentang rahasia besar yang sedang kamu sembunyikan."

Dian yang sudut berlalu itu tiba-tiba berhenti dan melirik ke arah Raya dengan senyum sinis, mendengar perkataan Dian tentang rahasia besarnya, seketika wajah Raya memerah ketakutan.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status