Share

Langkah Awal Pembalasan

"Mas, kamu cinta sama Raya?"

Dian bertanya pada Radit saat keduanya hendak ke pembaringan. Tak dipungkiri ada setitik rasa bahagia karena akhirnya bisa kembali bercengkrama dengan Radit di surga peraduannya. Namun, dia tak akan lupa dengan tujuan dari kedatangannya. 

"Tadinya, tapi semenjak tahu dia berbohong cinta itu tiba-tiba hilang."

Radit meletakan buku yang dibacanya ke atas meja, lelaki itu kemudian menatap manik hitam Dian lembut, ada rasa bersalah yang bercokol dalam dada kala melihat sorot sendu istri pertamanya.

Dian menghela napas dalam mendengar jawaban jujur yang menyakitkan dari mulut sang suami. Wanita mana pun akan terluka saat tahu ada cinta lain di hati suaminya.

"Saat kamu mengusirku, apa kamu juga sudah tidak mencintaiku?" tanya Dian, wanita itu menatap lekat netra Radit, mencari secercah rasa yang tak bisa ditebak. 

"Enggak Dian, cinta untuk kamu selalu ada, bahkan jauh dalam hati gak percaya kamu bisa melakukannya, tapi saat itu semua bukti terpampang jelas, Raya bahkan bilang kamu sering pulang pergi bersamanya jauh sebelum kita menikah dan Raya memberikan foto-foto sebagai buktinya, dia sepupu kamu, itu yang membuat aku percaya, maaf karena aku telah bodoh."

Radit tertunduk menyesal sembari menggenggam tangan Dian, lalu menatap lekat mata lentik istrinya.

Dian tersenyum miris, wanita itu tak menyangka kalau Raya benar-benar curang dan licik, sepupunya itu menciptakan kebohongan pada Radit seolah-olah ia  adalah wanita tak baik.

Sebelum menikah, Dian dan Radit tak berhubungan lama sehingga lelaki itu tak begitu tahu bagaimana kisah cinta masa lalu istrinya.

"Tapi kamu janji kan setelah anak itu lahir kalian akan bercerai?" tanya Dian.

"Aku janji, hanya saja aku bingung, ibu sudah sangat sayang pada Raya, apalagi saat ini ibu sakit, pasti dia terpukul kalau aku harus menceraikan Raya, karena ibu yang meminta aku menikahi Raya saat kamu sakit."

Deg. 

Bagai tersambar petir mendengar penjelasan Radit bahwa semua adalah rencana ibu mertuanya, dari dulu ibu mertuanya memang tak pernah suka pada Dian, tentu karena latar belakang keluarganya yang berantakan. Mertuanya menganggap asal-usul Dian tak jelas dan khawatir akan mencemarkan nama baik keturunannya.

Hanya saja, Radit tetap bersikeras untuk menikah dengan Dian meski awalnya ia sempat dimusuhi keluarga.

Radit adalah anak satu-satunya dan pewaris perusahaan toko material sang ayah. Setelah berjuang, akhirnya keluarga luluh dan mulai menerima Dian, meskipun saat itu Dian belum berhasil memberi mereka keturunan dan harus menunggu beberapa tahun hingga hamil.

Sungguh Dian tak habis pikir, ibu mertua yang bersikap sangat manis di hadapannya ternyata jauh dalam hatinya masih tak bisa menerima Dian dan berusaha menyingkirkannya.

"Kalau misalnya anak di perut Raya bukan anakmu, Mas?" tanya Dian kemudian, sontak membuat Radit mendongak.

"Maksud kamu?" Radit mengernyitkan dahi.

"Gak jadi Mas, yuk kita tidur."

Wanita itu merasa tak mungkin bicara ini pada Radit, sedangkan ia tak memiliki bukti apapun, terlebih mendengar penyataan Radit sendiri bahwa dia pernah memiliki rasa pada Raya saat dirinya tak berdaya.

Meski perih dan tak membenarkan perilakunya, tetapi Dian berusaha memaklumi karena saat itu ia tak bisa memenuhi kebutuhan biologis Radit dalam waktu yang lama, sedangkan Dian tahu bagaimana lelaki itu bermain di ranjang.

"Sebentar, maksud perkataan tadi apa?"

Radit masih terus membahas dan penasaran dengan perkataan Dian barusan.

"Gak Mas, aku cuma bercanda kok, ayok tidur," balas Dian sembari mencubit perutnya. Jauh dalam hati wanita itu ingin mengatakannya, tetapi bukti yang belum jelas membuatnya urung.

"Aww ...."

Radit menjerit saat perutnya dicubit oleh Dian.

"Sakit, Mas?" tanya Dian, khawatir mencubit Radit terlalu keras. Namun, bukannya menjawab dia justru merengkuh tubuhnya dan mengecup bibir wanita itu secepat kilat.

"Ih apaan sih?" Dian malu-malu.

"Yuk, katanya kalau melakukan di trimester akhir bikin gampang lahiran."

Dian hanya tertawa melihat wajah Radit saat menggodanya. Meski jauh dalam hati merasa jijik, tetapi dirinya masih berstatus sebagai istri, tak salah mengorbankan diri demi membuat Radit yakin bahwa ia tak memiliki maksud lain. 

***

"Gimana sih, kerja begitu saja kalian gak bisa? Bakar saja rumah orang tuanya kalau dia berani buka suara."

Raya membentak seseorang melalui sambungan telepon. Namun, ia tetap menahan suaranya agar tak terdengar siapapun.

Di waktu yang bersamaan, Dian tengah berjalan ke arah dapur untuk mengambil minum, hamil tua membuatnya sering sekali kegerahan meski AC sudah menyala. Namun, ternyata Dian melihat Raya sedang melakukan panggilan dengan sembunyi-sembunyi.

"Ngapain kamu malam-malam telponan di sini?"

Dian mengernyitkan dahi, wanita itu mendengar sekilas pembicaraan Raya dengan seseorang di sebrang sana.

Mendengar suara Dian yang mengejutkannya, Raya gegas mengakhiri panggilan dan memasukan ponselnya ke saku piyama, wanita itu terlihat sangat gugup.

"Ngapain juga kamu ngintip-ngintip? Kepo banget sih sama urusan orang."

Raya berusaha menutupi kegugupannya dengan judes.

"Aku haus, apa salah ngambil minum? Yang harusnya aku tanya itu kamu, ngapain malam-malam ke dapur cuma buat telponan?" tanya Dian lagi, kali ini tatapannya kian tajam. 

"Mau tahu aja, atau mau tahu banget?" Raya bergegas pergi sembari melewati Dian dengan angkuh.

Dian menatap kepergian Raya dengan tatapan penuh selidik. Wanita itu yakin kalau Raya memang tak beres, firasatnya semakin kuat mengatakan kalau sang sepupu yang membunuh Adrian, lelaki yang diduga ayah biologi dari anak yang dikandungnya. 

Dian berniat akan menyelidiki lagi kasus Nengsih, kali ini dia yakin dengan dugaan bahwa wanita bernasib malang itu tengah diancam oleh Raya, Dian kini tahu betul sifat Raya seperti apa.

***

"Ma, Mama mau minum apa? Biar Raya buatkan ya."

Dian yang tengah membereskan kamar lantas keluar mendengar suara Raya sedang berbincang dengan ibu mertua di lantai bawah. Bahkan, Dian tak tahu jika hari ini ibu mertuanya akan datang, sebelum dirinya sakit, biasanya ibu mertuanya akan mengabari Dian dan mengajaknya masak bersama.

"Eh ada Mama, sehat Ma?"

Dian segera turun dari tangga dan menyalami tangan ibu mertuanya, tetapi ibu mertuanya tak menghiraukan, kini sikapnya sudah terang-terangan berubah.

"Gimana kandungan kamu, sehat? Mama gak sabar banget pengen menimang-nimang cucu."

Ibu mertuanya tak menghiraukan kedatang Dian, wanita itu justru mengusap perut Raya lembut lalu menciumnya.

Hati Dian kian teriris, wanita itu merutuki diri karena telah turun ke bawah, seharusnya dia ingat perkataan Radit bahwa semua adalah ide gila mertuanya yang menjodohkan suami dengan sepupunya sendiri. 

Dian masih terpaku dengan goresan hati yang kian menganga lantaran melihat sebuah kenyataan bahwa ibu mertuanya begitu perhatian pada Raya.

"Alhamdulillah sehat Ma, oh ya aku ambilkan minum ya, ma," ujar Raya berusaha mengambil hati mertuanya.

"Gak usah, kamu jangan capek-capek dong, Mama gak mau kamu dan anak di kandungan kamu kenapa-kenapa," jawab mertuanya penuh perhatian.

Melihat dirinya tak dianggap ada, Dian lebih memilih pergi dari hadapan mertua dan madunya itu.

"Oh kalau begitu aku panggil Bi Imah ya, Ma," balas Raya lagi.

"Gak perlu, kan ada Dian tuh. Dian tolong ambilkan Mama minum ya, biasa teh hangat gak pake gula!"

Dian baru saja hendak naik ke tangga saat namanya disebut dan mendapatkan perintah dari sang mertua. Wanita itu mengembuskan napas dalam lalu membuangnya, mengelus dadanya yang sesak agar kesabaran tetap terjaga.

"Iya, Ma."

Dian mengangguk, ia berusaha baik-baik saja. Hatinya terasa linu, padahal dirinya pun sama saja sedang hamil, tetapi mertuanya sangat kentara membedakan Dian dan Raya, melarang madunya untuk mengambil minum dengan alasan takut capek, sedangkan Dian disuruh-suruh bagaikan pembantu.

"Lihat saja Ma, Mama pasti menyesal saat tahu kebusukan menantu kesayangan Mama itu," gumam Dian pelan, wanita itu semakin ingin membuktikan kebusukan Raya pada semua orang.

Saat Dian baru saja melangkah hendak ke dapur, Indira tiba-tiba datang dan langsung cipika cipiki dengan anak serta besan kebanggaannya. Keduanya saling bercengkrama, mereka heboh sekali membicarakan fashion yang sedang hits.

"Dian, sekalian buat Bundaku ya," teriak Raya tanpa beban. Ingin saja rasanya Dian memberikan racun ke dalam minuman mereka, tetapi dirinya masih waras dan tak sejahat itu.

Radit baru saja pergi keluar kota untuk urusan membuka cabang tokonya dan akan pulang beberapa hari lagi. Sekarang Indira dan Mama mertuanya datang, Dian yakin pasti dirinya akan jadi bahan bullyan mereka.

"Bu, biar saya saja ya," pinta bi Imah saat melihat Dian membuatkan minuman untuk mereka.

"Ya sudah Bi, terima kasih ya," jawab Dian lalu pergi ke kamarnya. Biar saja mereka marah, toh Dian memang bukan pembantu.

***

"Maaf aku datang lagi."

Dian berbicara pada Nengsih saat menemuinya di kantor polisi.

"Untuk apa Mbak menemui saya lagi? Bukankah sudah saya katakan bahwa saya gak ada hubungan apapun dengan Bu Raya," jawabnya tegas.

Baru saja Dian membuka mulut untuk bertanya lagi, salah satu polisi mendatangi keduanya.

"Ada telepon untuk Bu Nengsih," ucapnya.

Nengsih segera meninggalkan Dian dan menerima panggilan entah dari siapanya, tetapi tiba-tiba wanita itu berteriak histeris, membuat semua yang berada di sana panik dan polisi segera mengamankannya.

Dian memutuskan untuk pulang, sepertinya Nengsih tak akan buka suara. Wanita itu terus memikirkan langkah yang harus dilakukan agar Nengsih berkata jujur.

Dian yakin dari sikap yang ditunjukkan sepertinya Nengsih mempunyai tekanan hidup yang berat, andai Nengsih berkata benar dan menceritakan semuanya, Dian pasti akan membantunya.

Tak menghasilkan apapun, Dian memutuskan kembali ke rumah Adrian, wanita itu berharap bisa menggali informasi di sana. Ia memesan taksi online dan langsung menuju rumah Adrian.

Setelah melakukan kurang lebih hampir satu jam perjalanan, akhirnya Dian telah sampai di rumah bergaya klasik dengan cat warna putih. 

Sebelum turun Dian membayar taksi, kemudian ia bergegas berjalan dan meminta izin pada satpam untuk masuk, satpam yang sudah hafal pada wanita itupun tanpa ragu membuka gerbang untuknya.

"Permisi ...."

Dian mengetuk pintu, tetapi tak ada yang membukanya. Wanita itu urung bertamu, sehingga berbalik badan hendak pergi. 

"Maaf, ada perlu apa, ya?"

Tiba-tiba saja daun pintu terbuka, seorang pria tak asing telah berdiri di sana. 

"Dokter Rian?"

Dian bergumam, mata wanita itu terbelalak saat melihat seseorang yang membukakannya pintu.

"Bu ... Bu Dian, ya?" tanya dr. Rian sambil mengingat-ingat, lelaki itu pun tak kalah terkejut dengan kedatangan pasiennya.

"Iya, Dok." Diam mengangguk. 

"Ada perlu apa, kok tahu rumah saya?" tanya dr. Rian, lelaki itu nampak kebingungan.

"Ada siapa, Den?"

Suara Mbok Siti terdengar, wanita paruh baya itu berjalan mendekat.

"Eh ada Bu Dian."

Mbok iti langsung menyapa wanita itu saat Dian dan Rian bertatapan.

"Mbok kenal Bu Dian?" tanya dokter Rian tak menyangka.

"Iya kenal Den, Aden Rian kenal?" tanyanya lagi.

"Kenal, beliau salah satu pasien saya," balasnya kemudian.

Kehamilan Dian saat ini adalah kehamilan kedua. Sebelumnya wanita itu pernah hamil tetapi keguguran di usia yang baru menginjak dua bulan. Sejak saat itu Dian dan Radit mengikuti program hamil pada dr. Rian lantaran tekanan dari ibu mertuanya, tetapi sayang tak pernah berhasil. Sehingga, akhirnya saat Dian pasrah, Allah memberikan kehamilan lagi untuknya.

"Ayo masuk Bu," titah dokter Rian lembut sembari melebarkan pintu.

"Lagi libur dok?" tanya Dian basa-basi sembari melangkah masuk.

"Iya, biasanya kalau libur saya jenguk Bunda," jawab dr. Rian saat keduanya hendak duduk di sofa berwarna putih.

"Saya turut berdukacita ya dok atas musibah yang menimpa keluarga dokter."

Tanpa basa-basi Dian berbelasungkawa.

"Bu Dian tahu tentang musibah yang terjadi di keluarga saya?"

Dokter Rian penasaran, lelaki itu menatap lekat manik hitam lawan bicaranya, karena sepengetahuannya kasus itu telah ditutup sejak Nengsih dipenjara.

"Iya dok, mohon maaf sebelumnya, justru kedatangan saya ke sini ingin menanyakan perihal kematian pak Adrian."

Dian langsung mengutarakan niat dan tujuan kedatangannya. 

"Kenapa? Apa hubungannya dengan Bu Dian?" tanya dr. Rian seraya memicingkan mata.

Dian menjelaskan semua dugaan pada Raya juga tentang kejanggalan Nengsih. Wanita itu pun menjelaskan alasan menyelidiki adalah untuk membongkar semua kejahatan sepupunya, Rian sangat mengerti dengan apa yang wanita itu utarakan setelah melerai perkelahian tempo hari.

"Baik Bu, kalau begitu kita kerjasama untuk mengungkap siapa pembunuh sebenarnya. Karena siapapun dia, dia harus menebus mahal penderitaan ibu saya," ungkap dr. Rian mantap.

Dian tersenyum senang, wanita itu sudah tak sabar ingin melihat Raya yang sombong itu menangis di hadapannya.

'Lihatlah Raya, aku sudah punya partner untuk menguak kejahatan kamu. Dokter Rian mencari keadilan untuk keluarganya, sedangkan aku mencari keadilan untuk semua kejahatan yang pernah kamu lakukan.' Dian berucap dalam hati.

Dian dan dokter Rian saling berpandangan, keduanya saling  menguatkan dan meyakinkan diri untuk menguak semua kejahatan Raya.

Bersambung.

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Lina
lanjutkan .harus beli koin
goodnovel comment avatar
Pai Jah
Aneh Dian kan katanya punya duit , kenapa tak menyewa detetif untuk menyelidiki semua dab menyewa pengacara untuk membantu ningsih , dian kan hamil besar pasti sudah sulit bergerak dan sangat terbatas , cerita aneh?
goodnovel comment avatar
rohaya aya
kanjut kan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status