Keesokan harinya, Johan merasa seperti ada beban baru yang mengganjal di dadanya. Setelah berbicara dengan Nadya dan mendapat dukungan penuh darinya, dia merasa sedikit lebih ringan, namun pekerjaan dan tantangan yang menanti di luar sana tetap tidak bisa diabaikan. Kontrak besar yang sedang diperebutkan masih berada di ujung mata, dan setiap keputusan yang dia buat akan mempengaruhi nasib karier dan masa depan perusahaan tempat dia bekerja.
Hari itu, Johan memutuskan untuk menemui Butra Wijaya lagi. Meskipun dia telah mendapatkan beberapa petunjuk tentang dunia politik perusahaan dari pertemuan mereka sebelumnya, dia merasa masih banyak yang perlu dia pelajari. Butra, sebagai mentor yang sudah berpengalaman, adalah orang yang tepat untuk memberinya wawasan lebih dalam. Di ruang kerja Butra, suasana terasa lebih serius daripada biasanya. Butra duduk di mejanya dengan wajah serius, sementara Johan duduk di hadapannya, menunggu untuk diberikan arahan lebih lanjut. “Johan, aku ingin kamu memahami satu hal,” kata Butra, memulai percakapan. “Persaingan di dunia ini tidak hanya ditentukan oleh kemampuan dan kerja keras. Banyak faktor lain yang bisa memengaruhi hasil akhirnya. Kamu harus siap dengan segala kemungkinan, baik itu kemenangan maupun kegagalan. Yang terpenting adalah bagaimana kamu menangani kedua hal tersebut.” Johan mendengarkan dengan seksama. “Saya mengerti, Pak. Tapi bagaimana cara mempersiapkan diri untuk menghadapi semuanya itu?” Butra tersenyum tipis. “Satu hal yang perlu kamu pahami adalah bahwa orang-orang yang paling sukses adalah mereka yang tahu kapan harus berkompromi dan kapan harus bertahan dengan prinsip mereka. Dalam dunia bisnis, hubungan adalah segalanya. Jika kamu memiliki jaringan yang kuat dan bisa memanfaatkan kekuatan hubungan itu, kamu akan selalu berada di posisi yang menguntungkan.” Johan merenung sejenak. “Tapi saya bukan tipe orang yang bisa memainkan politik seperti itu, Pak. Saya lebih nyaman bekerja dengan kemampuan saya sendiri.” Butra mengangguk. “Itu bagus, tapi dunia ini lebih dari sekadar kemampuan teknis. Terkadang, apa yang kita tahu bisa jadi bukan hal yang paling penting, tetapi siapa yang kita kenal dan bagaimana kita memanfaatkan hubungan itu. Aku tahu kamu bisa melakukannya, Johan. Aku ingin kamu menjadi lebih dari sekadar pekerja keras. Kamu harus belajar bagaimana memainkan permainan ini dengan bijaksana.” Setelah percakapan itu, Johan merasa semakin terbeban. Dia tahu bahwa Butra memberikan nasihat berharga, tetapi kadang-kadang, dia merasa terjebak di antara keinginannya untuk tetap setia pada prinsip dan tuntutan dunia yang penuh dengan intrik ini. Namun, satu hal yang pasti, dia tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan ini. Jika ingin bertahan, dia harus belajar untuk menavigasi dunia ini dengan cara yang lebih cerdas. Setelah keluar dari kantor Butra, Johan merasa perlu untuk berjalan-jalan sebentar dan menyegarkan pikiran. Di jalanan yang ramai, dia melangkah dengan kepala penuh pertanyaan. Apa yang harus dia lakukan? Haruskah dia mengikuti nasihat Butra dan mulai bermain lebih keras dalam politik perusahaan, atau tetap bertahan dengan cara yang dia anggap benar? Saat berjalan di sepanjang trotoar, Johan tidak sengaja bertemu dengan seseorang yang dia kenal. Clara, salah satu keponakannya yang selalu terlihat sinis dan merendahkan dia di setiap kesempatan, sedang berjalan dengan teman-temannya. Melihat Johan, Clara mendekat dengan senyum mengejek. “Johan, sepertinya kamu semakin sibuk sekarang ya. Mungkin pekerjaan itu lebih penting daripada keluarga kita?” Clara berkata dengan nada sarkastik. Johan menahan diri untuk tidak meladeni, namun dia bisa merasakan tatapan meremehkan dari Clara. “Saya hanya berusaha untuk bekerja keras, Clara. Itu yang penting.” Clara tertawa pelan. “Kerja keras? Jangan-jangan kamu cuma ingin membuktikan sesuatu kepada keluarga ini. Tapi ingat, kamu hanya seorang menantu. Jangan berpikir kamu bisa lebih dari itu.” Johan menggertakkan giginya, namun dia tahu bahwa merespons Clara dengan marah hanya akan memperburuk keadaan. "Saya hanya berusaha memberikan yang terbaik," jawabnya dengan tegas, lalu melanjutkan langkahnya tanpa menunggu reaksi Clara. Perasaan kesal dan marah membara di dalam dada Johan, namun dia tidak ingin terjerat dalam permainan intrik yang tidak ada habisnya. Hatinya berkata bahwa dia harus lebih kuat. Sebagai menantu yang selalu diremehkan, dia tahu bahwa dia harus bekerja lebih keras dan membuktikan bahwa dia bisa lebih dari apa yang orang lain lihat. Pada malam yang sama, setelah pulang ke rumah, Johan dan Nadya duduk bersama di ruang tamu. “Apa yang terjadi, Johan? Kamu terlihat tidak nyaman,” kata Nadya, melihat ekspresi suaminya yang tampak cemas. Johan menceritakan pertemuannya dengan Clara dan kata-kata pedas yang dia dengar. Nadya hanya bisa menghela napas, “Keluarga ini memang tidak mudah, Johan. Tapi kamu harus ingat, kamu tidak perlu membuktikan apapun kepada mereka. Yang terpenting adalah kita berdua.” Johan menatap wajah Nadya, yang terlihat begitu tulus dan penuh kasih. “Aku hanya ingin membuktikan pada mereka bahwa aku lebih dari sekadar menantu yang mereka pandang rendah.” Nadya tersenyum lembut. “Kamu sudah membuktikan itu setiap hari, Johan. Aku bangga padamu. Jangan biarkan mereka merusak kepercayaan dirimu.” Johan menggenggam tangan Nadya. “Terima kasih, Nadya. Aku akan terus berjuang, bukan untuk mereka, tetapi untuk kita. Untuk masa depan kita.” Dengan dukungan Nadya, Johan merasa lebih kuat. Malam itu, setelah berbicara panjang lebar dengan istrinya, Johan tahu bahwa dia harus melangkah lebih jauh, belajar lebih banyak, dan terus bekerja keras. Dunia ini tidak akan memberi jalan mudah padanya, tetapi dia bertekad untuk menunjukkan bahwa meskipun dia hanyalah seorang menantu yang diremehkan, dia bisa mengubah nasibnya.Pertarungan di dalam klub Abyss meledak seperti badai yang tak terbendung. Suara tembakan bercampur dengan dentingan logam, teriakan, dan amukan para petarung bayaran Falken yang kini satu per satu tumbang di hadapan Evelyn dan Darius. Namun di tengah hiruk-pikuk itu, perhatian semua orang tertuju pada satu titik—pertarungan antara Johan dan Vladimir. Johan menghindari ayunan brutal dari palu besar Vladimir, lalu membalas dengan tendangan keras ke arah rusuk. Vladimir terguncang tapi tetap berdiri, tertawa gila. “Ayolah! Tunjukkan kau bukan hanya simbol keadilan bodoh!” Namun tepat sebelum Johan menyerang kembali, suara berdesing terdengar dari atas—dan atap klub tiba-tiba runtuh sebagian. Semua orang berhenti. Debu dan reruntuhan jatuh, dan dari lubang yang terbuka… muncul sosok bertudung gelap, dengan lambang Seekor Serigala Bersayap di punggungnya. Evelyn menegang. “Itu… bukan lambang Falken.” Darius segera menarik pistolnya. “Itu... lambang keluarga Nacht.” Johan tak bergemi
Malam menjelang di Zeigrad, namun kota itu tidak pernah benar-benar tidur. Lampu-lampu neon berkelap-kelip di distrik hitam, tempat hukum bergantung pada siapa yang memegang lebih banyak peluru. Klub malam Abyss berdiri di tengahnya, mewah dan menjulang, menjadi jantung kehidupan gelap kota. Tepat pukul dua dini hari, sebuah mobil lapis baja berhenti beberapa blok dari klub. Johan melangkah keluar dengan Darius dan Evelyn di belakangnya. Pakaian mereka hitam, menyatu dengan malam, tetapi aura Johan tetap terpancar—dingin, tajam, dan penuh amarah yang terpendam. “Menurut laporan, lantai bawah tanah klub itu dipakai Vladimir sebagai ruang pertemuan dan penyiksaan,” ujar Darius sambil menunjukkan denah digital. Evelyn menambahkan, “Keamanan di dalam dijaga oleh unit elit Falken. Petarung jalanan, tentara bayaran, dan mesin tempur modifikasi.” Johan hanya mengangguk. “Bagus. Aku ingin melihat siapa saja yang cukup bodoh untuk melindungi Vladimir.” Mereka berjalan melewati lorong semp
Zeigrad, ibu kota Astvaria, adalah kota yang tidak pernah benar-benar tidur. Di balik megahnya gedung-gedung pemerintahan dan cahaya lampu istana malam hari, jaringan kekuasaan dan pengaruh bekerja seperti nadi yang tak terlihat. Di sanalah keluarga-keluarga terkuat—Castello, Falken, Nacht, dan Voss—menanamkan cengkeramannya paling dalam. Namun, sejak kabar tentang kejatuhan keluarga Ludger dan Rangga tersebar secara diam-diam, ketegangan mulai terasa. Terutama bagi keluarga Castello dan Falken, yang selama ini merasa kebal terhadap ancaman. Di salah satu ruang bawah tanah kastil Castello, Lady Selene Castello duduk bersandar, membaca laporan intel dari agen rahasia mereka. “Johan sebentar lagi akan tiba di Zeigrad.” Matanya menyipit. "Jadi anak itu akhirnya menantang kami secara langsung?" Di sisinya, salah satu penasihat keluarga menjawab pelan. “Dan dia tidak datang sendirian. Perusahaannya, Arthura Trade & Co, telah mengirimkan tim penyusup ke distrik perdagangan. Mereka diam
Zeigrad. Jantung kekuasaan Astvaria. Kota dengan menara perak menjulang dan lorong-lorong kelam yang penuh konspirasi. Saat malam turun, cahaya lampu neon menciptakan siluet tajam di balik kaca-kaca gedung pemerintahan dan markas keluarga bangsawan. Di salah satu distrik kelas atas yang dijaga ketat, Keluarga Castello sedang mengadakan perjamuan. Para pejabat, bangsawan, dan pengusaha asing terlihat tertawa dan bersulang, seolah tidak ada perubahan apa pun di dunia luar. Tapi di bawah tanah, jauh dari hingar-bingar pesta, bayangan mulai bergerak. Salah satu agen Arthura Trade & Co menyusup ke dalam jaringan intel keluarga Falken. Mereka menyampaikan laporan melalui jalur komunikasi rahasia ke Johan yang masih berada di Riefenstadt. “Johan,” suara Evelyn terdengar dari alat komunikasi. “Kita dapat akses. Salah satu penjaga arsip keluarga Falken bersedia bicara. Tapi kita harus segera kirim tim penyusup ke Zeigrad.” Johan menatap peta besar yang terbentang di mejanya. Beberapa titi
Api dan baja menghujani laut. Gelombang tinggi berubah menjadi merah saat dua armada raksasa saling bertabrakan di Teluk Treius. Kapal-kapal meledak satu per satu, serpihan kayu dan baja beterbangan di udara. Namun di tengah semua itu, dua sosok berdiri tenang di jantung pertempuran: Johan dan Sebastian Ludger. Arthura Prime menabrak sisi kapal utama Ludger, menciptakan gemuruh keras yang mengguncang seluruh dek. Anak buah Johan menyerbu ke kapal lawan lewat jembatan baja yang diturunkan. Johan sendiri melompat lebih dulu. Tubuhnya mendarat tepat di depan Sebastian. Sebastian menarik pedangnya yang bersinar biru, terbuat dari logam laut dalam. “Akhirnya kau datang juga.” Johan memasang sarung tangan perangnya. “Aku tidak suka membuang waktu.” “Begitu juga aku.” Tanpa aba-aba, duel pun dimulai. Pedang Sebastian berputar cepat, memotong angin dan baja. Tapi Johan membaca gerakannya dengan dingin, menangkis dan melawan balik dengan pukulan-pukulan berat yang membuat gelad
Pagi menyelimuti kota Levantine dengan ketenangan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Tidak ada lagi suara siaran propaganda dari istana keluarga Levant, tak ada lagi rapat rahasia dengan para pejabat bayangan. Kota itu kini dalam kendali penuh Johan dan pasukannya. Di sebuah ruangan taktis di pusat administrasi, Johan berdiri diam menghadap jendela, memperhatikan matahari yang terbit perlahan. Peta besar Astvaria terhampar di belakangnya, merah pada setiap nama keluarga yang telah tumbang. Evelyn melangkah masuk membawa dokumen. “Auren sudah dipindahkan ke sel isolasi. Pasukan keluarga Levant yang tersisa sudah menyerah. Tak ada perlawanan berarti.” Johan menoleh sedikit. “Penjabat tuan muda?” “Selene Levant,” jawab Evelyn. “Sepupu jauh Gregoire. Latar belakangnya diplomatik, tidak ambisius, dan—sejauh ini—tidak terlibat dalam skema politik jahat keluarga Levant.” Darius ikut menimpali, “Kami juga mengkonfirmasi bahwa jaringan luar negeri Gregoire telah runtuh. Koneksi
Dari atas menara observasi Kota Levantine, Johan berdiri bersama Evelyn dan Darius, mengamati hiruk pikuk ibu kota politik itu. Meski kota itu tampak tenang, Johan tahu, di balik ketenangan itu tersembunyi kekuatan yang berbahaya—kekuatan Keluarga Levant yang kini dipimpin oleh Auren. Darius menatap ke arah kantor pusat keluarga. “Kita yakin Auren akan muncul?" Johan mengangguk pelan. “Dia bukan seperti Gregoire. Dia lebih licik. Tapi dia pasti sedang menunggu. Mereka yang terlalu percaya pada bayang-bayang, biasanya lupa kalau bayangan bisa ditelan kegelapan.” Evelyn menambahkan dengan dingin, “Kita perlu pukul pusat pengaruh mereka. Bukan hanya fisik. Kita harus potong akar jaringan politik mereka.” Johan menyeringai kecil. “Sudah aku kirim orang ke tiga negara yang pernah tunduk pada Levant. Di Lusitania, Indrasia, dan Hollstein. Mereka akan buka kembali luka yang ditanam keluarga Levant selama ini.” Sementara itu, di kedalaman markas rahasia keluarga Levant, Auren membac
Malam mulai turun saat Johan tiba di markas intel Arthura yang tersembunyi di sudut kota Drakenfeld. Di sana, Darius telah menunggu bersama Evelyn dan beberapa agen kepercayaannya. "Ini laporan terakhir," ucap Darius sambil menyerahkan dokumen. "Setelah kekalahan keluarga Rangga, hanya tersisa enam keluarga dari 12 Teratas. Tapi ini bukan kemenangan mutlak—mereka yang tersisa jauh lebih kuat… dan lebih berbahaya." Evelyn menyela, "Terutama Keluarga Levant. Mereka tidak bergerak secara terang-terangan, tapi jejak mereka ada di mana-mana—dari parlemen negara tetangga sampai dalam tubuh pemerintahan Astvaria sendiri." Johan membuka berkas itu dan melihat foto lama Gregoire Levant, tuan muda dari keluarga tersebut. Meski pria itu telah tewas di Varestia, bayang-bayang kekuasaan Levant masih terasa. Pasalnya, Gregoire bukan satu-satunya yang berperan. Di balik kematiannya, masih ada para tangan kanan, boneka politik, dan jaringan kekuasaan yang tersebar di berbagai wilayah. "Mereka
Ruangan itu dipenuhi ketegangan yang tak terlihat, tetapi Johan tetap berdiri dengan tenang di hadapan Tristan Rangga dan Rendra Rangga. Keduanya memimpin keluarga yang terkenal dengan pasukan bayangan dan pengawal elit Astvaria. Tristan akhirnya bersandar di kursinya, menghela napas perlahan sebelum berbicara. "Johan, kau datang untuk memastikan kesetiaan keluargaku, tapi aku ingin tahu satu hal lebih dulu." Johan mengangguk, menunggu pertanyaan yang akan diajukan. Tristan menatap matanya dalam-dalam. "Apa yang akan kau lakukan jika aku menolak tunduk padamu? Jika aku memutuskan bahwa Keluarga Rangga tetap berdiri sendiri, tidak berpihak pada siapa pun?" Johan tersenyum kecil. "Aku tidak meminta kalian tunduk. Aku hanya meminta kalian memilih. Apakah kalian tetap berpegang pada tugas kalian untuk melindungi negara, ataukah kalian akan menjadi bagian dari mereka yang melupakan kewajibannya?" Rendra, yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Kami bukan pengkhianat, Joha