ログインSkala menurunkan Luina perlahan, memastikan istrinya berdiri dengan nyaman.
Luina cemberut, merapikan sedikit kausnya yang sudah berantakan karena ulah Skala. Skala berjalan menuju pintu utama, menggerutu pelan. Ia membuka pintu dengan ekspresi kesal yang siap ia lontarkan kepada siapa pun di baliknya. Ternyata, yang berdiri di sana adalah Farhan. Wajah Farhan tampak cemas. “Selamat pagi. Maaf, Pak Skala. Saya tahu Bapak cuti, tapi saya sudah telepon Bapak berkali-kali tidak diangkat,” jelas Farhan, berusaha membela diri. “Saya hanya ingin memastikan Bapak ingat ada video conference mendesak dengan klien London yang dijadwalkan ulang siang ini. Ini penting sekali, Pak.” Skala baru saja akan membentak Farhan, namun mata Farhan tiba-tiba melebar, melewati bahu Skala. Fokus Farhan terhenti. Matanya terBaskara dan Genta, dua pengawal yang baru direkrut oleh Skala. Mereka sudah menempel ketat. Mereka melihat mobil sedan putih bernomor B 120 LU melaju keluar dari gerbang apartemen. Genta menyalakan mobil van abu-abu polos mereka, bergabung dengan arus lalu lintas. "Target keluar sesuai jadwal. Arah awal sesuai instruksi," bisik Baskara kepada earpiece-nya. "Target bilang mau ke Jalan Anggrek, tempat refleksi. Ikuti dari jarak aman, Genta. Jaga jarak minimal tiga mobil. Jangan sampai terdeteksi, ini ujian pertama kita," perintah Baskara. Luina mengemudi dengan santai di jalur normal selama sepuluh menit pertama, meyakinkan dirinya sendiri bahwa Skala tidak akan curiga. Namun, di perempatan besar berikutnya, Luina tidak belok ke arah Jalan Anggrek. Ia malah mengambil jalur cepat menuju pusat kota, arah yang berlawanan dan justru mengarah ke Taman Kota Lama. Baskara dan Genta di mobil belakang segera menyadari penyimpangan rute ini. "Genta! Target menyimpang dari rute y
Luina memiringkan tubuhnya, menatap wajah Skala yang terlelap di sampingnya. Skala tidur telentang, tangan kirinya yang diperban terentang di samping tubuh. Luina bergerak perlahan, sangat hati-hati agar tidak membangunkan Skala. Ia meraih ponselnya yang ia letakkan di bawah bantal. Luina membuka nomor si peneror itu. Luina: Aku nggak takut sama kamu. Kalau kamu cuma berani neror dari jauh, kamu pengecut. Luina: Aku tantang kamu. Kalau kamu berani, kita ketemu. Tempat dan waktu, kamu yang pilih. Aku datang sendirian. Luina mengunci layar ponselnya. Ia menyimpannya kembali di bawah bantal. “Aku harus tahu siapa orang ini dan apa maunya. Sebelum orang itu makin gila,” batin Luina. Ia kembali memeluk Skala, mencari kehangatan. Luina kini tidur dengan waspada, menanti bunyi notifikasi dari si peneror. ***** Di sebuah balkon, seseorang tertawa terbahak-bahak setelah membaca pesan dari Luina. "Bodoh! Luina benar-benar bodoh!" gumamnya. "Dia pikir dia menantang aku? D
Ajeng sudah tiba di restoran sejak pukul 11.45, berdandan rapi, tetapi tidak berlebihan. Jantungnya berdebar setiap kali pintu restoran terbuka. Ketika jam menunjukkan pukul 12.10, Farhan akhirnya berhasil menyelesaikan masalah teknis itu. Ia segera membatalkan semua panggilan berikutnya. Ia bergegas keluar mobil, merapikan dasinya, dan berlari kecil ketika tiba di restoran. Farhan tahu keterlambatan sepuluh menit ini tidak profesional, dan ia merasa sedikit bersalah. Ia membuka pintu restoran dengan napas terengah. Mata Farhan langsung mencari Ajeng. Ajeng sedang duduk sendirian di meja pojok, menatap ponselnya dengan ekspresi cemas. Begitu melihat Farhan, wajah Ajeng langsung berseri-seri. Farhan melangkah cepat menuju meja Ajeng. "Ajeng, saya minta maaf. Saya terlambat," kata Farhan tanpa basa-basi. "Ada masalah mendadak yang harus saya selesaikan di kantor." Ajeng segera bangkit dari kursinya, senyumnya meyakinkan. "Nggak apa-apa, Kak Farhan! Aku juga baru sampai
Seseorang yang berbadan tinggi tegap duduk di kursi single sofa dengan emosi meluap-luap. “Kurang ajar!” geramnya. Ia bangkit dan melemparkan hoodie hitam dan kacamata hitam yang ia pakai tadi pagi ke sofa dengan keras. "Padahal tadi sedikit lagi gue bisa nikmatin Luina! Skala malah muncul! Selalu si brengsek itu!" Ia mencengkeram kepalanya frustrasi. "Aroma tubuh Luina... gue bisa menciumnya saat di pasar tadi. Tubuhnya pasti sehangat yang gue bayangin, mulus tanpa cacat." Ia mengusap wajahnya sendiri, membayangkan tangan Skala yang memeluk Luina tadi. "Harusnya gue bisa narik dia ke sudut sepi di lobby itu. Maksa dia mendesah cuma buat gue, mencium dia sampai dia lupa nama suaminya. Harusnya gue yang pertama... bukan Skala yang nggak tahu diri itu!" Ia menyalakan rokok dengan tangan gemetar. Ia menghisap dalam-dalam, asapnya mengepul tebal. "Permainan ini belum selesai, Luina. Skala pikir dia bisa mengamankan lo dengan pelukan? Dia salah besar.“ ***** Skala berjalan
Skala segera meraih ponselnya. Ini adalah kesempatan yang ia tunggu. Dengan tangan kanan, ia mengetik pesan cepat kepada Farhan. Skala: Farhan, segera batalkan semua meeting saya hari ini. Saya urgent di luar kantor. Skala: Saya butuh kamu cek semua CCTV di area apartemen saya. Mulai dari lobby hingga gerbang keluar/masuk. Periksa rekaman jam 07.30 - 08.00 pagi ini. Cari seseorang berpostur tinggi tegap, pakai hoodie gelap/hitam, masker, dan kacamata. Dia mengikuti istri saya.” Skala: Cek juga rekaman CCTV dari toko/restoran yang menghadap jalan menuju pasar jajanan di dekat apartemen saya. Target jam dan orang yang sama. Skala: Oh iya, semalam saya dan Luina makan di warung sate di jalan melati, ada insiden semalam disana. Cari tahu apakah ada rekaman atau saksi mata yang bisa mengidentifikasi para pelaku anarkis. Karena salah satu pelaku bawa pisau dan ingin menusuk istri saya. Skala: Ini sangat rahasia, hanya kamu dan saya. Jangan libatkan siapapun. Laporkan langsung ke sa
Luina menghirup udara pagi yang masih segar di luar gedung apartemen mewahnya. Ia berjalan pelan menuju pasar jajanan kecil yang berada beberapa blok dari sana. Aroma masakan rumahan, suara pedagang yang mulai menata dagangan, dan tawa anak-anak yang bermain di gang kecil. Luina menyukai kesederhanaan ini. Ia tiba di pasar jajanan. Ia segera mencari gerobak bubur ayam yang tampak ramai. “Kasihan Mas Skala, tadi malam aku paksa makan sate pinggir jalan, sekarang mau aku kasih bubur pinggir jalan lagi. Tapi bubur ini higienis! Dan hangat! Cocok buat orang sakit,” batin Luina. Luina memesan dua porsi bubur ayam lengkap dengan sate usus dan telur puyuh. Setelah bubur siap, mata Luina tertuju pada penjual kue-kue tradisional yang berjejer rapi. Ia membeli beberapa kue lapis dan lemper. "Pasti Mas Skala nggak pernah lihat kue-kue kayak gini," gumam Luina sambil tersenyum. Ia membayangkan ekspresi Skala yang kaku saat melihat bubur ayam dan aneka kue berwarna-warni itu. Deng







