Home / Historical / Bara Dendam Sang Prabu Boko / BAB 64: Angin, Api, dan Argumen Aneh

Share

BAB 64: Angin, Api, dan Argumen Aneh

Author: Alexa Ayang
last update Huling Na-update: 2025-10-23 22:46:46

Karasak, Bukit Pengamatan Gendaren

Di puncak bukit Gendaren yang agak jauh, tetapi cukup strategis untuk mendapatkan panorama penuh dari gemuruh pertempuran, Wiku Amasu duduk bersila di atas batu besar. Sebatang ilalang menari-nari di sela bibirnya, sementara matanya yang menyipit penuh minat mengikuti setiap gejolak di bawah. Gelombang raksasa air yang dipimpin Rukma bagai naga biru mengamuk, menghantam balik peluru-peluru api yang dimuntahkan oleh Mpu Kumbayoni. Kabut mendidih berpadu dengan kepulan asap, menciptakan pemandangan yang tak biasa di pagi hari.

"Fantastis!" desis Amasu pada dirinya sendiri, jemarinya mengetuk-ketuk pahanya dengan irama tak sabar. "Kumbayoni menanggapi 'Baruna Warih' dengan 'Agni Prana' yang begitu kuat, sungguh duel para dewa! Sayang sekali, air si Gagak Rukma... oh, dia terlalu cepat! Dan... lihat itu, garis infantri Wasa Mandala mulai terdorong mundur! Sungguh pertunjukan yang patut disaksikan!"

Amasu terkekeh gembira, menikmati pertunjukan elemental
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 185 Sang Silpin Agung dan Janji Damai

    Suasana di balairung istana Medang pagi itu terasa begitu khidmat dan cerah, memantulkan sinar matahari pagi yang menerobos dari celah-celah pilar kayu ukiran, sangat kontras dengan mendung yang sempat menggelayuti wangsa Syailendra beberapa hari sebelumnya.Di hadapan Paduka Maharaja Samarattungga dan para pembesar kerajaan yang mengenakan busana kebesaran mereka, Mpu Panukuh bersimpuh dengan tenang di atas matras anyaman pandan, menundukkan kepalanya dalam-dalam, didampingi oleh gurunya, Wiku Sasodara, yang tampak bangga namun tetap kalem.Kabar mengenai selesainya struktur utama dan ukiran ajaib di situs suci yang kelak akan dikenal sebagai Sambhara Budura tersebut telah sampai lebih dulu melalui para kurir berkuda, membawa kelegaan luar biasa bagi sang Maharaja, mengakhiri penantian panjang seluruh Medang atas mahakarya agung tersebut.“Bangunlah, Panukuh,” ujar Paduka Maharaja Samarattungga dengan suara yang penuh kewibawaan namun tersirat kehangatan dan rasa syukur yang mendalam

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 184 Penolakan Rukma

    Dengan gerakan cepat dan tak terduga, Balaputeradewa menyambar lengan Gagak Rukma. Pegangannya erat, menjerat kain seragam gelap prajurit itu. Seluruh kekuatannya, semua desakan dari jiwa yang teraniaya, kini ia tumpahkan ke pegangan itu. Pangeran itu tampak hancur, sebuah pemandangan yang langka bagi sosok seanggun dan sesombong dirinya. Wajahnya yang biasa tegar kini penuh kerutan duka, dan suaranya parau, hampir tidak dapat dikenali lagi, seolah suaranya sendiri telah mengkhianatinya."Rukma... tunggu," bisik Balaputeradewa dengan nada memelas, suatu permohonan yang murni dari lubuk hati yang telah tercabik-cabik. Ia menahan lengan Rukma dengan sekuat tenaga, tidak ingin kehilangan satu-satunya kontak yang ia rasakan bisa memungkinkannya menggapai sisa-sisa dunianya yang tercerai-berai. Tatapannya menusuk ke balik celah sempit di topeng tembaga Sanditaraparan yang menutupi wajah Gagak Rukma. "Sampaikan pada Kakang Maharaja," ia mulai, suaranya sedikit lebih jelas kini, "ak

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 183: Sang Pangeran dalam Sangkar Emas

    Belum kering keringat dingin yang mengucur dari sekujur tubuh, atau air mata penyesalan dan amarah yang samar membekas di sudut-sudut mata, saat pendapa kediaman Mahamentri I Halu kembali diselimuti oleh suasana yang mencekam. Aroma cendana yang seharusnya menenangkan kini terasa pengap, bercampur dengan bau debu dan ketegangan yang masih melayang di udara. Pangeran Balaputeradewa, yang baru saja selesai menuntaskan percakapan penting yang mengguncang jiwanya—serta sebagian kecil hatinya yang tersisa—berdiri terpaku di tengah ruangan, tatapannya hampa, tertuju pada pilar-pilar kokoh yang seolah mencibir kerapuhan takdirnya. Beberapa pengawal pribadinya masih berpatroli di sekeliling kediaman, langkah kaki mereka berat, namun tanpa kuasa untuk mengubah arah angin yang kini bertiup kencang ke arah kekalahannya.Bayangan kelabu senja mulai menyelimuti pelataran, menyerap sisa-sisa cahaya mentari yang enggan pergi, menciptakan ilusi dan bayangan aneh di dinding. Namun

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 182: Retaknya Sang Mahamentri

    Siang itu, matahari menggantung tepat di atas cakrawala Medang, memancarkan panas yang menyengat kulit. Lembah dan perbukitan diselimuti keheningan yang tebal, seolah alam pun turut menahan napas dalam suasana mencekam. Namun, di dalam pendapa kediaman Mahamentri I Halu, hawa yang terasa justru jauh lebih dingin dari es, merayapi setiap sudut dan menusuk hingga ke relung jiwa. Permadani indah yang terhampar dan ukiran-ukiran megah di tiang kayu tidak mampu menghalau sensasi dingin yang ganjil itu.Pangeran Balaputeradewa, putra mahkota Kerajaan Sriwijaya dan menantu agung di tanah Medang ini, terpaku menatap istrinya, Mayang Salewang, yang sedang merapikan beberapa kain sutra halus dan perbekalan secukupnya ke dalam buntalan. Gerakannya tenang, efisien, nyaris tanpa suara. Wajah wanita itu datar, tanpa ekspresi berlebihan, namun matanya yang menatap jauh ke arah jendela pendapa memancarkan kekecewaan yang demikian mendalam, seolah ribuan impian telah pecah berkeping-keping di dasar bo

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 181: Ancaman Sang Begawan

    Suasana di bangsal pribadi Mahamentri I Halu Pangeran Balaputeradewa mendadak diselimuti aura mencekam, tatkala daun pintu berukiran naga emas itu tergeser paksa dengan hempasan keras. Tanpa ada pengumuman terlebih dahulu dari para pengawal yang berjaga, Wiku Sasodara melangkah masuk dengan jubah saffron yang masih memikul jejak debu, saksi bisu dari pertempuran sengit di wilayah Bhumi Sambhara. Setiap langkahnya dipenuhi kewibawaan yang berat, seolah menyisakan getaran kemarahan di udara.Di belakang Sang Wiku, dua orang pengawal yang memiliki postur kekar menyeret seonggok tubuh yang lunglai, bersimbah darah mengotori kain brokat mewah bangsal itu. Dengan satu sentakan kuat yang nyaris brutal, Sasodara melemparkan tubuh tak berdaya itu ke lantai pualam yang dingin, tepat di hadapan kaki Balaputeradewa. Suara benturan yang diikuti oleh rintihan lirih mengoyak ketenangan. Itu adalah Sriti, Pemimpin Sanditaraparan wanita, yang kini terkulai lemah, napasnya tersengal akibat hantaman Sin

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 180 : Duel Para Panglima dan Astra Kenanga di Hutan Tambangan

    II. Duel Para Panglima dan Astra Kenanga di Hutan TambanganSementara di kaki bukit Sambhara drama penentuan takdir bergejolak, jauh di dalam rimba keramat Hutan Tambangan, dentuman tenaga dalam bergaung hebat, meruntuhkan keheningan yang mistis. Jentra Kenanga, Panglima Bala Bhumi yang dihormati, dan Kunara Sancaka, Panglima Bala Samudra yang berkhianat, terlibat dalam pertarungan yang intens dan setara. Mereka berdua, bagaikan cermin satu sama lain, memamerkan keahlian bertarung yang tiada tanding, sebuah hasil didikan militer kerajaan Medang yang sama. Sejak kecil, mereka berlatih di bawah bimbingan guru yang sama, menguasai ilmu yang sama, namun kini berdiri sebagai musuh bebuyutan.Setiap serangan telapak tangan mereka menghantarkan gelombang energi. Baruna Warih dan Tapak Segara, dua ajian inti militer kerajaan yang mereka kuasai dengan sempurna, saling beradu dengan kecepatan yang menakjubkan, menciptakan pusaran energi di antara mereka. Benturan tenaga dalam itu menggerus bumi

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status