Home / Historical / Bara Dendam Sang Prabu Boko / Bab 53 Malam Api Leluhur

Share

Bab 53 Malam Api Leluhur

Author: Alexa Ayang
last update Last Updated: 2025-10-18 08:24:03

Malam itu menurunkan sayapnya perlahan di Tanah Wasa Mandala. Langit di atas Kelasa tampak pekat, seolah selubung kelam telah menutup jagat. Namun, kegelapan itu hanya sesaat sirna oleh semburat merah yang memancar dari timur – bukan pertanda fajar, melainkan pantulan nyala obor yang berbaris rapi, memetakan pelataran mandala dengan untaian cahaya yang bergetar. Di tengah lingkar batu andesit yang menjadi inti tempat suci, berdirilah Mpu Kumbhayoni, tubuhnya berbalut jubah merah bata dengan lambang Garuda terlukis samar di dadanya, tegak memancarkan wibawa.

Angin malam berhembus lirih, menghela aroma damar dan serbuk cendana, menciptakan nuansa khidmat yang meliputi setiap relung ruang. Seratus abdi dari Walaing dan Sanjaya berlutut dalam keheningan mutlak, setiap tangan menggenggam kendi kecil berisi minyak wijen—simbol tapas, pengorbanan suci, dan kesetiaan tak terhingga. Di antara barisan itu, Gandara Raja berdiri paling depan, wajahnya diterangi

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 73: Kabar dari Jantung Medang

    Markas rahasia pasukan Watak Walaing di Pulo Watu diselimuti oleh uap lembab, sisa pertempuran elemental yang memaksa mereka mundur dari Karasa beberapa hari lalu. Tenda utama, yang berfungsi sebagai ruang strategi sekaligus tempat bermusyawarah, kini diselimuti keheningan yang tegang. Di dalamnya, Mpu Kumbayoni, pemimpin Walaing, duduk dengan tegak di tengah dua komandan setianya, Megarana dan Wiyuh Mega. Lampu minyak temaram memancarkan bayangan, menambah nuansa serius dalam pertemuan rahasia mereka.Di tangan Mpu Kumbayoni tergenggam sehelai surat yang terbuat dari kulit kambing tipis, selembar sandi berharga, diselipkan secara cermat dalam lipatan pakaian seorang kurir muda. Surat itu telah dibaca berulang kali, isinya meresapi benak Kumbayoni, membalikkan setiap strategi perlawanan yang telah mereka susun dengan susah payah. Pesan yang terkandung di dalamnya lebih dari sekadar informasi; ia adalah sepotong harapan dan dilema baru yang memaksa penyesuaian radikal."Kurir itu… Kaka

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 72: Harga Kepala dan Harga Cinta

    Perkemahan Sanditaraparan, Poh Pitu, Menjelang FajarCahaya keemasan fajar yang ragu-ragu mulai merayapi cakrawala, menaburkan rona samar di balik dedaunan rimba yang basah embun. Tumenggung Rukma kembali ke Perkemahan Sanditaraparan di Poh Pitu. Setelah dengan sigap memastikan Mayang Salewang terselip kembali ke biliknya tanpa satu pun mata keraton yang usil mengernyit, Rukma melesat menembus keheningan dini hari, melarikan diri dari potensi bahaya yang ia ciptakan sendiri. Jantungnya masih berdegup, entah karena larian tergesa atau antisipasi 'sesi interogasi' yang jauh lebih menyesakkan dada. Udara dingin menjelang pagi terasa menyengat di kulitnya, seolah menjadi pengingat atas dinginnya sambutan yang menanti.Ia tiba di tenda belakang, sebuah bilik sederhana. Penerangan pelita redup yang merengek menciptakan bayang-bayang menari di dinding kain. Suasana hening namun penuh tekanan. Di sana, Panglima Jentra Kenanga sudah berdiri tegak, tak ubahnya patung hidup kemarahan yang memba

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 71: Kehangatan di Balik Jeruji Besi

    Lorong-lorong batu bawah tanah Keraton Medang di Poh Pitu senantiasa diselubungi bau apek dan lembap yang khas, dingin menusuk tulang, serta sunyi mencekam. Hanyalah pijar obor yang muram dan sesekali kedipan kalelawar yang terbang rendah menjadi saksi bisu dari jeruji besi yang mengurung berbagai rupa derita.Pada malam yang diselubungi kerudung rahasia, Rukma melangkah tegap, kunci-kunci penanda kedudukannya sebagai Tumenggung menggantung di pinggangnya, berdenting pelan berirama dengan detak jantung Mayang Salewang yang berpacu di sampingnya. Dengan sigap, Rukma mengarahkan anak kunci yang tepat ke gembok gerbang besi salah satu sel, membuka tirai gelap yang selama ini menahan Mpu Rahagi dan adiknya, Srigunting.Mayang, tanpa membuang waktu, segera berlari memasuki sel. Mpu Rahagi, ayahnya, terbaring lemah di atas tikar jerami. Wajahnya, yang selama ini ia kenang dengan keanggunan seorang bijak bestari, kini terlihat jauh lebih tua dan letih, dengan garis-garis kepedihan dan beban

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 70: Jalan Tikus dan Bayangan Pengkhianatan

    Bilik Pesanggrahan Randugumbolo, Tengah MalamKeheningan yang mencekam kembali menyelimuti bilik Mayang Salewang. Kini rasanya jauh lebih pekat, lebih berbahaya. Langkah kaki Pangeran Balaputradewa sudah lama menjauh, lenyap ditelan pekatnya malam.Dari sudut bilik yang gelap, Tumenggung Rukma perlahan keluar dari persembunyiannya. Ia bersembunyi di balik tumpukan guci-guci tanah liat antik yang tertutup kain tebal. Keringat dingin membasahi jubah Sanditaraparannya. Nyaris. Kecerobohan tadi hampir saja membuat seluruh rencana ini—yang dipertaruhkan dengan nyawa—berantakan. Ia mendongak, matanya bertemu dengan Mayang yang sudah siap, dalam pakaian serba gelap, berdiri menunggunya dengan napas tertahan."Mayang," bisik Rukma, nadanya mendesak, segera menghampiri mantan istrinya itu. "Kita bergerak sekarang. Jangan beri siapapun kesempatan untuk mencium gelagat aneh."Mayang mengangguk mantap, matanya bersinar penuh tekad di bawah kerudung hitamnya. "Aku siap, Kakang."Rukma meraih tanga

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 69 Pujian Mematikan

    Mayang Salewang, dengan ketenangan yang dipaksakan dan anggun, segera melangkah keluar, menghalangi pandangan Mahamenteri ke dalam paviliun. Ia harus mengalihkan perhatian Mahamenteri Ihalu dengan cepat dan efisien, seolah nyawanya bergantung pada ketangkasannya itu. Di balik ketenangan di wajahnya, Mayang Salewang merasa kepalanya berputar, seolah sebentar lagi ia akan pingsan karena takut dan cemas yang mendalam. Ini adalah tugas terbesar dalam hidupnya, melebihi latihan atau ritual apapun."Mahamenteri yang mulia," katanya dengan suara yang lembut namun tegang, menekan setiap kata agar terdengar alamiah dan wajar. Ia memberikan sembah. "Mohon maafkan hamba, Tuanku. Gerbang ini tertutup bukan karena tidak hormat atau lancang, melainkan karena hamba mendengar berita yang tak mengenakkan tentang perang di Karasa dan hamba tengah memohon doa keselamatan para dewa untuk keberhasilan Medang. Sungguh hati hamba ini muram. Duduklah, Tuanku, izinkan hamba memijat bahu dan kakimu yang mulia,

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 68 Pengkhianatan yang Hampir Terbuka

    Tetes embun jatuh dari atap sirap paviliun, melantunkan melodi monoton yang menusuk kesunyian subuh. Dalam bilik remang-remang tersebut, udara terasa sesak oleh aroma dupa cendana yang kuat bercampur dengan aroma kecemasan yang membekukan. Tirai sutra tipis yang bergerak oleh semilir angin pagi seolah menjadi saksi bisu bagi keputusan genting yang tengah diuraikan dengan desakan.Tumenggung Gagak Rukma, seorang perwira gagah berani yang baru saja memimpin ribuan prajurit di medan perang Karasa, kini berlutut di hadapan Mayang Salewang, yang di luaran lebih dikenal dengan julukan Madu Jingga, salah satu bunga istana yang paling diburu pandangan. Wajah Gagak Rukma keruh, diselimuti bayangan kegelisahan yang mendalam, suatu ekspresi yang tak lazim bagi seorang panglima yang biasanya teguh dan tak tergoyahkan. Keletihan akibat pertempuran bercampur dengan tekanan yang tak kasat mata."Aku gila, Mayang," bisik Gagak Rukma, suaranya parau oleh kelelahan dan ketegangan yang menumpuk. Ia meng

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status