“Bodoh, kenapa aku bertindak senekat itu? Mas Raga pasti menganggapku kalau aku suka dengan dia dan mencari kesempatan,” pikirnya dalam hati. Raga ingin mendekati Viona, tapi pintu lift sudah terbuka. Buru-buru Viona keluar dari lift membuat Raga terpaku. “Dia mulai berani dan aku suka itu,” ucap Raga dalam hati sambil tersenyum kecil dan ikut keluar dari lift. Dimas dan Rosa rupanya sudah berada di sana untuk menyambut kedatangan mereka. Rosa pun sudah menyiapkan kursi cadangan untuk Viona. Setidaknya untuk seminggu ini Rosa akan mengalihkan tugasnya kepada Viona sebelum dia cuti. Semua karyawan bersikap hormat dan ramah. “Selamat pagi, Bos,” ucap Dimas tapi tak dihiraukan oleh Raga yang masih tersenyum sendiri saat melintas di depan mereka. Dimas dan Rosa saling menatap, tidak biasanya Raga bisa tersenyum sendiri bahkan dia pun dijuluki si pintu kulkas dua belas. Tumben senyam-senyum begitu. Bu Viona masih sadar kalau kita menyambutnya tapi malah Pak Raga sudah mulai ...
“Untuk apa aku cemburu dengan Mbak Vina, Mas? Bukannya Mas Raga sudah mengatakan dari awal kita menikah, kalau kamu mencintai Mbak Vina? Kamu tenang saja Mas, aku tidak akan mempersulitmu,” ucapnya dengan jelas membuat Raga terdiam. Viona pun berusaha keluar dari pelukan Raga, dan melangkah ke meja kerja Raga yang terletak ponselnya Raga di sana dan mengambil ponsel itu. “Siapa yang kamu hubungi? Bukan Rama si pecundang itu?” geram Raga yang kembali sadar. “Bukan, tapi Mbak Vina. Ini kan ponselmu,” sahutnya tampak biasa saja. “Un—untuk apa kamu menghubunginya?” gegas Raga dan ingin mengambil ponsel yang ada di tangan Viona. Namun, dengan cepat Viona bisa menghalau tangan Raga dan menghindar darinya. “Bukannya kamu ingin makan siang bersama Mbak Vina, itu yang kamu inginkan?” tanya Viona dan masih mencari nama Vina di dalam ponsel Raga, tapi tidak ada. Viona masih mencari dengan huruf awalan V tetap saja tidak ada. Tak mau berputus asa wanita manis itu tetap mencarinya sa
“Mas Rama, ada apa dia menghubungiku?” tanya Viona dalam hati dengan penasaran. Dia pun segera mengangkat telepon itu. “Assalamualaikum, Mas Rama?” Rosa terkejut dengan nama itu.“Pak Rama, kenapa dia menghubungi Bu Vio?” tanya Rosa dalam hati. Rosa pun langsung memasang telinganya dengan baik karena ingin mendengarkan pembicaraan mereka. Viona pun tak bergeser dari tempat duduknya yang dekat dengan Rosa di sampingnya. “Vio, kamu ada waktu enggak, soalnya tiba-tiba saja Oma Dora sakit. Beliau terus memanggil namamu. Bu Kasih tidak menghubungi kamu karena beliau juga lagi pulang ke kampung mendadak mendapat kabar kalau ibunya juga terkena serang jantung. Pengurus panti sedikit kewalahan karena banyak pekerjaan yang lain. Oma Dora hanya mau ditemani sama kamu, saya juga belum bisa ke sana karena masih ada meeting di jam berikutnya. Setelah selesai saya akan usahakan untuk pergi ke sana. Maklum sekretaris saya juga sedang mengambil cuti pulang kampung, jadi semuanya harus diuru
“Kita perlu bicara!” tegas Vina saat bertemu Viona di luar ruangan kerja Raga. Saat itu Vina yang sedikit kesal karena tidak mendapatkan perhatian lebih dari Raga memutuskan untuk pulang. Apalagi Raga berjanji akan menemuinya setelah pulang kerja sehingga tak ingin membuat Raga bertambah kesal. “Apa yang ingin Mbak Vina bicarakan? Kalau mengenai hubungan kalian, kamu jangan khawatir kalian bisa melanjutkan ke jenjang pernikahan. Saya akan mundur, dan tenang saja saya yang akan mengurus surat perceraian jika Mas Raga tidak melakukannya,” tegas Viona. Viona menatap sinis dan berkata, “ Kamu yakin sudah mengikhlaskan Mas Raga untukku?” sindir Vina.“Iya, kenapa Mbak masih ragu?” tanya balik Viona yang terlihat tenang.“Kamu memang tidak ada rasa cinta untuk Mas Raga sedikit pun, mustahil Viona! Aku bukan anak kecil yang mudah ditipu. Dalam waktu tiga bulan kebersamaan kalian selama ini pasti kamu mulai jatuh cinta tapi, tunggu sebentar... “ Vina menatap heran penampilan Viona dari
Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore. Begitu banyak pekerjaan sampai lupa akan janjinya untuk pergi ke panti jompo. Viona merasa bersalah karena sudah hampir tiga jam yang lalu Rama memintanya untuk datang ke sana. Merasa tak enak hati dia pun mencoba menghubungi Oma Dora di panti. Tak menunggu lama, panggilan itu langsung dijawab oleh seseorang. “Assalamu’alaikum, Vio.”“Wa—Walaikumsalam, Bu ...”“Clarissa, panggil saja Tante Rissa.”“Ih iya Tante, maaf saya menghubungi ponsel Oma Dora, karena saya dengar Oma lagi sakit tapi maaf saya belum bisa ke sana, nanti setelah pulang kerja pasti saya ke sana.”“Iya enggak apa-apa Vio kamu enggak usah khawatir demamnya Oma sudah mendingan, sekarang beliau masih tidur. Terima kasih kamu sudah begitu perhatian dengan Oma Dora. Saya juga lama kok di sini, sebisa kamu saja ke sini ya jangan dipaksa.”“Di kantor lagi banyak pekerjaan Tante.”“Saya baru tahu kamu juga bekerja di tempat lain?” “Baru masuk hari ini Tante, kebetulan sekretaris s
Viona tanpa menoleh ke belakang lagi, dia langsung pergi masuk ke panti. Raga begitu kesal dia ingin menyusul Viona meskipun dia melihat tak ada mobil Rama yang terparkir di sana tapi kakinya ingin sekali menginjakkan ke sana.“Aku harus ke dalam, aku ingin tahu apakah benar Oma Dora sakit atau hanya akal-akalan Viona untuk bisa bertemu Rama. Siapa tahu tadi Rama diantar oleh sopirnya dan pergi lagi. Ah jadi penasaran,” geram Raga dan memutuskan untuk turun dari mobilnya. Namun di saat itu juga kembali terdengar bunyi ponsel dari Raga. Pria tampan itu langsung mengambilnya dari balik saku jasnya dan melihat siapa yang menghubunginya.“Ah, dia lagi,” kesal Raga yang tak ingin mengangkat telepon itu. Tetapi ponselnya terus berdering dan membuatnya kesal. Mau tak mau Raga pun menjawab telepon itu.“Ada apa, Vin?”“Mas, kamu di mana? Aku tanya di kantor kamu sudah pulang dan kenapa ponsel kamu lama banget baru di angkat? Kamu enggak bersama dengan wanita kampung itu, kan?” “Aku akan
“A—apa yang kamu katakan tadi? Kamu bercanda, kan?” Vina memastikan apa yang dikatakan oleh Raga tidak benar.“Maaf Vin, tapi aku sudah lelah dan ...”“Kamu lebih memilih meninggalkan aku? Kamu masih waras, kan?” mata Vina kembali melotot. Wajahnya begitu kesal dan marah.“Ini adalah kesalahan seharusnya aku tidak berhubungan denganmu lagi, tapi aku sudah memantapkan hatiku untuk tetap setia dengan istriku sendiri,” jelasnya lagi.Vina terdiam mendengar ucapan Raga barusan. Hatinya begitu kesal lalu wanita cantik itu tersenyum kecil seakan mengejek Raga.Dia pun melangkah mundur dan membuka laci dekat cermin hiasnya. Raga yang masih terduduk tidak melihat apa yang akan dilakukan oleh Vina.“Kamu sudah mantap untuk berpisah denganku? Setelah apa yang kamu lakukan? Bagaimana dengan nasibku, Mas? Apakah aku harus menggugurkan janin ini?” Vina masih membelakangi Raga.“Kamu jangan khawatir, kamu bisa pergi keluar negeri untuk melahirkan anak itu. Semua biayanya aku yang akan atur. Kehi
Rama menatap Clarissa mamanya sejenak. Beberapa saat kemudian dia kembali melanjutkan makannya yang tinggal suapan terakhirnya. Dia lalu meletakkan sendok dan garpu dengan rapi diatas piringnya sendiri dan meminum segelas air. Clarissa masih menunggu ucapan Rama. “Menurut Mama?” tanya Rama kemudian. “Mama menyukai wanita itu. Dia baik, perhatian, penyayang, manis dan senyumannya begitu indah. Mama sangat menyukainya tapi sayang dia sudah memiliki orang lain. Mama ingin mempunyai menantu seperti dia, tapi yang enggak mungkin kan. Mudah-mudahan keponakan teman Mama itu seperti dia, Rama,” ucapnya tersenyum kecil. “Keinginan Mama akan segera Rama wujudkan,” sahut Rama membalas senyuman mamanya itu, namun, Clarisa sedikit terkejut. “Apa maksud kamu, Sayang?” tanya Clarissa bingung.“Ya, seperti Mama bilang kalau Mama ingin menantu seperti Viona, maka Rama akan mengambilnya dari suaminya itu,” sahut Rama dengan santai. Mendengar ucapan Rama barusan membuat mata Clarissa terbuka leba
Suasana sidang makin memanas. Semuanya saling menunjukkan bukti yang masih memberatkan Raga. Keluarga Subrata hanya diam dan menyimak saja. Begitu juga dengan Viona dan Raga bersikap tenang. Beberapa orang di sana memperhatikan mereka sehingga tak sedikit mereka berargumen kalau kejahatan Raga memang terbukti. Waktu terus berlalu hingga hampir satu jam. Dan saat putusan hukuman Raga ingin dibacakan tiba-tiba saja Clarissa berdiri dan meminta waktu untuk bisa berbicara. Semua orang terkejut tidak ada di agenda kalau Clarissa ikut bicara meskipun mereka hanya tahu kalau wanita paru baya itu adalah ibunya Rama yang sekarang di tahan. Untung saja hakim memperbolehkannya untuk maju dan masuk di ruang saksi. Dengan sedikit gugup Clarissa mulai angkat bicara. “Mungkin dari kalian hanya tahu kalau saya adalah ibu dari Rama Ardi Saputra Gunawan seorang pengusaha muda yang kini mendekam di penjara. “Rama dan saya masih ada hubungan keluarga dengan keluarga Subrata.”“Apa maksud Bu Clar
“Kita berdoa saja yang terbaik, Pi . Kita berangkat sekarang? Vio sudah enggak sabar ingin bertemu dengan Mas Raga dan memberikan kejutan,” sahut Vio sangat bersemangat. “Oke, kita berangkat sekarang,” sahut Papi Seno dan berjalan keluar bersama yang lain. “Bismillahirrahmanirrahim, ya Allah kuserahkan kepada-Mu semua masalah hatiku. Hamba percaya dan yakin semua akan kembali seperti semula. Keajaiban itu akan datang dan kami bisa bersama lagi. Jauhkan kami dari keserakahan dan ketamakan orang-orang yang mengalami kami. Engkau maha mengetahuinya. Aamiin.” Doa Viona sebelum dia masuk ke mobil bersama mertuanya. Dua puluh menit perjalanan akhirnya mereka sampai di pengadilan. Sudah banyak wartawan yang ingin mencari berita. Apalagi mereka mendengar kabar tentang hilangnya Viona beberapa hari ini yang telah disekap oleh Rama. Papi Seno tak mengizinkan Viona untuk bicara dengan banyak wartawan yang mengerumuninya. Untung saja masih ada beberapa anak buahnya yang masih setia men
“Kamu sudah sampai di rumah?”“Maaf Bos, kami belum bisa sampai di rumah Nyonya Clarissa. Ada tabrakan di tengah jalan dan kami terjebak di tengah jalan. Tidak bisa mundur karena banyak kendaraan lain juga.”“Bodoh, kenapa tidak cari jalan lain?” “Maaf Bos, tidak ada dan ...”“Brengsek. Kamu bisa kan cari jalan alternatif, kenapa harus lewat jalan itu? Cepat cari jalan lain, saya tidak peduli. Jika terjadi sesuatu dengan ibu saya kalian yang akan bertanggung jawab.”Rama langsung memutuskan sambungan teleponnya tanpa mendengar kembali penjelasan anak buahnya itu dan kembali menatap Viona.“Semua tidak bisa diharapkan. Kenapa semakin berantakan sih? Aku hanya ingin bersama Viona! Kenapa semua tidak menyukainya?” kesal Rama dalam hati. Dia berjalan mondar mandir di kamar sembari sesekali mencoba menghubungi ibunya, tapi tetap saja nomor yang dituju sudah tidak diaktifkan lagi. “Ti—tidak aku tidak bisa meninggalkan Viona sendirian di rumah sakit. Mereka pasti akan membawanya pergi dar
Viona berusaha untuk bangun dari tempat tidur tapi ternyata tubuhnya masih begitu lemah. Dia ingin melepaskan jarum suntik yang masih terpasang di tangannya. Namun, di saat itu juga sebuah tangan besar menghalanginya. Jantung Viona berdegup kencang saat melihat tangan laki-laki itu memegang jarum suntik yang ingin dilepaskan oleh Viona.Viona mendongkak dan benar saja tangan Rama yang telah memegangnya. “Apa yang kamu lakukan? Kamu ingin pergi dari sini?” tanya Rama dengan tatapan di dinginnya. Viona merasa tak berdaya, tak ada tenaga untuk bisa menghindar dari Rama. Hanya tatapan sayu dan ketakutan dari matanya. Rama bisa melihatnya sehingga tangannya pun berpindah perlahan. “Maaf, aku hanya ingin memastikan untuk tidak berbuat nekat dengan .. “Mas, a—aku mohon lepaskan aku!” Viona bersuara pelan dengan air mata yang sudah mengalir membasahi pipinya.Rama semakin terpuruk melihat Viona yang begitu ketakutan sampai-sampai menitikkan air mata.“Vio, jangan menangis aku tidak
Rayhan mengejar Rama yang melangkah cepat meninggalkannya. “Kamu sudah enggak waras, Rama!” teriaknya. Rayhan menarik paksa tangan Rama. “Aku enggak salah dengar ka?” Rayhan mengatur napasnya yang sedikit tersengal-sengal karena mengejar Rama.“Apakah aku pernah bercanda dengan perkataanku sendiri?” tanya balik Rama dengan wajah seriusnya .“Rama dengarkan aku sebentar. Viona sedang mengandung anak Raga. Mereka saling mencintai dan Viona hamil, Rama. Kamu sudah tahu apa yang aku maksud. Jangan mengulangi kesalahan lagi. Kamu sudah membuat Raga dipenjara dan sekarang kamu ingin mengambil hidup Viona? Aku sarankan, jangan kamu melakukan hal yang akan merugikan kamu nanti kedepannya,” nasihat Rayhan membuat Rama terdiam sejenak. Rama menghela napas panjang dan kemudian berkata, Apa kamu tidak ingin membantuku, Ray?” Rayhan menepuk bahu Rama. “Maaf, Bos, aku tidak ingin melakukannya lagi. Aku tidak ingin membuat Viona kehilangan janinnya. Dia berhak hidup dan aku tidak mau nasib aka
Viona semakin berontak tapi tubuhnya tak bisa mengalahkan kekuatan pria tampan itu. Namun, Viona tak ingin pasrah begitu saja saat wajah Rama begitu dekat dengannya. Pria itu menyeringai jahat. Viona begitu marah saat tubuhnya disentuh paksa oleh pria lain. Entah dari mana kekuatan itu sehingga tanpa keraguan berusaha membenturkan kepalanya dengan Rama sangat kuat. Rama kesakitan dan langsung merenggangkan dekapannya. Viona langsung menghindar meskipun kepalanya pun langsung terasa pening. Tak lama terlihat ada tetesan darah yang keluar dari kening Viona. Cairan merah pekat itu terus mengalir membuat wajah Viona merah. Bahkan jilbab dan pakaiannya pun sudah ternoda. Rama yang masih kesakitan menjadi panik saat melihat tetesan darah itu tetap mengalir. Rama kembali mendekati dan ingin mengobati luka itu tapi dengan cepat Viona menghentikannya. “Aku harus menghentikan darahnya,” khawatir Rama yang segera mencari kotak P3K di dalam kamar itu. Dengan tangan gemetar Rama membuka s
Tepat jam sepuluh pagi persidangan Raga dimulai. Raga masuk dalam ruang persidangan dalam penjagaan ketat. Mereka beradu pandang. Mata Raga pun sempat berkaca-kaca saat melihat kedua sosok pria yang selalu ada untuknya. Bahkan Raga sangat mengkhawatirkan mereka berdua. Namun, seketika pikirannya mengingat akan sosok wanita yang selalu membuat bahagia.Viona, wanita itu tak tampak di sana membuat hatinya sedih dan geram. Apalagi di saat itu juga dia melihat kehadiran Rama dan Clarissa, dua orang yang sangat dia benci. Raga berusaha menahan amarahnya saat melihat mereka. Terlebih lagi sikap Rama yang tampak tersenyum dari kejauhan. Seno bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Raga. Dia tahu kalau Raga pasti mencari keberadaan Viona. Opa Lukman tak mencegahnya membiarkan ayah dan anak itu bicara sebentar.Raga langsung mencium punggung tangan Papa Seno dan kemudian memeluknya. “Semua akan baik-baik saja, Raga. Kamu adalah anakku. Papi tahu kamu tidak bersalah dan semua itu akan
Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Persidangan untuk Raga sebentar lagi akan di gelar. Papi Seno dan Opa Lukman sudah bersiap diri untuk datang ke pengadilan. Tampak di luar gerbang rumah mereka pun beberapa pencari berita juga sudah berkumpul dan menunggu. Untung saja ada satpam penjaga yang tidak memperbolehkan mereka masuk sampai ke halaman rumah keluarga Subrata.“Papa, sudah siap? Atau lebih baik Papa di rumah saja, biar Seno saja yang datang. Lagian papa baru sembuh. Seno takut terjadi sesuatu dengan Papa nanti di sana. Raga akan lebih sedih jika menyangkut kesehatan Papa,” pinta Seno ya g masih khawatir dengan kondisi kesehatan Opa Lukman. Orang tua itu menatap sayu dan kemudian tersenyum kecil, kemudian berkata, “ Papa enggak apa-apa. Jika Papa di rumah malah kepikiran. Apalagi kita belum bisa menemukan keberadaan Viona. Apakah dia enggak apa-apa bersama Rama?” ucapnya pelan. Mendengar ucapan Opa Lukman membuat Seno kembali geram. “Sampai sekarang Seno belum bisa
Rama tetap tidak mau melepaskan Viona. Baginya wanita cantik itu harus menjadi istrinya nanti setelah bercerai dari Raga. Rama pun sudah memberikan surat perceraian yang harus di tanda tangani oleh Viona. Dia meninggalkan berkas itu di meja berharap Viona rela berpisah dengan Raga. Viona tak bisa tidur karena memikirkan nasib suaminya itu. Tapi dia pun tak berdaya semua ini. Paginya Rama pun kembali ke kamar itu untuk memastikan apakah Viona sudah mengambil keputusan atau tidak. “Katakan Vio, apakah keputusan kamu? Kita tidak mempunyai banyak waktu karena kamu tahu kan hari ini dan tinggal tiga jam lagi sidang Raga akan di gelar. Jika kamu memang mencintai Raga tentu kamu mau berkorban untuknya, kan?” bujuk Rama tersenyum kecil. “Aku tidak mau menandatangani berkas itu. Kamu sudah enggak waras, Mas!”Rama berusaha menahan amarahnya. Tangannya mengepal kuat dengan sorot mata yang tajam. “Rupanya kamu tidak peduli dengan nyawa suamimu, Vio! Apakah aku harus membuktikannya ka