'Semoga keputusanku menerima mas Ridho itu benar,' bantin Mira masih sedikit ragu dengan keputusan yang telah Mira ambil.
Mira masih trauma dengan perlakukan Azam padanya. Bersamanya dengan waktu yang cukup lama tak lantas mengenal siapa Azam sebenarnya.Mira masih sakit hati dan kecewa pada Azam yang tiba-tiba menikah dengan perempuan lain setelah membatalkan pernikahannnya. Mira tidak akan pernah melupakan bagaimana Azam dan ibunya menghina keluarga Mira.Derttt, derrtt!Handphone Mira bergetar, gadis ini memang lebih sering menggetarkan hpnya dibanding membuatnya berdering kencang saat ada telpon atau notofikasi whatsapps yang masuk.Mira gegas mengambil benda pipih yang berada tak jauh darinya. Ia membuka layar handphone miliknya agar tahu siapa yang mengirimkan whasapp padanya.Mata Mira membulat sempurna saat mengetahui nama si pengirim pesan padanya."Mas Azam," gumamnya lirih.Ternyata sudah banyak pesan yang dikirimkan pada Mira melalui whatsappnya.[Jahat kamu, Mir. Ternyata kamu setuju membatalkan pernikahan kita karena kamu mau sama Ridho][Inget ya, Mir. Aku tak pernah rela kalau kamu sampai bahagia bersama Ridho][Secepat itu kamu buang perasaanmu setelah sekian lama kita bersama. Aku nggak menyangka kamu sejahat itu]Mira terperangah membaca setiap pesan yang telah dikirimkan oleh Azam padanya.'Siapa yang salah siapa yang disalahkan,' batinnya Mira meremang.Dertt ... Dertt ... Dertt...Handphone Mira terus bergetar. Berulang kali Azam mencoba menghubunginya. Mira yang mulai merasa risih akhirnya mengangkat telpon dari Azam."Kamu jahat Mir, jadi kamu bener mau lamaran dan menikah dengan Ridho," cacar Azam pada Mira."Sudah bukan urusanmu, jika aku ingin menikah dan dilamar oleh siapapun," timpal Mira yang sangat muak dengan perlakuan Azam."Tapi aku masih mencintaimu Mir, aku nggak ikhlas kalau kamu menikah dengan Ridho," ujarnya Azam."Aku nggak butuh ikhlasnya kamu, Mas. Harusnya kamu sadar kalau kamu sudah punya seorang istri. Tak sepantasnya kamu mengatakan hal itu padaku,""Aku nggak perduli Mir, satu hal yang aku tahu jika kamu tetap menikah dengan Ridho, cinta dan kasih sayangmu untukku itu palsu karena secepat itu kamu bisa melupakan aku.""Nggak tahu diri kamu, Mas. Harusnya kamu bercermin sebelum mengatakan hal itu padaku." Mira langsung menutup sambungan telponnya.Mira tak habis pikir, ternyata ada pria yang sangat menyebalkan seperti Azam. Ternyata Azam belum menyerah untuk menghubungi Mira setelah telponnya Mira tutup secara sepihak.Dertt ... derttt...Lagi-lagi suara handphone Mira bergetar.[Angkat Mir, aku belum selesai berbicara]Mira langsung mematikan handphone setelah membaca pesan dari Azam."Arghhh." Mira mengusap wajahnya dengan kasar.'Bisa ikut g*la aku, kalau terus meladeninya' batin Mira mulai resah dengan gangguan dari Azam.Mira melangkah ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Guyuran air membuat ia merasa lebih rileks."Mir," panggil bu Sartinah dari ruang tengah."Iya, bu sebentar." Mira gegas menghampiri Ibunya yang sedari tadi memanggil namanya."Kenapa bu," tanya Mira pada bu Sartinah."Ini loh, nak Ridho dari tadi coba hubungin kamu, tapi nggak bisa terus." Bu Sartinah menyodorkan benda pipih itu pada Mira.Mira dengan cekatan mengambil benda tersebut dari tangan Ibunya. "Assalamualaikum," sapa Mira pada Ridho."Walaikumsalam, Mir dari tadi saya hubungi nomer kamu tidak aktif. Apa handphone kamu rusak? tanya Ridho yang sedikit khawatir."Oh ... nggak kok, memang sedang aku matikan saja. Maaf ya mas.""Oh, begitu. Iya nggak apa-apa. Aku mau ajak kamu buat beli pakaian yang akan dijadikan seserahan. Soalnya kalau beli sendiri takut kamunya kurang suka atau malah tidak pas dibadan. Nanti malah jadi jelek," ujar Ridho panjang lebar menjelaskan maksudnya."Boleh, tapi habis ashar saja ya Mas jemput aku kerumah. Biar adem dan nggak terlalu panas," pinta Mira."Siap, aku jemput habis ashar ya Mir, Assalamualaikum,""Iya, Mas. Walaikumsalam." Mira mematikan sambungan telponnya dan memberikan kembali benda pipih tersebut pada Ibunya....Mira menunggu Ridho yang akan menjemputnya. Ia mengenakan baju yang cukup anggun dan enak dipandang. Hatinya berdebar setiap kali Mira akan pergi bersama Ridho. Mira mulai merasakan nyaman dengan perlakuan Ridho yang hangat.Tak lama ia menunggu sebuah mobil terparkir didepan rumahnya. Ridho turun dari mobil tersebut dengan balutan baju yang lebih casual. Membuat ia terlihat sangat tampan dan menarik.Tanpa menunggu waktu lebih lama, Ridho meminta ijin pada pak Herman untuk membeli perlengkapan seserahan yang dibutuhkan.Kendaraan mereka melaju dengan kecepatan sedang, tak lama kemudian Ridho memarkirkan kendaraannya di parkiran Mall. Pada saat akan turun mobil Mira kesulitan saat akan membuka seat belt."Kenapa Mir?" tanya Ridho"Ini, sedikit sudah dibukanya," Mira berusaha membuka seat belt tersebut.Ridho mendekat dan mencoba membantu Mira melepaskan seat beltnya. Jarak yang begitu dekat membuat kedua jantung insan tersebut berdetak lebih kencang. Sampai Ridho berhasil melepaskan seat belt tersebut.Saat Ridho akan menjauh dari Mira, Bros yang ada di kerudung Mira tersangkut rambut Ridho yang membuat pria tampan itu sedikit kesakitan. Namun membuat jarak mereka lebih dekat lagi. Jantung yang berdebar kencang cukup terdengar ditelinga mereka."Aduh gimana nih sakit," ujar Ridho."Eh, maaf ini coba aku lepas," timpal Mira."Atau digunting saja rambutku. Didalam laci ada gunting," usul Ridho."Eh, jangan. Tunggu sebentar lagi bisa lepas," ujar Mira yang sedikit panik.Dengan susah payah Mira akhirnya bisa melepaskan lilitan rambut Rhido yang tampak acak-acakan karena tersangkut tadi.Mira dan Ridho keluar dari mobil. Dari arah belakang terdengar teriakan seorang pria yang tampak tak asing bagi mereka."Habis ngapain kalian dalam mobil?" tanya Azam dengan wajah memerah.Bersambung."Gimana bu, apa semua berjalan sesuai rencana?" tanya Azam saat bu Nurma datang menjenguknya disel tahanan."Ridho kecelakaan, pak Herman sampai meninggal dunia," ucap bu Nurma tersenyum."Bagus, hanya dengan satu tepukan, ada dua lalat yang terperangkap, kerja Ibu memang sangat hebat," balas Azam tersenyum sinis."Kamu salah, ada orang lain yang sudah melakukannya lebih dulu. Ibu bahkan tak melakukan apapun. Baru saja Ibu akan melaksanakan rencana kita, siapa sangka Ridho sudah mendapatkan balasannya sendiri. Pak Herman terkena serangan jantung saat mendengar kecelakaan Ridho. Dunia ini sedang berpihak pada kita," tutur bu Nurma dengan rasa bangga seolah balas dendamnya telah terlaksanakan."Jadi semua ini bukan ulah Ibu ... baguslah kalau begitu, lalu bagaimana dengan Mira, apa dia terlihat begitu menyedihkan karena kehilangan orang tuanya dan tidak jadi menikah dengan Ridho?" tanya Azam yang penasaran dengan kondisi Mira."Mira memang tidak jadi menikah dengan Ridho, tapi pernikaha
"Dok, pasien bernama Ridho yang dirawat di ruang ICU sepertinya mulai sadarkan diri," ucap suster jaga yang saat itu bertugas memeriksa kondisi Ridho."Apa kamu yakin sus?" tanya Dokter seakan tak percaya dengan ucapan suster tersebut."Saya sangat yakin, Dok. Saat tadi memeriksanya, tubuh pasien merespon dengan sangat baik, sesekali jarinya terlihat bergerak," tutur suster jaga yang telah mengecek kondisi Ridho."Kalau gitu, suster temani saya untuk memeriksa kembali keadaan pasien!" Seru sang Dokter yang di angguki suster perawat.Mereka berjalan cepat menuju ruang ICU dimana Ridho tengah dirawat, suster membawa peralatan yang diperlukan dokter untuk memeriksa pasien. Terlihat Ridho masih terbaring lemah diatas ranjang, dengan cekatan Dokter mulai memeriksa kondisi Ridho dengan teliti."Mir, Mira," Rhido mengigaukan nama Mira disela sela kesadarannya."Alhamdulilah sus, ini sebuah ke keajaiban. Kondisi pasien mulai membaik bahkan ia sudah mulai siuman, tadinya saya pikir pasien ini
"Mir!" Seru pak Yudi pada Mira yang sedang duduk bersama Ibunya."Iya, om. Apa semuanya sudah selesai diurus? Sebaiknya kita bawa Bapak kerumah untuk dishalatkan terlebih dahulu," ucap Mira pada pak Yudi."Engga nak, sebaiknya almarhum Bapakmu langsung dibawa ke mesjid dekat rumah untuk dishalatkan disana," sanggah bu Sartinah."Ya sudah, dibawa ke mesjid dulu baru dibawa ke rumah," tutur Mira pada Ibunya."Nggak, nak. Setelah dishalatkan Bapakmu akan langsung dimakamkan," sanggah bu Sartinah kembali."Loh, memangnya kenapa nggak dibawa ke rumah bu?" tanya Mira pada ibunya, ia sampai mengerutkan alis karena pernyataan bu Sartinah."Orang rumah sedang mempersiapkan pernikahanmu, sebaiknya Bapakmu langsung dimakamkan saja," jawab bu Sartinah enteng."Mempersiapkan pernikahan? Maksud ibu apa? Mas Ridho saja masih terbaring kritis di rumah sakit ini, bahkan Bapak saja belum sempat dimakamkan. Apa pantas Ibu berkata seperti itu," tutur Mira yang tersulut emosi pada Ibunya. Bahunya terlihat
Keadaan semakin kacau saat pak Herman terkena serangan jantung, ia masih terkulai lemas diatas tempat tidurnya. Sementara Mira masih terbaring dengan alat infus yang menempel ditanganinya, Bu Sartinah hanya bisa menangis melihat keadaan anak dan suaminya.Bu Sartinah masih belum mendapatkan kabar kembali tentang Ridho. Kabar terakhir yang ia tahu jika saat ini Ridho dalam keadaan kritis. Hari yang harusnya menjadi kegembiraan untuk Mira dan keluarganya menjadi hari kesedihan untuk Mira dan semua anggota keluarga."Enghhh," suara lenguh pak Herman yang mulai sadarkan diri."Alhamdulilah, Bapak udah sadar," ucap bu Sartinah yang merasa sedikit lega."Mira sama Ridho, gimana bu?" tanya pak Herman pada istrinya yang terlihat sembab karena tak henti menangis."Sudah, Bapak tak perlu banyak pikiran. Sekarang Bapak istirahat saja dulu, biar kondisi Bapak cepat membaik," tutur Sartinah yang masih khawatir akan kondisi suaminya."Bapak ingin bicara dengan pak Yudi," ujar pak Herman dengan sang
"Gimana keputusan sidangnya Mir?" tanya pak Herman."Azam terbukti bersalah sudah menyebarkan berita bohong dan mencemarkan nama baik Mira. Sekarang Azam ditahan karena perbuatannya," ucap Mira yang sebenarnya merasa iba dengan keputusan hakim terhadap Azam."Syukurlah, kalau gitu kamu bisa fokus sama pernikahan kamu.""Iya, pak. Semoga nggak akan ada hambatan lagi," tutur Mira dengan nada yang sedikit sendu."Semoga, kamu juga tidak menyesal atas tindakanmu pada Azam," sindir pak Herman yang seakan mengetahui isi hati Mira.Mira hanya mendongak ke arah pak Herman, yang berlalu masuk ke dalam kamar setelah menyindirnya.'Benarkah? Apa aku memang menyesali perbuatanku pada Azam?' tanya batin Mira pada dirinya sendiri.Tidak bisa dipungkiri, Azam pernah menempati ruang istimewa dihati Mira hingga bertahun-tahun lamanya. Namun menurut Mira, ini bukan lagi rasa perduli karena masih mencintainya, melainkan rasa iba semata, karena mereka pernah sangat dekat."Mir," sapa bu Sartinah yang men
"Mau kemana Mir?" tanya Pak Herman, kala melihat anaknya yang sudah berpakaian rapih."Mira, mau ke kantor polisi, Mira dimintai keterangan mengenai laporan mas Azam, tempo hari, pak.""Mau pergi sama siapa? Apa perlu Bapak antar?" "Nggak usah pak, Mira pergi bareng mas Ridho. Katanya sudah di jalan, sebentar lagi juga sampai.""Semoga masalahnya cepat selesai," ujar pak Herman."Aamiin," sahut Mira dengan senyum mengembang.Tak lama kemudian, terdengar suara mobil yang berhenti di depan rumah Mira."Mira berangkat dulu, pak," pamitnya pada pak Herman."Ridho, nggak ditawarin minum dulu Mir?""Nanti saja pak, waktunya mepet. Ridho sama Mira, diminta cepet datang ke kantor polisi," jawab Ridho dengan sopan, tangannya mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan pak Herman."Ya sudah, kalian berdua hati-hati. Jangan sampai kebut-kebutan bawa mobilnya."*Bu Nurma terlihat gusar dan terus mundar mandir tak tentu arah, sesekali ia melihat handphone miliknya."Bu, udah dong. Jangan mondar m