Share

Tentang Kara dan Garvin

Ting... Pintu lift baru terbuka ketika pengguna lift di belakang Kara menabrak tubuhnya, Membuat Kara terhuyung ke samping.

"Aduh ...." Refleks sepasang netra Kara melotot ke arah penabrak. Pria itu sengaja melakukannya, dia membalas dengan sudut bibir mengarah ke atas.

"Kau menghalangi jalanku!" katanya datar, Kara baru akan memaki ketika mendengar perkataan petugas lift.

"Silakan, Bapak Garvin!" 

Bu Mira sudah menyampaikan ke saya berapa waktu lalu, Profil anda pun sudah dikirimkan oleh beliau. Saya juga sudah mempelajarinya. Anda beruntung saat ini posisi Customer Service di ruangan CEO sedang kosong. Anda akan menempatkan posisi sebagai Staf dari CEO, Prabu Garvin. Saya akan menghubungi Daniel untuk mengatur jadwal interview anda.

Perkataan bapak Agus kembali tergiang di telinga Kara. "Apakah pria tadi adalah bapak Garvin, CEO perusahaan ini?" tanya Kara kepada petugas lift.

"Benar sekali, Bu. Lift pribadi Pak Garvin sedang rusak. Sehingga beliau harus menggunakan lift karyawan,"

Ting

Lift telah menyentuh lantai basement, Kara keluar dengan pikiran mengenai Garvin. "Sepertinya bukan atasan yang baik," keluhnya dalam hati.

Untuk pertama kali menginjakkan kaki di gedung Paraduta Group. Kara merasa tidak nyaman, tapi tak apalah, Demi angka-angka menjanjikan yang tertera dalam surat perjanjian kerja. Dia bertekad untuk bertahan. Kehidupannya dulu bahkan lebih buruk dari ini. Pengalaman bekerja di Paraduta Group akan menjadi kartu AS, Jika Kara ingin bekerja di tempat lain.

Garvin berbalik arah, terlambat. Lift telah menutup membawa wanita yang menyeretnya kembali ke masa lalu. Wanita yang memiliki kemiripan sekali dengan mendiang istrinya, Amara. Sosok yang pergi meninggalkan dunia, membawa separuh hidup Garvin. 

"Apakah hari ini, Kamu tidak bisa mengantar ku ke perayaan pernikahan Albert dan Riana?" tanya Amara pada suatu sore lima tahun lalu,"

"Maafkan, Honey. Klien ku mengajak bertemu pada hari ini, aku sungguh menyesal tidak bisa menemani mu,"

"Bukankah ini hari minggu, honey?"

"Iya, memang bukan pertemuan formal tapi pertemuan ini penting untuk meningkatkan hubungan aku dengan tuan Austin,"

"Kamu selalu sibuk, hon," bibir Amara manyun menggemaskan. Membuat Garvin tak tahan ingin mencumbunya seperti malam panas yang sering mereka lalui. Dia tentu saja harus mengurungkan niatnya karena Amara sedang dalam kondisi merajuk.

"Pekan depan aku berjanji akan mengajak mu liburan, bagaimana honey?"

"Kamu berjanji?"

"I'am promise, honey." Amara memeluk Garvin erat, mereka tertawa ketika perut Amara menghalangi dekapan yang terjalin. 

Amara sedang mengandung empat bulan saat kecelakaan itu terjadi. Sebuah truk kontainer menerobos dari jalur lain, hujan lebat yang turun membuat jalanan licin. Seorang pengendara motor yang menyalip truk secara tiba-tiba. Membuat sopir truk kehilangan kendali sehingga memasuki jalur tempat dimana Amara berada dalam kendaraan.

Truk menghantam tepat di sisi Amara duduk, sopir keluarga mereka selamat. Tidak dengan Amara dan calon buah hatinya, dia tewas seketika. Hari saat kecelakaan itu terjadi adalah hari menghilangnya senyum kebahagiaan dalam diri Prabu Garvin.

Janji pada Amara tak akan pernah dia tepati, sebuah janji yang membuat jiwa lelakinya menangis. Meratapi penyesalan mengapa tak mengantar Amara pada hari kecelakaan itu. Hari-hari Garvin selanjutnya dihabiskan dalam pekerjaan. Dia seakan tak puas bekerja, Jiwanya haus untuk menyelesaikan semua proyek dan tender.

Kesibukan menyita pikirannya untuk memberi ruang akan kepergian Amara. Dia selalu bersikap seakan Amara masih ada. Lima tahun dengan bekerja dan bekerja, Garvin berhasil membesarkan Paraduta Gruop. Membuka banyak lapangan pekerjaan dan mengukuhkan perusahaan ini di level atas.

Keringat mengalir dalam kening Garvin, Pendingin udara di mobil tetap tak berhasil mendinginkan gejolak dihatinya. Wanita itu sangat mirip dengan Amara. Jika saja dia sedang tidak terburu-buru menghadiri jamuan salah satu kolega. Garvin pasti memilih mengejar wanita dalam lift tadi.

"Apakah dia salah satu karyawan? mengapa aku tak pernah melihatnya, apakah karyawan lain tidak ingat betapa miripnya dia dengan mendiang Amara, mengapa tidak pernah aku mendengar ada yang membicarakan hal ini" batin Garvin terus bertanya-tanya. Selanjutnya dia mengusap wajahnya mencoba menenangkan diri.

Sudah lima tahun berlalu, karyawannya sudah banyak berganti. Siapa juga yang berani mengusik kehidupan pribadi Garvin, terlebih bila menyangkut mendiang Amara.

Mobil Garvin melesat menembus jalanan, Melewati mobil mungil wanita berparas cantik dengan tatapan kelam di dalamnya. Kara sedang menuju ke suatu tempat, dimana dia merasa harus menceritakan suatu kisah di tempat itu.

Kara berhenti di toko bunga membeli dua buket mawar, Dulunya buket mawar ini selalu menghiasi sudut ruang keluarga bapak Abi dan bu Mira. Perkebunan bunga milik pasangan tua itu selalu rutin mengirimkan kepada pasangan baik budi ini. Sekarang perkebunan bunga itu dihibahkan kepada sebuah yayasan yang berada tidak jauh dari perkebunan. Yayasan yang membantu anak-anak disabilitas untuk sekolah.

Keluarga yang tak pernah dilihat Kara berbondongan datang ke pemakaman. Mereka meratapi kepergian pada hari pemakaman, selanjutnya bersitegang memamerkan urat di leher masing-masing. Mengaku memiliki hubungan darah dengan pak Abi dan bu Mira. Beberapa dari mereka terkesiap ketika seseorang yang mereka anggap pembantu mendapatkan sedikit bagian dan sebuah mobil mungil.

Perjanjian berlandaskan hukum  yang melindungi peruntungan Kara. Memberi dia kehidupan untuk bertahan. Warisan yang telah disahkan secara hukum membuat mereka yang mengaku keluarga tidak bisa mengambil apa yang telah menjadi hak Kara.

Langkah kaki Kara menapak tanah pemakaman. Dia meletakkan sebuket mawar pada masing-masing makam. Hatinya merindu pada dua sosok yang hadir pada empat tahun terakhir dalam kehidupan Kara. Mereka yang menghembuskan kehidupan baru dan membangkitkan kepercayaan diri yang sempat menghilang.

"Terimakasih bantuannya bu Mira dan pak Abi. Semoga mendapatkan tempat terbaik," Lirih suara Kara. 

Dia akan selalu ingat pada kalimat ketus bu Mira, memaksa dirinya kuliah kala itu. Ketika harga diri dan kepercayaan pada kemampuan diri sendiri menghilang. Kata-kata pedas itu mencambuk dirinya. Memecut semangat untuk bangkit. Kara berdiri dan menerima tantangan bu Mira dan pak Abi. Dia melanjutkan kuliah, bergabung dengan mahasiswa yang lebih muda. Memacu diri berkompetisi untuk mendapatkan nilai terbaik.

Bu Mira selalu memecut dirinya dengan kata pedas tapi bermakna. Membuat Kara selalu menanti setiap  petuah dari bu Mira. kepercayaan diri Kara kembali, dia tahu sekarang kalau dirinya berharga. Kekerasan dalam rumah tangga akan terus menjadi bagian dari masa lalu.

Bahkan Kara baru menyadari dia mengalami KDRT dari bu Mira, Selama pernikahan Kara merasa pantas diperlakukan demikian atas ketidakbecusan menyenangkan suami. Melihat pernikahan bu Mira dan pak Abi serta mengenang kembali orangtuanya. Mira tahu dia tidak pernah salah, Bastian lah yang salah.

Di pemakaman ini juga, Kara mengabarkan kepada orangtuanya bahwa dia telah mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Tahun ini adik keduanya akan menempuh bangku kuliah dengan penghasilan sekarang, Kara yakin dia bisa membiayainya.

Suara bahagia bapak dan ibunya menyiram subur bunga di hatinya. Kata-kata mereka lah yang menjadi api penyemangat bagi hidup Kara. Hari mulai menanjak sore ketika dia berdiri dari posisi duduk di sebelah makam pak Abi dan bu Mira. Kara akan segera pulang

Langkah jenjang kaki Kara semakin percaya diri, Dia harus siap menyongsong hari besok. Menegakkan dagu dan tidak membiarkan siapapun menyakiti lagi. Dia harus kuat karena seorang Kara adalah wanita berharga. Dia mengulang kalimat yang selalu diucapkan bu Mira, ya dia sangat berharga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status