Kara keluar dari lift dengan langkah percaya diri. Dia menegakkan tubuhnya menghasilkan tulang punggung sempurna. Langkah sepatu Kara kali ini tidak menimbulkan suara dalam lantai 14, Teredam karpet keabuan gelap. Seperti gelap mata Kara yang berbanding terbalik dengan senyuman yang diberikan pada seorang pegawai. Dia sepertinya memang menunggu kedatangan Kara.
Kara mengikuti langkah pegawai dengan name tag di dadanya 'Rani Lintar', menuju ke koridor dengan pintu hitam pekat berjajar rapi. Mereka berhenti pada sebuah pintu dengan keterangan 'Manager Human Resource Development (HRD). Dari jendela kecil di pintu, Kara bisa melihat seorang pria tampak serius dengan laptopnya.
"Bapak Daniel sudah menunggu anda, Silakan masuk!" Rani membukakan pintu untuk Kara yang dibalas dengan anggukan kecil sebagai ucapan terimakasih.
Daniel, Manager HRD yang menerima map lamaran Kara menyungging senyum penuh arti. Dalam hitungan detik, Daniel menganalisa sosok di depannya. Cantik, menarik dengan tatapan yang sulit diartikan. Seseorang yang di rekomendasikan bapak Agus, Apakah dia begitu istimewa sehingga akan diterima tanpa syarat.
"Silakan duduk, Ibu Kara!" ujar Daniel dengan senyuman menawan yang sudah menjerat banyak wanita.
"Terimakasih, pak!" jawab Kara, Dia memberi seulas senyuman tipis.
"Cantik." batin Daniel.
Kara menatap balik Daniel, dia tahu pria seperti apa dihadapannya. Seorang pria yang memahami sekali potensi diri di dalamnya. Kara tahu itu, tapi apa salahnya sedikit menebarkan pesona, Dia membutuhkan pekerjaan ini.
Dua manusia dengan pikiran masing-masing dalam ruangan yang di dominasi warna abu-abu, Hitam dan coklat. Mereka berbicara formal yang tak lebih sekedar basa-basi belaka. Kara tahu dia akan diterima bekerja, Daniel tahu dia akan menerima wanita rupawan di hadapannya. Pria tampan itu, hanya menjalankan apa yang dinamakan prosedur perusahaan.
"Baik, Ibu Kara. Sebelumnya berdasarkan track record dan rekomendasi. Anda diterima bekerja sebagai customer service dengan penempatan di ruangan pimpinan, CEO perusahaan. Saya akan meminta Rani sebagai asisten manager HRD untuk memberi pelatihan selama tiga minggu. Pelatihan ini diperuntukkan untuk pengenalan dan penerapan standar perusahaan." pungkas Daniel sekaligus penutup wawancara.
"Terimakasih atas kepercayaan kepada saya," Kara menyunggingkan senyuman lebar kali ini.
"Oh God, Dia menarik." batin Daniel ketika melihat respon Kara. Daniel tidak mengetahui betapa gugup dan bahagia Kara.
Kara memasuki gedung pencakar langit tempat dimana perusahaan terbesar di negara ini. Dia hanya seorang janda berusia 26 tahun, 19 tahun dihabiskan dalam kesederhanaan bersama keluarganya, 3 tahun dihabiskan dengan pernikahan di mana dia nyaris tidak memiliki harga diri sebagai istri, 4 tahun dilewatkan sebagai asisten rumah tangga sekaligus mahasiswi.
Selang berapa bulan setelah wisuda dia kembali sendiri ketika pak Abi dan bu Mira meninggal. Dua orang yang menjadi tempat dia bernaung selama ini, dan hari ini dia berada dalam ruangan kantor modern. Diterima bekerja sebagai customer service, Ini merupakan pencapaian tertinggi dalam hidup seorang Kara.
Kara telah berlalu bersama Rani sekian menit lalu, Daniel tetap di meja dan kursi yang sama. Menelusuri berkas lamaran Kara dengan seksama, Cassanova yang mulai merasakan ketertarikan.
"Kara masuk kuliah saat usia 22 tahun tapi lulus dengan predikat cumlaude di universitas swasta terbaik. Tentu saja bapak Agus tidak sembarangan menerima rekomendasi jika gadis ini tidak memiliki apapun. Di usia 26 tahun Kara belum memiliki pengalaman kerja sama sekali tetapi memiliki kecerdasan, Dia menyelesaikan kuliah lebih cepat. Mengapa sampai terlambat masuk kuliah? Apakah karena faktor ekonomi? Hmmm... Menarik," gumam Daniel.
Daniel mengetuk pelan pulpen berwarna hitam mengkilat," Gadis cantik selalu membuat otak ku aktif, Sudahlah aku mempunyai tiga minggu berada di dekat Kara. Sebelum dia akan menjadi staf CEO, Prabu Gavin. Aku tak perlu khawatir, Gavin hanya tertarik pada dirinya sendiri." pikir Daniel sambil melihat kearah pintu tempat Kara keluar.
Rani mengeryitkan keningnya, Dia mendengus sedikit kesal dengan atasannya. Tiga minggu terlalu lama untuk pelatihan customer service (CS) untuk CEO. Tidak banyak yang dikerjakan karena hanya berhubungan dengan seorang CEO. Daniel beralasan karena Kara belum memiliki pengalaman kerja dan tidak mengikuti test tertulis sehingga perlu mendapatkan pelatihan selama itu.
Tugas Kara berkaitan dengan kepentingan CEO Paraduta Group. Menerima klien besar dan mengurus segala administrasi yang berhubungan dengan mereka. Selanjutnya ada Laura sebagai sekretaris yang menanganinya. Sedetik kemudian gadis itu tersadar sesuatu.
"Iya, Kara belum memiliki pengalaman. Bagaimanapun sebagai customer service, Kara merupakan 'representatif' dari Paraduta Group. Selain kepiawaian dalam administrasi, Keluwesan menangani klien besar tetap poin penting." Pikiran itu memenuhi kepala Rani.
Dia lalu memeriksa data di laptop. Melihat apakah ada pelatihan customer service cabang saat ini. Netranya menemukan satu batch pelatihan customer service prioritas perusahaan. Jadwal tertera akan berlangsung besok, Sampai 14 hari kedepan.
"Kara untuk 14 hari kedepan, Kamu akan mengikuti pelatihan customer service prioritas perusahaan, Job desk mereka sedikit berbeda dengan kamu tapi pada beberapa poin sama. Saya harap kamu mempelajarinya dengan baik. Silakan temukan Bobbi, Dia adalah staf HRD yang akan membuatkan surat pengantar pelatihan," ucap Rani sambil menekan telpon interkom. Dia menghubungi Bobbi.
Kara berjalan menuju ke arah koridor yang ditunjuk oleh Rani, Ruangan 'Human Resource Development', Konsep ruangan kantor terbuka tanpa kubikel. Seorang pria jangkung berkacamata menyambut Kara, Dia mengarahkan Kara ke mejanya. Mengeluarkan surat perjanjian kerja dan surat pengantar. Menjelaskan singkat lalu memberikan Kara salinan surat perjanjian kerja dan surat pengantar yang dia masukkan dengan hati-hati dalam amplop berlogo.
"Efektif bekerja di mulai besok saat anda mengikuti pelatihan CS dan jangan sampai terlambat datang," ucap Bobbi dengan suara datar. Dia sama sekali tak terpesona pada kecantikan Kara.
"Baik, Pak. Terimakasih, Saya pastikan akan datang sebelum waktu pelaksanaan," tegas Kara dan dia tidak sedang berbasi-basi mengatakan itu. Dia berjanji karena pekerjaan ini adalah nafas hidupnya, Kara membutuhkannya. Bobbi membalas dengan senyuman samar.
"Terlalu sering aku mendengar kalimat tadi, Bahkan mereka telah berpengalaman di bidang yang sama. Kenyataannya hanya sanggup bertahan hitungan hari dan minggu. Siapa yang tahan dengan seorang atasan seperti Gavin, Dia menyebalkan," batin Bobbi sambil mengedikkan bahu membayangkan harus menjadi bawahan Gavin
Bobbi tentu saja menilai sosok cantik di depannya hanya gadis menawan yang beruntung diterima bekerja. Kara lebih dari itu, Dia pasti akan melewatinya. Kali ini Kara bertekad.
Langkah Kara terasa ringan bahkan ketika telah tiada, Bu Mira masih berjasa dalam hidupnya. Ajaib Kara bisa menghapal lantai 14 dengan cepat, Memasuki lift dengan riang. Dia mencoba menahan senyum gembiranya. Sungguh aneh ketika dia harus senyum-senyum sendirian.
"Basement ya, Mbak." Kara bertemu dengan petugas lift yang sama dengan hati berbeda. Ketika awal bertemu, Kara dengan pikiran tentang masa lalu mencengkram erat. Sekarang pikiran Kara tentang masa depan yang menanti.
Kara diliputi kebahagiaan dengan pikirannya, Dia tidak menyadari sepasang netra coklat tua menatapnya dengan keterkejutan. Pemilik mata yang berdiri dibelakang Kara, Mengamati dengan seksama.
Seakan sesuatu dari masa lalu hadir di depannya, Dia memandang pantulan Kara di lift dengan segala pikiran dan lintasan kejadian demi kejadian. Membentuk menjadi rangkaian kisah. Menyisakan akhir kisah yang menghantam dadanya, Sakit.
Ting... Pintu lift baru terbuka ketika pengguna lift di belakang Kara menabrak tubuhnya, Membuat Kara terhuyung ke samping. "Aduh ...." Refleks sepasang netra Kara melotot ke arah penabrak. Pria itu sengaja melakukannya, dia membalas dengan sudut bibir mengarah ke atas. "Kau menghalangi jalanku!" katanya datar, Kara baru akan memaki ketika mendengar perkataan petugas lift. "Silakan, Bapak Garvin!" Bu Mira sudah menyampaikan ke saya berapa waktu lalu, Profil anda pun sudah dikirimkan oleh beliau. Saya juga sudah mempelajarinya. Anda beruntung saat ini posisi Customer Service di ruangan CEO sedang kosong. Anda akan menempatkan posisi sebagai Staf dari CEO, Prabu Garvin. Saya akan menghubungi Daniel untuk mengatur jadwal interview anda. Perkataan bapak Agus kembali tergiang di telinga Kara. "Apakah pria tadi adalah bapak Garvin, CEO perusahaan ini?" tanya Kara kepada petugas lift. "Benar sekali, Bu. Lift pribadi Pak Garvin
Jam dinding menunjukkan pukul 23:45 ketika Garvin tiba di rumah, dia melonggarkan dasi dan membuka kancing atas kemeja. Matanya menatap nanar ke foto pernikahan dia dan Amara yang terpasang di dinding. Foto yang enggan Garvin turunkan, seakan dia berharap keajaiban terjadi. Amara mengetuk pintu rumah dan mengatakan bahwa bukan dirinya yang mengalami kecelakaan. Garvin masih merasakan kehangatan pelukan dan tawa Amara sebelum dia pergi ke pernikahan sahabatnya. Dia masih melihat Amara memasuki mobil dan melambaikan tangan. Sulit baginya menerima kenyataan, ketika dua jam kemudian menerima kabar Amara tewas dalam kecelakaan. Amara Bunga Kayla, perempuan yang dikenalnya semasa kuliah. Amara merupakan sepupu Ben, sahabat Garvin dari bangku sekolah menengah pertama. Garvin yang menghabiskan pendidikan di universitas terbaik di Amerika Serikat. Kala itu pulang liburan ke Indonesia, dia mengunjungi Ben. Pertemuan pertama dengan Amara terjadi di rumah Ben, getaran pe
Kara melepaskan rol rambut, mengunci dengan hair spray. Merapikan menggunakan jemari lentiknya. Memberi efek rambut bergelombang seksi. Dia memoleskan lipstik nude, menyapukan blush on berwarna coral terakhir, dia menggunakan sikat khusus untuk menimbulkan efek serat pada alisnya. Aktivitas Kara belum berakhir, Dia menggantikan dress dengan kemeja boyfriend warna putih. Memadupadankan dengan jeans dan sepatu kets berwarna putih. Tas sling bag di sematkan pada bahunya. Santai membuat penampilan diri tampak lebih muda dari usianya, Paling penting menyembunyikan fakta dia seorang janda dengah kisah rumah tangga suram. "Sempurna," decaknya kagum pada diri sendiri. 13:15 Wib Lebih cepat dari waktu yang dijanjikan ketika Kara tiba di mall. Dia mengisi waktunya dengan memanjakan mata melihat barang mewah di etalase. Entah kapan Kara bisa memasuki tempat itu. Harga satu barang saja bisa menghabiskan berapa bulan gaji Kara. Jika dia mengin
Leonard mengejar Garvin, wajah tampan yang menampilkan ekspresi tidak bersahabat. Rahang Garvin tampak mengeras. Ada kemarahan tak tersalurkan, Leonard memilih diam. Bukan saat tepat untuk mengeluarkan pendapat. Leonard mengakui kemiripan yang tak terelakkan dari raut gadis di restoran tadi, tapi untuk mengatakan itu orang yang sama. Jelas mustahil, Amara meninggal lima tahun lalu saat berusia 27 tahun. Sekarang jika dia masih ada maka usia Amara adalah 32 tahun. Gadis itu tampak jauh lebih muda. "Pak, Apakah anda jadi menemui manager mall?" tanya Leonard ketika mereka berada di lift. Mall 'ParaDita' termasuk dalam Paraduta Group. Rencananya hari ini Garvin akan berkunjung, Ada yang ingin di sampaikan terkait kepulangan dari eropa. "Batalkan!" perintah Garvin. "Baik, Pak. Apakah perlu di jadwalkan kembali ke tempat kita?" "Iya, Sampaikan pada Laura untuk mengirim surel!" Leonard segera melakukan perintah Garvin, Dia tidak suka seseoran
Laura menunjukkan meja kerja Kara. "Di sini tempatnya, Siapa namamu?" "Dia bertanya dengan nada merendahkan, Garvin sudah menyebutkan nama ku tapi sikapnya seakan itu bukan hal penting untuk di ingat", pikir Kara di saat bersamaan otaknya merespon menandai wanita molek di hadapannya. "Nama saya ... Kara Garvita, Bu," jawab Kara dengan nada santun sedikit menundukkan kepala. Bersikap lemah akan mengurangi kewaspadaan belut listrik seperti ini untuk memangsanya. "Kamu sudah tahu bukan pekerjaanmu? menyambut tamu," senyuman tertahan tersungging di wajah mulus tanpa noda milik Laura. "Terserah apa istilah kamu untuk menyebutnya. Aku mendapatkan bayaran untuk ini", batin Kara sambil menyunggingkan senyuman manis sebelum menjawab, "Tapi bukan itu yang kami pelajari pada saat training, Ada...." "Kamu tahu? Customer service di sini bertahan paling lama tiga bulan. Aku ingin melihat mu berapa lama bertahan...." potong Laura sambil berlalu dari hadapan
Kara melirik arloji, Akhirnya yang di tunggu tiba. Jam istirahat, gadis itu segera menuju kafetaria. Kali ini dia mempelajari denah kantor tanpa perlu bertanya pada Laura. Kaki jenjangnya berayun Lincah. Kara telah memperhitungkan dengan cermat, uang warisan dari bu Mila cukup bertahan sampai gaji bulan depan. Leher jenjang Kara menjulur mencari keberadaan Feli. Dia telah berjanji dengan Feli untuk bertemu di kafetaria. Sebagai karyawan baru, mereka belum memiliki teman. Apalagi Kara, tidak mungkin berteman dengan Laura, berat. "Hei ... lehermu menyaingi jerapah," sapa Feli yang telah berdiri di samping Kara. "Aku bahkan tidak mendengar kedatanganmu," cibir Kara pura-pura merajuk yang di sambut tawa Feli. "Kita mengantri di sana, yuk," tanpa menunggu jawaban Kara. Feli menarik tangan Kara, beberapa karyawan pria melirik ke arah mereka berdua dengan minat. Dua karyawan baru yang menawan. Keduanya telah tiba di meja dengan makan siang yang
"Mengapa aku harus kehilangan sesuatu, saat aku berpikir sudah berada di genggaman," dengus Kara kesal. "Kehilangan? suatu hal yang harus mengajarkan arti menghargai," sahut Feli dengan bijak seakan menceramahi remaja yang baru putus cinta. "Huh... aku kesal sekali," sungut Kara, dia mengaduk-ngaduk spagheti tanpa minat. "Aku berani taruhan, kamu pasti segera mendapat ganti dengan mudah," "Hmmm..." Sejak pertemuan terakhir di kafe sore hari, Elang tidak pernah menghubungi Kara. Berapa kali Kara menghubungi Elang tapi tidak mendapatkan respon. Dia dan Feli juga mendatangi coffe shop Elang di mall 'Paradita' tetapi sudah tutup. Kara mendengus, Dia kehilangan kesenangan. Elang tampan, muda dan aromanya wangi. Jauh sekali dengan aroma Bastian. Seringkali bau keringat dan alkohol, Menyebalkan. "Mengapa. dia tidak pernah menghubungi ku lagi?" tanya Kara kembali. Feli memandang sesaat temannya lalu mengaduk teh di depannya.
"Pria itu seperti devil bertopeng angel. Mereka mengangkatmu tinggi ke angkasa lalu menghempasmu ke bumi, bahkan tanpa rasa ampun," kata Kara sinis. Di sebelahnya Feli menyimak sambil menikmati makan siang. Kafetaria ramai seperti biasa, Kara tak memperdulikan suaranya akan terdengar oleh pengunjung lain. "Jadi kamu keluar dari apartemen itu tadi malam?" tanya Feli dengan nada rendah. Dia mengamati wajah Kara yang tampak kesal. "Ya ... security apartemen mengatakan aku diminta keluar oleh penyewa, Arjuna bahkan memutuskan hubungan kami begitu saja. Apakah ciuman ku begitu buruk sampai dia mengambil keputusan ketika kami selesai berciuman?" "Menyedihkan," kata Feli mencoba bersimpati walau dia merasa geli. "mungkin Kara lupa menggosok gigi ketika mereka berciuman," batinnya dalam hati. "Padahal dia begitu tampan." ujar Kara sambil memegang kedua pipinya membuat Feli menggelengkan kepala melihat temannya. Feli memutar bola mata. "Kamu memang tak