"Ayolah, kita semua menyukai Cinderella. aku, kamu atau dia. Hei ... kamu masih tidak mengakui menyukai cindrella! Aku akan berbisik di telingamu, kita bukan memimpikan pangeran berkuda, tapi seorang pria tampan dengan kuasa dan kekayaan seperti pangeran."
Kara memoles lipstik sebelum membuka pintu mobil. Menapak kaki jenjangnya di parkiran basement Paraduta Group, dia akan melamar pekerjaan. Cinderella menjemput pangeran di istana, Kara harus menjemput rejeki di sini.
Tap.. Tap...
Suara sepatu Kara menggema di tempat parkir yang luas dan sepi. Melewati deretan mobil mewah yang berjajar rapi. Sebuah simbol 'kemakmuran' penghuni di sini. Jemari lentik Kara menyentuh setiap mobil, mengetuk pelan. Dia menganggap dirinya seorang putri, dan mengumpamakan barisan mobil sebagai punggawa.
Seiring langkah kaki jenjang Kara. Pikiran demi pikiran melintas dalam ingatan, terangkai menjadi jalinan kisah yang menjadi alasan dirinya berada di perusahaan terbesar di negara ini. Berapa bulan lalu, ketika senja menyapa teras rumah bu Mira. Dia mengenggam tangan Kara dengan pandangan menerawang.
"Kara, Ibu tidak bisa selalu bersamamu. Jika suatu saat ibu tiada maka carilah pekerjaan lain. Ada seorang kenalan ibu yang bisa membantumu. Dia bernama bapak Agus Satya Yuda, Ibu akan menghubunginya untuk meminta beliau memberimu pekerjaan. Simpanlah nomor ini dan pergilah ke tempatnya ketika ibu tiada nanti. Cobalah peruntungan mu di sana."
Wanita tua yang sudah kehilangan semangat hidup itu, memberikan nomor telpon yang tertera di atas sobekan kertas. Sama sekali tidak menandakan nomor milik orang penting. Kara mengenggamnya seperti memegang erat masa depan di tangan.
Tap.. Tap...
Kara memasuki gedung perkantoran setelah melewati pemeriksaan oleh satpam gedung, dia di arahkan menuju meja resepsionis. Resepsionis cantik itu memeriksa berkas lamaran Kara dan memberitahu tempat dilangsungkan interview di lantai 14.
Kara mengamat cermat resepsionis di depannya. Mempelajari gestur dan cara dia bersikap, Ini kali pertama Kara bekerja formal sebelumnya dia seorang pembantu. "Dia cantik sama seperti diriku," gumam Kara.
Berapa jam sebelum tiba di Paraduta Group, Kara menghabiskan waktu untuk berhias lebih lama. Melengkapi diri dengan setelan pakaian kantor yang sedang diskon 70 persen. Kara cantik, Dia tidak membutuhkan terlalu banyak polesan. Sedikit sentuhan sudah membuat si jelita ini tampil menawan.
Sebuah anugrah yang menyertai kehidupan seorang Kara, Anugrah kecantikan yang pernah menghilang ketika perjalanan hidup mempertemukan dirinya dengan seorang pria. Kara kembali teringat dengan kejadian berapa tahun lalu.
Praaangg...
"Kau bisa apa! Kara. Bahkan memasak pun sama sekali tak becus!" teriak Bastian seakan telinga Kara tuli, sehingga dia harus berteriak. Bastian melempar piring yang pecah berserakan seperti hati Kara.
Bastian memberi nafkah yang tak seberapa tapi berharap sajian di meja makan seperti restoran Michelin Star. Segala umpatan dan cacian akan keluar ketika dia membuka tudung saji dengan lauk ala kadar.
Di lain waktu, Bastian pulang tengah malam dengan tubuh beraroma alkohol. Memaki Kara karena terlambat membuka pintu. Dia suami tak tahu diri yang pernah dicintai Kara.
"Apa, kau tuli sekarang? mengapa lama membuka pintu?!" bentak Bastian sambil menunjuk wajah Kara.
Plak... Plakk
"Istri bodoh, menyesal aku menikahimu!" umpat Bastian setelah melayangkan dua tamparan di pipi Kara.
Kara mempercayai semua perkataan Bastian dan ibu mertuanya. Dia memang gadis bodoh, istri tidak becus, tidak memiliki keahlian apapun. Kara harus bersyukur karena Bastian sudi menikahinya. Ya, Kara mempercayai itu, kepercayaan yang mengikis rasa percaya diri. Membungkam semua pemikirannya, Dia tidak akan bisa hidup tanpa Bastian. Kara tak berharga dan berguna.
Suatu ketika Bastian menjual rumahnya karena tergiur dengan bisnis investasi yang menjanjikan keuntungan berlipat ganda. Bastian tertipu, Semua uang hasil penjualan rumah habis tak bersisa. Dia memaki sepanjang hari dan membutuhkan pelampiasan untuk itu. Tubuh Kara menjadi sasaran Bastian, memar dan lebam adalah 'riasan' sehari-hari Kara.
Mereka pindah ke rumah orangtua Bastian, penderitaan Kara yang kala itu berusia 20 tahun semakin bertambah. Semua pekerjaan di rumah itu adalah tugas Kara. Kara tak lebih seorang pembantu tanpa di gaji. Bastian berkata bisa makan enak dan tidur nyaman sudah merupakan rejeki bagi Kara.
Mereka berkata Kara harus bersyukur karena bisa menikah dengan pria yang memiliki keluarga lebih kaya darinya. Sekali lagi Kara percaya, kecantikan menghilang dari dirinya. Pipi kempot Kara menyisakan bentuk wajah yang lebih tua dari usianya. Tubuh tinggi Kara lebih menyerupai galah, lurus dan tipis hanya sedikit lemak tersisa.
"Kau beruntung bisa menikahi Bastian karena dia seorang pegawai perusahaan besar dari keluarga berada, sedangkan kau? bukan siapa-siapa dari keluarga miskin! bahkan saat ini cucu ku pun belum lahir, apakah kau mandul?" hinaan ibu mertua Kara yang tidak bisa dibalas oleh Kara.
Bagaimana dia bisa hamil, Bastian sering jijik melihat tubuh kurus kerempengnya. Jika dia menginginkan Kara maka Bastian akan memperlakukan dirinya dengan kasar. Bastian yang Kara kenal semakin menggila seiring usia pernikahan mereka bertambah.
Kara mengenal Bastian ketika baru menyelesaikan sekolah menengah atas. Dia diterima bekerja di minimarket dekat rumahnya. Usia Kara saat itu 18 tahun, Bapak Kara memiliki usaha kecil tambal ban. Ibu Kara bekerja di warung makan yang apabila beruntung, dia membawa sisa makanan yang tidak habis. Kara dan ketiga adik lelakinya bisa makan enak.
Keluarga Kara tidak mampu membiayai kuliahnya, Dia menyisihkan sedikit gajinya untuk biaya kuliah. Sampai suatu hari Kara bertemu Bastian di tempatnya bekerja. Bastian ditempatkan perusahaannya di kota B, tempat Kara berasal. Seringnya mereka bertemu membuat hubungan menjadi lebih dekat dari berteman lalu menjadi kekasih.
Setahun berpacaran dengan Bastian, Kara sudah mengetahui sifat posesif dan temperamental Bastian. Cinta Kara dan kebanggaan kedua orangtuanya terhadap Bastian. Membuat Kara bertahan. Apabila ada pria melirik Kara atau dia berbincang dengan teman prianya. Bastian akan memaki dan mengatakan bahwa dia wanita penggoda. Seorang murahan yang tidak bisa menjaga diri.
Di usia 19 tahun Bastian melamar Kara, teringat jelas ketika keluarga Bastian melamar. Saat itu keluarga paman Bastian ikut mendampingi Ibunya melamar karena bapak Bastian sudah lama tiada. Mereka hampir membatalkan lamaran ketika melihat kondisi keluarga Kara, tapi akhirnya pernikahan dilangsungkan secara sederhana.
Kara lalu mengikuti Bastian pindah ke kota G, kota asal suami Kara. Dia sudah memiliki rumah di kota G. Sifat posesif dan temperamental Bastian makin menjadi. Dari menyakiti psikis menjadi fisik.
Ibu mertua dan ipar Kara tidak lebih jelek perangainya dari Bastian. Kara bahkan pernah bertanya dalam hati. Apakah Bastian menikahinya hanya untuk menjadikan pelampiasan kemarahannya saja. Puncak semua itu ketika Kara melihat Bastian mencumbu wanita di kamar mereka, ketika itu Kara baru pulang dari pasar.
Kecemburuan membutakan hatinya. Kara menghampiri Bastian, untuk pertama kali Kara mengamuk dan menangis karena merasa dikhianati. Bastian menampar, memukul,menendang Kara.
Kara berlari keluar rumah seperti orang gila, ia berteriak meminta tolong, Menciptakan kerumunan dalam sekejap. Bastian murka, Dia menceraikan Kara pada tahun ketiga pernikahan mereka.
Dalam usia 22 tahun Kara telah menjadi janda tanpa pekerjaan dan penghasilan, bahkan ketika dia mengiba bersimpuh di lantai kepada Bastian dan mertuanya. Mereka sama sekali tidak perduli, Kara terusir.
Pemilik toko kelontong yang merupakan tetangga keluarga Bastian, menaruh rasa iba. Dia mengenal Kara dari gadis itu cantik, lalu menjadi kurus kering. Bahkan lebam samar sering terlihat dalam tubuh Kara. Dia menawarkan Kara bekerja sebagai pembantu di keluarga kenalannya.
Sebuah pekerjaan sederhana menjadi peruntungan dalam hidupnya. Mempertemukan dirinya dengan pasangan tua yang tidak memiliki anak. Kara bekerja dengan bapak Abi dan Ibu Mira, Mereka berusia 60an. Ibu Mira bukan wanita yang ramah tapi dialah yang mendorong Kara untuk kuliah.
Keluarga Kara hanya tahu dia sudah bercerai dengan Bastian ketika Kara meminta dikirimkan ijazah dan surat lainnya. Mereka mengira Kara memiliki pekerjaan yang baik. Bahkan Kara bisa mengirim gaji kepada kedua orangtuanya, Tinggal bersama pasangan tua ini. Kara tidak perlu membayar duit makan dan sewa kost-an. Gaji Kara utuh dan biaya kuliahnya dibayarkan oleh bapak Abi dan ibu Mira.
Kara membalas dengan bekerja tekun dan mematuhi perintah mereka. Melayani keduanya dengan sebaik mungkin, Kecerewatan bu Mira selalu ia balas dengan senyuman. Dia bisa menyelesaikan kuliah strata satu lebih cepat, Kara menjalani acara wisuda dengan didampingi bapak Abi dan bu Mira.
Sampai kehidupan merenggut bapak Abi. Menghilangkan semangat hidup bu Mira, Di suatu senja dia memberikan nomor telpon kepada Kara. Keesokan harinya bu Mira meninggal terjatuh dikamar mandi. Kesedihan menerpa Kara saat itu. Untuk pertama kali di kota G, Dia kehilangan dua orang yang menyayanginya.
Setelah pemakaman, Notaris keluarga mengurus pembagian warisan. Kara mendapatkan sedikit bagian yang bisa membuatnya bertahan hidup untuk berapa bulan kedepan, dan sebuah mobil mungil. Bagi Kara ini adalah keberuntungan. Dia lalu mencoba peruntungan kembali sesuai pesan bu Mira. Menelpon nomor bapak Agus Satya Yuda yang memberitahu untuk datang interview pada hari ini.
Tap... Tap
Sepatu Kara menapaki lift seiring bayangan masa lalu hadir dalam benaknya. Dia menyebutkan lantai 14 kepada petugas lift. Masa lalu adalah napas dalam kehidupan Kara. Mengiringi setiap langkah yang diambilnya.
Kara melihat pantulan dirinya di lift, sekarang dia menjelma menjadi wanita cantik, bertubuh tinggi dengan penampilan menarik. Tinggal selama empat tahun bersama pasangan baik budi tersebut membuat Kara kembali bersinar. Sebuah tarikan senyum terbit di wajah Kara, dia tahu hari ini dia harus menjemput peruntungan kembali.
Dengan rekomendasi dari bu Mira, Kara yakin posisi itu akan didapatnya. Senyuman Kara semakin melebar.
Kara keluar dari lift dengan langkah percaya diri. Dia menegakkan tubuhnya menghasilkan tulang punggung sempurna. Langkah sepatu Kara kali ini tidak menimbulkan suara dalam lantai 14, Teredam karpet keabuan gelap. Seperti gelap mata Kara yang berbanding terbalik dengan senyuman yang diberikan pada seorang pegawai. Dia sepertinya memang menunggu kedatangan Kara.Kara mengikuti langkah pegawai dengan name tag di dadanya 'Rani Lintar', menuju ke koridor dengan pintu hitam pekat berjajar rapi. Mereka berhenti pada sebuah pintu dengan keterangan 'Manager Human Resource Development (HRD). Dari jendela kecil di pintu, Kara bisa melihat seorang pria tampak serius dengan laptopnya."Bapak Daniel sudah menunggu anda, Silakan masuk!" Rani membukakan pintu untuk Kara yang dibalas dengan anggukan kecil sebagai ucapan terimakasih.Daniel, Manager HRD yang menerima map lamaran Kara menyungging senyum penuh arti. Dalam hitungan detik, Daniel menganalisa sosok di depannya.
Ting... Pintu lift baru terbuka ketika pengguna lift di belakang Kara menabrak tubuhnya, Membuat Kara terhuyung ke samping. "Aduh ...." Refleks sepasang netra Kara melotot ke arah penabrak. Pria itu sengaja melakukannya, dia membalas dengan sudut bibir mengarah ke atas. "Kau menghalangi jalanku!" katanya datar, Kara baru akan memaki ketika mendengar perkataan petugas lift. "Silakan, Bapak Garvin!" Bu Mira sudah menyampaikan ke saya berapa waktu lalu, Profil anda pun sudah dikirimkan oleh beliau. Saya juga sudah mempelajarinya. Anda beruntung saat ini posisi Customer Service di ruangan CEO sedang kosong. Anda akan menempatkan posisi sebagai Staf dari CEO, Prabu Garvin. Saya akan menghubungi Daniel untuk mengatur jadwal interview anda. Perkataan bapak Agus kembali tergiang di telinga Kara. "Apakah pria tadi adalah bapak Garvin, CEO perusahaan ini?" tanya Kara kepada petugas lift. "Benar sekali, Bu. Lift pribadi Pak Garvin
Jam dinding menunjukkan pukul 23:45 ketika Garvin tiba di rumah, dia melonggarkan dasi dan membuka kancing atas kemeja. Matanya menatap nanar ke foto pernikahan dia dan Amara yang terpasang di dinding. Foto yang enggan Garvin turunkan, seakan dia berharap keajaiban terjadi. Amara mengetuk pintu rumah dan mengatakan bahwa bukan dirinya yang mengalami kecelakaan. Garvin masih merasakan kehangatan pelukan dan tawa Amara sebelum dia pergi ke pernikahan sahabatnya. Dia masih melihat Amara memasuki mobil dan melambaikan tangan. Sulit baginya menerima kenyataan, ketika dua jam kemudian menerima kabar Amara tewas dalam kecelakaan. Amara Bunga Kayla, perempuan yang dikenalnya semasa kuliah. Amara merupakan sepupu Ben, sahabat Garvin dari bangku sekolah menengah pertama. Garvin yang menghabiskan pendidikan di universitas terbaik di Amerika Serikat. Kala itu pulang liburan ke Indonesia, dia mengunjungi Ben. Pertemuan pertama dengan Amara terjadi di rumah Ben, getaran pe
Kara melepaskan rol rambut, mengunci dengan hair spray. Merapikan menggunakan jemari lentiknya. Memberi efek rambut bergelombang seksi. Dia memoleskan lipstik nude, menyapukan blush on berwarna coral terakhir, dia menggunakan sikat khusus untuk menimbulkan efek serat pada alisnya. Aktivitas Kara belum berakhir, Dia menggantikan dress dengan kemeja boyfriend warna putih. Memadupadankan dengan jeans dan sepatu kets berwarna putih. Tas sling bag di sematkan pada bahunya. Santai membuat penampilan diri tampak lebih muda dari usianya, Paling penting menyembunyikan fakta dia seorang janda dengah kisah rumah tangga suram. "Sempurna," decaknya kagum pada diri sendiri. 13:15 Wib Lebih cepat dari waktu yang dijanjikan ketika Kara tiba di mall. Dia mengisi waktunya dengan memanjakan mata melihat barang mewah di etalase. Entah kapan Kara bisa memasuki tempat itu. Harga satu barang saja bisa menghabiskan berapa bulan gaji Kara. Jika dia mengin
Leonard mengejar Garvin, wajah tampan yang menampilkan ekspresi tidak bersahabat. Rahang Garvin tampak mengeras. Ada kemarahan tak tersalurkan, Leonard memilih diam. Bukan saat tepat untuk mengeluarkan pendapat. Leonard mengakui kemiripan yang tak terelakkan dari raut gadis di restoran tadi, tapi untuk mengatakan itu orang yang sama. Jelas mustahil, Amara meninggal lima tahun lalu saat berusia 27 tahun. Sekarang jika dia masih ada maka usia Amara adalah 32 tahun. Gadis itu tampak jauh lebih muda. "Pak, Apakah anda jadi menemui manager mall?" tanya Leonard ketika mereka berada di lift. Mall 'ParaDita' termasuk dalam Paraduta Group. Rencananya hari ini Garvin akan berkunjung, Ada yang ingin di sampaikan terkait kepulangan dari eropa. "Batalkan!" perintah Garvin. "Baik, Pak. Apakah perlu di jadwalkan kembali ke tempat kita?" "Iya, Sampaikan pada Laura untuk mengirim surel!" Leonard segera melakukan perintah Garvin, Dia tidak suka seseoran
Laura menunjukkan meja kerja Kara. "Di sini tempatnya, Siapa namamu?" "Dia bertanya dengan nada merendahkan, Garvin sudah menyebutkan nama ku tapi sikapnya seakan itu bukan hal penting untuk di ingat", pikir Kara di saat bersamaan otaknya merespon menandai wanita molek di hadapannya. "Nama saya ... Kara Garvita, Bu," jawab Kara dengan nada santun sedikit menundukkan kepala. Bersikap lemah akan mengurangi kewaspadaan belut listrik seperti ini untuk memangsanya. "Kamu sudah tahu bukan pekerjaanmu? menyambut tamu," senyuman tertahan tersungging di wajah mulus tanpa noda milik Laura. "Terserah apa istilah kamu untuk menyebutnya. Aku mendapatkan bayaran untuk ini", batin Kara sambil menyunggingkan senyuman manis sebelum menjawab, "Tapi bukan itu yang kami pelajari pada saat training, Ada...." "Kamu tahu? Customer service di sini bertahan paling lama tiga bulan. Aku ingin melihat mu berapa lama bertahan...." potong Laura sambil berlalu dari hadapan
Kara melirik arloji, Akhirnya yang di tunggu tiba. Jam istirahat, gadis itu segera menuju kafetaria. Kali ini dia mempelajari denah kantor tanpa perlu bertanya pada Laura. Kaki jenjangnya berayun Lincah. Kara telah memperhitungkan dengan cermat, uang warisan dari bu Mila cukup bertahan sampai gaji bulan depan. Leher jenjang Kara menjulur mencari keberadaan Feli. Dia telah berjanji dengan Feli untuk bertemu di kafetaria. Sebagai karyawan baru, mereka belum memiliki teman. Apalagi Kara, tidak mungkin berteman dengan Laura, berat. "Hei ... lehermu menyaingi jerapah," sapa Feli yang telah berdiri di samping Kara. "Aku bahkan tidak mendengar kedatanganmu," cibir Kara pura-pura merajuk yang di sambut tawa Feli. "Kita mengantri di sana, yuk," tanpa menunggu jawaban Kara. Feli menarik tangan Kara, beberapa karyawan pria melirik ke arah mereka berdua dengan minat. Dua karyawan baru yang menawan. Keduanya telah tiba di meja dengan makan siang yang
"Mengapa aku harus kehilangan sesuatu, saat aku berpikir sudah berada di genggaman," dengus Kara kesal. "Kehilangan? suatu hal yang harus mengajarkan arti menghargai," sahut Feli dengan bijak seakan menceramahi remaja yang baru putus cinta. "Huh... aku kesal sekali," sungut Kara, dia mengaduk-ngaduk spagheti tanpa minat. "Aku berani taruhan, kamu pasti segera mendapat ganti dengan mudah," "Hmmm..." Sejak pertemuan terakhir di kafe sore hari, Elang tidak pernah menghubungi Kara. Berapa kali Kara menghubungi Elang tapi tidak mendapatkan respon. Dia dan Feli juga mendatangi coffe shop Elang di mall 'Paradita' tetapi sudah tutup. Kara mendengus, Dia kehilangan kesenangan. Elang tampan, muda dan aromanya wangi. Jauh sekali dengan aroma Bastian. Seringkali bau keringat dan alkohol, Menyebalkan. "Mengapa. dia tidak pernah menghubungi ku lagi?" tanya Kara kembali. Feli memandang sesaat temannya lalu mengaduk teh di depannya.