Kediaman Garvin dipenuhi cahaya dari berbagai jenis dan model penerangan. Memamerkan keindahan arsitektur bangunan dalam kegelapan malam. Keindahan yang tak pernah menyatu pada diri Kara, dia merasa tak pernah berada pada tempat tinggal yang semestinya. Hati Kara terasa hampa ketika melangkah dalam lantai marmer bewarna gelap. Undakan tangga melingkar di lapisi karpet menyambut kehadirannya, di sanalah Kara melangkah menuju kamar. Tempat dia menjadi istri pemilik rumah.
Setiap kakinya melangkah menelusuri koridor menuju kamar. Semakin tak terlihat penerimaan Kara sebagai nyonya rumah. Foto pernikahan Garvin dan Amara, bahkan masih terpajang di tengah kediaman. Seakan menunjukkan posisi Kara hanya sebagai bayangan Amara. Penggembira bagi Garvin.
Kara baru membuka pintu kamar, ketika tarikan pada rambut membuat dia menjerit. Belum sempat berpikir Kara merasa tubuh melayang membentur pinggiran ranjang. Dia memekik kesakitan, matanya menatap marah pada sosok menjulan
Adam melihat keluar jendela. Memandang rumpun padi yang mulai menguning, sambil menyeruput kopi menikmati udara pagi di desa. Aset yang berhasil ia selamatkan dari Garvin. Setelah lelaki itu mengambil minimarket dan rumah yang ditempati keluarganya. Berkali-kali ayah dan ibu mengomel kesal, mengapa tak dari dulu tinggal di sini saja. Hidup tenang, damai. Sawah mereka digarap penduduk desa dengan sistem bagi hasil. Tak mewah, tapi cukup untuk membiayai kehidupan keluarga sederhana mereka.Seharusnya bersyukur atas apa yang kita punya, Kak. Daripada mengejar kekayaan dengan jalan pintas. Tak ada yang mudah di dunia, apalagi untuk orang-orang yang mengejar dari minus seperti kehidupan yang keluarga jalankan. Adam berkata dalam hati."Nanti sekolah kami pindah ke sini, kak?" tanya Arya, adik nomor tiga yang masih duduk di bangku SMA. Mengalihkan atensi Adam dari Kara."Aku tak mau," sahut cepat Alex. Dia sudah di kelas tiga SMP."Anggap saja sedang liburan se
Reinhard menutup telpon, dia meremas benda tipis dalam genggamannya, sampai buku jarinya memerah. Kara berada dalam kediaman Garvin. Terpenjara dalam kemewahan, lelaki itu mengurung istrinya sebagai hukuman. Elisabeth bukan pelayan yang menjaga Kara, tapi Tina si pelayan peliharaan Garvin. Sedikit menyulitkan baginya mengambil tindakan untuk membantu Kara kabur.Kara tak diperbolehkan kemana saja. Berada dalam ruangan tertutup tanpa fasilitas apapun. Suatu perjuangan mempertahankan kewarasan. Setiap kalimat dari Elisabeth ia cerna dengan baik. Ada yang harus ia lakukan untuk mengeluarkan Kara saat ini.Seorang pria dengan kemeja hitam pekat dengan bawahan berwarna sama memasuki ruangan. Albert, kepercayaan Reinhard. Dia tak pernah mempercayai orang lain, kecuali orang itu adalah Albert."Aku tak melihat Garvin di kediaman Laura," kata Albert tanpa ekspresi.""Bagaimana dengan apartemen Monita?""Sama, dia tidak mendatangi tempat tinggalnya."
Kelemahan wanita ada di telinga, kekuatannya terletak pada lidah. Pujian dan rayuan terkadang melenakan, karena kata-kata yang terbentuk oleh kelihaian lidah. Elisabeth menarik napas dalam, memulihkan kekuatan untuk meyakinkan Tina."Aku melihatmu bersama tuan Garvin," bisiknya perlahan, "dia tampak sekali terobsesi dengan dirimu, Tina.""Kamu tahu akibatnya jika tuan tahu mengenai ini." Tina mengarahkan telunjuk lurus pada pertengahan leher, sambil memberi gerakan memotong."Tuan sekarang kemana?""Dia sudah pergi, aku akan memberitahu apa yang kamu lihat," ancam Tina dengan nada sombong yang sukar ia sembunyikan."Aku tak sengaja melihat kalian. Sungguh diluar dugaan, ketika dia menerkam tak sabar pada dirimu. Kamu memang istimewa," puji Elisabeth secara berlebihan. Padahal semua sudah tahu kelakuan Tina."Tentu saja. Sudah seharusnya kamu patuh padaku. Robert bahkan tak bisa menentukan nasib kalian.""Kamu benar."Elis
Elisabeth sedang membersihkan teras belakang, ketika seorang petugas pengamanan kediaman Garvin menghampirinya. Pria itu menatap kedua bola mata Elisabeth penuh selidik."Tadi malam kamu kemana?""Aku, tidak kemana-kemana. Tidur di kamar, ada apa?""Rekaman cctv memperlihatkan lain, Eli."Seketika tubuh Elisabeth menegang. Dia berusaha bersikap normal, tapi suaranya mengkhianati diri. Nada gemetar keluar dari kedua bibir, menandakan ketakutan yang dirasakan."Kamu melihat nyonya Ra di ruangannya.""Tidak, aku tak mungkin ke sana.""Tuan sempat menghubungiku sebelum menyuruh mematikan kamera teras belakang, dan aku melihat kamu menyelinap masuk ke dalam ruangan nyonya""A-ku," Elisabeth merasa nyawa tinggal di ujung tanduk. Kedua bibir bergetar seakan udara dingin menyergap dari belakang."Kamu bisa membayarku sebesar." Pria itu membisikkan nominal angka yang membuat mata Elisabeth membesar. "Rahasiamu akan aman."
Aku pernah berada pada ketakutan, kehilangan kepercayaan pada diri sendiri. Menjalani hidup karena memang terlahirkan ke dunia ini. Tak tahu apa makna kehidupan, kala itu usiaku masih belia ketika menjalani pernikahan pertama. Mempercayakan semua pada seorang pria yang kusebut suami, tapi tak sudi memperlakukan sebagaimana seorang pasangan kepada istrinya. Aku berhasil keluar pada penikahan pertama yang menyiksa. Sayangnya Kedua kali aku terjebak pada kenyataan yang sama. Kebodohan dua kali, namun saat ini jauh berbeda dengan pertama. Aku lebih kuat untuk bertahan, dan menyelamatkan diri. Kalimat itu melintas dalam benak Kara. Dia berusaha memanipulasi diri pada ketakutan yang menyerang, ketika langkah kaki Garvin menghampirinya di ranjang. Jantung Kara berdebar kencang, membuat jemari tangannya mencengkram erat selimut. Suara gesekan sprei dengan tubuh Garvin semakin membuat Kara terserang panik. Dia menghela napas dalam, menghembuskan perlahan. Tidak, aku har
"President Room Prabu Paradise Hotel. Transaksi akan dilaksanakan di sana.""Benar. Pada tiga hari sebelum akhir bulan, pukul sebelas malam.""Informasi sudah akurat?""Nyawaku taruhannya, tuan."Albert membungkuk pada Reinhard. Memastikan informasi yang ia berikan akurat. Informannya sudah memastikan dengan benar, Garvin tak pernah mendatangi Jenni. Sekarang Reinhard mempercayakan kepada Alberth dan informan yang dia gunakan."Pastikan agar tidak ada perubahan.""Siap, tuan."Orang kepercayaan Reinhard memutar tubuhnya keluar dari ruang kerja Reinahrd di Diamond Mall. Pagi memasuki bulan baru, setelah bersusah payah memikirkan jalan membalas Sophia serta menyingkirkan Garvin dari persaingan bisnis. Ternyata sebuah celah terbuka untuk mendorong Garvin jatuh ke dalam.Reinhard mendengus kesal, andai Garvin mendengar saran untuk mengunjungi psikiater bertahun lalu. Kemungkinan besar penyakit menyimpangnya bisa disembu
Tak ada yang menyiksa selain menunggu. Terlebih apa yang dinantikan itu akan membelokkan kehidupan. Merubah garis yang harus dilalui seseorang. Perasaan yang membuat Reinhard menjadi gusar, tinggal menunggu dua minggu lagi. Ditambah dia tak bisa memusatkan konsentrasi penuh pada rencana yang dilakukan. Pengembangan Diamond Apartemen, yang berada dalam satu lokasi dengan Diamond Mall menyita perhatian lebih. Dia harus mempercayai pada Alberth mengurusi semuanya urusan yang menyangkut Garvin. Hari-hari Reinhard disibukkan dengan meeting, dan peninjauan lokasi. Mengamati perkembangan permintaan pasar pada hunian yang di klaim termewah saat ini. Keberlangsungan perusahaan prioritas penting dalam kehidupan profesional dirinya. Di sisi lain kehidupan pribadi juga hal yang harus ia perhatikan. Keduanya terkait menjadi satu dalam kehidupan sekarang. Konsentrasi Reinhard terpecah menjadi dua. Mengembangkan perusahaan, dan menyeret Garvin ke penjara. Dia akan memukul tel
Reinhard pulang lebih awal dari acara makan malam, yang berlanjut dengan percakapan tentang peraturan tax terbaru. Mengabaikan pandangan dan keberatan teman-temannya. Dia butuh tempat untuk menghubungi Albert secara leluasa. Perasaan lelaki tampan itu sedang kacau, karena Kedatangan Garvin di Manifest Cafe. Melesat dari perkiraan tentang operasi transaksi ilegal yang akan terjadi malam ini. Jelas sekali ada kekacauan dalam operasi penangkapan Garvin. Kesalahan informasi, atau ada hal lain lagi yang membuat keluar dari rencana. Reinhard menepuk stir kemudi, kekesalan melanda menghilangkan ketenangan sesaat dari dirinya. Alberth tidak menjawab panggilan telpon, membuat kegusaran membengkak dari semula. Rasa penasaran mendorong Reinhard menuju Prabu Paradise Hotel, tapi ketika mencapai jalan menuju hotel keluarga Garvin. Dia membatalkan rencana, dan berbelok ke arah lain. Reinhard tidak boleh gegabah dan tentu saja tidak ingin nanti terkait, jika terjadi insiden d