Padahal aku sudah menggunakan jurus pura-pura hamil seperti di drama Korea, tapi Nyonya Rosa masih tetap tidak merestui pernikahan kami. Dia menemuiku seminggu kemudian. Mengulurkan uang segepok.
"Lahirkan bayi itu lalu tinggalkan putraku," katanya.Wajahnya tampak galak seperti nyonya konglomerat kebanyakan, bibirnya tebal berwarna merah. Tubuhnya langsing karena sedot lemak, rambutnya disanggul. Perhiasan dari atas sampai bawah bernilai milyaran.Anting yang dikenakan saja berharga 2,4 milyar. Beliau membelinya di Paris bulan lalu. Pak Roan yang memintaku mengurus keberangkatannya hingga mengurus bea cukai anting itu.Kalungnya adalah hadiah dari Nyonya Sharmila, beliau meminta rekomendasi dariku. Aku menyarankan kalung dari brand perhiasan Van Cleef & Arpels seharga 1 Milyar 197 juta. Kalung yang juga dipakai Syahrini. Nyonya Rosa sering meniru fashion Syahrini."Maaf Nyonya, saya nggak bisa. Kami sudah berjanji akan menikah," jawabku.Ada segelas air di depannya, pasti untuk menyiramku lagi. Ini adalah cafe di depan kantor, semua orang mengamati kami. Kalau sampai aku disiram air lagi pasti gosipnya akan langsung menyebar.Jika trending maka akan sulit diatasi. Terakhir kali Nyonya Rosa membuat masalah, aku yang repot menyogok para wartawan untuk menghapus berita."Berani-beraninya orang miskin seperti kamu ingin menikahinya putraku!""Maaf, Nyonya. Saya sungguh mencintai Pak Roan, kami nggak bisa dipisahin."Sebenarnya apa yang aku lakukan? Cinta? Benar, aku mencintai uang. Dengan bayaran 500 juta ditambah uang mahar, aku bisa jadi kaya. Oh, ngomong-ngomong maharnya belum dibahas. Aku harus meminta supaya mahar yang mahal. Mungkin emas batangan atau aset.Nyonya Rosa mengangkat gelas, aku segera mengambilnya. Menegak langsung tanpa sisa setetes pun hingga membuatnya terkejut."Heh.""Maaf Nyonya, saya haus, hehe."Aku mengelap bibir. Nyonya Rosa begitu kesal hingga mengibaskan tangannya ke udara."Akan kuberikan uang satu milyar, tinggalkan putraku. Tapi berikan bayi itu."Uang satu milyar sangat banyak, dua kali lipat dari bayaran nikah kontrak, tapi sayangnya tidak ada bayi yang bisa diserahkan. Perutku isinya hanya cacing kelaparan."Maaf Nyonya, sekali lagi saya nggak bisa."Karena tidak ada bayi. Di dalam perutku tidak ada cucumu."Kalau kamu terus keras kepala, aku akan mengirim orang tuamu keluar negeri!"Aku bukan anak yatim-piatu, tapi orang tuaku tidak jelas. Mereka tidak bertanggungjawab mengurusku tapi minta aku berbakti.Bisa dibilang orang tuaku menyusahkan, terutama bapak. Dia meninggalkan hutang 200 juta. Aku membayar nyicil dan sisa 80 juta lagi. Sementara ibuku hidup miskin bersama keluarga barunya setelah menelantarkanku.Pernah ibuku memintaku membayar hutang-hutangnya. Katanya aku saja mau membayar hutang bapak, jadi sekalian hutang ibu juga.Lah, kok enak banget. Mending kalau pas kecil mengurusku, ibu malah mengabaikanku waktu SMA aku datang ke rumahnya. Padahal hanya silaturahmi lebaran.Aku membayar hutang bapak karena sertifikat rumah nenek, bapak gadaikan ke bank. Uangnya dibawa kabur. Kalau tidak mau nenek dan kakekku tidak menjadi gelandangan. Maka aku harus membayar hutang bapak di bank."Silakan, Nyonya. Saya nggak keberatan."Buang saja orang tuaku ke luar negeri, aku tidak peduli. Saat kecil mereka tidak peduli padaku, kenapa saat besar aku harus peduli pada meraka?Tidak ada di ingatanku mereka pernah menyayangiku, kerjaan mereka hanya berantem dan memukuliku. Setelah bercerai, mereka meninggalkanku di kontrakan sendirian hingga nenek dan kakek datang. Umur 5 tahun yang menyakitkan."Kau pasti sudah gila!" Teriak Nyonya Rosa.Orang kaya yang memiliki keluarga harmonis tidak akan tahu perasaanku, hidup di tengah keluarga kacau. Aku bahkan tidak memiliki kasih sayang sedikit pun untuk kedua orangtuaku.Dulu saat awal-awal kerja di rumah Yua, menjadi pembantu dan mengerjakan tugas Yua. Aku selalu iri dan menyalahkan orang tuaku. Mereka tidak hanya menelantarkanku, tapi juga tidak memberikan kasih sayang sedikit pun.Sementara Yua, hidupnya begitu bahagia dengan keluarga kaya raya dan harmonis. Dia sangat dimanja hingga aku berpikir dunia berputar hanya untuknya."Kau membuang orang tuamu hanya untuk pria? Kau sungguh gadis yang sangat buruk. Orang sepertimu tidak pantas bersanding dengan Roan!"Aku tahu, Roan begitu sempurna. Berasal dari keluarga konglomerat. Seumur hidupnya tidak pernah merasakan kelaparan akhir bulan yang menyakitkan.Dia yang selalu dikelilingi orang-orang yang menyayangi dan menghormatinya, tidak bisa aku gapai. Aku tahu diri."Kalau Nyonya bersikeras menolak pernikahan kami, maka tidak ada yang bisa saya lakukan. Tapi, saya hanya akan menuruti orang yang saya cintai. Semua keputusan ada di tangan putra anda. Maaf, saya harus kembali kantor." Aku meraih tas dan menunduk hormat sebelum pergi."Berhenti kamu! Berani-beraninya kamu--"Aku tidak mendengarkan ocehannya lagi, orang seperti Nyonya Rosa tidak mengerti penderitaanku tapi seenggaknya menghakimi.Sejak saat itu aku tidak bertemu lagi dengan Nyonya Rosa hingga hari pernikahan. Sebenarnya pernikahan ini untuk Nyonya Rosa sendiri. Beliau selalu menjodohkan Roan hingga membuat pria berusia 29 tahun itu kesal.Desakan orang sekitar membuatnya pusing, kakak tirinya, Jexeon sudah menikah dan memiliki anak laki-laki. Para kerabatnya takut Nathanael Grup akan jatuh ke tahan Jexeon.Padahal jelas-jelas Jexeon tidak tertarik dengan perusahaan, dia bahkan menolak warisan dan uang yang diberikan ayah mereka.Roan menawariku menikahi kontrak supaya meredam kegelisahan para kerabat, kami akan bercerai 6 bulan kemudian tergantung situasi dan kondisi.Kembali lagi ke sekarang, para kerabat yang kemarin menghadiri pernikahan kami sudah pulang. Roan meminta tinggal bersama di rumah keluarga Nathanael sebelum penthouse jadi."Maaf, Pak. Apa nggak ada pilihan lain selain tinggal di sana?" tanyaku.Aku tidak bisa tinggal satu atap dengan Nyonya Rosa meskipun hanya dua hari. Beberapa jam saja juga tidak bisa. Aku takut diracun."Kenapa?""Nyonya Rosa tidak menyukaiku, gimana kalau beliau mencari kelemahanku dan menemukan fakta kalau kita hanya nikah kontrak?"Roan mengetuk jarinya di meja, terlihat sedang berpikir. Memang aneh kalau kita yang baru menikah tinggal terpisah."Kemarin kau bilang baru beli apartemen?""Benar, Pak.""Kalau begitu kita tinggal di sana.""Ehhh... apartemenku cuma ada satu kamar, Pak.""Memangnya kenapa? Toh, kita udah pernah tidur seranjang."Dia sudah gila.Katanya anak kedua sering terabaikan, aku pikir itu mitos tik tok. Rupanya benar. Aku dan Roan sampai shock seperti tidak percaya perkataan dokter yang mengatakan bahwa aku sudah hamil lima bulan. Tiba-tiba ada bayi yang bergerak di perutku!Sampai kandungan hampir memasuki usia ke enam bulan tidak terasa sama sekali. Padahal aku pernah hamil tapi tidak tahu. "Kok kamu bisa nggak sadar sih?" Protes Roan. Kami saling berpandangan. Masih di depan dokter kandungan. "Aku beneran nggak sadar, soalnya bulan kemarin aku datang bulan walaupun cuma flek." Dokter menyela, "memang hal seperti ini bisa terjadi, tidak masalah. Sekarang Bu Rina harus menjaga kesehatan lebih ekstra." "Bayinya normal 'kan Dok? Soalnya aku nggak jaga kandungan dan serabutan." Aku bertanya karena khawatir. "Alhamdulillah bayinya sehat."Roan tiba-tiba memelukku. "Selamat, akhirnya kita dianugerahi anak lagi." Aku membalasnya. "Selamat juga, akhirnya kita bisa menjadi orang tua." Rasanya terbaru, setelah penantia
Selesai acara itu, sikap orang-orang padaku berubah. Di kantor, mereka selalu menawariku makan, bersikap sok akrab dan membuatku tidak nyaman. Mereka penjilat.Aku memutuskan keluar dari sana lebih awal, sikap mereka kadang kurang ajar cari perhatian pada suamiku yang datang menjemput. Aku risih dan tidak suka. "Kalau ada yang natap tuh kamu harus nunduk," kataku pada Roan setelah melihat Roan bertatapan dengan gadis-gadis di kantor tadi."Nggak bisa lah, nanti aku dikira salting.""Kalau gitu abaikan mereka, aku nggak mau ke kantor itu lagi. Mereka semua genit sama kamu!" "Kamu cemburu?" Aku diam, malu mengakui dan malah memalingkan wajah. Rasa mual tiba-tiba menyerang. Aku menutup mulutku sendiri dan keluar dari mobil. Kembali ke gedung kantor dan mencari toilet. Roan mengejarku sampai di depan pintu toilet, aku tidak mempedulikannya dan muntah. Orang-orang melihatku dengan heran. "Apa aku hamil ya?" tanyaku setelah membersihkan mulut di wastafel. Menatap wajah di cermin. Sete
Ternyata, tidak ditantang Andy membawa suami ke anniversary perusahaan pun aku tetap harus mendampingi Roan. Cepat atau lambat memang harus bersiap membongkar identitas. Aku mengembuskan napas berat. Sekarang kami dalam perjalanan, jauh-jauh hari Mama menyiapkan gaun yang serasi dengan Roan. Ayah dan bundaku juga diundang. Aku sudah bisa marah pada ayah, tanpa disangka itu membuatnya senang sekaligus sedih. Aku mengungkapkan perasaanku selama ini. Rasa sakit yang aku derita selama puluhan tahun. Rasa iri pada orang lain yang dijaga ayahnya dan perasaan rindu.Semua itu berawal dari tali sepatuku yang lepas. Ayah memasangkannya sambil jongkok, membuatku merasa seperti seorang putri yang dicintai. "Kenapa baru sekarang?" tanyaku.Ayah mendongak, melihatku yang menunduk. "Ayah baru lihat tali sepatumu lepas." Selesai memasangkan ayah berdiri. "Kenapa Ayah nggak peka dari awal?" Mendengar pertanyaanku membuat ayah bingung. "Maaf Ayah nggak tahu." "Andai Ayah lebih peka, aku nggak a
Dokter hanya menanyai beberapa hal di pertemuan pertama kami. Dia mengajakku mengobrol santai dan dalam waktu singkat menjadi akrab. Dokter wanita yang cerdas dan ramah, auranya dewasa nan elegan. Ia mendengar ceritaku tentang kehidupan sehari-hari.Ia menanggapi sebagai pendengar yang baik, membuatku sangat nyaman karena tidak ada yang menghakimi. Hal yang aku takutkan selama ini adalah dipandang rendah. Tapi Dokter Valerie antusias mendengar dan menanggapi secara rasional, menunjukkan profesionalitas kerja. Ia mencatat percakapan kami sesekali. Wajah cantiknya selalu tersenyum hangat. "Pertemuan selanjutnya tiga hari lagi, saya akan membuatkan resep." Dokter Valerie menulis di kertas resep. Membuatku memiringkan kepala karena heran. "Obat untuk apa? Kita kan cuma ngobrol, Dok?"Dokter Valerie tersenyum. "Supaya saya dapat bayaran, saya kan jual obat." Aku mengerutkan kening, candaannya garing. "Aku serius, Dok." Dokter Valerie membenarkan kacamatanya, ia menutup buku catatan p
Dari mana dia tahu bahwa aku memiliki hotel, aku menelan ludah. Tekanan dari orang ini berbeda. Dia terlihat santai tapi berbahaya. "Aku akan menghadiahkan sprei, cangkir Papa Mama dan baju tidur. Itu kan kado pernikahan yang umum." Benar, umum di kalangan rakyat biasa tapi tidak untuk kalangan atas. Malah kado seperti itu seperti penghinaan. Aku mencoba memancing Lazio, melihat seberapa batasannya. Lazio menelengkan kepalanya, menatapku dengan tekanan mencekam. Aku meletakkan sendok. Berusaha tidak terlihat takut. Hanya saja diamnya Lazio terlihat mengerikan apalagi senyum simpul di sudut bibirnya. Dia seperti psikopat."Kami akan menghadiahkan mobil," ucap Roan. Mencairkan suasana. "Hahahahaha," tawa Lazio pecah hingga semua orang melihat ke arah kami. Ia kembali mengambil buah stroberi. "Sprei dan cangkir couple juga bagus." Aku bernapas lega, ikut tersenyum dengan canggung. Wanita yang bisa menikah Lazio tentulah orang yang kuat. Aku yang baru dua kali bertemu saja merasakan
Kata Roan statusku sebagai istrinya di Rose Green grup tidak diketahui oleh siapapun. Tapi sepertinya Roan lupa bahwa dulu Pak Salam datang ke pernikahan kami. Dia mengenaliku dan terkejut. "Anda adalah menantu Presdir?" tanyanya saat aku mengharap pagi ini. "Benar, Pak. Saya mohon bantuan untuk kedepannya." Aku menunduk hormat. Pak Salam langsung berdiri, ia gugup dan bingung memperlakukanku yang merupakan menantu atasannya. "Pak Rasyid nggak bilang kalau sekretaris baru saya itu menantunya sendiri." "Papa ingin saya bekerja normal tanpa ada yang memandang status. Mohon perlakukan saya seperti yang lain." "Mana bisa seperti itu, anda adalah nyonya muda. Kalau saya salah sedikit, saya yang akan dipecat. Silakan duduk dulu." Setelah aku duduk, Pak Salam keluar dan berteriak menyuruh mengambilkan air serta cemilan, ia panik seperti kedatangan tamu penting.Ini sulit, kurasa pekerjaanku tidak akan berjalan baik. Hari pertama, aku hanya diajak berkeliling kantor oleh direktur, memb