Bagaimana dengan apartemenku? Aku melakukan pernikahan kontrak ini demi mendapatkan apartemen itu. Bagaimana bisa tidak aku ditempati? Apalagi sekarang aku masih sayang-sayangnya.
"Kita kan bisa tinggal terpisah, Pak. Yang paling penting tidak ketahuan, iya 'kan?" "Apa kamu bisa menjamin tidak ketahuan? Apa kamu ingat kalau ketahuan berarti kamu harus mengembalikan uang yang sudah diterima?" Tidak mau! Uang itu sudah menjadi apartemen, tidak mungkin aku menjual apartemenku kembali. Setiap hari aku memimpikan memiliki apartemen itu. Saat pertemuan pertama dengan apartemen, jantungku berdebar kencang seperti jatuh cinta. Aku tidak rela berpisah dengannya."Baiklah, Pak." Aku ingin menangis, meninggalkan apartemen hampir seperti meninggalkan belahan jiwa. Sabarlah apartemenku sayang, hanya 6 bulan. Setelah itu aku akan pulang dan bersamamu selamanya. Hiks. "Apa kita akan tinggal di rumah keluarga Nathanael?" "Tidak, kita akan tinggal di penthouse." "Penthouse yang belum lama anda beli dari kakak anda?" "Iya," jawabnya. Beberapa waktu lalu Jexeon menjual penthouse, hunian mewah yang berada paling atas sebuah gedung apartemen. Kemarin aku yang mengurus proses pembeliannya. Sebenarnya Jexeon tidak mau dibayar, katanya kalau Roan suka Penthouse itu maka untuk hadiah pernikahan Roan saja. Tapi Roan menolak, dia membeli itu karena Jexeon ada masalah keuangan.Katanya Jexeon menolak warisan dari ayah mereka dan hidup sederhana, tapi istrinya, Yua adalah putri konglomerat. Mungkin ada kesenjangan di antara mereka, aku tidak paham urusan orang kaya. "Saya akan melihat lokasi dan mempersiapkan perabotannya terlebih dulu," kataku. "Pilih kualitas terbaik, buang saja perabot lama di penthouse itu." "Baik, Pak. Dalam waktu tiga hari semua akan siap." "Sehari harus jadi." "Eh, sulit untuk mendapatkan semua perabot dan memasangnya hanya dalam waktu sehari, saya juga harus melihat lokasi untuk memesan ukuran perabot." Padahal untuk apartemenku sendiri saja belum diapa-apakan, sekarang aku harus sibuk mengurus apartemen orang. "Terus, selama kamu mempersiapkan penthouse. Kita tinggal di mana?" tanya Roan. Meninggikan alis. Kenapa dia menanyakan hal yang sudah pasti? Tentu saja di rumah masing-masing. "Saya tinggal di apartemen saya, lalu anda tinggal di rumah anda dengan nyaman. Setelah semua siap, kita bisa pindah.""Kau sudah tidak waras! Pengantin baru tinggal terpisah bisa membuat orang curiga." "Kalau tetap di hotel saja gimana?" "Lebih baik kita tinggal sementara di rumah keluarga Nathanael," katanya. Sepertinya dia yang sudah gila, aku tidak bisa tinggal di rumahnya. Apa dia lupa hari ketika kami meminta restu ke Mamanya? Aku disiram segelas air sembari diumpat dengan kalimat kasar. Bahkan teriakan Nyonya Rosa masih terngiang sampai sekarang."Berani-beraninya kamu menggoda anak saya!" Teriak Nyonya Rosa kala itu. "Ma! Rin nggak pernah menggodaku!" Aku mengelap wajahku yang basah dengan tangan, sudah pasti eyeliner dan make up murahku luntur. "Pasti kamu diguna-guna wanita miskin ini, 'kan? Sadar Roan! Dia cuma ngincer uang kamu." Benar, aku hanya mengincar uang Roan supaya bisa membeli apartemen impian. Aku mau menikah karena uang. Nyonya Rosa seperti peramal. "Rin mencintaiku dengan tulus, kami saling mencintai. Kalau Mama nggak mau merestui pernikahan kami, lebih baik aku melajang seumur hidup!" Drama konglomerat, aku hanya diam di antara mereka yang berdebat. Nyonya Rosa memegang keningnya, dia tampak kacau dengan wajah memerah karena marah. Ini saatnya aku melakukan pekerjaanku supaya bisa beli apartemen. Aku berdiri dan berlutut di depannya. Membuat dua orang yang sedang bertengkar itu berhenti."Saya tulus mencintai Pak Roan! Kalau kami nggak menikah bagaimana nasib...." Aku mengelus perutku yang rata sembari menunduk. Pura-pura terisak. Mataku memelas seperti kucing malang.Nyonya Rosa mengalihkan pandangannya ke Roan dengan tatapan shock, dia memegang kepalanya hingga tubuhnya oleng hampir jatuhKatanya anak kedua sering terabaikan, aku pikir itu mitos tik tok. Rupanya benar. Aku dan Roan sampai shock seperti tidak percaya perkataan dokter yang mengatakan bahwa aku sudah hamil lima bulan. Tiba-tiba ada bayi yang bergerak di perutku!Sampai kandungan hampir memasuki usia ke enam bulan tidak terasa sama sekali. Padahal aku pernah hamil tapi tidak tahu. "Kok kamu bisa nggak sadar sih?" Protes Roan. Kami saling berpandangan. Masih di depan dokter kandungan. "Aku beneran nggak sadar, soalnya bulan kemarin aku datang bulan walaupun cuma flek." Dokter menyela, "memang hal seperti ini bisa terjadi, tidak masalah. Sekarang Bu Rina harus menjaga kesehatan lebih ekstra." "Bayinya normal 'kan Dok? Soalnya aku nggak jaga kandungan dan serabutan." Aku bertanya karena khawatir. "Alhamdulillah bayinya sehat."Roan tiba-tiba memelukku. "Selamat, akhirnya kita dianugerahi anak lagi." Aku membalasnya. "Selamat juga, akhirnya kita bisa menjadi orang tua." Rasanya terbaru, setelah penantia
Selesai acara itu, sikap orang-orang padaku berubah. Di kantor, mereka selalu menawariku makan, bersikap sok akrab dan membuatku tidak nyaman. Mereka penjilat.Aku memutuskan keluar dari sana lebih awal, sikap mereka kadang kurang ajar cari perhatian pada suamiku yang datang menjemput. Aku risih dan tidak suka. "Kalau ada yang natap tuh kamu harus nunduk," kataku pada Roan setelah melihat Roan bertatapan dengan gadis-gadis di kantor tadi."Nggak bisa lah, nanti aku dikira salting.""Kalau gitu abaikan mereka, aku nggak mau ke kantor itu lagi. Mereka semua genit sama kamu!" "Kamu cemburu?" Aku diam, malu mengakui dan malah memalingkan wajah. Rasa mual tiba-tiba menyerang. Aku menutup mulutku sendiri dan keluar dari mobil. Kembali ke gedung kantor dan mencari toilet. Roan mengejarku sampai di depan pintu toilet, aku tidak mempedulikannya dan muntah. Orang-orang melihatku dengan heran. "Apa aku hamil ya?" tanyaku setelah membersihkan mulut di wastafel. Menatap wajah di cermin. Sete
Ternyata, tidak ditantang Andy membawa suami ke anniversary perusahaan pun aku tetap harus mendampingi Roan. Cepat atau lambat memang harus bersiap membongkar identitas. Aku mengembuskan napas berat. Sekarang kami dalam perjalanan, jauh-jauh hari Mama menyiapkan gaun yang serasi dengan Roan. Ayah dan bundaku juga diundang. Aku sudah bisa marah pada ayah, tanpa disangka itu membuatnya senang sekaligus sedih. Aku mengungkapkan perasaanku selama ini. Rasa sakit yang aku derita selama puluhan tahun. Rasa iri pada orang lain yang dijaga ayahnya dan perasaan rindu.Semua itu berawal dari tali sepatuku yang lepas. Ayah memasangkannya sambil jongkok, membuatku merasa seperti seorang putri yang dicintai. "Kenapa baru sekarang?" tanyaku.Ayah mendongak, melihatku yang menunduk. "Ayah baru lihat tali sepatumu lepas." Selesai memasangkan ayah berdiri. "Kenapa Ayah nggak peka dari awal?" Mendengar pertanyaanku membuat ayah bingung. "Maaf Ayah nggak tahu." "Andai Ayah lebih peka, aku nggak a
Dokter hanya menanyai beberapa hal di pertemuan pertama kami. Dia mengajakku mengobrol santai dan dalam waktu singkat menjadi akrab. Dokter wanita yang cerdas dan ramah, auranya dewasa nan elegan. Ia mendengar ceritaku tentang kehidupan sehari-hari.Ia menanggapi sebagai pendengar yang baik, membuatku sangat nyaman karena tidak ada yang menghakimi. Hal yang aku takutkan selama ini adalah dipandang rendah. Tapi Dokter Valerie antusias mendengar dan menanggapi secara rasional, menunjukkan profesionalitas kerja. Ia mencatat percakapan kami sesekali. Wajah cantiknya selalu tersenyum hangat. "Pertemuan selanjutnya tiga hari lagi, saya akan membuatkan resep." Dokter Valerie menulis di kertas resep. Membuatku memiringkan kepala karena heran. "Obat untuk apa? Kita kan cuma ngobrol, Dok?"Dokter Valerie tersenyum. "Supaya saya dapat bayaran, saya kan jual obat." Aku mengerutkan kening, candaannya garing. "Aku serius, Dok." Dokter Valerie membenarkan kacamatanya, ia menutup buku catatan p
Dari mana dia tahu bahwa aku memiliki hotel, aku menelan ludah. Tekanan dari orang ini berbeda. Dia terlihat santai tapi berbahaya. "Aku akan menghadiahkan sprei, cangkir Papa Mama dan baju tidur. Itu kan kado pernikahan yang umum." Benar, umum di kalangan rakyat biasa tapi tidak untuk kalangan atas. Malah kado seperti itu seperti penghinaan. Aku mencoba memancing Lazio, melihat seberapa batasannya. Lazio menelengkan kepalanya, menatapku dengan tekanan mencekam. Aku meletakkan sendok. Berusaha tidak terlihat takut. Hanya saja diamnya Lazio terlihat mengerikan apalagi senyum simpul di sudut bibirnya. Dia seperti psikopat."Kami akan menghadiahkan mobil," ucap Roan. Mencairkan suasana. "Hahahahaha," tawa Lazio pecah hingga semua orang melihat ke arah kami. Ia kembali mengambil buah stroberi. "Sprei dan cangkir couple juga bagus." Aku bernapas lega, ikut tersenyum dengan canggung. Wanita yang bisa menikah Lazio tentulah orang yang kuat. Aku yang baru dua kali bertemu saja merasakan
Kata Roan statusku sebagai istrinya di Rose Green grup tidak diketahui oleh siapapun. Tapi sepertinya Roan lupa bahwa dulu Pak Salam datang ke pernikahan kami. Dia mengenaliku dan terkejut. "Anda adalah menantu Presdir?" tanyanya saat aku mengharap pagi ini. "Benar, Pak. Saya mohon bantuan untuk kedepannya." Aku menunduk hormat. Pak Salam langsung berdiri, ia gugup dan bingung memperlakukanku yang merupakan menantu atasannya. "Pak Rasyid nggak bilang kalau sekretaris baru saya itu menantunya sendiri." "Papa ingin saya bekerja normal tanpa ada yang memandang status. Mohon perlakukan saya seperti yang lain." "Mana bisa seperti itu, anda adalah nyonya muda. Kalau saya salah sedikit, saya yang akan dipecat. Silakan duduk dulu." Setelah aku duduk, Pak Salam keluar dan berteriak menyuruh mengambilkan air serta cemilan, ia panik seperti kedatangan tamu penting.Ini sulit, kurasa pekerjaanku tidak akan berjalan baik. Hari pertama, aku hanya diajak berkeliling kantor oleh direktur, memb