Roan hanya mengikuti naluri dan emosi. Jantungnya berdebar kencang ketika berhasil menembus dinding yang gadis itu jaga. Ada rasa bersalah, takut dan khawatir.
Namun, Roan tidak bisa berhenti. Sudah terlanjur tidak bisa mundur.Setelah malam yang panjang, Roan baru sadar bahwa ini tindakan yang salah. Dia menjambak rambutnya sendiri, Rin memang mabuk tapi dia sadar sepenuhnya.Dia seperti Bos brengsek yang memanfaatkan karyawan yang mabuk untuk one night stand. Roan sering mendengar cerita seperti itu dari teman-temannya. Tidur dengan karyawan yang cantik dan seksi."Apa yang udah aku lakuin ke Rin?"Roan menutup wajahnya dengan punggung tangan. Menghalangi cahaya lampu gantung yang berada di atasnya. Sementara Rin sudah tertidur pulas di sampingnya."Akh! Aku benar-benar sudah gila!" Roan menyesal. Hubungannya dan Rin pasti akan canggung setelah ini, bisa jadi mempengaruhi pekerjaan.Lalu, bagaimana jika Rin membencinya? Dia sudah merenggut kesucian Rin. Ia malu untuk bertatapan dengan Rin besok pagi. Harusnya dia minta maaf?Tidak, sepertinya itu bukan ide yang bagus. Hubungan mereka akan canggung kalau dia minta maaf, seolah dia tidak menghargai Rin sebagai wanita yang sama-sama mau.Benar, mereka sama-sama mau. Meskipun Rin dalam keadaan mabuk. Tapi dia tidak memaksa Rin, kalau Rin minta berhenti pasti ia akan berhenti. Di tengah permainan Rin sempat sadar. Ia tahu karena ekspresi Rin berubah terkejut ketika ia memasukinya.Bukannya menolak, Rin malah menyuruh meneruskan. Rin juga yang minta."Bodoh! Gimana kalau dia hamil?"Roan terus merutuki diri sendiri. Tidak menyangka pernikahan kontrak baru berjalan satu hari sudah terjadi insiden seperti ini. Bagaimana kedepannya nanti ia sungguh bingung."Emmm...." Rin menggeliat, mengubah posisi. Mungkin menganggapnya guling.Jantung Roan berdetak kencang, ia memejamkan mata sembari meneguk ludah. Hal gila yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Tidur dengan Rin.Roan tidak bisa melepaskan pelukan Rin dan ikut tertidur, mencoba menenangkan diri bahwa tidak ada hal yang berubah setelah jadian ini.Keesokan paginya, ia terkejut mendapati kaki Rin berada di samping wajahnya. Kebiasaan tidur Rin sangat mengerikan. Ia memindahkan kaki Rin hati-hati supaya tidak terbangun.Sayangnya hal itu gagal, Rin terbangun. Mata mereka bertemu dalam kecanggungan. Rin menyangga tubuhnya dengan siku. Menatap Roan dengan terkejut."Itu... kakimu...." Roan tidak bermaksud memegang Rin."Ah, maaf, Pak."Rin mengangkat kakinya sendiri dan mundur. Ia merapikan rambutnya dan menutup kaki dengan selimut sampai bawah."Aku... mandi duluan." Roan menunjuk kamar mandi.Suasana pengantin baru yang sangat canggung sampai membuat Roan kesulitan bicara. Mereka sama-sama sadar dengan perbuatan semalam. Rin tidak terkejut mendapatinya. Tidak seperti di sinetron yang ada adegan triak sembari memukul bantal lalu menangis.Sikap Rin tenang, canggung dan berusaha sopan. Seolah hanya ingat bagian gituan, tapi tidak ingat saat mengatainya gila. Roan kesal jika ingat makian Rin terhadapnya."Silakan, Pak." Rin mempersilakan Roan memakai kamar mandi duluan.Roan segera berdiri, mengambil bajunya yang tercecer di lantai dan membawanya ke kamar mandi. Meninggalkan Rin.Saat berada di bawah guyuran shower pun sebenarnya Roan bingung, ia memukul tembok dengan dahinya. Khawatir dan cemas. Ia tidak bisa menjelaskan perasaannya sekarang."Rin tidak mungkin menuntutku, 'kan?" Gumamnya.Setelah dipikir kembali, pernikahan mereka sah secara hukum dan agama. Tidak ada alasan bagi Rin menuntutnya.Mungkin, bagi Rin kejadian ini tidak berarti, maka dari itu sikapnya biasa saja. Kalau begitu dia juga harus biasa saja, jangan membahasnya kalau Rin tidak memancingnya.Roan mengatur napas, dia mandi sampai bersih. Berusaha menenangkan diri.Selesai sarapan bersama keluarga besar di hotel. Mereka membahas tempat tinggal setelah menikah. Awalnya Roan tidak berniat tinggal bersama, tapi sejak kejadian semalam, ia pikir kecanggungan mereka tidak akan luntur jika mereka tidak berkomunikasi dengan benar."Kau tenang saja, kebiasaan tidurku tidak mengerikan sepertimu." Ungkap Roan. Dia sudah menghabiskan kopinya.Rin menunduk, dia begitu malu dengan kejadian tadi pagi."Baiklah, Pak. Kita bisa tinggal di apartemenku selama dua hari sampai penthouse selesai diisi.""Kalau begitu cepat kamu berikan alamat apartemenmu ke Pak Anto supaya dia mengirim pakaianku ke sana.""Baik, Pak."Rin mengambil ponselnya, mengirim pesan ke Pak Anto."Udah, Pak. Jam 11 nanti pakaian Bapak akan diantar ke apartemenku."Rin melihat jam tangan, memeriksa jadwal."Hari ini Bapak libur kerja, tapi tiga hari lagi akan ada pertemuan pemegang saham. Anda harus mempersiapkan dari.""Aku tahu, nggak perlu kamu ingetin." Roan mengubah posisi duduk.Rin diam, suasana kembali canggung. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Hingga akhirnya Roan berdehem."Aku mau lihat apartemenmu, cepat ambilkan barang-barang di kamar.""Baik, Pak." Rin berdiri, membenarkan bajunya yang terlihat tidak nyaman.Wanita itu berbalik meninggalkan Roan menuju kamar, di tangannya ada ponsel dan terus melihat ke depan. Roan mengamati cara jalan Rin yang berubah, terlihat tidak nyaman dan mungkin kesakitan.Roan mengingat kejadian semalam lagi. Rasanya masih menyesal hingga membuatnya frustasi."Canggung banget," ucapnya. Kepalanya menunduk disangga oleh jari.Ia pikir bisa melupakan kejadian semalam karena Rin tidak membahasnya, tapi semakin ingin dilupakan, ia malah semakin ingat.Selama ini Roan diberikan yang terbaik, dari mulai makanan hingga pendidikan. Sebagai anak konglomerat, Roan tidak pernah merasakan yang namanya tidak punya uang. Ia tinggal tunjuk dan keinginannya akan terpenuhi. Dia dibesarkan dengan segala kemewahan. "Apa ini yang kau sebut tampat tinggal?" tanya Roan ketika sampai di apartemen Rin. Roan menendang dan terlihat jijik dengan perabotan yang masih berserakan. Baginya kandang sapi jauh lebih baik dari apartemen Rin yang akan ia tempati selama dua hari ini.Wanita itu berusaha bersabar melihat hinaan bos yang baru saja jadi suaminya. Menunduk menyingkirkan kardus yang ditendang Roan."Pak, ini karena aku baru pindahan. Belum selesai, aku kan sibuk." Roan menoleh, dia mengerutkan kening dengan ekspresi jijik. Tidak menerima kejorokan Rin."Kau hidup di tempat banyak kuman dan kotor." Rin terlihat menahan diri untuk tidak memaki, ia mengangguk. Berusaha tersenyum dengan elegan."Silakan istirahat, Pak." Rin mempersilakan Roan duduk di
Kalian tahu apa yang paling aku benci dari Pak Roan? Dia adalah orang narsis yang sok bersih. Padahal yang sering membereskan kamarnya adalah aku. Kadang sampai bingung apakah aku sekretaris atau babunya. Dan sekarang dia berkomentar tentang apartemenku yang dihasilkan dengan banting tulang? Sungguh, aku ingin mematahkan bibirnya yang limis itu. "Semalam kita... sibuk resepsi. Benar, kemarin dari pagi sampai malam kita sibuk acara, jadi hari ini kamu libur saja."Roan menghentikanku yang akan pergi ke Penthouse. Dia melepaskan tanganku. Terlihat gugup dan pandangannya mengarah ke tempat lain."Kenapa, Pak? Tumben, biasanya kalau kita dinas ke luar negeri juga nggak pernah dikasih libur.""Itu beda, pokoknya turuti saja. Kalau sampai kau sakit, aku yang repot."Tubuhku memang sakit, tapi kalau tidak dikerjakan sekarang maka dua hari tidak akan selesai. Belum lagi nanti sore perabotanku datang. Kalau cuma sakit seperti ini mah tidak apa-apa, aku pernah demam tinggi tapi tetap masuk k
"Aku mau lihat kamarmu," katanya langsung berdiri."Oh iya, Pak. Silakan." Aku segera mengikutinya masuk ke kamarku, dia melihat-lihat kamar yang tidak terlalu besar itu. Ada ranjang, lemari pakaian dan meja rias. Boneka Pikachu kesayangan ada di pojok ranjang. Roan duduk di ranjang, mencoba keempukan kasur apakah sudah sesuai standarnya. Mungkin, karena aku terlalu sering melihat standar Roan. Ketika memilih barang, aku jadi pemilih juga. "Ini kasur mahal, Pak. Garansinya 5 tahun." Aku ikut duduk di ranjang, bersebelahan dengannya. Mencoba ranjang yang baru aku tempati sekali. "Hmm... lumayan juga," jawabnya setuju. Dia menoleh, tak sengaja bertatapan denganku. Tiba-tiba ingatan semalam muncul kembali. Di ranjang kami.... melakukan itu. Jantungku mendadak berdebar kencang. Aku jadi ingat cerita teman sekantor, katanya saat dia menjadi pengantin baru, tidak peduli baru pecah perawan, pagi harinya sudah tancap gas lagi. Jujur aku akui rasanya memang enak, kalau kami tancap gas l
Kami saling diam sepanjang perjalanan ke rumah keluarga Nathanael, aku menguap beberapa kali. Tadi malam aku tidak ingat tidur jam berapa, terakhir kali mengobrol dengan teman-teman Roan jam 11 malam. Kemungkinan aku tidur jam satu atau jam dua. Aku lupa. Sekarang aku ingin sekali bisa tidur siang. Aku cukup bersyukur karena Pak Roan meminta istirahat, mungkin saja hari ini aku benar-benar bisa istirahat. Mobil memasuki halaman rumah, luas dengan taman yang terawat. Rumah orang kaya ini sering aku masuki sampai bosan. Hanya dua hari tinggal di sini, semoga saja aku bisa beradaptasi.Sepertinya pikiranku terlalu positif, di rumah keluarga Nathanael. Aku disambut Nyonya Rosa dan Angel. Gadis bermata biru itu blasteran Indonesia-Inggris. Suka dengan Roan sejak dulu, katanya mereka teman masa kecil. "Putraku sudah kembali," ucap Nyonya Rosa cipika-cipiki dengan Roan seolah putranya itu pulang dari luar negeri. "Sudah lama kita nggak ketemu," kata Angel. Memeluk Roan. Dia melirikku semb
Aku menyipitkan mata dengan bibir yang otomatis naik satu, ekspresi nyinyir yang jarang ditunjukkan di depan orang lain apalagi Roan. Roan kembali menoleh, gugup melihatku yang seperti orang marah. "Kenapa? Benar 'kan dari pada bohong mending hamil beneran." "Nggak usah ngadi-ngadi deh, Pak." Aku sudah mulai mengikhlaskan perawanku untuknya, tidak mungkin mau menyerahkan rahimku juga. Apalagi hidupku. Iuhhh.Selama hidup aku belum pernah bahagia, sekarang usahaku tinggal dikit lagi. Sampai aku bisa lepas dari pernikahan palsu ini, punya apartemen dan tabungan. Aku bercita-cita liburan ke Bali dan makan banyak lobster di pinggir pantai.Aku tidak mau rencanaku kacau karena Pak Roan menitipkan embrio di dalam tubuhku, darahku akan ikut terseret juga dan pasti impianku hancur. Aku akan terjebak hubungan rumit dengan keluarga Nathanael selamanya. Oh no banget.Aku ingin menikah di usia 27 tahun, tapi sebelum itu aku ingin mencoba banyak hal menyenangkan seperti terjun payung, mendaki
Langit dipenuhi taburan bintang dengan bulan bersinar terang, angin berembus menerpa wajah Roan. Dia ada di balkon kamar. Melihat sekitar yang hanya diterangi lampu. Di bawahnya ada kolam renang. Cahayanya memantul menyilaukan. Sekarang sudah pukul sembilan malam, biasanya dia akan membaca buku sebelum tidur. Hangat di ranjang dengan selimut dan AC yang menyala. Sekarang di dalam kamarnya ada Rin. Melihatnya memakai baju tidur akan membuat mereka canggung. Padahal sebelumnya mereka sering dinas keluar negeri bersama. Tapi hubungan profesional tidak ada kecanggungan sama sekali, mereka bekerja seperti atasan dan karyawan seperti biasa. Tidak ada romansa kantor sedikitpun."Pak," panggil Rin. Pada akhirnya Roan menguatkan jantungnya untuk masuk ke dalam. Mereka harus melupakan kecanggungan supaya bisa kembali normal. "Iya," jawabnya sembari membuka pintu kaca. Rin sudah memakai baju tidur, di tangannya ada jas dan perlengkapan kantor."Pak, besok ke kantor mau pakai jas ini atau i
Bola mata Rin begitu bening sampai bisa membuat Roan tenggelam di dalamnya, wajahnya yang polos itu memerah. Dia mengedipkan mata beberapa kali lalu berdehem. Kakinya mundur. "Kamar orang kaya pasti kedap suara," sangkal Rin. "Kamarku emang kedap suara, tapi karena pipa bocor dan kamar mandi sering bermasalah jadi pindah ke sini." Rin pasti ingat bahwa setahun lalu Roan mengeluh karena kamarnya tidak nyaman. Rin sendiri yang menyarankan memakai kamar lain. Rin terlihat salah tingkah, mungkin dia sadar bahwa sudah terjebak dengan permainannya sendiri. Sekarang mau tidak mau mereka harus menjalankan malam panas untuk menutupi kebodohannya."Tinggal buat suara ah ih uh ih 'kan, Pak?" tanya Rin sok santai. Dia berhedem.Roan kembali berdiri dengan benar, kepalanya mengangguk. Matanya melirik ke bawah. Melihat ekspresi Rin. Wanita itu jauh lebih pendek darinya."Tunggu bentar," kata Rin. Dia melesat pergi. Roan menunggu di kamar, menguap memeriksa ponselnya yang diletakkan di atas nak
Ganti rugi duit terlalu ringan, bahkan Roan pikir itu tidak sebanding sama sekali. Rin harus melakukan yang lebih dari itu. Sebenarnya ia ingin mengulangi malam panas mereka, tapi rasanya malu mengatakannya dan seperti dia pria kurang ajar. "Ambil simpati Mama aja," jawab Roan. "Cuma itu?" Roan mengerutkan keningnya. Ia tahu bagaimana Mamanya sangat membenci Rin hingga mendatangkan Angel ke rumah ini. Dan sekarang dengan entengnya Rin bilang 'cuma'? "Aku nggak yakin kamu sanggup.""Itu gampang, Pak. Tapi hari ini kita beneran harus pergi dari sini. Aku beberes dulu." Rin mengambil tas, dia memasukkan baju-bajunya. Lalu menyuruh Roan tetap di kamar dan menyusulnya 10 menit kemudian. "Aku tugas dulu, Pak. Tunggu di situ." "Sebenarnya kamu mau ngapain?" Rin tak menjawab dan malah keluar dari kamar, karena penasaran Roan mengikuti dari belakang. Rupaya Rin mendatangi Mamanya dan berlutut di sana, Roan belum bisa mendengar ucapan Rin. Dia pun semakin mendekat. "Apa yang kamu lak