Selama ini Roan diberikan yang terbaik, dari mulai makanan hingga pendidikan. Sebagai anak konglomerat, Roan tidak pernah merasakan yang namanya tidak punya uang.
Ia tinggal tunjuk dan keinginannya akan terpenuhi. Dia dibesarkan dengan segala kemewahan."Apa ini yang kau sebut tampat tinggal?" tanya Roan ketika sampai di apartemen Rin.Roan menendang dan terlihat jijik dengan perabotan yang masih berserakan. Baginya kandang sapi jauh lebih baik dari apartemen Rin yang akan ia tempati selama dua hari ini.Wanita itu berusaha bersabar melihat hinaan bos yang baru saja jadi suaminya. Menunduk menyingkirkan kardus yang ditendang Roan."Pak, ini karena aku baru pindahan. Belum selesai, aku kan sibuk."Roan menoleh, dia mengerutkan kening dengan ekspresi jijik. Tidak menerima kejorokan Rin."Kau hidup di tempat banyak kuman dan kotor."Rin terlihat menahan diri untuk tidak memaki, ia mengangguk. Berusaha tersenyum dengan elegan."Silakan istirahat, Pak." Rin mempersilakan Roan duduk di lantai."Kau menyuruhku duduk di tempat kotor itu?" tanya Roan. Tidak percaya Rin menyuruhnya mengotori celana."Itu ada tikar, Pak. Bersih." Rin menunjuk tikar yang dia gelar untuk pengganti sofa.Roan memicingkan matanya, protes lewat tatapan mata. "Ambil kursi." Perintahnya. Menolak duduk di lantai.Rin memalingkan wajah, dia mengubah ekspresi wajah dan memaki. Lalu kembali lagi tersenyum. "Baik, Pak."Apartemen ini sangat sempit di mata Roan, hanya ada satu tempat tidur, kamar mandi, dapur dan ruang tamu. Ia heran Rin bisa tinggal di tempat seperti ini.Terlebih belum ada perabotan, semuanya masih acak-acakan. Kursi saja tidak ada.Tak lama kemudian Rin membawa kursi kayu, Roan segera duduk di sana tanpa rasa bersalah karena membuat Rin repot."Oh ya, Pak. Soal mahar pernikahan kemarin, apa benar itu buat aku?" tanya Rin ragu-ragu."Iyalah, kan kamu sendiri yang minta mahar emas 50 gram.""Sungguh itu bukan dipotong dari gaji atau upah nikah kontrak?""Kau pikir aku apa? Walaupun ini pernikahan kontrak, tapi tetap sah di mata hukum dan agama. Mahar itu hakmu."Rin menutup mulutnya sendiri, terlihat begitu senang hanya karena emas 50 gram atau senilai 45 juta rupiah. Itu tidak seberapa bagi Roan, malah ia heran kenapa Rin hanya minta mahar sedikit.Kalau Rin minta mahar lebih mahal melebihi upah nikah kontrak, Roan pasti akan memberikan karena gengsi. Bagaimana pun juga dia mempersunting seorang gadis, putri seseorang, memenuhi mahar sama saja menghormati Rin dan keluarganya.Papa selalu mengajarkan untuk menghormati wanita, karena itu sama saja dia menghormati mama. Jadi, tak masalah bagi Roan mengeluarkan uang untuk Rin yang sudah bersedia menikah kontrak dengannya.Apalagi dia sudah mengambil kesucian Rin."Kapan kau pindah rumah?" tanya Roan melihat barang-barang yang berserakan."Dua hari lalu, Pak. Hehe, alhamdulillah bisa beli apartemen ini berkat upah nikah kontrak.""Memang selama ini kamu tinggal di mana?"Sudah 4 tahun bekerjasama, tapi Roan tidak tahu tempat tinggal Rin. Padahal Rin sering sekali kerumahnya bahkan masuk kamarnya."Aku ngekos di Jakarta Timur, Pak.""Apa barangmu yang lainnya belum dipindah ke sini?""Ini udah semua kok, Pak.""Kamu nggak punya sofa, kulkas dan perabot penting lainnya?"Rin menggeleng. "Aku kan jarang di kosan, lebih banyak ngabisin waktu di kantor, berangkat pagi pulang lembur. Di kosan cuma numpang tidur bentar."Ah, Roan jadi ingat umpatan Rin semalam. Katanya dia bos yang tidak pengertian karena memberikan pekerjaan sampai Rin tersiksa.Kalau diingat lagi memang benar, Rin selalu kerja lembur dan berangkat sangat pagi. Sebelum dia sampai kantor Rin sudah menyusulnya ke rumah, membacakan rincian jadwal sehingga Roan tidak perlu ke kantor dulu sebelum rapat dengan klien.Padahal jarak Jakarta Timur dengan rumahnya sangat jauh, belum lagi Rin harus ke kantor dulu. Dia menyuruh Rin seperti itu untuk menghemat waktunya, tapi tidak memikirkan bahwa ia telah mengambil waktu Rin."Ehem, sebagai bos kayaknya aku belum memberi hadiah untuk rumah barumu.""Nggak usah repot-repot, Pak. Kan aku jadi bersyukur banget kalau diberi.""Bagaimana kalau hadiahnya perabotan?""Beneran nggak usah repot-repot, Pak. Kulkas, TV, sofa, AC, mesin cuci, kompor eh kompor aku udah punya. Gorden. Lemari piring. Bapak mau beliin yang mana?"Roan memutar bola matanya jengah, selalu saja Rin basa basi tapi mau. Dia hafal sekali soal Rin kalau tentang duit."Beli saja semuanya, tagihannya masukkan ke pengeluaranku bulan ini.""Bapak nggak bercanda, 'kan?"Roan menoleh, sedikit mendongak karena Rin berdiri di sampingnya."Apa aku pernah bercanda?"Rin menggeleng, tak bisa menyembunyikan wajah senangnya. Kalau sedang sendirian mungkin Rin akan loncat-loncat. Padahal hanya perabot untuk apartemen kecil seperti ini. Tapi wanita itu sudah senang."Aku udah masukin semua perabot yang pingin aku beli di keranjang Nathashopee, tapi belum gajian jadi belum check out."Rin mengambil ponsel, dia langsung membuka aplikasi belanja Nathashope. Memesan semua perabot yang tadi disebutkan, ia juga menambahkan alat pembersih, wajan dan lemari buku.Setelah dicek, totalnya 27 juta termasuk ongkir dan pemasangan. Dia terlihat ragu untuk memencet pesanan selesai."Kenapa?" tanya Roan.Rin memperlihatkan jumlah pesanannya pada Roan."Nggak papa nih, Pak? Jumlahnya setara sama tiga bulan gajiku tapi nggak termasuk tunjangan.""Cepat check out atau aku berubah pikiran.""Nggak dipotong gaji, 'kan, Pak? Beneran?"Hanya dibalas sipitan mata oleh Roan, tidak mau menjawab dua kali. Akhirnya Rin memesannya, dia terlihat malu-malu bahagia."Udah, Pak. Aku minta pengiriman hari ini karena dari toko kita sendiri. Aku bakal pastiin sebelum makan malam sudah sampai.""Hmm.""Sebentar, aku bersihin kamar dulu biar bapak bisa istirahat."Rin berjalan ke kamarnya, cara jalan Rin terlihat tidak nyaman. Roan tahu alasannya, tapi tidak membahas kejadian semalam karena Rin sendiri bungkam.Bisa jadi Rin malu, kalau ia jadi Rin memang lebih baik tidak membahas dan pura-pura lupa. Mengingat betapa Rin melecehkannya dan mengumpat.Kalau Rin ingat betapa gilanya dia semalam, pasti wanita itu tidak mungkin terlihat bahagia hanya karena dibelikan kulkas. Bisa jadi Rin akan menceburkan diri ke sumur."Silakan istirahat, Pak."Rin selesai membersihkan kamarnya. Membuka pintunya lebar hingga terlihat cat kuning dan boneka Pikachu.Roan berdiri, berniat masuk ke kamar Rin dan melihat-lihat."Pak, maaf aku tinggal ya. Aku mau ke penthouse, harus survei sama desainer ruangan sebelum ngisi perabot. Silakan Bapak istirahat.""Rin, tunggu...." Roan refleks menarik tangan Rin, membuat wanita itu menoleh.Roan ingin mengatakan supaya Rin istirahat saja, sekujur tubuh Rin pasti nyeri. Tapi wanita itu terlihat biasa saja dan tetap ingin bekerja di hari pertama pernikahan."Iya, Pak. Kenapa?"Roan diam sejenak, membasahi bibirnya. Ia tidak ingin menjadi pengecut, tapi untuk mengatakan kejadian semalam terasa begitu sulit. Ia juga ingin mengatakan bahwa ia khawatir dengan kondisi Rin sekarang."Itu... semalam....""Hmm, apa Pak? Nggak denger."Roan meneguk ludah, dia berusaha untuk membuka mulutnya lebih lebar.Katanya anak kedua sering terabaikan, aku pikir itu mitos tik tok. Rupanya benar. Aku dan Roan sampai shock seperti tidak percaya perkataan dokter yang mengatakan bahwa aku sudah hamil lima bulan. Tiba-tiba ada bayi yang bergerak di perutku!Sampai kandungan hampir memasuki usia ke enam bulan tidak terasa sama sekali. Padahal aku pernah hamil tapi tidak tahu. "Kok kamu bisa nggak sadar sih?" Protes Roan. Kami saling berpandangan. Masih di depan dokter kandungan. "Aku beneran nggak sadar, soalnya bulan kemarin aku datang bulan walaupun cuma flek." Dokter menyela, "memang hal seperti ini bisa terjadi, tidak masalah. Sekarang Bu Rina harus menjaga kesehatan lebih ekstra." "Bayinya normal 'kan Dok? Soalnya aku nggak jaga kandungan dan serabutan." Aku bertanya karena khawatir. "Alhamdulillah bayinya sehat."Roan tiba-tiba memelukku. "Selamat, akhirnya kita dianugerahi anak lagi." Aku membalasnya. "Selamat juga, akhirnya kita bisa menjadi orang tua." Rasanya terbaru, setelah penantia
Selesai acara itu, sikap orang-orang padaku berubah. Di kantor, mereka selalu menawariku makan, bersikap sok akrab dan membuatku tidak nyaman. Mereka penjilat.Aku memutuskan keluar dari sana lebih awal, sikap mereka kadang kurang ajar cari perhatian pada suamiku yang datang menjemput. Aku risih dan tidak suka. "Kalau ada yang natap tuh kamu harus nunduk," kataku pada Roan setelah melihat Roan bertatapan dengan gadis-gadis di kantor tadi."Nggak bisa lah, nanti aku dikira salting.""Kalau gitu abaikan mereka, aku nggak mau ke kantor itu lagi. Mereka semua genit sama kamu!" "Kamu cemburu?" Aku diam, malu mengakui dan malah memalingkan wajah. Rasa mual tiba-tiba menyerang. Aku menutup mulutku sendiri dan keluar dari mobil. Kembali ke gedung kantor dan mencari toilet. Roan mengejarku sampai di depan pintu toilet, aku tidak mempedulikannya dan muntah. Orang-orang melihatku dengan heran. "Apa aku hamil ya?" tanyaku setelah membersihkan mulut di wastafel. Menatap wajah di cermin. Sete
Ternyata, tidak ditantang Andy membawa suami ke anniversary perusahaan pun aku tetap harus mendampingi Roan. Cepat atau lambat memang harus bersiap membongkar identitas. Aku mengembuskan napas berat. Sekarang kami dalam perjalanan, jauh-jauh hari Mama menyiapkan gaun yang serasi dengan Roan. Ayah dan bundaku juga diundang. Aku sudah bisa marah pada ayah, tanpa disangka itu membuatnya senang sekaligus sedih. Aku mengungkapkan perasaanku selama ini. Rasa sakit yang aku derita selama puluhan tahun. Rasa iri pada orang lain yang dijaga ayahnya dan perasaan rindu.Semua itu berawal dari tali sepatuku yang lepas. Ayah memasangkannya sambil jongkok, membuatku merasa seperti seorang putri yang dicintai. "Kenapa baru sekarang?" tanyaku.Ayah mendongak, melihatku yang menunduk. "Ayah baru lihat tali sepatumu lepas." Selesai memasangkan ayah berdiri. "Kenapa Ayah nggak peka dari awal?" Mendengar pertanyaanku membuat ayah bingung. "Maaf Ayah nggak tahu." "Andai Ayah lebih peka, aku nggak a
Dokter hanya menanyai beberapa hal di pertemuan pertama kami. Dia mengajakku mengobrol santai dan dalam waktu singkat menjadi akrab. Dokter wanita yang cerdas dan ramah, auranya dewasa nan elegan. Ia mendengar ceritaku tentang kehidupan sehari-hari.Ia menanggapi sebagai pendengar yang baik, membuatku sangat nyaman karena tidak ada yang menghakimi. Hal yang aku takutkan selama ini adalah dipandang rendah. Tapi Dokter Valerie antusias mendengar dan menanggapi secara rasional, menunjukkan profesionalitas kerja. Ia mencatat percakapan kami sesekali. Wajah cantiknya selalu tersenyum hangat. "Pertemuan selanjutnya tiga hari lagi, saya akan membuatkan resep." Dokter Valerie menulis di kertas resep. Membuatku memiringkan kepala karena heran. "Obat untuk apa? Kita kan cuma ngobrol, Dok?"Dokter Valerie tersenyum. "Supaya saya dapat bayaran, saya kan jual obat." Aku mengerutkan kening, candaannya garing. "Aku serius, Dok." Dokter Valerie membenarkan kacamatanya, ia menutup buku catatan p
Dari mana dia tahu bahwa aku memiliki hotel, aku menelan ludah. Tekanan dari orang ini berbeda. Dia terlihat santai tapi berbahaya. "Aku akan menghadiahkan sprei, cangkir Papa Mama dan baju tidur. Itu kan kado pernikahan yang umum." Benar, umum di kalangan rakyat biasa tapi tidak untuk kalangan atas. Malah kado seperti itu seperti penghinaan. Aku mencoba memancing Lazio, melihat seberapa batasannya. Lazio menelengkan kepalanya, menatapku dengan tekanan mencekam. Aku meletakkan sendok. Berusaha tidak terlihat takut. Hanya saja diamnya Lazio terlihat mengerikan apalagi senyum simpul di sudut bibirnya. Dia seperti psikopat."Kami akan menghadiahkan mobil," ucap Roan. Mencairkan suasana. "Hahahahaha," tawa Lazio pecah hingga semua orang melihat ke arah kami. Ia kembali mengambil buah stroberi. "Sprei dan cangkir couple juga bagus." Aku bernapas lega, ikut tersenyum dengan canggung. Wanita yang bisa menikah Lazio tentulah orang yang kuat. Aku yang baru dua kali bertemu saja merasakan
Kata Roan statusku sebagai istrinya di Rose Green grup tidak diketahui oleh siapapun. Tapi sepertinya Roan lupa bahwa dulu Pak Salam datang ke pernikahan kami. Dia mengenaliku dan terkejut. "Anda adalah menantu Presdir?" tanyanya saat aku mengharap pagi ini. "Benar, Pak. Saya mohon bantuan untuk kedepannya." Aku menunduk hormat. Pak Salam langsung berdiri, ia gugup dan bingung memperlakukanku yang merupakan menantu atasannya. "Pak Rasyid nggak bilang kalau sekretaris baru saya itu menantunya sendiri." "Papa ingin saya bekerja normal tanpa ada yang memandang status. Mohon perlakukan saya seperti yang lain." "Mana bisa seperti itu, anda adalah nyonya muda. Kalau saya salah sedikit, saya yang akan dipecat. Silakan duduk dulu." Setelah aku duduk, Pak Salam keluar dan berteriak menyuruh mengambilkan air serta cemilan, ia panik seperti kedatangan tamu penting.Ini sulit, kurasa pekerjaanku tidak akan berjalan baik. Hari pertama, aku hanya diajak berkeliling kantor oleh direktur, memb