Home / Rumah Tangga / Bayi Telantar di Rumah Sakit / Bab 1 Ditolak Rumah Sakit

Share

Bayi Telantar di Rumah Sakit
Bayi Telantar di Rumah Sakit
Author: EstrianaTamsir

Bab 1 Ditolak Rumah Sakit

last update Last Updated: 2023-07-26 14:30:42

Bab 1 Ditolak Rumah Sakit

"Bu, ini sepertinya bayinya kuning. Lihat ini kulit dan matanya tampak kuning. Apa Ibu jarang menyusuinya?" tanya seorang Bidan di sebuah klinik bersalin usai memeriksa tubuh seorang bayi.

Meidina, sang Ibu bayi tampak syok. "Betul, Bu Bidan. Bayi saya tidur terus jadi jarang menyusu," sahutnya membenarkan.

Mata perempuan muda berusia 28 tahun itu mengembun. Ia mengigit bibirnya berusaha menahan kesedihan saat mengetahui kondisi bayinya yang baru berusia empat hari ternyata tidak baik-baik saja.

"Bayinya kurang minum ini, jadi kuning. Kalo bayinya tidur terus jangan dibiarin saja, Bu. Harus dibangunin untuk menyusu. Saya beri pengantar untuk memeriksakan kadar bilirubinnya di laboratorium ya, Bu!"

"Baik, Bu Bidan."

Meidina hanya bisa mengangguk pasrah, lalu meraih tubuh bayi mungil itu, menggendongnya dengan kain jarik.

Kelopak matanya memanas saat kembali teringat akan mendiang suaminya yang baru meninggal sebulan yang lalu karena kecelakaan lalu lintas. Suaminya itu ditabrak pengendara sepeda motor yang sedang mabuk saat hendak berangkat bekerja.

Kini Meidina harus membesarkan ketiga buah hatinya sendirian. Tidak ada lagi tempat bersandar baginya di saat fisik dan psikisnya lelah. Tidak ada lagi orang yang menguatkan dan menenangkan dirinya saat gelisah dan khawatir seperti saat ini saat memikirkan keadaan bayinya yang tidak baik-baik saja.

"Jangan lupa hasil tesnya dibawa ke sini lagi. Kalau memerlukan perawatan lanjutan, nanti akan saya buatkan surat pengantar ke rumah sakit." Bidan itu mengangsurkan secarik kertas kepada Meidina.

Dengan langkah gontai Meidina  keluar dari sebuah klinik bersalin. Saat sudah tiba di pinggir jalan raya, perempuan muda dengan bayi dalam gendongannya itu memberhentikan sebuah angkot warna biru muda yang melintas.

Dengan sedikit kepayahan, Meidina berusaha naik ke dalam angkot sambil menggendong bayinya dan menenteng sebuah tas yang berisi perlengkapan bayi. Bekas jahitan di jalan lahirnya masih terasa ngilu untuk duduk dan berjalan. Andai suaminya masih hidup tentu bisa mengantarkan periksa ke bidan.

Meidina menatap nanar wajah bayinya yang berwarna kuning dengan perasaan hancur. Ia begitu cemas dengan kondisi bayinya saat ini. Kehilangan suami sebulan yang lalu saja sudah menjadi pukulan berat baginya. Nyaris merenggut semangat hidupnya.

Matanya berkaca-kaca. Perempuan berstatus janda itu mendongak, susah payah menahan supaya air mata yang mengenang di pelupuk matanya agar tidak terjatuh.

Setibanya di laboratorium, bayi mungil itu langsung ditusuk jarum suntik di lengan kirinya untuk diambil darahnya guna dicek kadar bilirubinnya. Meidina menunggu hasil tes sang buah hati dengan perasaan cemas dan khawatir.

Meidina meneliti  kondisi bayinya yang tengah tertidur dalam gendongannya. Bayinya tadi hanya menangis sebentar saat ditusuk jarum. Kini bayi itu tampak makin lemah tak berdaya.

Meidina terus berdoa semoga hasil pemeriksaan laboratorium baik-baik saja, bayinya tidak perlu mendapatkan perawatan di rumah sakit.

Meidina baru teringat kedua buah hatinya yang dititipkan di rumah tetangga sebelah kontrakannya. Ayara yang berusia delapan tahun dan Bimo lima tahun. Keduanya pasti sudah menunggu kepulangannya.

"Orang tua dari Zavia."

Terdengar sebuah panggilan dari meja administrasi. Meidina segera bangun dari tempat duduknya, tergopoh-gopoh menuju ke tempat administrasi dengan jantung berdegup kencang, tak sabar ingin mengetahui hasil tesnya.

Setelah hampir satu jam menunggu, akhirnya hasil tes darah sang bayi keluar juga. Ternyata kadar bilirubin bayi Zavia 18 mg/dL. Angka ini tergolong tinggi sehingga  memerlukan perawatan di rumah sakit untuk menurunkan kadar bilirubinnya.

Itu artinya bayinya harus dirawat di rumah sakit. Meidina kembali naik angkot menuju klinik tempat Zavia dilahirkan untuk meminta surat jalan dari Bidan.

Setelah membawa surat jalan dari Bidan, Medina kembali naik angkot menuju ke sebuah rumah sakit pemerintah. Angkot bergerak membelah jalanan yang ramai lalu lintasnya saat menjelang jam pulang kerja. Langit telah berubah menjadi gelap.

"Sus, tolong anak saya," jerit Meidina sambil menyerahkan surat jalan dari Bidan.

"Silakan bayar deposit dulu, Bu," jawab seorang perawat bertubuh tambun dengan ketus.

"Maaf, Sus, tolong rawat bayi saya dulu. Kasihan, bayi saya sudah lemah ini. Saya takut bayi saya kenapa-kenapa. Saya saat ini belum membawa uang." Meidina memohon-mohon kepada perawat bertampang judes agar bayinya segera ditangani. Medina melirik bayi yang terkulai makin lemah dalam gendongannya.

"Tidak bisa, Bu! Silakan ke ruang administrasi dulu," tolak perawat itu tegas, tetap pada keputusannya.

Meidina melangkah menuju ruang administrasi.

"Ada kartu BPJS, Bu?"

"Nggak ada, Mbak."

"Bayar dulu depositnya tiga juta."

"Maaf, Mbak, saat ini saya tidak membawa uang."

Uang yang tersisa di dompet Meidina tinggal puluhan ribu saja. Seminggu yang lalu ia baru menjual cincin kawinnya untuk biaya persalinannya di bidan. Sisanya tadi sudah untuk membayar biaya pemeriksaan di bidan dan biaya tes di laboratorium.

"Kami tidak bisa menangani, sebelum Ibu membayar deposit sebesar tiga juta rupiah."

"Tolong, rawat bayi saya dulu. Besok saya akan membayar," mohon Medina dengan wajah memelas.

"Tetap saja tidak bisa. Orang miskin kayak kalian suka nggak tahu diri. Setelah di tolong malah kabur tidak mau membayar."

Deg! Medina terkejut. Ucapan petugas administrasi itu membuat hatinya sakit, terasa nyeri. Kenapa rumah sakit  ini begitu teganya menelantarkan pasien yang tidak bisa membayar biaya rumah sakit.

"Tolong, Mbak, tangani anak saya dulu. Anak saya makin lemes ini." Meidina mencoba  memohon sekali lagi, meski hatinya sakit diperlakukan rendah oleh petugas administrasi. Demi bayinya, Meidina rela mengemis dan merendahkan dirinya.

"Ya sudah, bayar dulu setengahnya, baru anak Ibu kami layani."

Tanpa menjawab, Medina meninggalkan ruang administrasi dengan raut wajah kecewa. Meidina duduk lunglai di sebuah bangku panjang. Ia menyeka sudut matanya yang terus mengucurkan air mata dengan ujung kain jarik yang digunakan untuk menggendong bayinya. Ia frustrasi, bingung hendak ke mana mencari pinjaman uang.

Peraturan di rumah sakit memang sering kaku dan saklek. Mereka tidak mau menangani pasien miskin dan menolaknya karena takut setelah sembuh pasien kabur begitu saja tanpa mau melunasi biaya perawatan.

Mungkin petugas itu hanya melaksanakan perintah atasan dan apa yang tertulis pada peraturan. Tetapi kenapa mereka sering kali tidak memakai hati nuraninya saat tega menolak pasien miskin.

Meidina terisak pilu sambil memeluk erat-erat bayi dalam gendongannya. Kemiskinan membuatnya terlantar di rumah sakit dengan dihantui perasaan cemas akan kondisi sang bayinya yang bisa saja kritis karena tertunda mendapatkan perawatan.

Mau tidak mau, Meidina harus mencari pinjaman uang. Setelah tenang, Meidina mencoba menelpon ibu mertuanya. Meski ia ragu ibu dari almarhum suaminya mau membantu.

"Bu, boleh saya pinjem uang untuk biaya perawatan cucu Ibu di rumah sakit," ucap Meidina takut-takut ketika telepon tersambung.

"Nggak ada!" jawab Ibu mertuanya ketus.

"Uang damai dari keluarga yang menabrak Mas Firman bukannya cukup besar ya, Bu?"

Semua ibu mertuanya yang urus. Tidak sepeser pun Meidina mendapat uang duka cita dan uang damai dari meninggalnya suaminya.

"Dah habis untuk biaya selamatan suamimu!" Ibu mertuanya menjawab ketus langsung menutup telepon.

Sudah sering Meidina dibuat sakit hati oleh ibu mertuanya. Sejak ia melahirkan Zavia, ibu mertuanya juga belum juga menjenguk cucunya. Padahal kontrakannya tidak begitu jauh dari rumah ibu mertuanya.

Meidina lalu menghubungi kakak iparnya, Tika, kakak pertama suaminya.

"Kenapa, Din? Aku sekeluarga lagi nginep di Bandung." Belum sempat mengutarakan maksudnya, kakak iparnya itu sudah menutup telpon.

Meidina menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan, mencoba bersabar dengan perlakuan buruk ibu mertua dan kakak iparnya yang sering meremehkan dirinya.

Tidak putus asa Meidina mencoba menelpon kakak ipar keduanya, Dewi.

"Utang terus ngga malu kamu, Din? Utangmu yang dulu aja belum dibayar!" tolak Dewi langsung menutup telepon.

Hingga detik ini, Meidina tidak habis pikir ibu mertua dan kedua kakak iparnya tidak pernah menyukai suaminya.

Meidina hanya bisa menangisi bayinya yang malang. Ia bingung ke mana lagi hendak mencari pinjaman uang.

Terpikir mau meminjam tetangga sebelah kontrakannya yang sering membantunya, Wangi. Namun, ia ragu tetangganya itu memiliki simpanan uang. Apalagi ini sudah akhir bulan, tanggal tua.

"Kenapa bayinya, Mbak?"

Meidina terkesiap saat bahunya ditepuk pelan oleh seseorang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bayi Telantar di Rumah Sakit    Bab 39 Lingerie (Tamat)

    Bab 39 Lingerie (Tamat)Sepulang dari Pantai Kuta menjelang Maghrib, Meidina ingin segera membersihkan diri. Ia pun lalu membuka koper untuk mengambil baju ganti dan terkejut saat menemukan sebuah kain tipis berenda berada di antara tumpukan pakaian dalamnya."Ini apa? Ini bukan punyaku," gumam Meidina mengernyitkan dahinya. Ditariknya kain tipis berwarna hitam dari dalam koper dan dijembrengnya di depan matanya.Radeva yang duduk di sofa melirik sesuatu yang dipegang istrinya sekilas dan ikut tercengang. Otaknya yang berpikiran kotor langsung traveling membayangkan sepotong kain tipis berenda itu melekat di tubuh sintal istrinya."Nggak mungkin juga itu punyaku," celetuk Radeva sambil menahan tawa melihat betapa polos istrinya. Bisa-bisanya Meidina tidak tahu benda apa yang ada di genggaman tangannya, padahal sudah memiliki tiga anak. Bagi Radeva itu rasanya lucu dan bikin gemas. Meidina menoleh ke arah suaminya yang tertawa pelan. Apanya yang lucu, pikirnya bingung.Melihat ekspres

  • Bayi Telantar di Rumah Sakit    Bah 38 Honeymoon

    Bab 38 Honeymoon Dengan perasaan tak menentu dan berat hati meninggalkan ketiga buah hatinya, Meidina memantapkan diri pergi hanya berdua dengan Radeva untuk honeymoon ke Bali. Meskipun hanya dengan membayangkan saja sudah membuatnya merasa malu. Ia bukan gadis perawan yang baru melepas lajang. Sebagai janda tiga anak, Meidina merasa bulan madu justru membuatnya jengah. Namun, bagaimanapun juga ia sekarang adalah seorang istri yang harus berbakti dan patuh kepada suaminya. Dengan diantar oleh Arfa, sepasang pengantin baru itu berangkat menuju Bandara Soekarno Hatta pagi itu setelah selesai menyantap sarapan.Melihat raut wajah gelisah istrinya, Radeva mencoba untuk menghibur dan menenangkan perempuan yang duduk di sebelahnya. Perempuan yang sudah halal untuk disentuhnya."Nggak perlu khawatir, Din. Anak-anak akan baik-baik saja dalam pengasuh Papa dan Mama," ucap Radeva sambil mengelus punggung tangan istrinya.Seketika Meidina membeku dengan keagresifan Radeva yang tiba-tiba, bera

  • Bayi Telantar di Rumah Sakit    Bab 37 Apa Cemburu Tanda Cinta?

    Bab 37 Apa Cemburu Tanda Cinta?"Itu keponakan lo, Dev?" tanya gadis bertubuh tinggi semampai dan langsing itu mengalihkan pandangannya ke arah bocah lelaki berusia lima tahun yang tengah berjalan menuju ke mobil Pajero warna hitam doff yang terparkir di depan minimarket.Radeva ikut melihat ke arah pandangan mata gadis cantik itu dan menganggukkan kepalanya sedikit ragu. Bimo memang keponakannya dan kini statusnya menjadi anak tirinya. Meski bocah itu keponakannya juga, entah kenapa Radeva seolah ingin menutupi status pernikahannya dari gadis berpenampilan modis yang berdiri di hadapannya. Perempuan dari masa lalunya, cinta pertamanya."Dev, ini kartu nama gue. Mampirlah ke kantor gue kalo senggang," ucap gadis yang mengenakan blouse bermotif floral dan rok span selutut itu seraya memberikan selembar kartu nama.Radeva menerima dan membaca sekilas sebuah kartu berukuran kecil dengan nama Gita Anindya dengan keterangan notaris disertai alamat kantor dan nomor telepon yang bisa dihubun

  • Bayi Telantar di Rumah Sakit    Bab 36 Mengenali Perasaan Sendiri

    Bab 36 Mengenali Perasaan SendiriPukul lima lewat dua puluh lima menit Waktu Indonesia Barat, Radeva masih sibuk berkutat dengan setumpuk berkas yang masih diperiksanya saat Pak Adyatama memasuki ruangan kerjanya.Lelaki paruh baya itu melangkah masuk menghampiri putranya yang tengah serius bekerja di belakang meja. "Belum selesai kerjanya, Dev?" tanyanya penuh perhatian."Iya, Pa," sahut Radeva sambil lalu dengan tatapan mata masih fokus tertuju pada tumpukan kertas yang ada di atas meja kerjanya.Pak Adyatama menghentikan langkahnya di sebelah kursi yang diduduki Radeva, lalu menepuk pelan bahu sang putra. "Kerjanya lanjutin besok aja. Itu kerjaan nggak harus kelar hari ini juga. Pulang sana. Jangan lupa sekalian jemput istrimu di toko!" Radeva sempat ngeleg selama beberapa detik sebelum menyadari bahwa kini ia sudah memiliki seorang istri. Ia hampir lupa dengan statusnya yang sudah tidak lagi lajang. Biasanya ia pulang saat langit sudah gelap. Mulai hari ini kebiasaannya akan ber

  • Bayi Telantar di Rumah Sakit    Bab 35 Masih Canggung

    Bab 35 Masih Canggung Dini hari, pukul dua lewat empat puluh lima menit Waktu Indonesia Barat, seorang perempuan muda dengan rok mini sepaha keluar dari sebuah klub malam, melangkah sendirian menuju mobilnya yang terparkir.Tak lama kemudian mobil itu pun melaju menembus gelapnya malam melewati jalan bebas hambatan dengan kecepatan di atas rata-rata. Perempuan muda itu merasakan mobil yang dikendarainya sedikit oleng. Tak nyaman berkendara tidak stabil, ia lalu mengurangi kecepatan dan menghentikan mobilnya di bahu jalan untuk mengecek kondisi mobilnya.Setelah menghentikan mobilnya di bahu jalan, perempuan muda itu keluar dari mobilnya untuk mengecek keadaan mobilnya."Sial, ban belakang mobil gue bocor!" umpatnya kesal. Perempuan muda itu lalu merogoh kantong jaket jeansnya untuk mengambil ponsel dan segera menghubungi seseorang untuk mencari bantuan."Bang Deva ... ayo angkat dong telponnya," gumamnya tak sabaran.Berkali-kali mencoba menghubungi sang kakak tapi tidak juga diangk

  • Bayi Telantar di Rumah Sakit    Bab 34 Sah

    Bab 34 Sah"Deva, kamu mau 'kan menikahi Dina?" Pak Adyatama menatap lurus putranya yang duduk bersila di atas tikar pandan, berjarak sekitar satu meter darinya. Pria paruh baya itu mengulangi pertanyaan yang sama karena Radeva masih diam tepekur sambil menunduk, tidak lekas memberikan tanggapan maupun jawaban.Lelaki paruh baya itu merasa optimis putranya akan menuruti kemauannya. Hanya kali ini saja Pak Adyatama memutuskan untuk menjadi strict parent. Tindakan kaku dan otoriternya demi kebaikan keluarganya. Ia tahu persis bagaimana selama ini sang putra selalu dihantui penyesalan yang teramat dalam. Radeva akan melakukan apa pun demi menebus dosanya, pikirnya merasa yakin.Sebenarnya Pak Adyatama masih menyimpan sedikit perasaan kecewa terhadap Radeva yang menjadi penyebab kematian Firman, putra sulungnya yang lahir di luar pernikahan dari perempuan yang menjadi cinta pertamanya. Putra yang belum sempat dilihat dan disentuhnya selama hidupnya. Dan itu sungguh disesalkannya, sangat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status