Share

Bab 2 Sumbangan RT

last update Last Updated: 2023-07-26 14:31:59

Bab 2 Sumbangan RT

"Kenapa bayinya, Mbak?"

Meidina terkesiap saat ada seseorang menepuk pundaknya pelan. Spontan perempuan muda itu mendongak. dan mendapati seorang perempuan paruh baya menatapnya sambil tersenyum.

Meidina ingat, perempuan itu adalah Bu Maharani, orang tua dari pemuda yang sudah menabrak suaminya yang sebulan yang  lalu memberikan uang damai kepada ibu mertuanya.

"Bayi saya ditolak karena saya tidak mampu membayar uang deposit, Bu," jawab Meidina di tengah isak tangisnya.

Bu Maharani terkejut. Padahal sebulan yang lalu ia sudah memberikan uang damai sebesar dua ratus juta, tetapi istri almarhum bisa-bisanya tidak mempunyai uang untuk membayar biaya rumah sakit.

Tanpa banyak tanya lagi Bu Maharani  membayarkan uang deposit.

"Terima kasih banyak untuk pertolongannya, Bu Rani." Meidina sangat berterima kasih kepada Bu Maharani.

"Mbak Dina, saya minta maaf gara-gara putra saya, suami Mbak Dina jadi meninggal," ucap Bu Maharani dengan penyesalan yang mendalam.

"Iya, Bu saya sudah memaafkan. Semua yang terjadi sudah suratan takdir."

"Putra saya sedang koma di rumah sakit ini. Tolong doakan untuk kesembuhannya," mohon Bu Maharani dengan mengiba. Kristal bening berjatuhan dari sudut mata perempuan paruh baya itu.

Entah doa siapa nanti yang bisa mengetuk pintu langit, ia mengharapkan banyak doa untuk kesembuhan putranya.

Meidina mengangguk. "Semoga putranya lekas sadar dari koma dan bisa pulih seperti sedia kala. Aamiin."

Setelah melakukan pembayaran deposit, bayi Zavia lalu di bawa ke Ruangan Penitarium untuk mendapatkan perawatan fototerapi.

"Bu, bayinya nggak usah dipakaikan gurita. Kasihan jadi susah napas," ujar seorang perawat bertampang jutek sambil membuka baju dan gurita yang dikenakan bayinya.

Dengan hanya mengenakan popok dan pelindung mata, bayi Zavia dimasukkan ke dalam inkubator yang diterangi dengan sinar khusus yang berwarna biru kehijauan untuk menjalani fototerapi atau terapi sinar.

"Silakan pulang saja, Bu. Besok ke sini lagi sekalian mengantar ASI dalam botol, ya," ucap perawat satu lagi dengan ramah.

Dengan berat hati Meidina meninggalkan Ruang Penitarium. Kasihan juga Ayara dan Bimo sudah menunggunya di rumah.

Keesokan harinya, sebelum menjenguk anaknya ke rumah sakit, Meidina memerah ASI-nya dengan sebuah alat pompa.

"Hah, masak hanya dapet lima puluh mili saja, Bu?" tanya perawat kaget melihat sedikitnya ASI yang dibawa Meidina.

"Iya, Sus, ASI saya hanya keluar sedikit." Dari anak pertama ASI yang keluar memang sedikit bila dipompa.

"Nanti bisa dibantu susu formula, Bu. ASI Ibu tidak mencukupi untuk bayi."

"Baik, Sus," jawab Meidina sambil menyusui bayinya. Meskipun ASI yang keluar hanya sedikit saja, tetap ia akan berikan.

Setelah empat hari dirawat di ruangan Penitarium, bayi Zavia sudah diperbolehkan pulang.

"Setiap dua jam kasih ASI ya, Bu! Kalo bayinya malas bangun, sentil-sentil aja telapak kakinya sampai nangis nggak papa," pesan Pak Dokter anak berparas tampan.

"Baik, Dok," jawab Meidina singkat.

"Satu lagi, jangan lupa dijemur. Dua puluh menitanlah cukup," imbuh Pak Dokter muda, berkulit putih dan bermata sipit, mirip oppa-oppa Korea.

Meidina lega, akhirnya sang bayi bisa kembali lagi dalam dekapannya.

***

"Aya, Bimo, jangan berisik! Dedeknya lagi tidur!" teriak Meidina saat kedua anaknya bertengkar, sementara bayi Zavia tidur.

Meidina tengah melipat popok kain, baju bayi, dan kain bedong. Ia memilih menggunakan popok kain dibandingkan diapers sekali pakai. Di samping ramah di kantong juga ramah lingkungan. Daripada buat beli diapers sekali pakai, uangnya bisa buat beli beras, pikirnya.

"Bun, Ayah kok nggak pulang-pulang? Bimo kangen pengen ketemu Ayah."

Bimo, bocah berusia lima tahun itu tidak paham bahwa ayahnya sudah meninggal.

"Ayah nggak akan pulang, Bim. Ayah sudah meninggal. Dikubur di tanah." Ayara mencoba menjelaskan kepada adiknya.

"Kasihan Ayah, Kak Aya. Pasti Ayah kesepian sendirian tidur di dalam tanah," ucap Bimo dengan mata berkaca-kaca.

"Besok kita tengokin makam Ayah. Kalian bisa doakan Ayah, ya," ucap Meidina sambil mengusap kepala kedua buah hatinya dengan dada sesak menahan kesedihan dan kerinduan. Sepeninggal suaminya hidupnya terasa hampa.

Karena ASI yang keluar hanya sedikit, bayi Zavia harus dibantu minum susu formula setiap hari.

Susu Zavia tinggal sedikit. Sepertinya tidak cukup sampai malam. Meidina

sudah tidak mempunyai uang lagi. Betapa nelangsa hidupnya lantaran tidak bisa membelikan susu untuk buah hatinya.

Meidina bingung hendak ke mana meminjam uang. Pinjam uang kepada kakak iparnya sering dinyinyirin dan diremehkan. Bahkan almarhum suaminya saja tidak pernah mau bila disuruh meminjam uang ke kakaknya.

Akhirnya Meidina melipir ke tetangga sebelah kontrakannya.

"Maaf Din, uangku tinggal lima puluh ribu. Ini aku kasih dua puluh ya. Nggak usah dibalikin," ucap Wangi sambil mengangsurkan selembar uang berwarna hijau.

Suami Wangi yang bekerja sebagai kuli bangunan baru gajian besok.

"Nggak papa, Mbak. Terima kasih."

Meidina sedikit kecewa. Uang pinjaman dari Wangi tidak cukup untuk membeli sekardus kecil susu formula. Ia sudah terpikirkan untuk membelikan susu kental manis saja yang harganya lebih murah. Meski kata orang tidak boleh diberikan untuk bayi. Meidina tidak punya pilihan lain.

"Kamu yang sabar ya, Din. Saat ini Allah sedang mengujimu dengan kekurangan harta dan kehilangan orang yang kamu cintai. Jadikanlah sholat dan sabar sebagai penolongmu."

Wangi memberikan sedikit tausiah untuk menguatkan dan menenangkan Meidina yang tampak bersedih dengan sorot mata tak bersemangat.

Meski Wangi sendiri juga merasakan hatinya resah karena lebih dari sepuluh tahun menikah belum dikaruniai seorang anak. Akan tetapi, ia pandai menyembunyikannya dengan wajah cerianya di depan semua orang. Ketiga anak dari Meidina sedikit bisa mengobati kerinduan akan hadirnya buah hati.

"Karena kamu masih nifas, coba kamu banyakin baca istighfar ya, Din! Dengan banyak beristighfar, insyaAllah akan membukakan perisai yang menjadi penghalang bagi rezeki keluargamu," nasihat Wangi. Meidina pun pulang ke rumahnya. Sambil menggendong bayinya ia terus melafazkan istighfar.

Tok ... tok ... tok!

Saat masih beristighfar, terdengar pintu diketuk dari luar cukup keras, diikuti suara orang berbincang-bincang. Dengan masih menggendong bayinya, Meidina membukakan pintu.

"Eh, Pak RT dan ibu-ibu semua, mari silakan masuk!"

Meidina dengan ramah menyambut para tetangganya yang berkunjung. Ia melebarkan pintu, mempersilakan tamu-tamunya masuk. Ruang tamu kontrakannya yang sempit itu jadi penuh.

"Gimana bayinya, Din?" tanya seorang perempuan berjilbab lebar, yang tak lain adalah istrinya Pak RT.

"Alhamdulilah Bu RT, berkat doa Bapak dan Ibu sekalian, bayi saya sudah sehat sekarang," jawab Meidina sedikit canggung.

Setelah mengobrol banyak hal dan berbasa-basi, rombongan Pak RT akhirnya pamit pulang.

"Ini ada sedikit sumbangan dari warga. Mohon diterima ya, Din," ucap Bu RT sambil menyelipkan sebuah amplop putih di genggaman tangan Meidina sebelum pulang.

"Terima kasih, Bu RT dan ibu-ibu semua. Semoga Allah membalas dengan kebaikan berlipat. Aamiin," ucap Meidina dengan mata mengembun karena terharu dengan kebaikan para tetangganya.

Setelah rombongan Pak RT itu pergi, Meidina buru-buru menutup pintu. Bayinya yang tampak tertidur pulas dalam gendongannya, pelan-pelan dipindahkan ke kasur.

Setelah itu bayinya ditutup dengan tudung kelambu supaya tidak digigit nyamuk Aedes Aegypti yang berbahaya bisa menyebabkan penyakit demam berdarah. Jangan sampai Zavia dirawat lagi di rumah sakit gegara demam berdarah, Meidina membatin.

Dengan rasa penasaran, Meidina membuka amplop yang diberikan Bu RT. Ternyata berisi uang sejumlah 425 ribu. Perempuan muda itu lantas sujud syukur. Betapa sangat mudah bagi Allah memberikan rezeki dari arah yang tidak di sangka-sangka.

Meidina jadi malu, sebelumnya sempat berkeluh kesah dan kurang bersyukur dengan nikmat Allah.

Meidina memandangi wajah putri bungsunya yang terlelap. Menatap wajah Zavia yang sangat mirip dengan ayahnya, sedikit bisa mengobati kerinduannya akan sosok almarhum suaminya.

"Mas, tunggu aku di surga," lirih Meidina. Ia tak sanggup membendung air mata yang terus membanjiri pipinya. Setelah kepergian Firman, separuh jiwanya juga terbawa pergi.

Uang sumbangan dari warga satu RT itu cukup untuk membeli dua kardus susu dan biaya makan mereka selama seminggu.

"Alhamdulilah, Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya sendirian. Setiap kesulitan pasti akan datang kemudahan. Yang terpenting apa pun kondisimu, tetaplah untuk selalu bersyukur," ucap Wangi ikut senang Meidina mendapatkan santunan dari warga.

***

Sementara itu, di rumah sakit Bu Maharani duduk di kursi menunggui putranya yang masih koma.

Radeva Adyatama, putranya yang berusia 30 tahun terbaring koma di ruang ICU dengan banyak selang melilit tubuhnya. Putra kesayangannya itu kritis setelah mengalami kecelakaan tunggal menabrak pembatas jalan.

Sebelum hilang kendali menabrak pembatas jalan, ia sempat menabrak pengendara sepeda motor yang hendak menyeberang hingga tewas. Pengendara sepeda motor itu adalah Firman, suaminya Meidina.

Radeva mengalami pendarahan di bagian otak hingga membuat gegar otak dan juga mengalami patah tulang di beberapa bagian tubuhnya. Kondisinya kritis. Kata dokter hanya keajaiban yang membuatnya bangun dari koma.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bayi Telantar di Rumah Sakit    Bab 39 Lingerie (Tamat)

    Bab 39 Lingerie (Tamat)Sepulang dari Pantai Kuta menjelang Maghrib, Meidina ingin segera membersihkan diri. Ia pun lalu membuka koper untuk mengambil baju ganti dan terkejut saat menemukan sebuah kain tipis berenda berada di antara tumpukan pakaian dalamnya."Ini apa? Ini bukan punyaku," gumam Meidina mengernyitkan dahinya. Ditariknya kain tipis berwarna hitam dari dalam koper dan dijembrengnya di depan matanya.Radeva yang duduk di sofa melirik sesuatu yang dipegang istrinya sekilas dan ikut tercengang. Otaknya yang berpikiran kotor langsung traveling membayangkan sepotong kain tipis berenda itu melekat di tubuh sintal istrinya."Nggak mungkin juga itu punyaku," celetuk Radeva sambil menahan tawa melihat betapa polos istrinya. Bisa-bisanya Meidina tidak tahu benda apa yang ada di genggaman tangannya, padahal sudah memiliki tiga anak. Bagi Radeva itu rasanya lucu dan bikin gemas. Meidina menoleh ke arah suaminya yang tertawa pelan. Apanya yang lucu, pikirnya bingung.Melihat ekspres

  • Bayi Telantar di Rumah Sakit    Bah 38 Honeymoon

    Bab 38 Honeymoon Dengan perasaan tak menentu dan berat hati meninggalkan ketiga buah hatinya, Meidina memantapkan diri pergi hanya berdua dengan Radeva untuk honeymoon ke Bali. Meskipun hanya dengan membayangkan saja sudah membuatnya merasa malu. Ia bukan gadis perawan yang baru melepas lajang. Sebagai janda tiga anak, Meidina merasa bulan madu justru membuatnya jengah. Namun, bagaimanapun juga ia sekarang adalah seorang istri yang harus berbakti dan patuh kepada suaminya. Dengan diantar oleh Arfa, sepasang pengantin baru itu berangkat menuju Bandara Soekarno Hatta pagi itu setelah selesai menyantap sarapan.Melihat raut wajah gelisah istrinya, Radeva mencoba untuk menghibur dan menenangkan perempuan yang duduk di sebelahnya. Perempuan yang sudah halal untuk disentuhnya."Nggak perlu khawatir, Din. Anak-anak akan baik-baik saja dalam pengasuh Papa dan Mama," ucap Radeva sambil mengelus punggung tangan istrinya.Seketika Meidina membeku dengan keagresifan Radeva yang tiba-tiba, bera

  • Bayi Telantar di Rumah Sakit    Bab 37 Apa Cemburu Tanda Cinta?

    Bab 37 Apa Cemburu Tanda Cinta?"Itu keponakan lo, Dev?" tanya gadis bertubuh tinggi semampai dan langsing itu mengalihkan pandangannya ke arah bocah lelaki berusia lima tahun yang tengah berjalan menuju ke mobil Pajero warna hitam doff yang terparkir di depan minimarket.Radeva ikut melihat ke arah pandangan mata gadis cantik itu dan menganggukkan kepalanya sedikit ragu. Bimo memang keponakannya dan kini statusnya menjadi anak tirinya. Meski bocah itu keponakannya juga, entah kenapa Radeva seolah ingin menutupi status pernikahannya dari gadis berpenampilan modis yang berdiri di hadapannya. Perempuan dari masa lalunya, cinta pertamanya."Dev, ini kartu nama gue. Mampirlah ke kantor gue kalo senggang," ucap gadis yang mengenakan blouse bermotif floral dan rok span selutut itu seraya memberikan selembar kartu nama.Radeva menerima dan membaca sekilas sebuah kartu berukuran kecil dengan nama Gita Anindya dengan keterangan notaris disertai alamat kantor dan nomor telepon yang bisa dihubun

  • Bayi Telantar di Rumah Sakit    Bab 36 Mengenali Perasaan Sendiri

    Bab 36 Mengenali Perasaan SendiriPukul lima lewat dua puluh lima menit Waktu Indonesia Barat, Radeva masih sibuk berkutat dengan setumpuk berkas yang masih diperiksanya saat Pak Adyatama memasuki ruangan kerjanya.Lelaki paruh baya itu melangkah masuk menghampiri putranya yang tengah serius bekerja di belakang meja. "Belum selesai kerjanya, Dev?" tanyanya penuh perhatian."Iya, Pa," sahut Radeva sambil lalu dengan tatapan mata masih fokus tertuju pada tumpukan kertas yang ada di atas meja kerjanya.Pak Adyatama menghentikan langkahnya di sebelah kursi yang diduduki Radeva, lalu menepuk pelan bahu sang putra. "Kerjanya lanjutin besok aja. Itu kerjaan nggak harus kelar hari ini juga. Pulang sana. Jangan lupa sekalian jemput istrimu di toko!" Radeva sempat ngeleg selama beberapa detik sebelum menyadari bahwa kini ia sudah memiliki seorang istri. Ia hampir lupa dengan statusnya yang sudah tidak lagi lajang. Biasanya ia pulang saat langit sudah gelap. Mulai hari ini kebiasaannya akan ber

  • Bayi Telantar di Rumah Sakit    Bab 35 Masih Canggung

    Bab 35 Masih Canggung Dini hari, pukul dua lewat empat puluh lima menit Waktu Indonesia Barat, seorang perempuan muda dengan rok mini sepaha keluar dari sebuah klub malam, melangkah sendirian menuju mobilnya yang terparkir.Tak lama kemudian mobil itu pun melaju menembus gelapnya malam melewati jalan bebas hambatan dengan kecepatan di atas rata-rata. Perempuan muda itu merasakan mobil yang dikendarainya sedikit oleng. Tak nyaman berkendara tidak stabil, ia lalu mengurangi kecepatan dan menghentikan mobilnya di bahu jalan untuk mengecek kondisi mobilnya.Setelah menghentikan mobilnya di bahu jalan, perempuan muda itu keluar dari mobilnya untuk mengecek keadaan mobilnya."Sial, ban belakang mobil gue bocor!" umpatnya kesal. Perempuan muda itu lalu merogoh kantong jaket jeansnya untuk mengambil ponsel dan segera menghubungi seseorang untuk mencari bantuan."Bang Deva ... ayo angkat dong telponnya," gumamnya tak sabaran.Berkali-kali mencoba menghubungi sang kakak tapi tidak juga diangk

  • Bayi Telantar di Rumah Sakit    Bab 34 Sah

    Bab 34 Sah"Deva, kamu mau 'kan menikahi Dina?" Pak Adyatama menatap lurus putranya yang duduk bersila di atas tikar pandan, berjarak sekitar satu meter darinya. Pria paruh baya itu mengulangi pertanyaan yang sama karena Radeva masih diam tepekur sambil menunduk, tidak lekas memberikan tanggapan maupun jawaban.Lelaki paruh baya itu merasa optimis putranya akan menuruti kemauannya. Hanya kali ini saja Pak Adyatama memutuskan untuk menjadi strict parent. Tindakan kaku dan otoriternya demi kebaikan keluarganya. Ia tahu persis bagaimana selama ini sang putra selalu dihantui penyesalan yang teramat dalam. Radeva akan melakukan apa pun demi menebus dosanya, pikirnya merasa yakin.Sebenarnya Pak Adyatama masih menyimpan sedikit perasaan kecewa terhadap Radeva yang menjadi penyebab kematian Firman, putra sulungnya yang lahir di luar pernikahan dari perempuan yang menjadi cinta pertamanya. Putra yang belum sempat dilihat dan disentuhnya selama hidupnya. Dan itu sungguh disesalkannya, sangat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status