Share

Be With You : My Cheating CEO
Be With You : My Cheating CEO
Penulis: Noerally

1. Kehilangan

Saqina Mazaya keluar merangkak dari rumah dengan tangan yang meremas perut, dia menahan rasa sakit luar biasa yang perlahan menjalar menyebar dari perut buncitnya itu. 

Sampai di teras rumah, tenaganya terasa hampir habis. Mati-matian dia menahan rasa sakit agar bisa keluar rumah meminta pertolongan barangkali ada seseorang yang lewat dan menolongnya.

"To-tolong …," suara Saqinna lirih terdengar begitu memilukan. Tubuhnya ambruk tergeletak di atas lantai yang dingin. Deru nafasnya mulai tak beraturan, bahkan dia berpikir mungkin ini adalah saat dimana ajalnya akan menjemput. Butiran bening kembali membasahi pipinya. Dia merasakan sebuah cairan hangat merembes di balik rok yang dia pakai. Perlahan kesadarannya mulai lenyap hingga gelap menyergap.

***

Aku mengerjapkan mata perlahan. Pemandangan yang pertama kali kulihat adalah sebuah ruangan putih bersih. Bau khas obat-obatan menguar menusuk indra penciumanku. Sebuah jarum infus tertanam di lengan kiriku. Bisa dipastikan kini aku berada di rumah sakit. Aku masih hidup, padahal tadi rasanya aku sudah tak sanggup lagi. Syukurlah.

Kuraba perutku yang kini telah rata. Apa? Kenapa bisa rata begini? Dimana bayiku?!

Celingukan kucari dimana bayiku berada, namun tak ada siapapun yang ada di dalam ruangan ini selain diriku sendiri. Aku menoleh saat mendengar suara.

Krek!

Pintu perlahan terbuka, seorang wanita berjas putih masuk ke dalam ruanganku, dia seorang Dokter. Tepat di belakangnya kulihat sosok yang begitu kukenal. Dia adalah Mas Rama;suamiku.

Dokter tersenyum sembari menanyakan bagaimana keadaanku sekarang. Beliau memeriksa dengan teliti dan menyarankanku agar tak banyak bergerak dan lebih banyak beristirahat.

Setelah selesai memeriksa tubuh ini, ia beralih akan pergi. Secepat kilat kutahan langkahnya.

"Maaf, Dok. Dimana anak saya? Apa dia baik-baik saja?" tanyaku penasaran.

Dokter tak lantas menjawab, dia terdiam sesaat. "Ibu mohon tenang ya," ucapnya seraya mengusap pelan punggungku.

"Anak ibu tak bisa kami selamatkan, sebelum sampai di Rumah Sakit sudah tak bernyawa." jelasnya.

Bagaikan disambar petir mendengar ucapan dari Dokter. Air mata di pelupuk mataku luruh secara tiba-tiba. Begitu deras namun tak terdengar suara sedikitpun dari bibirku. Entahlah. Rasanya ada sebuah palu besar yang menghantam kuat tepat di relung hati. Sakit sekali.

Aku tergugu tanpa suara. Menyisakan sesak di dada. Ku tepuk-tepuk dadaku berharap sesak yang kurasa segera lenyap. Berharap yang kualami ini hanyalah mimpi belaka.

Tapi nyatanya rasa sakit jelas terasa nyata. Ini nyata! Anakku sudah tiada, satu-satunya hal yang membuatku bertahan sampai sekarang telah sirna. Calon bayiku yang kujaga dan ku nantikan telah tiada. Bahkan aku belum sempat melihatnya barang sedetikpun.

Mas Rama menarik tubuhku dalam pelukannya sembari berusaha menenangkan diri ini yang masih tergugu. Ku tepis tangan kotornya itu dengan kasar.

Ingatanku kembali melayang hari dimana Mas Rama memperlakukanku sangat biadab. Aku istrinya, istri yang mungkin kini tak lagi dianggap. Tak lagi dihargai sedikitpun. Bahkan dia setega ini menyakitiku.

Lelaki itu sedikit terkejut dengan perlakuan kasarku. Mungkin karena selama ini aku hampir tak pernah berlaku kasar di hadapannya. Aku selalu menjadi istri yang menuruti segala kemauannya. Istri yang selalu menghormati dan tak pernah sekalipun berani membantah.

Dia kembali meraih tanganku dan menggenggamnya erat. "Sayang, sudah ikhlaskan calon anak kita," ucapnya berusaha menenangkanku.

Dia menatapku dengan pandangan memelas. Sorot matanya yang tegas kini sayu bahkan air mukanya terlihat baru saja menangis. Untuk apa dia menangis sekarang, semua penyesalan tak akan bisa mengembalikan apa yang sudah tiada. Sungguh aku muak melihatnya!

Aku meronta berusaha melepaskan genggaman darinya. "Lepas!"

"Kamu tak pantas menyentuhku sedikitpun! Apa kamu sudah lupa? Kamu dengan sadar membuat calon anak kita tiada!" lanjutku.

Mata Mas Rama membelalak lebar mendengar ucapan kasar dariku. Bahkan tak ada panggilan mesra sayang lagi dariku. Ia mengusap kasar wajahnya frustasi lalu duduk di kursi samping ranjangku.

Ia menatapku mengiba, "Maaf … aku tak pernah menyangka akan seperti ini jadinya, seandainya kamu …"

Kutatapnya matanya nyalang penuh amarah, "Seandainya apa? Kamu ingin mengatakan seandainya aku bersedia dimadu dengan Ayu? Iya!" tukasku kasar.

"Pasti itu yang ingin kamu katakan bukan?!" sambungku masih terbawa emosi.

Sungguh tak menyangka jika dia malah balik menyalahkan aku. Kenapa baru sekarang dia meminta maaf? Padahal dia dengan sadar melukaiku bahkan meninggalkanku seorang diri dalam keadaan terpuruk. Andai dia tak meninggalkanku pagi itu, pasti calon bayiku masih bisa diselamatkan. Sungguh penyesalanmu itu sia-sia.

Lelaki pengecut itu tak menjawab. Pandangannya kini jatuh ke lantai, dia menunduk. Entah karena menyesal telah membuat calon anaknya tiada atau dia pasrah akan kemarahanku.

"Pergi, aku tak ingin melihat wajahmu," aku melengos tak ingin melihat wajahnya.

Mas Rama tak menjawab, dia memilih diam beberapa saat kemudian berlalu pergi setelah sekali lagi menatapku dengan pandangan mengiba.

Selepas kepergiannya, aku kembali tergugu mengingat kembali hal yang tak kubayangkan bisa terjadi. Tujuh bulan mengandung buah hati nyatanya bukan kebahagiaan yang kurasakan, tapi pedih tak terkira yang suamiku torehkan.

Aku bingung. Entah siapa yang memulai perdebatan di antara kami. Bagiku Mas Rama yang paling bersalah dalam hal ini. Mengapa dia bisa setega itu memperlakukanku begini. Kurang cukupkah pengabdianku selama ini sebagai istri atau ... memang dia yang kurang bersyukur memilikiku?

🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼

Perdebatan kami terjadi pagi tadi. Tiga hari yang lalu baru saja mengadakan acara tujuh bulanan atas kehamilanku. Entah mengapa perasaanku sudah tak enak sejak malam kemarin. Benar saja, esok paginya aku mendapatkan kebenaran atas firasatku itu.

Pagi itu seorang wanita datang berkunjung ke rumah, dia adalah Ayu;sahabatku. Senang bukan kepalang saat aku menjamu dirinya. Ia datang membawa sekotak roti yang memang sejak dulu aku suka. Ia bilang itu adalah hadiah sebab lama tak bertemu. Aku menerimanya dengan senang hati.

Mas Rama juga cukup dekat dengan sahabatku ini, bahkan mereka sudah saling mengenal sejak aku belum menikah. Tak pernah ada kecurigaan sedikitpun dalam hatiku. Kedekatan mereka bagiku masih cukup wajar bahkan tak ada gelagat jika mereka berdua memiliki hubungan spesial. Hingga pagi itu, Mas Rama mengajak kami bicara enam mata.

Mas Rama terlihat gugup, beberapa kali ia menatap Ayu. Pandangannya terlihat mengisyaratkan sebuah keraguan.

"Qina, apakah kamu menganggap Ayu seperti adikmu sendiri?" ucapnya ragu.

Pertanyaan apa ini? Sudah pasti aku menganggapnya lebih dari sekedar sahabat. Sejak kecil kami berteman hingga sekarang. Bahkan dulu aku seringkali makan di rumahnya, begitu pula dengan Ayu. Aku mengangguk menanggapi.

Kulihat binar bahagia terpancar dari wajah keduanya. Aneh.

"Sukurlah sayang, jika kamu memang menganggapnya seperti adikmu sendiri." Mas Rama kembali tersenyum.

"Sejujurnya aku berniat ingin menjadikan Ayu menjadi adik madumu," pungkasnya lagi.

Aku tertawa mendengar ucapannya. Awalnya mengira semua ini hanyalah candaan belaka. Tapi nyatanya Mas Rama menegaskan bahwa ia serius akan ucapannya itu.

Kutatap kedua insan yang duduk tak jauh dariku. Mereka duduk berjarak namun jelas kedekatan mereka terlihat. Sesekali saling pandang dan tersenyum.

Apa ini?

Sejak kapan mereka sedekat ini. Bahkan tanpa malu mereka saling mencuri pandang padahal ada aku disini. Aku istrinya.

"Sayang," suara baritone Mas Rama membuyarkan lamunanku.

"Kamu bersedia, 'kan?" ucapnya lagi.

Dia menegaskan keinginannya, kembali kutatap mereka berdua secara bergantian. Ada ngilu di hati yang kurasa saat membayangkan ada hubungan spesial di antara mereka.

Aku beranjak dari duduk. "Mas, aku ingin bicara berdua saja. Sebentar,"

Lelaki itu dengan patuh mengangguk dan mengikutiku langkahku masuk ke dalam kamar. Kututup pintu kamar dengan rapat seraya ku kunci.

Kami duduk berdampingan di atas tempat tidur, aku menatap wajahnya lekat. Wajahnya meneduhkan hati, sorot matanya yang tajam berhasil menaklukan ku hingga jatuh dalam pelukannya.

"Sejak kapan … sejak kapan Mas mulai menyukai dia? Sejak kapan kalian sedekat ini?" ucapku dengan bibir bergetar menahan gejolak dalam dada.

"Sejak tiga bulan yang lalu, Sayang." lugasnya tanpa rasa bersalah.

Penuturannya kembali menggoreskan luka. Sudah selama ini mereka saling berhubungan dekat. Mengapa bisa aku baru tahu sekarang?

Ku hembuskan nafas perlahan, "Apa kamu benar-benar yakin ingin menikahi dia?" kutatap bola matanya, mencari kebenaran akan ucapannya.

Mas Rama mengangguk mantap. Tak ada keraguan dalam sorot matanya. Sesak sekali rasanya melihat dia begitu lugas menyakitiku.

"Apa Ayu juga menyukaimu?"

Aku bertanya hati-hati, berharap sahabatku itu tak menyukai suamiku. Namun kenyataan tak pernah sesuai dengan harapan.

"Iya sayang. Bahkan kami … kami sudah sering pergi jalan bersama,"

Aku memilih diam. Rasanya aku masih tak menyangka dengan apa yang baru saja kudengar. Tapi ini kenyataan. Bayangan kedekatan sahabat dan suamiku membuat ngilu di hati kian terasa. Selama ini mereka bermain di belakangku dan selama itu pula aku begitu mempercayai mereka berdua. Nyatanya duri dalam daging memang berbahaya. Sama halnya seperti musuh dalam selimut.

Mas Rama meraih jemariku dalam genggamannya. "Maaf, Sayang …,"

"Apa kamu sudah tak mencintaiku lagi, Mas?" kutatap matanya lekat, mencari jawaban kebenaran dari sorot matanya.

Lagi-lagi ia menggelengkan kepala, "Aku masih sangat mencintaimu, Qina. Tapi … aku juga mencintai Ayu," lugasnya tanpa rasa bersalah.

Tak banyak kata yang dapat aku ucapkan. Entah karena bingung atau tak sanggup lagi berkata. Bahkan untuk marah saja rasanya percuma. Entah cinta seperti apa yang ia miliki untukku. Apakah memang hati bisa dengan mudah terbagi atau memang sudah tak ada lagi cinta di antara kami. 

Aku dan Mas Rama kembali duduk di ruang tamu di mana Ayu masih berada di sana, setia menunggu. Binar bahagia terpancar dari bola matanya. Apakah dia benar-benar menyukai suamiku? Selemah itukah persahabatan kami hingga dia menusukku dari belakang seperti ini? 

Aku menatap mereka berdua sekali lagi. Lalu menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.

"Maaf mas, aku menolak keinginanmu. Aku tak mengizinkan kamu menikah dengan Ayu." lugasku tegas menolak keinginan mereka berdua untuk menikah.

Brakk!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status