Xander duduk di kursi kerjanya yang ada di penthouse-nya seraya menegak wine hingga tandas. Jam di dinding menunjukan pukul 3 pagi, tapi hingga detik ini Xander tak kunjung beristirahat. Benak Xander tak henti mengingat perdebatannya dengan Audrey. Perdebatan yang tak memiliki solusi. Audrey terus memintanya untuk pergi, tapi sampai kapan pun Xander tak akan pernah melepas Audrey. Cukup tiga tahun Xander hidup tanpa Audrey. Xander tak ingin kembali di masa-masa berat ketika dirinya kehilangan Audrey.Sesaat, Xander memejamkan mata singkat. Pria itu meremas kuat gelas berkaki tinggi yang ada di tangannya. Buku-buku kuku Xander memutih akibat pria itu mencengkram kuat gelasnya. Yang Xander pikirkan sekarang adalah cara memutuskan hubungannya dengan Serry. Xander tahu dirinya telah melukai Serry karena telah memberikan harapan palsu, tapi Xander tak mungkin melepas Audrey. Hatinya hanya menginginkan Audrey, bukan yang lain.Ya, Xander menyesali kebodohannya di masa lalu. Andai waktu bisa
Audrey melangkahkan kakinya gontai memasuki apartemennya. Raut wajah Audrey begitu pucat. Mata dan hidung sembab akibat tangisnya yang tak kunjung reda. Sepanjang jalan menuju apartemen, benak Audrey mengingat Xander yang menggendong Serry. Bahkan raut wajah Xander menunjukan jelas kepanikan ketika melihat Serry mencoba bunuh diri.Audrey sengaja hanya diam kala Serry mencoba bunuh diri. Pasalnya Audrey ingin tahu respon Xander. Terbukti respon Xander menunjukan jelas kepedulian dan kepanikan akan terjadi sesuatu pada Serry. Katakanlah Audrey egois yang masih memiliki kecemburan pada Serry. Padahal Serry adalah kekasih Xander. Sedangkan dirinya hanya mantan istri yang tak akan pernah kembali bersatu dengan Xander.Audrey mengingat jelas ungkapan perasaan Xander. Setiap kalimat yang Xander ucap ingin memperbaiki semuanya tidak akan mungkin Audrey lupakan. Hanya saja ucapan Xander tak sesuai dengan kenyataan yang ada.“Mommy!” Tiba-tiba dikala Audrey baru saja masuk ke dalam apartemen,
“Yeay! Mommy sudah pulang!” Rikkard memekik kegirangan kala Audrey sudah pulang dari kantor. Bocah laki-laki itu sampai melompat-lompat melihat Audrey. Di samping Rikkard ada Dakota yang setia mememani Rikkard bermain. Meski ada pengasuh, tapi memang Dakota menyukai menjaga Rikkard. Tak heran jika Rikkard sangat dekat dengan Dakota. “Hey, Sayang. Anak Mommy yang tampan.” Audrey menundukan tubuhnya, menghujani pipi bulat Rikkard dengan lembut serta memberikan pelukan hangat pada putra kecilnya itu.“Mommy, hari ini aku bermain robot bersama dengan Daddy,” pekik Rikkard riang.“Bermain robot dengan Daddy?” Raut wajah Audrey berubah mendengar apa yang dikatakan Rikkard.“Rikkard tadi bermain dengan robotnya dan dia selalu mengajak bicara foto Xander, Audrey. Kau tahu? Bahkan Rikkard sampai menunjukan robot kesayangannya ke depan foto Xander,” sambung Dakota dengan sorot mata lekat menatap Audrey.Audrey terdiam beberapa saat. Pancaran matanya melemah mendengar penjelasan Dakota. Sunggu
“Dakota kenapa Rikkard lama sekali? Bukannya toilet tidak jauh dari ballroom?” Audrey melirik arlojinya sekilas, putranya itu lama sekali berada di toilet. Padahal jarak toilet menuju ballroom hotel di mana dirinya dan Dakota menghadiri seminar, sangatlah dekat.“Mungkin Rikkard berlari-lari dulu. Kau tahu, kan? Putramu yang tampan itu sangat aktif. Waktu aku menjaganya saja, dia pernah melompat dari sofa ke lantai. Oh, astaga, kalau membayangkan itu jantungku ingin berhenti. Rikkard benar-benar anak yang aktif.” Dakota berujar bercerita pengalamannya mengenai Rikkard yang sangat aktif. Setiap kali menjaga Rikkard memang menyenangkan, tapi sekaligus membuat Dakota selalu olahraga jantung. Pasalnya, Rikkard tak pernah takut melompat dari tempat tinggi ke tempat rendah. Jika Dakota menegur, maka keponakannya itu selalu mengatakan bukan laki-laki lemah. Audrey mendecakan lidahnya pelan. “Dakota, dua pengasuh sudah menjaga Rikkard. Rasanya tidak mungkin kalau dua pengasuh Rikkard tidak
Tangis Rikkard menggema keras kala masuk ke dalam apartemen. Bocah laki-laki itu meraung, menangis histeris di gendongan Audrey. Teriakan tangis Rikkard sempat membuat Audrey kewalahan. Dakota yang mencoba untuk mendiamkan Rikkard pun gagal. Rikkard berontak, kaki mungilnya menendang-nendang perut Audrey, hingga membuat Audrey sedikit meringis kasakitan mendapatkan amukan Rikkard.“Aku ingin bersama dengan Daddy! Mommy jahat! Mommy memisahkanku dengan Daddy!” teriak Rikkard dengan tangis yang semakin keras.“Rikkard, dia bukan Daddy-mu. Kau salah orang, Nak.” Audrey berusaha membujuk Rikkard.“Dia Daddy-ku, Mommy!” Rikkard meraung menangis semakin keras.Audrey yang kewalahan mendapatkan amukan Rikkard pun langsung memberikan Rikkard pada kedua pengasuh putranya itu. “Bawa putraku ke kamar,” tukasnya memberi perintah.“Baik, Nyonya.” Kedua pengasuh Rikkard segera membawa Rikkard meninggalkan tempat itu, menuju kamar. Tampak Rikkard terus berteriak menangis menyebut-nyebut ‘Daddy’, dis
Xander terdiam melihat dokumen yang diberikan oleh Chad—asistennya. Sebuah dokumen yang tertulis di sana ‘Rikkard Russel.’ Nama lengkap bocah laki-laki yang telah memanggilnya Daddy. Jantung Xander berdebar lebih cepat melihat nama ibu kandung Rikkard adalah ‘Skyla Audrey. S. Russel’. Lalu nama ayah dari Rikkard tertulis ‘Athes Russel’, kekonyolan macam apa ini? Kenapa nama data ayah kandung Rikkard adalah Athes Russel? Kilat mata cokelat Xander menatap dokumen itu tajam dan memendung kemarahan.“Jelaskan apa maksud semua ini, Chad?” seru Xander seraya meremas dokumen di tangannya.“Tuan Xander, saya tidak terlalu banyak mendapatkan informasi tentang anak laki-laki yang bernama Rikkard. Yang saya dapatkan adalah data di mana yang tertulis jelas ibu kandung Rikkard adalah Nyonya Audrey. Tapi yang membuat saya sedikit bingung, nama ayah kandung Rikkard adalah Tuan Athes Russel. Usia Rikkard masih berusia 2 tahun. Sedangkan Anda dan Nyonya Audrey bercerai tiga tahun yang lalu. Dan waktu
“Mommy…” Suara Rikkard polos memasuki kamar Audrey. Refleks, Xander dan Audrey mengalihkan pandangan mereka pada sumber suara itu. Tampak mata Rikkard mengerjap beberapa kali melihat sosok pria yang ada di samping Audrey.“Daddy? Is that you?” Wajah Rikkard sumiringah bahagia melihat Xander datang. Mata sembab akibat menangis kemarin memancarkan kebahagiaannya kala melihat Xander.Hati Xander menghangat setiap kali Rikkard memanggilnya dengan sebutan ‘Daddy’, senyuman samar di wajah Xander terus terlukis. Gelenyar rasa bahagia menelusup ke dalam dirinya memancarkan sebuah pengharapan.“Rikkard! Masuk ke kamar sekarang!” Audrey menyeka sisa air matanya, lalu menarik tangan Rikkard sedikit kasar, menjauh dari kamarnya.“Mommy! Aku ingin bersama Daddy!” Rikkard berontak meraung menangis kala Audrey menarik tangannya. Dengan sigap, Xander maju dan langsung menggendong Rikkard. Tangis Rikkard pun terhenti kala sudah di gendongan Xander.“Xander! Berikan Rikkard padaku!” Audrey hendak menga
“Daddy ingin pergi ke mana?” Rikkard yang baru saja bangun tidur, menatap Xander yang sudah rapi seperti ingin pergi. Bocah laki-laki itu mengerjapkan mata beberapa kali, tatapannya begitu polos hingga mampu menyihir semua orang yang ada di sana. “Sayang, Daddy-mu harus pulang ke rumahnya.” Audrey yang ada di samping Rikkard memberikan pengertian pada Rikkard. Pasalnya, tak mungkin Xander bermalam lagi di sini. Lebih tepatnya, Audrey tak ingin Xander bermalam di apartemennya lagi. Sudah cukup satu malam saja! Audrey tak tenang jika Xander berada di apartemennya. “Kenapa kita tinggal terpisah?! Daddy dan Mommy harus tinggal di tempat yang sama. Tidak boleh terpisah!” Rikkard ngamuk mendengar ucapan Audrey. Bocah laki-laki itu menggulingkan badannya ke lantai seraya berteriak-teriak tak mau tinggal berpisah dengan sang ayah. “Rikkard, jangan seperti itu, Nak.” Audrey hendak menggendong Rikkard, namun Xander lebih dulu menggendong Rikkrad. Audrey tak bisa berbuat apa pun kalau Rikkard