Share

Aib keluarga

Semua warga telah pulang setelah Pak RT meminta mereka bubar, tersisa 5 orang di ruang tamu. Nena hanya bisa menunduk dan meremas jari-jarinya yang saling bertautan, sama sekali tidak berani menatap ibu dan ayah tirinya.

Suasana tampak hening–nyenyat. Bayi mungil itu juga telah tidur di pangkuan Bu Elok. Untuk mencairkan suasana yang tegang, ayah tiri Nena mulai membuka suara setelah mendapat persetujuan dari istrinya.

"Nena dan Nak–" Dia tampak ragu untuk menyebut.

"Hady, Om." Hady mewakili dirinya sendiri menjawab keraguan pria berbadan kekar itu. Dia mengangguk.

"Karena kalian sudah membuat ulah, maka kalian harus menikah," tegasnya.

Nena yang tidak habis pikir dengan pria tersebut, mengangkat wajahnya dan menatap kesal. "Kenapa aku harus nikah sama dia? Sudah kami jelasin kalau bayi itu bukan bayi kami. Bu Elok, apa pernah Ibu lihat ada perubahan aneh di tubuh saya?" Kini pandangannya tertuju pada wanita paruh baya yang terlihat begitu bahagia.

"Bu," tegur Hady.

Bu Elok mengembuskan napas perlahan dan kemudian menatap mereka bergantian. "Ibu tidak tahu, yang jelas ini adalah bagi kalian!" Hady dan Nena sama-sama frustrasi sekarang. Bagaimana mungkin mereka tidak ada yang mau mendengarkan.

"Kamu harus sadar, Na. Kamu itu sudah buat aib keluarga. Sekarang ayo ikut Ibu pulang bawa bayi kamu." Prapti begitu murka, anak perempuannya telah membuat malu saja.

"Bu, saya minta pertanggungjawaban anak Anda, besok dan paling lambat lusa kalian sudah harus ke rumah saya untuk melamar Nena dan langsung melaksanakan pernikahan. Saya tidak mau anak saya menanggung aib seorang diri," tegasnya. Dia memaksa Nena berdiri dan meminta Bu Elok untuk menyerahkan bayi tersebut pada Nena. 

Tidak lama, Pak RT yang diminta tolong untuk membereskan barang Nena datang. 

"Pak RT, terima kasih sebelumnya. Saya minta tolong pada Bapak untuk memastikan bahwa keluarga Bu Elok hadir di rumah saya."

Bu Elok melepas pelukannya pada gadis yang kini tengah tersudut tersebut. "Ibu dan Hady akan datang ke rumah kamu." Nena hanya bisa pasrah, dia mengangguk dan mengikuti orang tuanya keluar dari rumah.

Setelah kepergian Nena dan orang tuanya beserta Pak RT, Bu Elok kini mulai menginterogasi Hady dengan tatapan mata tajam.

"Besok kamu jangan ke klinik, izin. Kamu dipingit!" 

Bu Elok segera pergi menuju kamarnya. Dia begitu kesal, seharusnya dia pulang pagi harinya, tetapi karena masalah ini dia harus segera pulang dan untung saja jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh. 

Hady, seorang dokter hewan tersebut begitu kesal. Di hadapan ibunya dia tidak berkutik, rasa sayang pada ibunya membuat dia lebih baik memilih diam dan menurut, apalagi semenjak kepergian sang ayah untuk selamanya membuat dia harus begitu memedulikan kesehatan ibunya.

***

Nena hanya memandang sekeliling yang masih gelap karena sekarang masih dini hari. Dia sesekali merapatkan selimut untuk bayi yang tidak dia ketahui asal usulnya agar tetap hangat. 

"Tidurlah, Na. Masih ada waktu dua jam lagi kita sampai di rumah." Nena hanya melirik kesal pada ayah tirinya yang duduk di dekat sopir. Dia tahu, pria yang kini berstatus suami ibunya itu hanya ingin dekat dengannya sebagai ayah–anak, karena perasaan terluka yang teramat dalam akibat perceraian orang tuanya Nena menjadi enggan untuk bersikap baik.

"Bapak ngapain bersikap baik sama anak pembuat aib begitu," ketus Prapti. Dia begitu kesal, putrinya telah mencemarkan nama baiknya.

"Besok, Ayahmu akan datang ke rumah. Lihat saja apa yang akan dia lakukan, Ibu yakin dia akan sangat kecewa sama kamu." Nena memilih memejamkan mata, dia terlalu malas untuk menebak apa yang akan terjadi padanya esok hari. 

"Ibu jangan bilang begitu, kita sebagai orang tua harusnya memberi dukungan untuk anak-anak." Adi berusaha menegur istrinya.

***

Prapti membangunkan Nena yang tertidur, dia menggendong bayi mungil tersebut dan segera membawanya masuk ke rumah.

Nena menatap asing pada rumah ibunya itu. Rumah yang lumayan besar dengan halaman yang luas tersebut. Wajar jika ibunya begitu bahagia kini melihat dari semua yang telah didapatkan, suami yang merupakan seorang dosen dan juragan tanah.

Dia melihat seorang gadis keluar yang diperkirakan berusia 10 tahun itu datang menghampirinya.

"Kata Ibu sama Ayah, disuruh masuk," ucapnya ketus. Terlihat sekali rasa tidak sukanya pada Nena. Setelah mengatakan itu gadis tersebut langsung berjalan meninggalkan Nena yang masih bergeming.

Nena berjalan dengan perlahan, dia mendengar celotehan ibunya yang seperti sedang berbicara dengan anak kecil, penasaran Nena mempercepat langkahnya. Dia masuk dan melihat ibunya sedang bermain dengan bayi tersebut.

Nena, bawalah anakmu ke kamar. Nanti Bu Siti akan bantu kamu untuk mandikan dia." Prapti langsung menyerahkan bayi itu pada Nena. Dia langsung mengajak Nena untuk mengikutinya.

"Ini kamarmu, sudah lama Ibu siapkan kamar ini buat kamu. Sayang, kamu sama sekali nggak mau tinggal di rumah Ibu, baru deh kamu merasakan tinggal di rumah Ibu setelah aib yang kamu buat itu, masuklah." Nena hanya bisa pasrah mendengar ucapan Prapti. 

Dia tidak pernah lagi mendapatkan kasih sayang kedua orang tuanya. Setelah perceraian sebelas tahun lalu dan membuatnya lebih memilih tinggal dengan neneknya.

Nena menertawakan nasibnya kini. Apakah harapannya yang selama ini dia panjatkan untuk bisa bahagia dapat terlaksana?

Dia menatap bayi mungil tersebut yang juga menatapnya dengan mata polosnya tersebut. "Hai, kamu berasal dari mana? Siapa yang tega buang kamu?" Dia memainkan pipi chubby tersebut.

Nena bahkan kini hampir ketiduran karena begitu lama menunggu orang yang akan membantunya memandikan bayi tersebut. Dilihatnya beberapa kali bayi tersebut menguap. Sepertinya dia juga mengantuk.

"Permisi Mbak Nena, Ibu diminta Nyonya untuk memandikan bayi Mbak Nena." Nena mengangguk, dia meminta wanita tersebut untuk mendekat dan sebelumnya meminta untuk menutup pintu kamar.

Dia membawa peralatan mandi untuk Nena dan bayi serta tas Nena yang ternyata masih tertinggal di ruang tamu.

"Sekarang kita mandikan dia, Bu?" 

Nena melihat wanita tersebut begitu cekatan melepaskan baju bayi dan mulai memandikannya.

"Bayinya masih umur sebulan ya, Mbak?" Kening Nena berkerut, bagaimana mungkin dia tahu berapa umur bayi itu.

"I–iya, Bu," jawabnya ragu. 

"Panggil Bu Siti atau nama saja, Mbak. Iya kelihatan, bayinya juga lucu banget, Mbak." Dia membasuk perlahan kulit bayi tersebut. "Namanya siapa?" 

"Hah ... Nena, Bu." 

Bu Siti terkekeh pelan, Nena salah mengartikan pertanyaannya. "Nama bayinya siapa?" tanya dirinya ulang, memperjelas pertanyaan sebelumnya.

"Itu, nunggu ayahnya saja, Bu." Ayah? Siapa? Hady, kah? Bu Siti hanya mengangguk. 

Setelah selesai memandikan bayi, dia meminta Nena untuk mandi juga. Nena hanya menurut dan memberikan hak penuh pada Bu Siti untuk mengantikan baju pada bayi tersebut.

***

Kini tinggal mereka berdua di kamat, dia enggan untuk keluar walau perutnya meronta minta diisi. "Ah, kenapa aku nggak bisa nulis sih," gerutunya kesal, "pasti karena masalah ini deh," lanjutnya.

Melihat bayi yang semula begitu anteng mulai menangis, Nena jadi kewalahan. Padahal sudah diberi susu formula dan sudah kenyang. "Kamu pup?" Nena mengecek kondisi bayi itu dan benar saja dia sedang buang air. 

"Astaga, gimana ini." Dengan malas dan tidak mau merepotkan Bu Siti dia mulai membersihkan kotoran tersebut walau rasa mual melandanya. Setelah membersihkan kekacauan yang dia alami, dengan polosnya bayi tersebut kembali tidur. Dia mencium gemas pipi bayi itu.

"Aku lapar, kamu aku tinggal sebentar ya. Cuma sebentar aja, ambil makan terus balik lagi ke sini." Setelah memastikan bayi itu aman, Nena keluar kamar dan menutup pintu begitu pelan.

Sayup-sayup terdengar obrolan beberapa orang di ruang tamu. Suara ibunya yang seolah begitu kesal. Dia berjalan perlahan mendekat untuk sekadar melepaskan rasa penasarannya.

"Dia anakmu, apa kamu nggak berpikir kalau saja waktu itu kamu paksa dia untuk tinggal sama kamu.  Pasti dia nggak akan dapat pengaruh buruk sampai membuat aib seperti sekarang ini." 

Dia melihat wajah ayah kandungnya yang memerah, di sampingnya juga ada ibu tirinya yang mencoba menenangkan suaminya dengan mengelus lengan.

"Jangan salahkan aku. Ini semua salah kamu juga. Dia jadi bergaul semaunya," ucapnya tak kalah lantang. 

"Cukup!" Adi menengahi pertikaian mereka. "Apa kalian tidak malu? Nena anak kalian berdua dan kalian saling menyalahkan?" 

"Mas," sungut Prapti kesal.

"Cukup, Bu. Tidak ada yang benar, semua salah. Baik Nena mau pun kita sebagai orang tua dari dia." 

"Saya merasa tidak bersalah, tapi ini semua salah ibunya yang tidak bisa mendidik anaknya," elak ayah Nena.

Nena muak, dirinya benar-benar muak. Dia kembali ke kamarnya tidak lagi menghiraukan rasa lapar yang meronta-ronta.

Dia hanya ingin ketenangan di sini. Lalu apa semua ini? Siti yang melihat Nena hanya bisa menghela napas berat. Dia begitu kasihan pada gadis tersebut.

"Hei, kamu tau ternyata mereka begitu egois. Mereka mementingkan diri mereka sendiri. Apa semua orang tua begitu?" Nena mengadu pada bayi yang kini tertidur pulas.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status