Share

Because the Baby
Because the Baby
Penulis: AfiahN

Tuduhan Kejam

Nena kini sedang dirundung kesedihan, hatinya hancur berkeping-keping akibat  pesan singkat dari pujaan hati yang telah menemaninya selama dua tahun terakhir. 

Nena, selama hidup di kota ini sejak awal begitu bergantung pada Anjar, mantan kekasihnya. Hanya karena permintaan Anjar yang tidak bisa Nena turuti, dengan teganya dia memutuskan hubungan.

Dia diputuskan lewat pesan singkat satu jam yang lalu, saat hujan masih begitu derasnya.

[Kita putus!]

Setelah pesan tersebut, Nena sama sekali tidak bisa menghubungi nomor Anjar, bahkan pesannya pun hanya ceklis satu. Nomornya sudah diblok.

Tega!

Kejam!

Hujan di luar menambah kegalauan dirinya, walau sebenarnya sekarang hanya tersisa gerimis saja, mengingat dirinya yang mudah sekali sakit jika terkena hujan dia memilih untuk tetap berada di dalam kamar. 

"Anjar, aku nggak bisa kamu giniin. Sakit banget tau, nomorku juga langsung kamu blok!" Tangisnya kembali pecah, bahkan ingusnya sudah ikutan meler. Dia tetap saja memilih untuk menenggelamkan wajahnya diantara kedua lututnya.

Dalam keadaan gerimis seperti ini, dia dengan samar-samar mendengar suara tangisan bayi. Astaga, apa karena patah hati dirinya jadi berhalu ria?

Dia mendongak, terlihat jelas matanya yang sembab karena tangisannya yang tidak henti, wajahnya begitu kusut, dan rambut yang disanggul asal. 

Dia begitu takut untuk hanya sekadar mengintip dari jendelanya, takut jika tangisan tersebut hanya halusinasinya.

"Aku nggak mimpi, itu benar suara–."

Nena segera bangkit dan mencoba mengintip dari jendela kamarnya. Kondisi halaman yang agak gelap membuatnya kesusahan untuk melihat sekitar, tapi dia kembali mendengar tangisan tersebut. 

"Siapa yang bawa bayi keluar? Masih gerimis pula. Seingatku juga Mbak Arum belum waktunya lahiran deh, masih juga delapan bulan." 

Nena memilih untuk menjauh dari jendela setelah ada kilatan seram. 

Dia kembali mengingat Anjar, diambilnya dengan kasar gawai yang masih tergeletak di karpet, dia masih memiliki harapan bahwa Anjar sudah bisa untuk dihubungi.

Berkali-kali mencoba untuk menghubungi tapi tetap saja tidak bisa, bahkan Nena sampai spam pesan begitu banyak untuk Anjar, tetap saja ceklis satu. 

"Anjar brengsek!" pekiknya kesal. Gawai tak berdosa dia banting di atas tempat tidur dengan kasar. Nena masih sadar, jika dia membanting gawainya di lantai pastinya dia akan mengeluarkan biaya untuk membenarkannya karena rusak.

Aneh baginya ketika dia masih mendengar suara tangisan bayi tersebut. Penasaran dengan asal suara tangisan itu, Nena dengan penampilan yang pantas disebut tak layak memilih keluar kamar dengan berbekal payung pemberian Anjar. 

Di luar, dia melihat Hady anak pemilik kost tempatnya tinggal menggendong entah apa. Buru-buru dia berlari mendekat karena begitu penasaran. 

"Bang, itu ... astaga, bayi!" Nena tidak pernah menyangka jika memang benar ada bayi di halaman rumah.

Hady menyerahkan bayi yang hanya berbalut baju dan jaket tersebut kepada Nena. "Eh, Bang, kok aku?" Dirinya bingung karena dia belum ada pengalaman menggendong bayi.

"Gendong dulu, saya tidak bisa gendong bayi!" Dengan terpaksa dia menerima bayi tersebut walaupun rasanya begitu kesusahan mengingat tangan sebelahnya membawa payung.

Hady kini sedang berjongkok, di hadapannya terdapat keranjang bayi, dia meminta Nena untuk menidurkan bayi tersebut di sana. 

"Kenapa nggak dari tadi, Bang?" kesalnya. Hadi hanya mengangkat bahunya.

Pertanyaannya sekarang, ini bayi siapa? Siapa yang tega menaruh bayi tak berdosa di halaman rumah orang lain? Di mana orang tuanya?

"Ayo kita bawa dia masuk," ajak Hady. Wajahnya masih saja jutek. 

Nena bergeming. "Bang, di sini cuma ada kita berdua. Aku takut nanti ada yang salah paham, gimana? Bu Elok dan Mbak Susi kan nggak ada di rumah."

Hady mengerutkan keningnya, dia tidak habis pikir dengan gadis kucel di hadapannya. Dalam keadaan begini dia masih saja memikirkan masalah seperti itu.

"Apa kamu nggak kasihan sama bayinya? Lihat dia sudah menggigil, pasti dia udah lama di sini. Ayo," ajaknya. Hady sampai memilih berdiri di belakang Nena dan mendorong punggungnya pelan.

"Bang, aku masih takut. Kalau ini jebakan buat kita gimana?" Hady tidak mau memedulikan apa-apa dulu. Sekarang dipikirannya, dia harus menyelamatkan bayi tidak berdosa tersebut secepatnya. Naluri dokternya meronta.

Tidak mendapat respons dari Hady, Nena akhirnya memilih untuk menurut. Hady membawa dirinya dan sang bayi ke ruang tamu rumahnya dengan pintu yang dia biarkan terbuka. 

"Kamu tunggu di sini, saya mau ke dapur sebentar." Nena hanya mengangguk, dia memilih menaruh keranjang bayi tersebut di sampingnya. 

Bayi yang imut tidak berdosa, siapa yang tega meninggalkannya.

Hady begitu sibuk mencari susu yang dia ingat dua hari lalu belikan untuk anak kucingnya yang sakit. Bukan susu kucing, tapi susu bayi dan dia rasa bisa dia berikan pada sang bayi.

Sementara, di ruang tamu Nena dirundung ketakutan. Beberapa menit setelah kepergian Hady, beberapa warga datang dan kini berada di dalam ruang tamu.

Nena, melindungi bayi tersebut. "Jadi kalian selama ini melakukan hal yang tidak bermoral di sini?!" Salah seorang mulai menginterogasi Nena, mata mereka dipenuhi kecurigaan pada Nena.

"Iya, nggak sangka. Mbak Nena yang kelihatannya polos ternyata bisa berbuat mesum sama anak pemilik kost-nya sendiri." Yang lain ikut menyahut.

Mereka mengira bahwa Nena dan Hady akan membuang bayi tersebut. Tadi saat mereka sedang di halaman ada tetangga yang melihat ngelagat aneh keduanya.

"Bapak-bapak salah. Saya dan Bang Hady nggak ngelakuin hal itu. Ini bayi tadi kami temukan di luar gerbang," sangkal Nena. Bayi tersebut kini berada di gendongan seorang ibu. 

"Bohong, kita nggak percaya ucapan kamu!" Seorang bapak berbadan gemuk menyela ucapan Nena. Dia terlihat paling ngotot.

"Kita tunggu saja Pak RT datang, mau kita apakan mereka berdua. Di mana Hady, apa dia sembunyi? Hady!" teriak bapak berbadan gemuk tersebut. 

Tidak lama, Hady menuju ke ruang tamu. Aneh baginya banyak orang di sana. "Nah ini salah satu pelakunya juga." Hady yang membawa botol susu itu kebingungan, pelaku apa?

Dia melihat Nena yang menunduk ketakutan dan bayi yang mereka temukan berada di gendongan tetangganya. "Ada apa ini, Pak, Bu. Kenapa kalian semua berkumpul di rumah saya?" Ibu yang sedang menggendong sang bayi merampas botol susu di tangan Hady dan segera memberikan pada bayi yang ternyata sedang kehausan.

Nena mengangkat wajahnya, wajahnya yang kusut semakin kusut saja. "Bang, kita dituduh mereka mau menelantarkan bayi itu," tunjuknya pada bayi tersebut. 

"Kita nggak nuduh, kita ada buktinya kalau kalian mau buang bayi itu. Kalian sudah mencemarkan lingkungan sini dengan berbuat mesum dan sekarang kalian dengan tega mau membuang hasil kejahatan!" 

Kepala Hady begitu pusing sekarang, niat baiknya hanya untuk menolong malah disalahartikan oleh tetangga.

"Pak, itu bukan bayi kita. Saya dan dia temukan bayi itu di depan."

"Alah, maling mana mau ngaku sih, udah kita tunggu Pak RT saja."

Mereka tetap ngotot tidak mau mendengarkan pembelaan keduanya.

"Saya juga sudah hubungi Bu Elok, dia malam ini juga langsung pulang." 

Firasat Hady sudah tidak enak. Ibunya sudah tahu. "Kamu hubungi orang tuamu," perintah salah seorang tetangga pada Nena. Nena hendak bangun dan langsung dicegah oleh mereka.

"Mau ke mana? Kabur ya?" 

"Mau ambil ponsel di kamar, Pak Broto," kesal Nena. Pak Broto pria yang berbadan gemuk itu yang sejak tadi paling berisik. 

"Nggak usah, biar pakai ponsel Mas Hady saja. Kamu di sini!" Pak Broto segera merampas gawai yang baru saja Hady keluarkan dari kantong celananya dan memberikannya pada Nena.

Lama dirinya hanya menatap layar ponsel tersebut. Siapa yang akan dia hubungi sekarang, ibunya kah atau ayahnya. Dia tidak begitu dekat dengan keduanya setelah mereka memilih bercerai.

"Ayo, kenapa lama?" desak mereka di sana. Sebelum Nena menekan ikon warna hijau untuk memanggil, dia melirik sesaat pada Hady. Dilihatnya pria tersebut sedang frustrasi sekarang. Karena begitu lama menunggu Nena, Pak Broto mengambil paksa gawai Hady dari tangan Nena dan segera menghubungi nomor yang sudah Nena ketik di sana.

"Halo, saya tetangga anak Anda, Nena. Bisa Anda datang sekarang ke tempat tinggalnya? Ada hal penting yang harus Anda tahudan tidak bisa ditunda." Belum sempat orang di seberang panggilan tersebut berbicara, Pak Broto segera mematikannya. 

Tidak lama Pak RT datang bersama bidan, dia melihat Nena dan Hady yang sudah duduk bersampingan dengan Nena menggendong bayi yang sudah kenyang tersebut.

"Ada apa ini sebenarnya? Apa benar Mas Hady dan Mbak Nena melakukan hal yang tidak baik di sini?" tanya Pak RT. Dia tidak mau ikut menyudutkan kedua orang yang terduduk lesu tersebut.

"Pak RT bisa lihat sendiri, mereka mau membuang bayi hasil hubungan terlarang mereka," jelas bapak berkeoala botak.

"Benar Mas, Mbak?" 

Hady menghela napas kasar. Dia menatap manik Pak RT penuh harap. "Kita tidak melakukan hal yang Bapak dan Ibu katakan itu. Kita menemukan bayi ini di depan rumah," jelasnya.

"Alah maling mana mau ngaku!" 

"Iya tuh, benar."

Mereka yang berada di dalam ruang tamu itu semakin memperkeruh suasana. Nena sudah tidak dapat menahan tangisnya lagi, sayang air matanya sudah terkuras habis karena tadi. 

"Baiklah, Bapak dan Ibu sekalian harap tenang. Bu Asih saya minta tolong cek kondisi bayi tersebut ya sembari kita menunggu Bu Elok yang katanya sudah masuk gang.

Pikiran Hady semakin kacau. Ibunya dalam hitungan menit sudah akan tiba di rumah. Bagaimana begitu cepat?

Bu Asih selaku bidan sudah selesai memeriksa keadaan bayi berjenis kelamin laki-laki itu. Katanya keadaan bayi sehat.

Pandangan mereka tidak lepas pada kedua orang tersangka yang seperti sedang duduk di kursi panas menunggu hasil sidang.

Mereka sudah dua jam lebih masih memilih untuk bertahan menunggu kedua orang tua mereka datang.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam, Bu Elok sudah datang. Silakan masuk, Bu." Mereka memberikan jalan untuk pemilik rumah. 

Bu Elok segera menghampiri keduanya. Dia langsungmenjewer kesal putranya itu sampai mengaduh kesakitan. Nena dan yang berada di sana hanya bisa menahan tawanya agar tidak pecah melihat perlakuan Bu Elok pada Hady.

"Anak nakal, kenapa kamu tega berbuat begitu sama gadis polos ini?" Bu Elok menatap Nena dengan iba. Dielusnya pipi Nena dengan penuh kasih sayang. 

Mendapatkan perlakuan lembut dari orang lain membuat hati Nena terenyuh, dia ingin memeluk wanita paruh baya tersebut tapi urung dilakukan.

"Bapak dan Ibu maafkan kesalahan putra saya. Pak RT saya janji akan menikahkan mereka berdua secepatnya." Nena dan Hady spontan menolak dengan keras.

"Nggak!" Keduanya begitu kompak.

"Jangan didengarkan ucapan mereka. Setelah orang tua Nena hadir saya akan membicarakan masalah ini sama mereka."

"Baik Bu. Kita tinggal menunggu orang tua Nena ke sini, sudah hampir tiga jam ini."

Hady melirik sekilas ke arah Nena, gadis yang begitu jauh dari kriterianya selama ini. Dirinya tidak menyangka ibunya memilih untuk tidak membela mereka. 

Tepat pukul dua belas malam, mobil orang tua Nena memasuki pekarangan rumah. Mereka langsung disambut dengan tanda tanya melihat ramainya rumah tersebut. 

Mereka masuk ke dalam rumah yang terasa sesak. "Permisi, maaf Bapak saya orang tua Nena. Ada apa sampai–" Belum selesai wanita paruh baya itu berbicara, Pak Broto sudah menyela.

"Anak Anda berbuat asusila di sini. Dia hamil di luar nikah dan mau membuang bayi mereka!" Nena menunduk dalam, dia begitu takut dengan tatapan tajam ibunya sendiri.

"Apa?!" 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
ci panda
awalnya aku pingin baca gara2 sinopsisnya yang menarik,dan chapter 1 nya ga mengecewakan! ga sabar pingin baca semuanya 😊 btw author gaada sosmed kah? aku pingin follow~
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status