Share

Behind My Mask
Behind My Mask
Penulis: Kanza Aleezhary

1. Ulang tahun Si kembar

Gemuruh riuh di acara ulang tahun ke sembilan belas yang tak biasa itu menyelimuti seluruh penjuru markas. Ketua mereka yakni Radz De Synne mengangkat pistol andalannya tinggi-tinggi seraya menebar semangat kepada para anak buah di geng mafianya, “The Shadowup” geng mafia besar yang memata-matai kota Luoseraz selama ini.

Membereskan semua orang yang mereka anggap sampah, tapi jangan samakan mereka dengan mafia biasa, ada satu hal yang membedakan “The Shadowup” dengan geng mafia lainnya yaitu, ujian sang pewaris tahta di ulang tahunnya yang kesembilan belas.

 

Gadis yang berulang tahun itu tampak benci dengan kehebohan yang dibuat ayahnya, terlalu berlebihan, dia lebih memilih keributan di tengah kekacauan besar yang biasa dibuatnya. Kekacauan lah satu-satunya hal yang dapat membuatnya mengeluarkan ekspresi, walau hanya seringai kejam yang ditunjukkannya.

 

“Livyanne De Synne!” Radz menembakkan peluru ke pinata berisi confetti begitu selesai menyebut nama putrinya Livy, gadis yang berulang tahun di umur kesembilan belasnya hari ini.

 

“Iya, ketua,” hormat Livy begitu sampai di hadapan ayahnya, di pusat perhatian acara. Gadis berambut hitam keunguan itu sepertinya sudah menyiapkan diri untuk hari ini.

 

Seluruh anggota mafia The Shadowup terdiam, mereka terlihat serius. Karena inilah yang membuat geng mereka berbeda dengan geng remeh yang biasanya hanya memakai otot mereka. Ya, detik ini juga mereka sedang melakukan upacara ulang tahun kesembilan belas dari pewaris tahta sekaligus upacara penyerahan ujian untuk meresmikan tahta kepada sang pewaris.

 

“Kemarikan sabitmu,” perintah Radz.

 

“Baik.”

 

Livy membawa senjata favoritnya ke hadapan sang ayah, untuk diberi tanda merah sebagai bukti penyerahan ujian khusus ini, selesai memberi tanda Radz mengembalikan sabit Livy. Membuat Livy kini benar-benar terlihat mirip dengan malaikat maut.

 

“Dengan ini, kau resmi menyandang tugas akhirmu sebelum menjadi ketua,” Radz menautkan jari-jarinya dan berpose tegas, “bunuh 1001 pemuda brengsek di kota ini Livy,” sambung Radz.

 

MataLivy membelalak, spontan ia mendongak dan menatap ayahnya itu, "Anda yakin ketua? Bukankah seharusnya 101 pemu-“

“AHAHAHA, lihat wajah kalian semua! Hahaha, candaan begini ternyata bisa membuat kalian tertipu?” potong Radz yang menertawakan seluruh anak buahnya yang terkejut karena perintah palsunya.

 

Radzmengatur kembali suaranya, “Tentu saja kau hanya butuh 101 pemuda untuk kau bunuh Livy, bunuh pemuda brengsek yang mana saja yang berani mendekatimu... disini, bunuh mereka langsung di hadapanku dan anggota lainnya.”

“Baik, akan saya lakukan dengan skenario terbaik saya dan membuat anda terkesan sehingga saya pantas berada di posisi ketua,” hormat Livyanne De Synne, gadis tak berperasaan dan selalu bertampang datar itu menerima ujiannya di hari ulang tahunnya yang kesembilan belas.

 

“Putriku sekarang sudah dewasa ya, aku bangga padamu Ivy,” Radz memanggil nama kecil Livy, “teruskan sikap tak berperasaanmu itu, ingat, jangan sedikit pun berbelas kasih pada orang yang salah,” ucap Radz penuh penekanan dengan tatapan tajamnya.

 

“Tentu ayah,” balas Livy, dia baru akan memanggil Radz ‘ayah’ saat Radz memanggil nama kecilnya.

 

“Hmpph, ayah percaya padamu, sekarang, AYO KITA LANJUTKAN PESTANYA!!!” Radz kembali menembakkan peluru ke pinata berisi confetti lainnya.

Livy kembali ke tempatnya, duduk diam sembari mencomot beberapa hidangan untuk menghilangkan rasa bosannya. Dari tempatnya duduk, terlihat sangat jelas jika ayahnya senang bahwa Livy akan meneruskan posisinya, tak seperti kembaran Livy, Kanaria De Synne. Kembarannya itu terlalu berbelas kasih pada tiap orang, sifatnya saja yang galak, tapi dia selalu begitu, selalu penuh belas kasih.

Sangat berbeda dengan Livy yang tak berperasaan, menyukai kekacauan, dan tentu saja sikap dinginnya yang misterius. Anak buah ayahnya saja harus berpikir seribu kali lebih dulu demi menyusun kalimat yang pas untuk mengobrol dengan Livy, benar-benar sulit.

Duduk diam di acara seperti yang biasa dilakukan Kana membuat Livy merasa bosan berkali-kali lipat, dia tak tahan untuk diam terus-terusan. Dia pergi ke balkon markas, mencari udara segar sekaligus menghampiri seorang gadis bersurai hitam kemerahan, Kanaria De Synne.

“Sudah lihat? Ah bukan, lo udah dengerkan?” tanya Livy dengan nada dinginnya, dia tahu pasti jika Kana hanya berani mendengarkan riuh acara ulang tahun mereka dari pada melihatnya.

“Iya,” balas Kana dengan suara lembutnya, “jadi, siapa yang akan kamu bunuh? Harus sebanyak itu? Bukannya itu-“

“Kejam? Iya gue tahu, gue kejam, nggak berperasaan, jadi nggak usah ingetin gue lagi,” potong Livy, “dan inget-inget aja,” Livy mendekat ke telinga Kana dan berbisik, “itu semua harus gue lakuin juga karena demi membalas dendam, demi ibu, nggak seperti lo yang terlalu lemah,” Livy mendorong pelan bahu Kana.

“Ibu nggak akan suka kamu begini Vy, ibu-“

“Ibu selalu berbelas kasih sampai akhirnya mati demi ngelindungin ayah sama kita, dan gue nggak akan biarin hal semacam itu terulang, jadi, Kana, kejamlah sedikit! Atau lo bisa lepasin marga keluarga dan tetap jadi lemah terus-terusan.”

Kana terdiam, “Ke-kenapa tiba-tiba?” matanya mulai memanas.

“Kenapa? Nggak suka? Sini coba tampar gue kalo lo emang nggak-“

“Baik, aku akan, meneruskan belas kasih seperti yang diajarkan ibu, dan mengganti nama belakangku,” Kana tersenyum miris menatap kembarannya itu.

“Kamu mirip ayah Vy,” ucapan sederhana Kana membuat Livy merasa deja vu, itu kalimat yang biasa diucapkan ibu mereka kepada Livy saat kecil.

“Hahh, memang, nggak seperti lo yang terlalu mirip ibu,” Livy mencabuti asal tanaman rambat di balkon sembari menatap pemandangan malam di luar.

“Hmm, iya deh,” Kana ikut menikmati langit malam di ulang tahun mereka.

“Ibu sedang apa ya?” gumam Kana.

“Andai lo cowok, lo yang gue bunuh pertama kali,” ketus Livy yang sangat membenci suasana sedih yang tiba-tiba dibuat oleh Kana.

“Kenapa?”

“Lo rese, pake ngingetin sama ibu mulu, cewek brengsek.”

“Ya sudah, aku tidur duluan saja, daaah!” Kana melengos pergi.

Livy tak menjawab, hanya menatap datar seperti biasanya ke kembarannya itu yang kian menjauh. Pandangan Livy kini tertuju ke hamparan bintang di atas sana, bukannya merenung atau hal lain yang dipikirkannya, justru Livy sedang mengingat-ingat nama semua pemuda yang pernah menyakiti dia dan kembarannya sejak kecil hingga kini.

“Belrega.”

“Theon.”

“Gave.”

“Lern.”

“Agyss.”

“...”

“Hmm, sudah sekitar... lima puluhan orang? Lumayan juga, pfft, akhirnya stok nama di daftar hitamku terpakai juga, haaah, kasihan, dulu mereka sudah kuberi peringatan sampai maafnya Kana juga mereka dapetin,” Livy menopang dagunya.

“Dasar para cowok brengsek nggak tahu diri, lihat aja besok, kalian semua bakal tinggal nama,” Livy mengelus sabit kesayangannya.

“Akhirnya hari ini datang juga ya ruby,” Livy mengobrol dengan sabitnya.

Livy kembali mendongak menatap langit, “Maaf Ibu.”

- Bersambung -

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status