Share

2. Peringatan

“APA?! AYAH AKAN MEMBUNUHKU KALAU AKU GAGAL?! AYAH TIDAK BISA BEGINI!” sorot mata tajam nan penuh kebencian tampak di wajah Livy.

“Memangnya kenapa tidak bisa? Aku ini ketua disini, dan kalau kau gagal dalam ujianmu tentu saja akan ada hukumannya,” Radz menatap dingin putrinya.

“TAPI KENAPA HUKUMANNYA HARUS DENGAN NYAWAKU AYAH?!” Livy masih tak terima dan kini dia menggenggam sabitnya kuat.

“Karena kegagalanmu itu berarti karena kau mempunyai belas kasih Livy, dan The Shadowup tidak butuh orang seperti itu untuk menjadi ketua mereka,” Radz tetap tak peduli.

“Lantas! K-kau! KENAPA KAU MASIH MEMBIARKAN KANARIA HIDUP?!” ujar Livy telak, “dia bahkan tak pernah berguna dalam misi-misi sebelumnya kan?! Tapi kenapa?!!” emosi Livy sudah tak terbendung lagi.

“Tentu saja karena ibumu, siapa lagi?”

Livy terdiam tak habis pikir, ayahnya ini masih mengikuti wasiat ibunya tetapi mau membunuhnya? Yang benar saja, bukankah ibunya memberi wasiat agar ayahnya itu menjaga dia dan Kana bersamaan? Sebenarnya apa yang dipikirkan ayahnya sampai dia ingin membunuh putrinya sendiri? Yang Livy tahu, saat ini ayahnya sedang memberinya peringatan keras.

“Khh, menyebalkan, wasiat ibu itu yang benar adalah agar ayah menjagaku dan Kana, bukannya membiarkan Kana hidup sedangkan aku kau ancam untuk mati!!!”

Livy membanting sabitnya, mengejutkan gadis yang baru saja membuka pintu ruangan Radz.

“Li-Livy?!” Kana berlari menghampiri Livy begitu sadar tangan Livy penuh dengan darah, dia tergores sabitnya sendiri.

“Minggir sana,” ucap Livy dingin.

Kana menuruti ucapan Livy, dia tak ingin gadis itu lebih membencinya lagi. Radz menatap kejadian di depannya dengan tatapan santai seolah memang itu lah yang seharusnya terjadi.

Kana menjadi gugup seketika ketika ayahnya menatap balik dirinya, Kana merasa seolah dia sedang bertatapan dengan raja iblis yang bisa membunuhnya kapan saja.

“Kenapa kamu kesini Ria?” Radz memanggil nama kecil Kana.

“A-aku mau pamitan sama ayah, aku mau berangkat kuliah,” Kana menunduk setelah selesai berbicara.

“Oh, ya, sana berangkat,” balas Radz datar.

“Iya ayah,” Kana berjalan melewati Livy yang masih setia memelototinya.

“Seram,” batin Kana, “Livy aku-“

“Ya sana hati-hati!” potong Livy ketus.

Kana mengangguk, dia pergi dan kembali menutup pintu ruangan ayahnya itu. Livy masih berdiri terdiam disana, tak berniat memungut kembali sabitnya yang tergeletak. Dia berniat menjaga harga dirinya sendiri.

“Kenapa masih disini? Nggak ngerjain ujian? Hmm?” Radz menatap galak.

“Tsk, ck menyebalkan!”

Livy berbalik lalu menyeret sabitnya dengan kakinya, Radz hanya menggelengkan kepalanya tak habis pikir dengan tingkah putrinya itu, apa lagi yang dilakukan Livy kalau bukan mematok harga diri yang sangat tinggi setiap harinya. Livy bahkan tak segan menutup pintu ruangan ayahnya dengan bantingan yang sangat keras.

“Ya Livy, teruslah begitu.”

***

Mobil hitam Livy melaju kencang, dia sedang mengejar mangsanya yang tak sengaja mengetahui Livy akan membunuhnya. Tepat saat dia tak sengaja melihat suntikan bius yang terjatuh dari sabuk persediaan Livy.

 

“Ck sialan, sabuk ini kenapa tiba-tiba rusak sih?!” Livy mulai mempercepat laju mobilnya.

 

“Jangan bilang Kana habis nyoba pake ni sabuk! Ngeselin,” Livy berhasil menabrak bagian belakan mobil mangsanya, “Dapet lo!”

 

“BRAAAK!! BLAAARR!!” mobil mangsa pertama Livy, yakni mobil Gave meledak setelah mobil Livy menabraknya hingga membentur batu besar di dekat jalan tol yang mereka lalui.

 

“YANG BENER AJA WOYY!” kesal Livy, pasalnya dia harus membunuh pemuda itu di hadapan ayahnya atau korbannya itu tidak akan dihitung ke daftar sama sekali.

 

Kaki Livy spontan menginjak rem mendadak, menepikan mobil jauh dari mobil Gave lalu berlari ke arah mobil yang baru saja meledak tadi. Livy tahu ini berbahaya kalau dia langsung mendekati mobil itu, bisa saja terjadi ledakan susulan yang tak terduga, tapi mau bagaimana lagi. Perintah ayah alias ketua itu absolut, walaupun Livy harus mandi darah sekalipun.

“Nekat lagi nekat aja terus Vy,” Livy mengangkat sabitnya seraya berbicara sendiri.

Livy mengayunkan sabitnya tepat di kaca mobil, lalu membuka paksa pintu mobil pengemudi dimana Gave sedang terduduk pingsan dengan kaki kiri terbakar. Untung sisi kiri mobil Gave yang terbakar, jadi Livy lebih mudah untuk menculik Gave. Tapi sepersekian detik kemudian setelah Livy memapah Gave, ledakan susulan mobil Gave muncul.

 

“DHAAARR!! BLAARRR!!”

Livy tak sempat menghindar, namun ini bukanlah cerita seperti di dongeng yang membuat Livy selamat, dia terlempar jauh dan hampir tergores sabitnya sendiri yang ikut terpental. Celana yang dikenakannya pun sedikit terbakar api, untung rambut ungunya itu dia gelung.

 

“Ukh, kepalaku.”

 

Tetapi kenyataan tetaplah kenyataan, kepala Livy yang terbentur serpihan mobil tadi kini banyak mengeluarkan darah. Seolah sudah terbiasa, Livy hanya mengikat kepalanya kuat dengan sapu tangannya dan kembali fokus pada tubuh Gave.

 

Dengan langkah sempoyongan Livy memungut kembali tubuh Gave dan memapahnya menuju ke mobil Livy. Siapa saja yang melihat mereka sekarang pasti akan mengira jika Livy sedang membantu Gave, posisi Livy aman saat ini, ditambah lagi dengan kondisi jalan tol yang sepi saat ini.

 

“AAAKH MENYEBALKAAAN!!” teriak Livy saat teringat kembali peringatan dari ayahnya, yang lebih tepat disebut ancaman pastinya.

 

“Kamu akan kubunuh jika gagal dalam ujianmu kali ini,” ucap Radz pagi tadi.

Ucapan yang cukup simpel yang Livy tahu betul itu ancaman nyata dari ayahnya. Livy De Synne akan tinggal nama jika sekarang dia hanya menyia-nyiakan waktu yang diberikan ayahnya. Satu tahun, waktu yang diberikan untuk Livy menyelesaikan ujian kejamnya.

Meski begitu kini kepala Livy sedang terluka, apa ayahnya akan tetap mengasihinya? Ah tidak, dia pria yang tak berbelas kasih, bahkan kepada anaknya pun sudah dibiarkannya hidup sudah menjadi belas kasihnya yang tersisa di dirinya.

Jarak mobil Livy sudah tak jauh lagi, entah apa yang membuat Livy merasa mobilnya menjauh, yang pasti kini mobilnya memburam, tidak tapi penglihatannya yang memburam.

Tubuh Gave yang berat ditambah lagi dengan kepala Livy yang mulai mengeluaran darah lebih banya lagi membuat langkah Livy yang semula sempoyongan kini terhenti, gelungan rambutnya tergerai. Livy jatuh tersungkur dengan hal terakhir yang dilihatnya adalah mobil biru cobalt yang berhenti tepat di sampingnya.

Tak sanggup menjaga kesadaran dirinya lagi, Livy akhirnya pingsan bertepatan dengan seorang pemuda yang keluar dari mobil biru cobalt itu. Menyisakan keheningan di kepala Livy dan gelap hitam yang menutup penglihatan Livy sampai beberapa jam kemudian. Sampai kilauan sinar dari lampu rumah sakit memaksa Livy membuka matanya.

Livy memaksa dirinya untuk duduk walau pusing berat, kepalanya kini diperban dengan rapi dan lecet di wajah cantiknya itu sudah dibalut plester walau surai ungunya masih acak-acakan.

“Oh, sudah bangun?”

- Bersambung -

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status