Masuk“Gue beneran gak habis pikir sama mereka. Kemarin Jess nangis kejer liat Tian tunangan sama Hanna. Sekarang malah … .” Elina menghela nafas panjang, lalu menatap Jesslyn yang mengobati luka Christian dengan telaten. Sesekali meniup luka yang baru saja diberi obat merah.
“Cinta beneran mereka?”
“Ya dipikir aja Mbak ngak mungkin gak cinta sampai nunggu bertahun-tahun. Kalau gue jadi Jes udah berpaling cari yang lain tuh.”
Rhea mengangguk kecil menatap wajah Christian yang babak belur. Ada rasa kasihan disana tapi ada juga rasa lega yang Rhea rasakan. Entah kenapa rasanya melihat hubungan mereka membaik membuat Rhea sedikit senang. Bukannya tidak suka, mereka berteman sudah lama bahkan luar dalam mereka tahu semuanya. Rhea hanya khawatir sesuatu akan terjadi dengan Jesslyn. Hanya itu saja tidak lebih.
“Begini biar apa? Biar jago ngajak anak orang berantem? Yang ngerasa sakit Lo sendiri bukan orang lain.”
Sejak mengobati luka Christian, wanita itu tak berhenti mendumel. Seolah rasa kesal yang dia pendam selama ini dia curahkan begitu saja di hadapan pria itu. Kembalinya dia menang membuang hidup Jesslyn lebih berwarna. Bahkan ketika satu hari saja mereka tidak bertemu Jesslyn merasa kehilangan karena tidak ada orang yang menggoda dirinya hingga marah. Tapi ketika tahu orang yang berpengaruh dalam hidupnya adalah orang di masa lalunya membuat Jesslyn sedikit Menjaga jarak, apalagi dia adalah tunangan temannya sendiri.
Rasa sesak itu kembali terasa, wanita itu menarik nafasnya begitu dalam dan menghembuskan dengan perlahan. Bibirnya mengunci, dia lebih fokus pada sudut bibir pria itu yang sobek dan terus mengeluarkan darah. Bibir yang beberapa jam lalu menciumnya habis-habisnya, dan sialnya Jesslyn hanya bisa menelan salivanya dengan susah payah ketika tangannya tak sengaja mengusap bibir itu dengan lembut.
Oh shit!! Murahan sekali. Pikir Jesslyn.
Melihat reaksi Jesslyn, Christian tersenyum. Dia menarik tangan wanita itu yang ingin menyentuh kembali sudut bibirnya untuk diobati. Dengan secepat kilat Christian mengecup bibir wanita itu sebanyak dua kali.
Tentu hal itu membuat kedua mata Jesslyn berkedip beberapa kali karena shock. Lalu mendorong tubuh Christian untuk segera menjauh.
“Gak sepantasnya Lo lakuin ini ke gue!!” Cetus Jesslyn.
“Kenapa? Lo lupa apa yang udah barusan gue lakuin ke elo waktu di apartemen?” Tanya Christian dengan nada memancing.
Noah yang penasaran pun mendekat. “Lo berdua habis ngapain? Itu … leher Jes juga ada cupangnya.”
Mendengar kata cupang Jesslyn langsung mencari kaca di dompet makeup milik Elina. Dan benar saja cupang warna merah yang cukup ketara di leher Jesslyn membuat wanita itu mengumpat seketika. Kenapa dia tidak sadar dengan apa yang terjadi tadi siang?
Tidak terjadi apapun pada Christian dan juga Jesslyn. Dia hanya datang mengantar map setelah itu wanita itu pulang, tidak lebih. Mau melakukan apapun juga disana ada Hanna. Kalau masalah cupang, setelah pulang dari apartemen Jesslyn bertemu dengan seseorang itulah kenapa ada cupang di leher Jesslyn. Dan itu bukan ulah Christian, dia tahu betul dan tahu batasan jika dia harus berbuat nekat dengan Christian. Meskipun temannya tahu jika Jesslyn pernah bodoh menunggu Christian untuk kembali padanya. Jelas wanita itu agar Noah dan yang lain tidak salah paham
“Gue yang bikin, itu sebagai tanda kepemilikan. Kalau Ai milik gue.” kata Christian tiba-tiba.
Sabian, Arzhacel dan juga Noah pun semakin bingung. Dari dulu mereka tahu betapa besarnya cinta Christian untuk Jesslyn. tidak mungkin rasanya mereka melakukan hal itu di apartemen yang dimana ada Hanna disana. Entah Christian atau Jesslyn yang berbohong tapi penjelasan mereka cukup masuk akal.
“Buset deh … siapa nih yang bener?” kata Noah
“Gue.”
“Gue.”
Jawab mereka berdua sama.
Noah menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya dengan perlahan. Lalu menatap Christian dan juga Jesslyn secara bergantian.
“Gue–”
“Diem Lo!!” Sentak Jesslyn dan membuat Noah kembali menutup bibirnya. “Bilangin sama dia jangan deketin gue lagi, minimal ingat apa yang sudah terjadi beberapa bulan yang lalu. Kalau perlu gue ingetin, hari ini gue kasihan sama dia bukan berarti dia bisa nyium gue di tempat umum begini. Gue punya harga diri, apa perlu gue gampar sekalian?”
Mengangkat kedua tangannya Noah memilih untuk mundur. Dia tahu betul diantara Rhea, Elina, hanya Jesslyn lah yang paling galak. Paling tidak bisa disentuh dengan apapun kecuali dia sendiri yang mau. Dan untuk sekarang dia sudah membuktikan jika rasa sakit yang dia rasakan membuat suasana diantara mereka mencengkram.
***
Jesslyn memutuskan untuk pulang, peduli setan jika Sabian akan marah atau apapun itu. Sejujurnya Jesslyn bingung dimana letak dirinya yang dulu? Yang mana paling suka menggoda Sabian hingga darah tinggi. Tapi yang ada wanita itu seolah tidak tertarik dengan siapapun kembali. Dia tidak suka menggoda Sabian lagi, dia tidak suka Christian ada di sekitarnya lagi. Kenapa dia seperti ini? Ini bukan diri Jesslyn, dia memang suka marah tapi … kenapa?
Pertunangan itu benar-benar membuat Jesslyn terpuruk. Dia sudah menunggu lama tapi yang menjadi pendamping hidup Christian bukan lagi dirinya melainkan Hanna, temannya dulu. Sakit hatinya membuat dirinya berubah drastis dan Jesslyn tidak nyaman dengan dirinya yang sekarang. Seperti bukan dirinya saja.
Pulang ke rumahnya, Jesslyn memilih untuk merendam dirinya lebih lama di dalam bathtub. Mungkin dengan begini mood Jesslyn bisa kembali seperti sedia kala. Seharusnya wanita itu tidak lagi memperdulikan Christian, tidak lagi memikirkan pria itu yang sudah menyakitinya begitu dalam. Mungkin besok dia akan menunjukkan dirinya yang seperti dulu lagi, yang dimana ada atau tidak ya Christian bukan pengaruh besar dalam hidupnya. Kita sudah memilih jalan masing-masing, dan Jesslyn tidak ada hak untuk memikirkan pria brengsek itu kembali.
Terlalu asik menikmati merendam diri di dalam bathtub. Suara ketukan pintu membuat Jesslyn membuka matanya sebelah. Dia hanya memastikan jika suara ketukan itu tidak halusinasi, karena Jesslyn baru saja memejamkan matanya dan hampir tertidur.
“Jesslyn ada teman kamu didepan.” Itu suara ibunya, dan teman? Siapa yang datang ke rumah? Elina? Rhea? Untuk apa?
Lagian jika Elina dan juga Rhea, ibunya tidak perlu berteriak seperti ini dan akan membiarkan mereka berdua masuk ke dalam kamar Jesslyn. Hanya dengan menggunakan jubah mandi, rambut yang digulung dengan handuk wanita itu memutuskan untuk keluar kamar. Ngerepotin banget mereka berdua ini.
“Lo berdua tinggal masuk ke kamar aja, ngapain bikin emak gue— Lo … ngapain Lo kesini?” pekik Jesslyn kaget ketika tahu siapa yang datang ke rumahnya dan kenapa tamunya tidak langsung masuk ke kamar.
Ya, dia adalah Christian Abinaya. Dengan wajah babak belur nya dia duduk santai di ruang tamu bersama dengan ibu Jesslyn.
“Jes kenapa cuma pake jubah mandi sih.” Geram sang ibu
“Itu … Mami ngapain ngebiarin dia masuk sih.”
Ibu Jesslyn merasa tidak enak hati dan menarik tangan Jesslyn untuk masuk ke kamarnya. Minimal anak perawannya ini mengenakan baju yang lebih sopan ketimbang jubah mandi. Dia bukan anak kecil lagi, dia wanita dewasa yang dimana pria itu bisa berpikir aneh-aneh tentang putrinya.
“Jangan banyak bicara. Pakai baju mu yang benar dan temui Abi.”
****
Christian baru saja menjejakkan kaki di pelataran parkir kantor Sabian. Siang itu matahari terik, tapi yang lebih menyilaukan matanya justru sesuatu yang lain. Pandangan tajamnya langsung tertumbuk pada sebuah sedan putih—atau lebih tepatnya, yang seharusnya putih. Bagian kap depan mobil itu kini berwarna merah menyala, seperti sengaja disemprot pilox.Christian mengerutkan dahi, menghentikan langkahnya. Apa-apaan ini? pikirnya. Ia kenal betul mobil itu. Mobil Jesslyn. Mobil yang selalu diparkir di sudut yang sama.Dengan langkah lebar, ia masuk ke lobi, menyalami beberapa karyawan sekadar basa-basi, lalu segera menuju lantai tempat Jesslyn bekerja. Tak butuh waktu lama untuk menemukannya—wanita itu sedang berdiri di depan meja kerjanya, wajahnya kaku, sorot mata penuh amarah yang ditahan.“Jess,” suara Christian rendah tapi tegas.Jesslyn menoleh, kaget. “Apa lagi? Kamu bikin kaget aja.”Christian menatapnya lekat-lekat. “Itu mobil kamu, kenapa warnanya berubah? Ada yang nyemprot mer
Malam itu rumah Jesslyn terasa lebih lengang setelah Elina dan Rhea pamit. Sisa gelak tawa mereka masih menggantung samar, tapi begitu pintu menutup, kesunyian langsung mengambil alih. Jesslyn berjalan pelan ke dapur, membereskan gelas-gelas bekas minum, sementara Christian bersandar santai di ambang pintu dengan tangan terlipat di dada, menatapnya tanpa henti.“Kenapa liatin aku terus?” Jesslyn berusaha terdengar biasa, tapi nada suaranya bergetar samar.Christian terkekeh pelan, langkahnya mendekat. “Karena kamu keliatan cantik… bahkan cuma pake kaos santai gini.”Jesslyn melirik, pura-pura cuek, tapi pipinya jelas memerah. Ia buru-buru membuka bungkus mie instan, mencoba menutupi kegugupan. “Mau makan atau enggak? Jangan ganggu aku.”“Kalau bisa ganggu kamu terus, aku pilih itu,” sahut Christian, nadanya rendah, menggoda.Jesslyn mendengus. Ia memasukkan mie ke air mendidih, tapi sadar betul Christian semakin dekat. Helaan napasnya terdengar di belakang telinganya, membuatnya kaku.
Mobil Christian berhenti di depan sebuah minimarket besar. Jesslyn yang sejak tadi diam hanya bisa melirik heran. Untuk apa dia berhenti disini?“Kok mampir?” tanyanya pelan.Christian melepas sabuk pengamannya. “Kulkas kamu pasti kosong. Aku yakin Elina sama Rhea udah habisin semua cemilan kamu. Benar, kan?”Jesslyn terdiam, lalu terkekeh kecil. “Kok bisa nebak?”“Karena aku kenal mereka. Dan aku lebih kenal kamu,” balas Christian santai, lalu keluar. Ia membuka pintu untuk Jesslyn, membantunya turun. “Ayo, belanja sekalian buat bulanan.”Suasana minimarket cukup ramai sore itu. Lampu putih terang membuat lorong-lorong rak tampak panjang. Jesslyn mendorong troli, sementara Christian berjalan di sampingnya, sesekali mengambil barang tanpa izin.“Eh, buat apa kamu masukin ini?” Jesslyn menunjuk sekotak sereal rasa coklat.“Buat sarapan kamu. Aku nggak mau kamu cuma minum kopi hitam tiap pagi.”Jesslyn mendengus. “Aku biasa aja, Tian.”“Tapi aku nggak biasa lihat kamu kayak gitu, ingat
Jesslyn berjalan cepat meninggalkan koridor tempat tadi ia bicara dengan Hanna. Wajahnya berusaha tetap datar, tapi di balik tatapan dingin itu dadanya terasa penuh. Setiap kalimat yang keluar dari mulut Hanna tadi seperti gema yang menolak hilang dari kepalanya.Begitu sampai di depan pintu ruang kerjanya, Jesslyn menarik napas dalam-dalam, lalu masuk. Pintu menutup perlahan, meninggalkan sunyi yang anehnya tidak membuatnya tenang.Ia menaruh map kerja di atas meja, meletakkan tas dengan sedikit keras, lalu duduk. Kursi berputar itu ia dorong hingga menghadap jendela besar yang memperlihatkan langit siang yang mendung tipis. Jemarinya meremas rok kerjanya sendiri.“Kenapa harus gue yang dengar semua itu…” gumamnya lirih.Suara ketukan pelan di pintu membuatnya menoleh cepat. Elina masuk dengan membawa dua cangkir kopi.“Gue lihat wajah lo… nggak biasanya kayak gini,” ucap Elina sambil meletakkan kopi di meja. “Lo baru dari ruangan Sabian, ya?”Jesslyn menatap sahabatnya sejenak, lalu
Hanna melangkah dengan pasti ke lobi kantor pusat Miller Corporation. Sepatu haknya beradu dengan marmer dingin, langkah yang terdengar tenang tapi menyimpan kegelisahan. Semua mata pegawai yang lewat menoleh, sebagian memberi salam singkat, sebagian lainnya hanya berbisik. Nama Hanna sudah cukup membuat perhatian tertuju, terlebih kedatangannya yang tidak dijadwalkan. Semua orang tahu siapa Hanna saat ini. “Selamat siang, Nona Hanna,” resepsionis menyapa sopan, sedikit gugup.“Sabian ada?” tanya Hanna singkat, tanpa basa-basi.Tak butuh lama, seorang staf langsung mengantarkan Hanna ke lantai atas, menuju ruang kerja Sabian. Ruangan itu luas dengan dinding kaca menjulang, pemandangan kota terbentang di belakang meja besar berwarna hitam elegan. Sabian berdiri membelakangi pintu, kedua tangannya bersedekap di belakang, seolah sudah tahu siapa tamunya.“Lama sekali lo gak datang ke sini,” ucap Sabian begitu pintu ditutup, suaranya datar tapi penuh wibawa.Hanna mengangkat dagu. “Kalau
Jesslyn masih mengusap rambutnya dengan handuk ketika melangkah ke ruang tamu. Dia setengah kaget, setengah salah tingkah melihat Christian berdiri di sana. Perasaan tadi masih duduk disana kenapa sekarang Deket banget sama dia?“Tian…” suaranya pelan, agak tercekat.Christian hanya tersenyum tipis. “Gue kangen.”Elina langsung batuk pura-pura keras. “Uhuk! Uhuk! Aduh, kayaknya tenggorokan gue kering banget.” Dia berdiri sambil menarik lengan Rhea. “Yuk, kita ke dapur, cari minum dulu.”Rhea hampir ngakak, tapi berhasil menahannya. “Iya, iya. Air putih kan sehat.” Mereka berdua pun melipir ke arah dapur, tapi jelas sengaja melambat agar bisa mendengar.Jesslyn mendengus, mencoba menutupi wajah panasnya. “Lo ini… tiba-tiba datang gitu aja.”Christian menatapnya dengan mata teduh, langkahnya maju mendekat. “Seharian nggak ada kabar dari lo. Gue pikir ada apa-apa. Telepon nggak diangkat, pesan nggak dibalas.”Jesslyn menggigit bibir, salah tingkah. “Gue sibuk, Tian. Masa harus laporan se







