“Aa Yusuf…” Lirih suara Loulia memanggil nama pemuda yang dicintainya itu. Dibukanya mata yang entah berapa lama terpejam hingga terasa berat dan rapat. “Emh…” lenguh Loulia seraya berpaling dari cahaya yang menyorotnya tajam. Loulia kembali berusaha membuka mata perlahan dibantu telapak tangannya demi menghalau cahaya yang menyilaukan itu.
“Di mana ini?” gumamnya dengan tenggorokan sakit karena kering. Loulia menatap langit-langit yang terasa asing baginya. Ini pastilah sebuah kamar, yakinnya dalam hati setelah menyadari dirinya tengah terbaring di atas kasur empuk berselimut tebal.
Masih menghalangi wajahnya dengan telapak tangan, Loulia mulai mengamati keadaan sekitar. Pandangan Loulia berkeliling demi mencari secercah petunjuk di mana dirinya berada saat ini. Dilihatnya dinding berwarna putih, gorden, meja, lampu… lampu studio? Loulia terheran ketika melihat lampu studio berdiri di depan ranjang. Monitor? Kamera? Terhenyak Loulia melihat benda-benda yang ia tahu biasa digunakan untuk keperluan syuting film itu.
“Ini bukan kamar, tapi… studio?” terka Loulia. Setelah berkata demikian, tiba-tiba Loulia merasa jantungnya berdebar-debar kencang. Seketika benaknya disergap prasangka buruk, sesuatu yang tak pernah sekalipun ia bayangkan.
Dabh! Dibh! Dubh!
Dengan perasaan was-was perlahan Loulia mengintip tubuhnya yang dibalut selimut. “Astaghfirullah!” bibirnya spontan mengucap istighfar demi melihat lingerie hitam yang menempel di tubuhnya. “Apa yang terjadi…?” Tanya Loulia pada diri sendiri dengan gemetar di sekujur tubuh.
Beradu dengan panik yang menyeruak naik, Loulia memaksa otaknya mengingat peristiwa yang menyebabkannya berada di tempat itu dan bagaimana bisa ia menggunakan pakaian dalam yang tipis lagi menerawang, yang membuatnya bergidik ngeri.
“Sssshhh…” desis Loulia. Jemarinya menekan kuat dahi yang mengkerut. Tak ada petunjuk, selain bayangan perkelahian Deon dengan anak buahnya, bagaimana Yusuf diseret oleh laki-laki berseragam hitam dan dirinya yang jatuh terhempas pukulan Deon.
“Emhk!” Loulia berdehem. Tenggorokannya perih. Loulia kemudian bergerak ke tepi tempat tidur demi mengambil segelas air yang tersedia di atas meja.
Lek lek lek lek, bunyi air diteguk. Loulia menghabiskan air minum dengan cepat, kentara sekali kalau ia kehausan.
“Aaa!” Teriak Loulia histeris ketika seseorang sekonyong-konyong masuk ke dalam kamar tanpa permisi. Saking terkejutnya, gelas di tangan Loulia jatuh dan pecah di lantai. Buru-buru ia menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.
“Apa yang kau lakukan? Pergi!” disentaknya Deon, laki-laki yang masuk ke kamar itu.
“Ow! Easy… easy… gadisku. Kau sudah bangun rupanya,” celoteh Deon.
“Cih!” Tampik Loulia ketika Deon hendak menyentuh wajahnya. Sungguh menjijikkan mendengar Deon menyapanya dengan sebutan ‘gadisku’.
“Jangan macam-macam denganku!” ancam Loulia seraya melotot pada Deon dan mengacungkan telunjuknya ke wajah lelaki itu.
Deon yang menatapnya genit segera mencengkeram pergelangan tangan Loulia. Ditariknya kuat tangan halus nan lembut itu ke depan wajahnya. Deon lalu mengendus-endus jemari lentik milik Loulia dengan mata setengah terpejam.
“Lepaskan laki-laki bajingan!” teriak Loulia sambil menahan sakit sebab teramat kuat Deon mencengkeram tangannya.
“Kau tenanglah… ini akan sangat menyenangkan,” ucap Deon yang kini mulai berani membelai lengan Loulia.
“Pergi kau laki-laki brengsek!” Loulia melayangkan sebuah tamparan ke wajah Deon. Namun gerakannya berhasil ditepis laki-laki itu. Loulia lupa, bahkan lima laki-laki bertubuh kekar pernah dihajar Deon sampai lemas. Bagaimana dengan dirinya? perempuan seorang diri yang lemah dan sedikit merasa pusing di kepala.
Loulia merasa aneh, mengapa kepalanya tiba-tiba terasa berat. Ia mengerjapkan mata berulang kali sebab pandangannya kabur tak bisa fokus.
Deon tersenyum. Di saat seperti itu ia segera mengambil kesempatan. Dikecupnya bibir Loulia, lama dan mendalam. Deon sangat berhasrat menikmati tubuh seorang gadis yang masih suci itu.
“Aa Yusuf?” gumam Loulia. Kini Loulia melihat laki-laki di hadapannya itu adalah Yusuf kekasihnya.
Yusuf? Pemuda kampungan so’ alim itu? Deon mengumpat sinis dalam hati ketika Loulia menyebut nama Yusuf. “Ya, aku Yusuf kekasihmu,” ucap Deon sembari membelai rambut Loulia. “Kau sangat cantik malam ini,” rayu Deon. Ia pun menarik selimut yang menutupi tubuh Loulia.
“Benarkah?” tanya gadis itu berbunga-bunga.
“Ya. Aku sangat mencintaimu, Loulia,” bisik Deon di telinga Loulia.
“Aku juga…” balas Loulia.
“Sungguh, kau mencintaiku?”
Loulia mengangguk tersipu malu.
“Kalau kau mencintaiku, kau akan memberikannya untukku. Kau mau kan membuktikan cintamu itu?” Deon sedang memperdaya Loulia. Tak apa baginya mesti berpura-pura menjadi Yusuf, yang penting ia bisa mendapatkan keinginannya.
“Ya. Aku akan memberikan segalanya untuk Aa seorang,” jawab Loulia yang terdengar begitu merdu di telinga Deon.
Senyum Deon semakin mengembang. Di balik tatapan teduh yang ia berikan pada gadis itu, siasat liciknya semakin mendesak untuk segera dimainkan. “Percayalah, ini akan jadi malam yang indah.”
Di depan monitor, duduk Deon bersilang kaki sambil mengelus-elus dagunya yang kasar bekas cukuran. Deon mengamati setiap lekuk tubuh milik gadis cantik bernama Loulia itu dari layar monitor hasil tangkapan kamera yang telah ia setting sebelumnya. Tubuh itu ibarat buah yang masak di pohon, yang segar dan sedang ranum-ranumnya, begitu menggoda untuk segera dipetik.Sleptch… Deon menelan air liur. Sebetulnya ia kuasa menyalurkan hasratnya segera, tetapi ia mendambakan sebuah permainan demi mencapai kesenangan dan kepuasan yang lebih.“Loulia sayang, menarilah untukku…” pinta Deon pada gadis itu.“Ahihi…” Loulia tertawa kecil. Ia beringsut dari tempat duduknya di tepi kasur. Tak segera memenuhi permintaan Deon, ia malah kembali menarik selimutnya yang jatuh ke lantai. “Tidak mau ah,” ucap Loulia seraya menggelengkan kepala.“Tak usah malu. Untuk kekasihmu, kau akan memberikan segalanya, k
Bola mata Loulia melotot mau keluar. Ia meronta dengan segenap tenaga yang tersisa, melawan dekapan pemuda bertubuh lebih besar darinya dari belakang. Pemuda itu barusan membawanya berlari tanpa alasan yang jelas. Setelah Loulia lemas, sosok misterius itu perlahan melepaskan tangannya yang membekap Loulia.Loulia menghela napas berkali-kali. Ingatannya masih segar bahwa tadi itu ia sedang asyik menari di hadapan kekasihnya. Lalu, tiba-tiba pemuda ini mengacaukannya, menghajar kekasihnya juga para laki-laki berpakaian hitam.Klak!Pintu terbuka! Dengan gerakan cepat pemuda di belakangnya itu menekan kepala Loulia, memaksa gadis itu mengikuti gerakannya merunduk dan berjalan merangkak ke barisan lemari paling belakang.“He he he he he he…” Di ambang pintu Deon tertawa terkekeh sendiri. “Biarlah mereka di sini, mati perlahan karena kedinginan, he he he he…”Suara itu membuat gentar Loulia namun sekaligus men
Beberapa bulan sebelumnya…Di bawah sinar mentari yang merangkak naik, wajah Yusuf semakin mengkilap sebab minyak di kulit. Lalu, tercoreng wajah itu oleh butiran tanah saat Yusuf mengusap peluh di pelipisnya. Tudung kepala yang terbuat dari anyaman bambu ia jadikan kipas. Sejenak matanya terpejam demi menikmati hempasan angin sejuk yang ia ciptakan.Yusuf kemudian senyum-senyum sendiri sembari menyiram tanaman stroberi yang mulai berbuah. Warna buah stroberi mengingatkannya pada bibir Lilis yang kemerahan lagi segar. Yusuf membayangkan bibir itu bisa ia gigit seperti buah-buah stroberi.Ah, pasti rasanya legit. Yusuf nyengir saat satu gigitan buah stroberi masuk ke mulutnya. Ia menjulurkan lidah. Rasa kecut buah stroberi menimbulkan efek kejut sesaat, membuyarkan lamunannya.Lilis, gadis cantik nan manis anak semata wayang Pak Jajang -pemilik kebun stroberi- sungguh memikat hati Yusuf, seorang pemuda yang dikenal lugu lagi gagap dal
“Lilis!” panggil Buk Martinah, ibunya Lilis. Itu adalah panggilan ketiga yang tidak juga mendapat respon sekalipun Buk Martinah berteriak kencang dari arah dapur. Urat-urat leher Buk Martinah sampai muncul saking kuatnya berteriak, beradu dengan suara dandang di atas kompor.Lilis bukannya tidak mendengar, tetapi sudah tabiatnya malas menyahut panggilan orangtua sebab, Lilis tahu betul kalau ibunya memanggil pastilah mau menyuruh sesuatu. Alih-alih menjawab panggilan ibunya, Lilis malah asyik berjoged di depan layar ponsel.Lilis mendekatkan wajahnya ke layar ponsel sambil menyibak rambut dan mengerlingkan mata. Lilis menggerak-gerakan mulutnya, kadang terbuka, kadang manyun, kadang nyengir, kadang tersenyum manis, kadang judes dan cemberut.Lilis kemudian bergerak mundur. Ia menarik hotpant ketatnya dan mengangkat buah dadanya ke atas sampai menyembul keluar memperlihatkan belahannya dari balik tanktop kuning bertali tipis. Lilis l
Ketegangan dari dalam rumah Pak Jajang rupanya merambat ke dada Yusuf yang berdegup-degup terbawa suasana. Pak Jajang yang dikenal berwibawa dan cukup dipandang di desanya itu rupanya masih bisa kena hardik anaknya sendiri.Lalu keluarlah Pak Jajang dari dalam rumah dengan wajah merah karena marah. Dan saat pria berusia empat puluh tahun itu menatap Yusuf, ia membatin. Bagaimana jika anaknya yang liar dijodohkan saja dengan pemuda rajin dan baik itu. Pemuda itu juga tidak jelek, hanya miskin dan kurang merawat badan. Jika terus aku bimbing, insyaallah ia menjadi pemuda yang pandai mengelola kebun ini. Dengan begitu aku punya pewaris usaha yang jujur lagi dapat diandalkan.“Yusuf, boleh kemari sebentar?” panggil Pak Jajang.Yusuf menoleh. “I-i-ya, Pak.” Yusuf menghampiri Pak Jajang sembari sedikit menundukkan kepalanya.“Bapak mau tanya, waktu itu kamu pernah cerita… kamu putus sekolah pas SMP, betul?”
Di kamar neneknya, ruangan sempit berukuran tiga kali tiga meter, Yusuf berpose di hadapan cermin dengan tempelan lakban coklat yang memanjang di bagian tengah. Cermin yang terselip di kerangka rumah berbilik bambu itu tak lebih besar dari satu halaman buku tulis tetapi cukup membuat Yusuf terpana oleh bayangannya sendiri.Yusuf lupa terakhir kali bercermin. Selama ini ia memang menganggap hal itu tidaklah penting. Maka, ketika melihat rahang yang melebar dan lekuk wajah yang tegas Yusuf hampir tak percaya apakah seseorang di dalam cermin itu benar-benar dirinya.Yusuf melipat kerah kemeja flanel bermotif kotak warna hijau dan hitam yang ia beli di toko pinggir jalan, sepulangnya bekerja di kebun Pak Jajang. Terlihat kaos putih di bagian tengah, di antara belahan kemeja yang sengaja tidak dikancingkan.“Wih, kasep euy!” tutur Yusuf sambil mesem-mesem.Lengan kemeja dilipatnya sampai setengah siku. Lalu Yusuf memasukan kedua telapak ta
Pagi itu, tak seperti biasa Lilis sudah bangun bahkan sudah rapi dan wangi. Dua jam Lilis berdandan demi menonton syuting sinetron di kebun teh yang tak jauh dari rumahnya.“Hai! Ketemu lagi sama aku, Loulia Barsha,” riang Lilis menyapa orang-orang di dalam ponsel yang disebutnya ‘sahabat online’. “Hari ini aku mau ketemu sama idola aku… tebak siapa? Emh…pokoknya dia ganteng banget, cool… Ah, jadi nggak sabar. Hihihi,” ucap Lilis.Saat Lilis keluar kamar, Buk Martinah yang sedang sibuk beberes rumah menegur, “Wah, anak perawan ibu sudah cantik. Senangnya ibu ada yang bantuin masak di dapur.”“Ish, siapa yang mau masak? Lilis mau pergi yah. Mau ketemu artis,” jawab Lilis sambil memilah sandal di rak sepatu.“Loh, mau kemana? Mau ngapain? Sudah bilang belum sama Bapak?” tanya buk Martinah setengah berteriak.“Ah… Ibu banyak tany
Si gagap, dekil, miskin. Yusuf latah, ia langsung mencium aroma tubuhnya saat mendengar Lilis menyebutnya belewuk. Bagi Yusuf, belewuk adalah sebutan yang berlebihan dan menghina. Bukankah ‘belewuk’ adalah julukan untuk sesuatu yang kotor, jijik dan bau. Mendengarnya bahu Yusuf terkulai lemas.Sebegitu bencikah ia padaku? Ini di depan umum. Tak bisakah ia sedikit menjaga harga diriku. Biar begini, aku juga lelaki, batin Yusuf menjerit.Ia bahkan belum mengungkapkan sendiri perasaannya terhadap Lilis. Namun, sore itu semua kata-kata Lilis tentangnya, ia garis bawahi.Sementara, Lilis juga terhenyak oleh ucapannya sendiri. Ia tak menyangka laki-laki itu ada di belakangnya setelah temannya memberi tahu dengan tatapan resah.Lilis memang tidak suka pada Yusuf, terlebih ketika ia sering mendapati Yusuf mencuri-curi pandang padanya yang membuat Lilis merasa risih. Lalu, karena gelagat Yusuf yang amat kentara, maka Lilis sering dibercanda-i oleh tema