Udara segar menyusup lewat celah jendela, membawa aroma tanah basah dan bunga mawar yang baru mekar di taman belakang mansion keluarga Drazhan, embun masih bergelayut pada ujung daun, memantulkan cahaya matahari yang malu-malu menembus ranting.
Alessia berdiri di tengah taman dengan selendang tipis menutupi bahunya. Gaun putih yang ia kenakan tampak lembut berkilau disinari cahaya pagi. Ia menatap rerumputan yang basah, merasakan udara dingin menempel di kulitnya, sensasi sederhana yang hampir ia lupakan sejak hari pertama dikurung dalam kemewahan rumah ini. Di tempat ini, setiap langkahnya diawasi. Setiap kata yang keluar dari bibirnya bisa menjadi alasan untuk dimarahi. Namun pagi ini, ketika para pelayan sibuk di dapur, ia mencuri waktu untuk sekadar menghirup udara bebas. Taman itu menjadi tempat pelariannya yang sunyi. “Udara masih dingin, Nyonya. Sebaiknya Anda kenakan syal lebih tebal,” suara lembut itu datang dari belakang. Alessia menoleh pelan. Rafael berdiri di sana, mengenakan jas hitam rapi meski cuaca masih basah oleh embun. Dia membawa nampan berisi teko teh dan dua cangkir porselen putih. Senyum kecil terbit di bibirnya, tidak dibuat-buat, hanya sederhana tapi cukup untuk menghangatkan suasana. “Terima kasih, Rafael,” ucap Alessia, suaranya lembut. “Aku hanya ingin sedikit udara segar. Di dalam terlalu sunyi.” Rafael meletakkan nampan di atas meja taman yang terbuat dari marmer, lalu menuangkan teh ke cangkir. Asap hangat mengepul, menyatu dengan kabut pagi. “Sunyi bisa jadi teman yang baik, Nyonya. Tapi kalau terlalu lama, ia berubah jadi musuh.” Alessia menatap uap teh itu, matanya sayu. “Aku pikir aku sudah terbiasa sendirian tapi di sini, entah kenapa kesunyian terasa lebih berat.” Rafael tidak segera menjawab. Ia hanya duduk di kursi seberangnya, menjaga jarak dengan sopan. Ada raut keprihatinan yang tidak berani ditunjukkan terang-terangan. Ia tahu siapa wanita itu dan siapa pria yang memiliki rumah ini. Terlalu banyak hal yang tak boleh ia katakan. “Kehidupan di rumah ini,” Rafael berkata akhirnya, suaranya rendah, “terkadang membuat orang lupa caranya bernapas tapi Anda berbeda, Nyonya. Anda masih melihat langit.” Alessia menatapnya, sedikit terkejut. “Langit?” “Ya,” Rafael tersenyum samar. “Setiap pagi saya lihat Anda menatap jendela kamar Anda. Banyak orang di rumah ini tidak pernah melakukan itu. Mereka hanya melihat apa yang ingin mereka miliki, bukan yang sudah mereka punya.” Senyum kecil muncul di bibir Alessia. Ia menunduk, mengaduk tehnya pelan. “Mungkin karena aku tidak punya apa pun yang bisa kumiliki di sini. Jadi aku hanya bisa menatap apa yang tidak bisa mereka ambil,langit. Mereka tidak bisa mengambilnya.” Mereka tertawa kecil bersama, suara mereka menyatu dengan desiran angin. Entah sejak kapan, kehadiran Rafael terasa menenangkan bagi Alessia. Ia tidak memandangnya dengan rasa takut, tidak juga dengan rasa curiga. Pria itu berbeda dari yang lain, tenang, penuh kendali, dan selalu memperlakukan orang dengan hormat. Ketika seekor kupu-kupu kecil hinggap di ujung gelas, Rafael spontan menyingkirkannya lembut agar tidak jatuh ke teh panas. Ujung jarinya tanpa sengaja menyentuh punggung tangan Alessia. Sentuhan ringan itu membuat Alessia sedikit terkejut, tapi Rafael segera menarik tangannya. “Maaf,” katanya cepat, menunduk. “Saya tidak bermaksud….” Alessia menggeleng pelan. “Tidak apa-apa.” Namun suaranya bergetar pelan, nyaris tak terdengar. Sesaat mereka terdiam. Embun mulai menetes dari dedaunan, menimbulkan bunyi kecil di antara keheningan. Angin bergerak lembut, meniup helaian rambut Alessia ke pipinya. Rafael, tanpa berpikir, tergerak untuk menyingkirkan helaian itu tapi sebelum jarinya menyentuh wajahnya, ia berhenti. Ada jarak tak kasat mata yang tak boleh ia langkahi. Ia menarik napas dan menatap mata Alessia, seolah ingin memastikan gadis itu tahu. Ia tidak akan melampaui batas. “Terima kasih, Rafael,” ujar Alessia akhirnya, dengan senyum kecil yang tulus. “Untuk teh dan untuk menemani pagiku.” Rafael menunduk hormat. “Sudah tugas saya, Nyonya.” *** Drazhan berdiri di balik tirai tebal, lantai dua kamarnya. Ia diam dan tegang. Kemejanya belum dikancingkan penuh, kerahnya terbuka, menampakkan garis leher yang tegang. Matanya terpaku pada pemandangan di bawah sana. Ia melihat Alessia duduk di taman bersama Rafael, bercakap lembut di bawah cahaya pagi yang lembut. Ia tidak tahu sudah berapa lama ia berdiri di sana. Mungkin sejak pertama kali melihat sosok Alessia melangkah keluar, ia tidak bisa mengalihkan pandangannya. Ada sesuatu yang menyesakkan dadanya, sebuah rasa yang terlalu asing untuk diakui. Ia melihat Rafael mencondongkan tubuh sedikit, menyentuh tangan Alessia dan sesuatu di dalam dirinya seperti pecah. Tangannya mengepal, napasnya tertahan. “Apa yang sedang dia lakukan,” gumamnya pelan, nada suaranya serak karena emosi yang berusaha ia tekan. Ketika Rafael menyingkirkan helai rambut dari wajah Alessia dengan gerakan nyaris tak terlihat, dada Drazhan terasa makin panas. Ia menutup tirai dengan gerakan kasar, hingga pengait besinya berderak. Gelas kopi di meja terjatuh, menumpahkan cairan ke atas dokumen yang belum sempat ia baca. Namun, ia tidak peduli. Ia berjalan mondar-mandir di ruangannya, langkahnya berat, seperti menahan sesuatu yang lebih besar dari sekadar kemarahan. Ia tahu apa yang dirasakannya, tapi menolak untuk menyebutnya dengan nama yang sebenarnya. “Rafael hanya menjalankan tugasnya,” katanya pada diri sendiri. Namun bayangan senyum Alessia tetap menari di kepalanya, mengacaukan pikirannya yang selama ini dingin dan teratur. Kenapa ia peduli? Bukankah Alessia hanyalah bagian dari kesepakatan? pion dalam permainan yang ia dan Seraphine ciptakan? Lalu mengapa setiap kali gadis itu menatapnya dengan mata lembut dan penuh ketakutan, ia justru merasa ingin melindunginya? Drazhan berhenti di depan cermin besar di ruangannya. Tatapannya bertemu dengan bayangannya sendiri. Mata gelap itu menatap balik, tajam dan kosong. Ia menyentuh kaca itu dengan ujung jarinya, seolah ingin menembus permukaannya. “Kenapa kamu mengusikku seperti ini,” bisiknya lirih. “Apa yang kamu lakukan padaku, Alessia?” *** Sementara itu di taman, embun mulai hilang. Matahari naik sedikit lebih tinggi, menghangatkan udara. Alessia berdiri, menatap bunga mawar merah di sisi pagar. “Bunga ini begitu indah tapi berduri,” katanya pelan. Rafael menatap bunga itu, lalu menatap Alessia. “Seperti seseorang yang saya kenal.” Alessia menoleh, keningnya berkerut. “Maksudmu?” Rafael tersenyum samar. “Kadang yang terlihat dingin dan menakutkan justru melindungi dirinya sendiri agar tidak hancur.” Matanya menatap jauh ke arah jendela lantai dua, tempat ia tahu sang tuan rumah mungkin sedang memperhatikan mereka. “Terkadang duri itu bukan untuk melukai, tapi untuk bertahan hidup.” Alessia menunduk, membiarkan kata-kata itu tenggelam dalam pikirannya. Ia tahu Rafael tidak sekadar bicara tentang bunga tapi ia tidak mau berpikir terlalu jauh. Ia memilih meninggalkan taman yang kini mulai diterpa sinar matahari. Rafael berdiri memandangi punggung Alessia hingga menghilang di balik pintu kaca tanpa bicara apa pun lagi. Lalu ia menghela napas panjang, bukan karena lega, tapi karena sadar bahwa mulai hari ini, situasinya akan menjadi lebih rumit. Di lantai atas, Drazhan masih berdiri di tempat yang sama. Tirainya kini setengah terbuka. Ia berdiri menatap Alessia berjalan masuk rumah, langkahnya tenang, rambutnya tertiup angin. Sangat indah, membuat detak jantungnya tak beraturan. Drazhan akhirnya menyadari sesuatu yang selama ini ia takutkan. Ia bukan hanya marah. Ia cemburu. Cemburu karena Rafael bisa membuat Alessia tersenyum tanpa harus memaksanya. Cemburu karena gadis itu terlihat damai di hadapan orang lain, sesuatu yang belum pernah terjadi di hadapannya. Cemburu karena untuk pertama kalinya, ia merasakan kehilangan terhadap sesuatu yang bahkan belum ia miliki sepenuhnya. Drazhan menghela napas panjang, lalu menatap ke luar jendela lagi. Langit sudah mulai cerah.tapi di dalam dirinya badai baru saja dimulai.Udara segar menyusup lewat celah jendela, membawa aroma tanah basah dan bunga mawar yang baru mekar di taman belakang mansion keluarga Drazhan, embun masih bergelayut pada ujung daun, memantulkan cahaya matahari yang malu-malu menembus ranting.Alessia berdiri di tengah taman dengan selendang tipis menutupi bahunya. Gaun putih yang ia kenakan tampak lembut berkilau disinari cahaya pagi. Ia menatap rerumputan yang basah, merasakan udara dingin menempel di kulitnya, sensasi sederhana yang hampir ia lupakan sejak hari pertama dikurung dalam kemewahan rumah ini.Di tempat ini, setiap langkahnya diawasi. Setiap kata yang keluar dari bibirnya bisa menjadi alasan untuk dimarahi. Namun pagi ini, ketika para pelayan sibuk di dapur, ia mencuri waktu untuk sekadar menghirup udara bebas. Taman itu menjadi tempat pelariannya yang sunyi.“Udara masih dingin, Nyonya. Sebaiknya Anda kenakan syal lebih tebal,” suara lembut itu datang dari belakang.Alessia menoleh pelan. Rafael berdiri di sana, mengen
Api kecil di perapian ruang kerja Drazhan memantulkan cahaya oranye ke dinding, menciptakan bayangan panjang dari sosok pria yang berdiri di depan rak buku besar.Drazhan menatap gelas anggur di tangannya. Cairan merah di dalamnya berputar pelan, memantulkan cahaya seperti darah. Malam ini, pikirannya tidak tenang. Ada sesuatu yang mengusik, tapi ia tidak ingin mengakui apa itu.Ketika pintu ruang kerjanya terbuka dengan kasar, ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang.“Drazhan!” Suara Seraphine terdengar nyaring, nyaris bergetar karena amarah yang ditahan. Hak sepatunya bergema di lantai marmer ketika melangkah masuk tanpa izin. “Bagus sekali, ibumu akhirnya datang dan langsung jatuh hati pada gadis itu.”Drazhan tidak bergerak. Ia hanya mengangkat gelasnya dan meneguk sedikit. “Kamu seharusnya tahu cara berbicara dengan sopan di rumah ini, Seraphine.”Seraphine menatapnya tajam. “Sopan? Setelah semua yang kulakukan untukmu, kamu masih berani bicara soal sopan? Kamu tahu
Langit sore itu menggantung kelabu, tapi di dalam rumah keluarga Drazhan, suasananya justru terasa lebih berisik dari biasanya. Pelayan berlalu-lalang dengan wajah cemas, memoles meja, menyusun bunga di vas kristal, dan memastikan setiap perabot tampak sempurna. Alessia berdiri di depan cermin besar di ruang tengah, mengenakan gaun pastel sederhana yang dipilihkan salah satu pelayan.“Untuk menyambut Nyonya Valentina,” ujar salah satu di antara mereka dengan suara setengah bergetar.Nama itu saja sudah cukup membuat dada Alessia berdebar. Ibunda Drazhan, wanita yang dikenal elegan sekaligus berpengaruh besar dalam dunia bisnis internasional.Drazhan sendiri sejak pagi bersikap lebih pendiam dari biasanya. Ia tidak menatap Alessia, tidak pula bicara sepatah kata pun. Hanya satu instruksi dingin yang keluar dari bibirnya sebelum ia pergi mempersiapkan diri.“Jaga sikapmu. Ibuku tidak menyukai kepalsuan.”Kata-kata itu seperti belati halus. Alessia tidak tahu apakah ia harus merasa gugup
Suara hujan deras mengguyur kaca jendela besar yang tidak tertutup rapat, memberikan kesan kehidupan bagi ruang sunyi yang menyelimuti kamar Alessia. Setelah tangisnya reda, ia hanya duduk terdiam di lantai, tubuhnya gemetar. Pikirannya kacau, tetapi hatinya lebih parah lagi.Pernikahan yang seharusnya menjadi awal baru, justru terasa seperti hukuman mati yang berjalan lambat. Setiap detik bersama Drazhan mengikis sedikit demi sedikit kewarasannya."Tolong!"Alessia mendengar sesuatu. Lalu terdengar suara pintu bawah terbuka keras, pintu yang terhubung dengan kamarnya menuju tempat rahasia di bawah tanah, langkah-langkah tergesa, suara teriakan samar, bukan suara pelayan. Alessia bangkit dan mencoba membuka pintu rahasia untuk mengintip. Ia melihat beberapa pria berbadan besar menyeret seorang laki-laki dengan wajah penuh darah. Mulutnya dibekap, tangannya terikat. Alessia menutup mulutnya sendiri agar tidak berteriak. Napasnya tercekat ketika matanya menangkap sosok Drazhan yang b
Pagi itu, matahari menyelinap lewat kaca tinggi jendela kamar Alessia, tapi sinarnya tidak membawa hangat. Hanya cahaya dingin yang membuat ruangan tampak lebih kosong dari biasanya. Alessia duduk di tepi ranjang yang kemarin tak pernah ia sentuh. Tangannya bermain dengan cincin di jari manisnya, cincin yang terasa lebih berat dari seharusnyaaMalam tadi, kata-kata Drazhan masih terngiang jelas. “Tidak ada jalan keluar.”Dan kini satu pertanyaan lain terus menghantuinya, mengapa aku?Ia memikirkan Seraphine. Wajahnya, sikapnya, keanggunannya. Wanita itu jelas lebih layak berada di sisi seorang pria seperti Drazhan. Seraphine tahu dunia mereka, tahu bagaimana bermain dengan citra, tahu cara menaklukkan ruang penuh mata-mata. Lalu, mengapa ia yang hanya seorang gadis biasa, dipaksa masuk ke lingkaran maut ini?Pintu kamar berderit. Drazhan masuk tanpa mengetuk, jas hitamnya masih sama dengan malam tadi, seolah ia tidak pernah benar-benar tidur.Alessia menatapnya, dada miliknya tiba-tib
Cahaya lampu kristal berpendar hangat di ruang utama rumah keluarga itu, tetapi kehangatannya sama sekali tidak terasa bagi Alessia. Ia duduk di kursi panjang berlapis beludru, gaun hitam yang baru saja dipilihnya pagi tadi membalut tubuhnya, membuatnya tampak anggun sekaligus rapuh. Hatinya gelisah, sebab di ruangan itu akhirnya ia harus berhadapan langsung dengan sosok yang sejak malam pertama nyaris menghilang, Drazhan.Pintu berat kayu ek terbuka. Langkah-langkah tegap bergema, seolah dunia ikut berhenti menyimak. Drazhan masuk, jasnya rapi, dasi merah darah menonjol di balik dada bidangnya. Wajahnya tanpa senyum, matanya tajam seperti bilah baja. Aroma asap tembakau dan parfum maskulin melekat, membuat udara di ruangan tiba-tiba lebih pekat.Alessia menelan ludah. Jantungnya berdegup tidak karuan.Drazhan berdiri beberapa detik menatapnya, lalu melangkah mendekat. “Kamu sudah belajar bersikap di depan keluarga?” katanya dingin. Suaranya dalam, bergema, membuat tubuh Alessia berge