Share

Bab 3. Masih Ingat Pulang?

Kayana tertegun melihat pria yang berdiri tak jauh darinya. Selain aura yang menakutkan, tatapan yang tak pernah berubah sejak kejadian malam pertama membuat Kayana merasa kerdil saat berhadapan dengan suaminya ini.

Terlebih ketika pria itu mulai mendekat seperti sekarang, rasa-rasanya Kayana ingin enyah saja dari dunia. Namun, ketakutan itu tak beralasan karena Eiser rupanya hanya melewati dirinya saja.

Hembusan napas kasar terdengar. Bolehkah Kayana merasa lega sekarang? Tidak, karena sepertinya Eiser tidak akan membiarkan Kayana begitu saja, pria itu membalik diri lalu menatap punggung Kayana.

"Kenapa kamu masih di situ? cepat siapkan air mandi. Istri macam apa kamu ini!"

Kayana refleks membalik diri. Ia memandang sang suami dengan kening berkerut. Bukankah kata-kata itu lebih cocok untuk Eiser. Suami macam apa yang meninggalkan istrinya sendirian selama satu bulan tanpa kabar?

"Oh, masih ingat pulang? Maaf, aku pikir kamu tidak akan pulang." Entah keberanian dari mana, Kayana berani menjawab ucapan Eiser, bahkan memberi penekanan di dua kalimat terakhirnya.

Eiser mendelik. Kayana menghela napas. Dan sebelum Eiser menumpahkan api amarahnya, Kayana segera berjalan menyusul Eiser, berniat pergi ke kamar untuk melakukan apa yang suaminya perintahkan.

Akan tetapi, Eiser malah menahan tangannya. Mendorongnya, lalu menekan tubuhnya sampai pinggang membentur pembatas tangga.

"Arrggghh!" pekik Kayana karena rasa sakit yang mendera.

"Mau ke mana kamu berpakaian rapi begini, hmmm?"

"Kamu tidak lupa kalau aku bukan pengangguran, Eiser. Aku mau pergi bekerja."

"Oh, ya? Mana mungkin aku lupa kalau kamu pemilik sebuah toko bunga yang cukup besar, memiliki banyak pelanggan dan juga banyak cabang di penjuru kota ini. Mana mungkin aku lupa kalau kamu hidup senang sementara kekasihku menderita."

Kayana memejamkan mata. Mencoba menetralisir rasa yang berkecamuk di dada. Masih saja suaminya menyalahkan dirinya soal itu. "Aku bisa seperti ini karena usahaku sendiri, Eiser. Aku tidak pernah menjatuhkan orang lain untuk bisa sampai ke titik ini."

"Apa kau bilang? Lalu bagaimana dengan Ivana. Dia adalah seorang model. Dan sekarang dia cacat karena kamu. Tapi kamu masih bisa bersenang-senang di atas penderitaan dia. Aku tidak akan membiarkan kamu lebih bahagia dari Ivana."

"Lalu aku harus bagaimana, Eiser? Aku sudah mencoba menebus kesalahan aku seperti yang kamu inginkan, tapi kamu malah mencegahnya. Kemudian kamu bilang ingin membalasku dengan cara kamu sendiri. Tapi kamu malah tidak pulang selama satu bulan. Aku rasa itu bukan kesalahan aku, Eiser. Lagipula, harusnya kekasih kamu itu lebih bisa berpikir jernih, kalau apa yang dia lakukan akan merugikan dirinya sendiri. Bukan malah melimpahkan kesalahan padaku!"

"Sialan! Beraninya kamu menyalahkan kekasihku!" Eiser menarik rambut istrinya. Membuatnya mendongak. Satu tangan lainnya masuk ke dalam saku jas. Lalu keluar dengan sebuah ponsel di tangan. "Lihat ini. Sehari sebelum pernikahan, kamu mendatangi Ivana dan mengancam dia. Iya 'kan?"

Kayana menatap gambar di layar. Tuduhan macam apalagi ini? Entah Eiser mendapatkan gambar itu dari mana. Tetapi, seingatnya. Ia memang bertemu dengan Ivana dua hari sebelum hari H. Namun, bukan dirinya yang menemui Ivana, melainkan sebaliknya.

"Itu tidak seperti yang kamu pikirkan, Eiser. Tapi ...." Kayana menjeda kalimatnya sebentar. "Menjelaskan apapun juga percuma. Kamu lebih percaya foto itu dari pada aku 'kan, Eiser?"

"Sialan!"

"Lepaskan aku, Eiser. Sakit!" Kayana mencoba melepas cengkeraman tangan Eiser dari rambutnya, namun karena tenaganya tak lebih kuat, maka itu hanya sia-sia saja.

Eiser menarik Kayana naik ke atas tangga. Memasuki kamar lalu mendorongnya hingga wanita itu tersungkur ke atas kasur. Kayana menoleh ke belakang. Manik indahnya membulat melihat apa yang dilakukan Eiser.

Eiser menarik dasi, lalu membuka kancing kemeja. Dalam hitungan detik, pakaian yang membalut tubuh Eiser terjatuh ke bawah. Ia jelas tahu apa yang akan dilakukan pria bergelar suami itu.

"Jika Ivana tidak bahagia, maka kamu juga tidak boleh bahagia."

Kayana mundur. Sekuat apapun ia mempertahankan pakaiannya. Tetap saja Eiser bisa membuatnya terlepas dari tubuh Kayana yang langsung menutup tubuh polosnya dengan selimut.

Eiser menyeringai. Terlebih saat melihat air mata yang berlinang dari pipi sang istri.

"Sekarang terima hukumanmu."

Kayana memejamkan mata pasrah. Namun, dering ponsel yang terdengar menghentikan gerakan Eiser. Suara itu berasal dari tas milik Kayana. Awalnya Eiser ingin mengabaikannya, tetapi karena terus saja bersuara, Eiser jadi kesal karenanya.

"Sial, siapa yang berani menggangguku!"

Dengan kesal Eiser bergerak turun. Memungut tas milik istrinya dan tanpa izin mengambil ponsel lalu menjawabnya.

"Halo!"

"Halo, Kak. Kakak di rumah? Kak Kay ke mana? Kenapa Kakak yang jawab telepon Kak Kay?" Freeya adik Eiser bertanya dari seberang sana. Hembusan napas lega terdengar dari bibir Kayana, sepertinya ia harus berterimakasih kepada si penelpon.

"Ada apa menelpon?"

"Aku mau bicara sama Kak Kay. Ada pesan dari Mommy."

Eiser mencuri lirik ke arah kasur sebentar lalu menjawab. "Kakakmu sedang sakit. Jadi tidak bisa, katakan saja pesannya padaku. Biar aku sampaikan."

"Ya, baiklah. Jadi begini ...."

Melihat sang suami yang tengah sibuk dengan panggilan. Kesempatan itu digunakan Kayana untuk memungut dan memakai kembali pakaiannya. Ia lantas berjalan ke arah kamar mandi. Menyiapkan air yang diminta sang suami.

Dan ketika ia keluar, percakapan Eiser telah selesai. Takut-takut Kayana berucap. "Air mandinya sudah aku siapkan."

Eiser mendecak, padahal ia ingin sekali menyiksa Kayana. Tapi gara-gara panggilan itu ia jadi tidak berselera. "Kau boleh pergi. Tapi tidak keluar dari rumah ini."

Kayana memandang sang suami.

"Kau tidak dengar?" sentak Eiser karena istrinya tidak menjawab.

"Ya, baiklah." Kayana enggan berdebat.

"Kalau begitu siapkan aku makanan." Eiser berlalu begitu saja dari hadapan Kayana. Napas berhembus kasar. Syukurlah kali ini Kayana lolos dari Eiser. Ia langsung memungut benda pipih yang ditinggalkan Eiser di atas kasur untuk melihat sang pemanggil yang ternyata adalah adik ipar.

Untungnya, makanan yang tadi masih ia simpan. Hanya tinggal dihangatkan dan disusun ulang agar Eiser tidak curiga kalau itu masakan tadi pagi. Ini pertama kalinya Eiser makan di rumah.

Dengan teliti Kayana memeriksa setiap detailnya. Jangan sampai ada yang tertinggal atau dirinya akan berakhir di ranjang penyiksaan. Derap langkah kaki terdengar. Kayana menoleh ke arah sumber suara.

Rupanya Eiser telah selesai mandi dan turun untuk sarapan. Sialnya, pria itu malah mengenakan jubah mandi. Kayana menunduk saat Eiser duduk di kursi utama.

"Silakan dimakan."

"Duduk," perintah Eiser.

"Apa?"

"Kau tuli? Aku bilang duduk!" Tak banyak bicara, Kayana hendak duduk tetapi Eiser malah menarik tangannya hingga terjatuh di pangkuan Eiser.

"Eiser, apa yang kamu lakukan?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status