“satu hal yang perlu kau tahu, Aruna. Dika tidak sejahat yang kau kira. Dia melindungi. Melindungi segalanya, bahkan dirinya sendiri dari rasa sakit yang tak terlukiskan. Beri dia waktu. Dan kau, Nak… kau harus kuat. Karena saat semua terungkap, kau akan butuh kekuatan lebih dari yang pernah kau bayangkan.”
Kata-kata Widya menggema di benak Aruna, meninggalkan jejak kekhawatiran yang mendalam. Apa sebenarnya yang disembunyikan Dika? Apa rahasia mengejutkan yang berkaitan dengan ibunya dan Dharana? Aruna menatap cincin di jari manisnya, yang kini terasa lebih berat dari sebelumnya, bukan hanya sebagai simbol ikatan paksa, tetapi juga sebagai kunci menuju misteri yang lebih besar.
Pesta pernikahan siang itu telah lama usai, namun kegelisahan Aruna justru baru dimulai. Gelap malam menyelimuti, tetapi bayangan foto usang waktu itu masih menari-nari di pelupuk matanya, diselingi bisikan tajam tentang fakta yang Dika sembunyikan.
Udara di dalam kamar pengantin yang seharusnya romantis terasa berat, menyesakkan. Jantung Aruna berdegup tak beraturan, irama bisingnya beradu dengan keheningan mencekam. Ia tak bisa menunggu sampai pagi, sampai misteri itu mengikis habis akal sehatnya. Ia harus bicara, malam sekarang.
Dengan langkah ragu namun mantap, Aruna bangkit dari sisi ranjang. Ia tak menemukan Dika di kamar. Aruna menyusuri koridor panjang, langkah kakinya berderit pelan di atas lantai marmer, setiap suara menggema dan memperkuat suasana ganjil. Aroma melati dari karangan bunga di bawah masih tercium samar, kontras dengan kegelisahan hatinya. Ia menemukan Dika sedang duduk di sofa, punggungnya menghadap pintu, menatap kosong ke luar jendela, di mana rembulan bersinar pucat.
“Dika?” panggil Aruna, suaranya terdengar lebih bergetar dari yang ia inginkan.
Pria itu tidak menoleh, hanya sedikit menggeser bahunya, memberi isyarat bahwa ia mendengar.
“Aku... aku mau bicara,” lanjut Aruna, mendekat. Ia duduk di kursi seberang, membiarkan sedikit jarak tercipta di antara mereka, namun matanya tak lepas dari Dika. “Tentang bibi.”
Barulah Dika menoleh. Tatapannya dingin, nyaris tanpa emosi. “Ada apa lagi? Bukankah sudah jelas semuanya?”
“Tidak sejelas itu bagiku,” Aruna menelan ludah. Ini adalah permulaan, ia harus memancing. “Aku tahu bibi punya hutang padamu, dan aku dijadikan sebagai jaminannya. Aku hanya ingin tahu… seberapa besar hutang itu sebenarnya? Apakah ini benar-benar hanya tentang uang?”
Dika mengangkat sebelah alis, ekspresinya sulit dibaca. “Kenapa tiba-tiba kau menanyakan hal itu? Bukankah perjanjian sudah diteken? Kau juga sudah ada di sini.”
“Aku hanya ingin tahu detailnya, sebagai suamiku, kau tidak merasa perlu transparan padaku tentang hal sepenting ini?” Aruna mencoba mempertahankan nada tenang, meskipun dadanya bergolak.
“Transparan?” Dika terkekeh pelan, tawa yang tak sampai ke matanya. “Seharusnya pertanyaan itu kuajukan padamu. Sejauh apa kau tahu tentang bibimu? Sejauh apa kau tahu tentang dirimu sendiri, Aruna?”
Perkataan Dika menusuk Aruna seperti belati. Ada apa lagi? Ada apa di balik nada suaranya yang tajam itu? “Apa maksudmu? Aku tahu semua tentang semuanya.”
“Begitukah?” Dika akhirnya berbalik penuh, menatap Aruna lurus. Matanya yang gelap memancarkan ketidakpercayaan. “Kau pikir semua orang di hidupmu seputih itu? Begitu polos, Aruna? Jangan kaget bila ada kerikil tajam yang selama ini tersembunyi.”
Aruna merasa tenggorokannya tercekat. Ia meraih tangan Dika, mencoba menyentuh pria itu, mencari kehangatan atau setidaknya koneksi. Namun Dika menarik tangannya, seolah sentuhan Aruna adalah luka.
“Aku tidak mengerti kenapa kau bersikap seperti ini,” Aruna berbisik, rasa frustrasi mulai merayapi suaranya. “Sejak awal, kau selalu misterius. Dan sekarang... kau seolah menyiratkan sesuatu yang buruk. Apa yang kau sembunyikan dariku, Dika? Aku berhak tahu.”
“Berhak tahu?” Dika tertawa getir. “Kau berhak tahu apa yang kuanggap perlu kau tahu. Tidak lebih.”
“Itu tidak adil!” Aruna bangkit berdiri, emosinya memuncak. “Sejak Mama Widya bicara padaku siang tadi, aku tidak tenang. Dan tentang foto waktu itu, di mana kau mendapatkannya? Kenapa Mama Widya bilang ada fakta yang kau sembunyikan dariku? Fakta apa? Tentang apa? Ini semua tentang apa?”
Wajah Dika mengeras. Matanya menyipit, ekspresinya gelap. “Mama? Apa yang dia katakan lagi padamu?”
“Jadi benar ada sesuatu?” Aruna merasa darahnya berdesir kencang. Ini adalah kemajuan, meskipun terasa menyakitkan. “Apa yang kau sembunyikan? Ibuku sudah meninggal, apa lagi yang bisa kau sembunyikan terkait dirinya?”
“Ibumu?” Dika menggelengkan kepala, senyum sinis tersungging di bibirnya. “Kau yakin mengenal ibumu dengan baik? Sejauh mana kau mengenal latar belakang keluargamu, Aruna? Sejauh mana kau tahu kenapa ibumu tiba-tiba ‘pergi’ dari hidupmu dan menitipkanmu pada bibimu? Kau pikir itu hanya takdir? Atau ada alasan lain yang lebih dalam, lebih gelap?”
Setiap kata Dika menghantam Aruna seperti gelombang. Otaknya berputar, mencoba menguraikan teka-teki. Ibunya meninggal karena sakit, itu yang selalu bibinya katakan. Kenapa Dika meragukan hal itu?
“Apa maksudmu?” Aruna hampir tidak bisa bernapas. “Ibuku meninggal karena sakit. Bibi bilang begitu. Apa yang kau tahu? Kenapa kau tidak memberitahuku?”
Dika menghela napas panjang, menatap Aruna dengan tatapan lelah, seolah ia membawa beban ribuan tahun. “Ada hal-hal yang lebih baik tetap terkubur, Aruna. Demi kedamaianmu sendiri. Demi kedamaian kita berdua.”
“Tidak! Aku tidak akan tenang!” Aruna bersikeras, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. “Kau tidak bisa memintaku hidup dalam kebohongan! Kau tidak bisa memintaku menikahimu, hidup bersamamu, dan menyembunyikan kebenaran sepenting ini dariku. Apa hubungannya dengan ibuku? Dan foto itu? Di mana kamu mendapatkannya? Jawab aku!”
Dika bangkit berdiri, tubuhnya yang tegap menjulang di atas Aruna, menciptakan bayangan yang menakutkan. “Kau pikir kau siap menghadapi kebenaran, Aruna? Beberapa kebenaran bisa menghancurkan. Lebih baik kau tidak tahu.”
“Aku akan menghadapinya!” seru Aruna. “Apapun itu, aku akan menghadapinya! Kau harus memberitahuku!”
Dika menatapnya dalam diam, tatapan yang menguliti setiap lapis pertahanan Aruna. Kemudian ia berjalan melewati Aruna, menuju pintu kamar.
“Kau mau ke mana?” Aruna menahan lengannya.
“Kembali ke kamar,” jawab Dika singkat, suaranya dingin dan datar. “Kita sudah menikah, Aruna. Bukankah itu yang kau inginkan?”
Malam itu, mereka kembali ke kamar yang sama. Udara terasa tipis, dipenuhi ketegangan yang tak terucapkan. Aruna berbaring di sisi ranjang, memunggungi Dika, merasakan panas tubuh pria itu beberapa senti di belakangnya. Suara napas Dika yang teratur, berlawanan dengan detak jantungnya yang berkejaran.
Ia tahu Dika sudah memejamkan mata, atau setidaknya berpura-pura. Namun, Dika tidak tertidur. Di dalam lubuk hatinya, Dika menyesali kata-kata tajam yang terlontar dari bibirnya. Ia tahu Aruna terluka. Namun, ada sesuatu yang jauh lebih besar dari perasaan pribadi yang harus ia selesaikan. Sesuatu yang tersembunyi jauh di balik senyum ibunya Aruna, dan rahasia yang ia pendam sendiri.
Aruna tak bisa tidur. Ribuan pertanyaan berseliweran di kepalanya. Apa yang Dika tahu tentang ibunya? Kenapa Dika begitu dingin, begitu tertutup? Setiap kali ia mencoba mendekat, Dika mundur selangkah.
Ia menghela napas, kegelisahan mencekiknya. Tangannya meraba bantal di sampingnya, mencari sedikit kenyamanan. Namun yang ia temukan bukan bantal, melainkan sebuah permukaan keras, dingin. Sebuah bingkai foto kecil yang terbalik. Dengan gerakan hati-hati, Aruna membalik benda tersebut. Jantungnya serasa berhenti berdetak.
Foto itu bukan foto pernikahan mereka. Foto itu adalah foto yang sempat Dika sembunyikan waktu itu. Foto usang dengan seorang gadis kecil yang tersenyum lebar dan seorang Dika muda dengan tatapan polos.
“Jangan harap kau bisa jadi orang sukses kalau terus malas-malasan seperti ini, Aruna! Bersihkan seluruh rumah dan siapkan makanan! Dasar anak pembawa sial, kalau saja ibumu tidak menikah dengan Indrawan, mungkin nasibnya tidak akan sial seperti ini!”Suara bentakan itu menggema di kepalanya, menusuk jauh ke dalam dada. Aruna terlonjak dari tidurnya dengan napas yang terengah, dan keringat dingin membasahi pelipis. Aruna mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan untuk memastikan bibinya tidak ada di sini, tapi kata-kata terlalu nyata, seakan baru saja dilontarkan ke telinganya.Ia baru menyadari kalau Dika sudah tidak ada di sampingnya, hanya menyisakan sunyi dan sepi. Hari pertamanya sebagai Nyonya Prasetya seharusnya diisi dengan penyesuaian, dengan mencoba mencari celah untuk bernapas di dalam sangkar emas.Tiba-tiba, suara langkah kaki yang terburu-buru memecah kesunyian yang tebal, disusul oleh bisikan cemas para pelayan dari lantai bawah. Jantung Aruna berdegup lebih kencang. Fir
“satu hal yang perlu kau tahu, Aruna. Dika tidak sejahat yang kau kira. Dia melindungi. Melindungi segalanya, bahkan dirinya sendiri dari rasa sakit yang tak terlukiskan. Beri dia waktu. Dan kau, Nak… kau harus kuat. Karena saat semua terungkap, kau akan butuh kekuatan lebih dari yang pernah kau bayangkan.”Kata-kata Widya menggema di benak Aruna, meninggalkan jejak kekhawatiran yang mendalam. Apa sebenarnya yang disembunyikan Dika? Apa rahasia mengejutkan yang berkaitan dengan ibunya dan Dharana? Aruna menatap cincin di jari manisnya, yang kini terasa lebih berat dari sebelumnya, bukan hanya sebagai simbol ikatan paksa, tetapi juga sebagai kunci menuju misteri yang lebih besar.Pesta pernikahan siang itu telah lama usai, namun kegelisahan Aruna justru baru dimulai. Gelap malam menyelimuti, tetapi bayangan foto usang waktu itu masih menari-nari di pelupuk matanya, diselingi bisikan tajam tentang fakta yang Dika sembunyikan.Udara di dalam kamar pengantin yang seharusnya romantis teras
Desiran angin malam seolah membawa bisikan tak kasat mata, menyelinap melalui celah jendela besar di mansion mewah itu, namun tak mampu menembus selubung ketegangan yang menggantung di udara. Aruna merasakan jantungnya berdetak tak beraturan, memekakkan telinga di tengah keheningan yang menyesakkan. Bola matanya yang gelap masih terpaku pada foto dalam bingkai itu, sebuah artefak masa lalu yang entah mengapa terasa begitu familiar, namun kini diakui sebagai sesuatu yang asing."Dika, tolong jujur padaku," suara Aruna terdengar lebih rapuh dari yang ia iinginka. "Anak perempuan di foto itu... itu aku, kan? Dan anak laki-laki di sampingnya... itu kau?"Dika mendengus pelan, menatap foto itu sejenak sebelum pandangannya beralih pada Aruna, penuh keraguan. Dika melangkah mendekat, sementara tatapan Aruna tak lepas dari kedua mata Dika. Ada gurat tak terbaca di matanya, seperti teka-teki yang sengaja ia sembunyikan."Jangan konyol, Aruna. Kau terlalu banyak berimajinasi." Dika mengambil fo
Deru mesin sedan mewah itu akhirnya melunak, berganti dengan suara kerikil tajam yang berderak di bawah tekanan ban. Selama dua jam perjalanan yang sunyi, hanya ada ketegangan yang menggantung pekat di udara. Dika mengeraskan rahangnya, kembali memasang topeng dingin yang telah ia latih selama berminggu-minggu untuk momen krusial. Ia melirik Aruna dari sudut matanya. Gadis itu mematung, wajahnya pucat pasi memandang ke luar jendela, menatap bangunan kolosal yang menjulang di hadapan mereka.Mansion itu bukan sekadar rumah. Ia adalah benteng modern yang terbuat dari kaca, baja hitam, dan beton ekspos, berdiri angkuh di tengah pelukan hutan pinus yang rapat. Cahaya senja keemasan menembus kanopi pepohonan, melukis bayangan-bayangan panjang yang seolah menari di dindingnya, membuatnya tampak hidup dan mengintimidasi."Turun," perintah Dika, suaranya datar, tanpa emosi.Aruna tidak bergerak. Napasnya tercekat. Aroma pinus dan tanah basah yang menyusup ke dalam mobil terasa menyesakkan. Di
Jantungnya berdebar kencang serta tangan yang gemetar saat meraih gagang pintu, keringat dingin pun mulai bercucuran di dahinya. Ia baru bisa sedikit bernafas lega ketika sudah berada di luar pekarangan rumah paman dan bibinya itu, dengan langkah hati-hati, ia pergi meski tidak tahu arah tujuan. Di sinilah ia, Aruna, berusia 21 tahun, seorang buronan dari takdirnya sendiri, terdampar di sudut kota yang asing. Rasa putus asa mulai merayap naik, lebih dingin dari gerimis yang membasahi rambutnya. Apa yang akan dia lakukan sekarang? Di mana dia akan tidur? Pikiran itu terputus oleh sebuah suara. Bukan suara klakson atau deru motor yang biasa terdengar, suara yang satu ini berbeda. Sebuah sedan hitam legam yang berkilau berhenti tepat di mulut gang, seolah sengaja memblokir satu-satunya jalan keluar. Jantung Aruna yang tadinya sudah mulai tenang kini berdebar lagi dengan ritme yang liar dan panik. Pintu mobil di sisi pengemudi terbuka dengan gerakan yang anggun dan tanpa suara, diikut