Beranda / Urban / Belenggu Hasrat Dendam Membara / BAB 3. ORANG YANG MENUNGGU LIMA TAHUN

Share

BAB 3. ORANG YANG MENUNGGU LIMA TAHUN

Penulis: Michaella Kim
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-13 08:25:24

Pagi hari yang membeku, Ethan terbangun bukan dengan rasa hancur seperti dulu, tapi dengan kesadaran dan tujuan baru.

Meskipun hanya bisa terpejam kurang dari satu jam saja, Ethan harus bergegas, seseorang di luar sana telah menunggu dirinya atas permintaan ayahnya. Rasa sakit semalam telah menempa semangatnya untuk tak lagi berdiam diri.

Ia mandi dengan air dingin yang bahkan motel itu tidak bisa panaskan, tapi baginya situasi ini bukan hal baru. Ketika masih di penjara, ia bahkan sering dibiarkan berdiri di lapangan sementara salju turun.

Sambil menggigil, Ethan bergegas memakai pakaian yang bahkan masih setengah basah.

Ia menyempatkan sejenak untuk mengecek laptopnya, kemudian mendengus. “Untung kau masih menyala, kalau tidak, setelah ini kau akan berakhir di tong sampah,” ujarnya sedikit geli, seperti sedang berbicara dengan teman. Setidaknya, benda itu yang saat ini membantunya menemukan harga dirinya.

Setelah yakin tak ada barang yang tertinggal, ia lalu keluar menuju kota.

Ethan masih berjalan kaki, meskipun ada cukup uang untuk naik angkutan umum. Pagi itu, ia sedang bersemangat dengan tujuannya. Pria semalam yang berbicara dengannya, satu-satunya kunci untuk membuka pintu masa depannya, setelah semua keterpurukan.

Namun, Ethan berhenti sejenak. “Tapi bagaimana dan di mana aku bisa bertemu dengan orang itu? Sial, nomor ponselnya juga sudah mati. Tak mungkin dia main-main denganku, kan?”

Meskipun ada sedikit keraguan pada pria semalam, tetapi Ethan percaya pada ayahnya.

“Lagipula dia bilang akan menemukanku, kalau begitu kita lihat saja,” gumamnya, lalu melanjutkan perjalanan.

Sialnya, tiap kali melihat pasangan kekasih yang secara kebetulan berpapasan dengannya, wajah Iris kembali muncul di dalam isi kepalanya. Menandakan besarnya rasa sakit yang ia rasakan, seperti kumpulan bom yang kapan saja bisa meledak dan mungkin akan menghancurkan setiap keping otaknya, jika tidak cepat dijinakkan.

Ethan menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

“Pergilah Iris!” teriaknya dalam hati, seolah berteriak pada bayangan Iris di dalam kepalanya.

Ethan mencoba untuk kembali fokus.

Saat ini, tujuannya adalah memeriksa perusahaan yang masih mencantumkan namanya sebagai pemilik resmi. Seperti yang sudah ia lihat di dalam data drive semalam, Ethan tidak kalah. Ia memang belum punya uang, belum juga punya kekuatan, tapi setidaknya ia punya satu hal yang tak dimiliki oleh Marcus, yakni akses hukum yang belum terhapus.

Setelah berjalan kaki sejauh beberapa blok dari motelnya, Ethan memutuskan untuk berhenti setelah menemukan sebuah tempat santai yang agak sepi. Namun, tempat itu cocok untuknya.

Di sebuah kedai kopi kecil dekat kawasan bisnis Manhattan, Ethan duduk di sudut ruangan sambil mempelajari dokumen digital dari flashdisk. Segelas Americano murah yang panas, cukup untuk menghangatkan lambungnya. Ethan memilih tidak sarapan, itu karena di dalam saku jaketnya hanya tersisa dua lembar uang sepuluh dolar yang lembab. Dan ia harus berhemat.

Ethan mulai sibuk di depan layar laptop tua itu, sementara asap kopi yang tersisa setengah terus mengepul di udara. Kedua mata tajamnya fokus pada layar, di sekitarnya ada beberapa pria berjaket lusuh, tetapi kering dan hangat, duduk masing-masing di kursi mereka. Sama seperti dirinya, menikmati segelas kopi panas murah untuk memulai hari ini.

Satu hal yang berbeda dari Ethan adalah hanya dirinya saja yang datang untuk membuka laptop. Membuat beberapa pria cukup heran melihatnya.

Bahkan ada juga yang sempat bercanda dengan mengatakan, “Hei, anak muda. Sepertinya kau salah tempat sarapan, restoran di ujung jalan lebih cocok untuk orang kantoran.”

“Orang kantoran mana ada yang berpakaian seperti pengemis. Hahaha!” seru seseorang lain, menyindir.

Namun, bibir Ethan terkatup rapat tapi lirikan singkat darinya seolah berkata, “Urus saja urusan kalian sendiri.”

Suara tawa di sekitarnya sama sekali tak dipedulikan. Bagi Ethan, penghinaan sudah makanan sehari-hari baginya.

Ketika masih berada di penjara, dia sudah cukup puas bertarung fisik dengan para pembully.

Belum lagi ketika dirinya kerap dijadikan target nafsu dari gerombolan pria penyuka sesama jenis, tentu saja Ethan tak ingin hanya tinggal diam. Hingga semua pertarungan itu memberikan banyak kekuatan pada fisiknya.

Beberapa menit berlalu, ketika Ethan baru saja menandai perusahaan pertama yang akan ia kunjungi, Deighton & Miles Trading Ltd., seorang pria berjas hitam mendekat, berdiri tanpa memesan minuman. Pria itu tidak memperkenalkan diri, hanya meletakkan kartu identitas elegan di meja. Di kartunya tertulis, “Graham Alder–Chief Legal Advisor, Deighton Group.”

Beberapa pria yang melihat itu kembali berbisik-bisik. “Apa lagi sekarang? Datang orang kaya berpakaian mahal ke kedai kita?”

“Apakah aku tidak salah lihat? Hari ini sebenarnya hari apa?”

“Apakah mereka sedang bermain film?”

Kemunculan Ethan dengan sebuah laptop saja sudah cukup mengusik para pekerja buruh bangunan di dalam kedai itu. Sekarang, muncul lagi satu orang pria dengan setelan Armi.

Saat seseorang dari mereka menengok keluar pintu, ia langsung berteriak, “Astaga, lihat mobil panjang itu!”

Suara berisik penuh kekaguman pun tak terhindar. Namun, sama sekali tak membuat Ethan dan pria bersamanya merasa terusik.

Ethan mendongak, menatap Graham tajam dengan wajah yang sama sekali tak ramah. Ia selalu curiga pada siapapun manusia yang ditemuinya.

Tanpa basa-basi, Graham berkata pelan agar hanya Ethan saja yang dapat mendengar, “Tuan Ethan Deighton, saya menerima perintah dari ayah Anda lima tahun lalu. Beliau berkata, saat Anda bebas, saya harus menjadi orang pertama yang menemui Anda.”

Ethan masih menatapnya, menyadari bahwa pria itu ternyata adalah pria yang semalam berbicara di telepon dengannya. Ia kenal dari suaranya.

“Kau benar-benar menemukanku,” ujar Ethan dengan nada datar. Jujur saja, ia masih tidak percaya, apakah pria itu mengenalnya? Sejauh yang Ethan ingat, wajah itu belum pernah ia lihat sebelumnya.

“Tentu saja, Tuan. Kekuatan keluarga Deighton bukanlah hal yang bisa dibayangkan oleh orang biasa,” jawab pria itu dengan penuh wibawa, sedikit melirik ke arah kerumunan pria yang terus memuji limusin miliknya.

Kemudian, ia melanjutkan, “Dan saya datang membawa sesuatu, hak penuh Anda yang belum dicabut. Termasuk satu perusahaan yang Tuan Marcus Cross tidak pernah tahu keberadaannya.”

“Bajingan itu,” gumam Ethan. Matanya memerah, rahangnya mengeras, kepalan tangannya mengerat. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, menahan gelombang emosi yang naik, hanya dengan mendengar nama Marcus.

Dengan hati-hati Graham meletakkan sebuah amplop besar di hadapan Ethan. Kemudian berkata, “Ini bukan hanya perusahaan yang tersisa, Tuan. Ini adalah senjata yang ayah Anda siapkan untuk menghancurkan Cross Group. Sayangnya, ayah Anda belum sempat membalas kala itu. Sekarang, saya menunggu perintah pertama Anda.”

Ethan membukanya tanpa ragu, segera membaca dengan teliti dan wajahnya langsung berubah.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Belenggu Hasrat Dendam Membara   BAB 5. BENIH YANG MULAI BERGERAK

    Pagi itu, Ethan sedang berjalan dengan langkah cepat melewati trotoar Manhattan yang penuh dengan orang-orang kantoran berlalu lalang. Udara masih dingin, tapi pikirannya jauh lebih dingin lagi. Hari ini, ia fokus pada satu hal, yakni tentang situasi perusahaan yang masih sah atas namanya, miliknya. Satu-satunya warisan dari mendiang sang ayah yang tidak diketahui oleh Marcus Cross.Kantor yang ia tuju saat itu hanyalah ruang sempit di lantai dua sebuah gedung tua. Bukan gedung ilegal seperti Cross Group. Tapi justru di ruangan sederhana inilah Graham menunggunya.Saat Ethan masuk, Graham mengangkat kepala dari tumpukan berkas di atas meja kerjanya. “Selamat pagi, Tuan Deighton.”“Pagi.” Ethan duduk, mengusap rambutnya yang masih sedikit basah karena hujan pagi. “Apa kita bisa mulai sekarang?” tanyanya dengan nada berat.“Sudah mulai sejak semalam, Tuan,” jawab Graham sambil menutup map. “Saya punya beberapa hal yang perlu Anda lihat.”Ia menggeser sebuah folder ke arah Ethan. Di dala

  • Belenggu Hasrat Dendam Membara   BAB 4 PERTEMUAN YANG TIDAK DIRENCANAKAN

    Setiap huruf yang tertulis di dalam berkas itu tak ada yang terlewat dari pemindaian mata Ethan, tak perlu waktu lebih dari lima menit untuk Ethan dapat menemukan sebuah rancangan besar yang telah ayahnya persiapkan untuknya.“Graham.”“Tuan?”“Ini memang senjata balas dendam,” ujar Ethan dengan suara beratnya. “Kau pergilah, persiapkan semuanya.”Graham mengangguk, kemudian menyodorkan sebuah ponsel. “Ponsel ini sudah di modifikasi agar tidak dapat dilacak dan disadap. Nomor saya ada di dalamnya, hubungi saya kapan saja Anda siap.”Beberapa saat setelah Graham pergi, Ethan menyusul keluar. Uap hangat dari pintu kedai yang tertutup di belakangnya perlahan lenyap tertelan udara dingin.Ia menatap amplop di tangannya lalu menggenggamnya erat. Helaan napasnya terdengar panjang. Hujan mulai turun lagi, tipis, nyaris seperti kabut. Ethan mulai berjalan, tidak berlari, tidak pula mencari tempat berteduh.“Lucu,” katanya sambil menatap langit. Dulu ia selalu menghindari hujan. Sekarang, biar

  • Belenggu Hasrat Dendam Membara   BAB 3. ORANG YANG MENUNGGU LIMA TAHUN

    Pagi hari yang membeku, Ethan terbangun bukan dengan rasa hancur seperti dulu, tapi dengan kesadaran dan tujuan baru.Meskipun hanya bisa terpejam kurang dari satu jam saja, Ethan harus bergegas, seseorang di luar sana telah menunggu dirinya atas permintaan ayahnya. Rasa sakit semalam telah menempa semangatnya untuk tak lagi berdiam diri.Ia mandi dengan air dingin yang bahkan motel itu tidak bisa panaskan, tapi baginya situasi ini bukan hal baru. Ketika masih di penjara, ia bahkan sering dibiarkan berdiri di lapangan sementara salju turun.Sambil menggigil, Ethan bergegas memakai pakaian yang bahkan masih setengah basah.Ia menyempatkan sejenak untuk mengecek laptopnya, kemudian mendengus. “Untung kau masih menyala, kalau tidak, setelah ini kau akan berakhir di tong sampah,” ujarnya sedikit geli, seperti sedang berbicara dengan teman. Setidaknya, benda itu yang saat ini membantunya menemukan harga dirinya.Setelah yakin tak ada barang yang tertinggal, ia lalu keluar menuju kota.Etha

  • Belenggu Hasrat Dendam Membara   BAB 2. HUJAN TIDAK BISA MENEMBUS API

    Derasnya hujan malam itu tak menyurutkan niat Ethan untuk melangkah. Melewati beberapa restoran, bar dengan kaca jendela besar yang memantulkan penampilan kacaunya.Jaket lusuh yang menempel di tubuhnya sudah tak sanggup lagi menahan air. Kini sekujur tubuhnya basah, tapi air dingin itu sama sekali tak membuatnya terusik. Setiap langkah kakinya di atas trotoar itu seperti membawa tekad yang kuat. Hatinya sudah mengeras, dan Ethan merasa waktu lima tahun itu harus dibayar setimpal.Meskipun bayangan dari pesta itu masih menari di kepalanya. Juga tawa tamu-tamu yang sombong, serta tatapan jijik mereka. Dan Iris, dengan mata yang dulu ia hafal setiap kedipnya, kini bahkan tak mau menatap balik.Ia berjalan terus, dengan isi kepala yang sibuk menolak kekalahan. Lima tahun lalu, ia keluar dari mobil sportnya dengan setelan Armi. Kini ia bahkan tak punya sepatu tanpa bolong. Ironi ini terasa begitu sempurna malam itu.Akhirnya, Ethan menemukan sebuah motel murah, yang akan menjadi tempat ti

  • Belenggu Hasrat Dendam Membara   BAB 1. LIMA TAHUN YANG TERBUANG

    “Lima tahun,” gumamnya pelan. “Dan kau masih di sini, Ethan. Masih hidup.”Ethan Deighton menarik kerah jaketnya lebih tinggi. Langkahnya mengarah ke sebuah rumah milik seseorang yang dulu membuat setiap malamnya berarti. Iris Valeska. Nama yang selalu menjadi pelarian dalam kepalanya ketika suara jeruji besi bergesek di malam hari. Wanita yang dulu menatap mata Ethan dengan penuh keyakinan, lalu memintanya untuk diam dan mengaku bersalah agar reputasinya tidak hancur.Ethan menuruti. Karena cinta, katanya waktu itu.Dan cinta itulah yang kini menuntunnya menembus dinginnya kota New York, ke rumah megah dengan pagar besi tinggi di ujung jalan.Lampu-lampu di sana berkilau, memantul di salju seperti permata. Ada tenda putih besar berdiri di halaman, dengan musik jazz mengalun lembut dan suara tamu bercampur tawa serta denting gelas.Hati Ethan berdegub cepat. Ia menatap pesta itu lama, lalu tersenyum kecil. “Dia tahu aku bebas hari ini,” pikirnya. “Dia pasti menyiapkan ini.”Namun lang

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status